• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung

BAB IV : METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL- QUR‘AN

A. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran

2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung

Toshihiko Izutsu mengaitkan metode semantik dengan weltanschauung.303 Secara sederhana, term ini sering diartikan sebagai filsafat hidup atau prinsip hidup. Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan kebudayaan, bahkan setiap orang

mempunyai weltanscahuung masing-masing. Pada tataran wacana ilmiah, term ini dimaknai secara lebih kompleks. Menurut Ninian Smart, weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan, dan apa saja yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.304 Sementara Thomas F. Wall memaknai weltanschauung sebagai sistem kepercayaan asasi manusia yang integral mengenai hakikat dirinya sendiri, realitas yang

mengelilinginya, dan makna eksistensi.305 Pengertian-pengertian ini menunjukkan bahwa weltanschauung merupakan sumber kekuatan bagi keberlangsungan atau perubahan sosial dan moral, sekaligus merupakan landasan bagi pemahaman realitas dan aktifitas ilmiah.

Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, term khusus untuk pengertian weltanscahauung, yang merupakan kata lain dari woldview, belum ada. Hal ini, menurut Fazlur Rahman, karena permasalahan ini belum pernah dirumuskan secara

303 Merupakan istilah Jerman untuk menyebut pandangan dunia. Term ini sinonim dengan

worlview dalam bahasa Inggris. Edwin Hung menyamakannya dengan paradigma. Lihat Edwin Hung,

The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont: Wardsworth Publishing Company,

1997), h. 368.

304 Ninian Smart, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York:

Charles Sibner‘s Son, t.th.), h.1-2.

305 Thomas F. Wall, Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern

sistematis dalam sejarah Islam.306 Para sarjana Muslim abad ke-20 menggunakan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada pengertian weltanschauung ini. Maulana al-Maududi mengistilahkannya dengan Islâmi Nazariat (Islamic Vision),307 Sayyid Quthb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision),308 Muẖammad Athif al-Zain menyebutnya dengan al-Mabda‟ al-Islami (Islamic Principle),309 sementara Naquib al-Attas menamakannya Ru‟yât al-Islâm li al-Wujûd (Islamic Vision).310 Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda, pada dasarnya para sarjana tersebut memiliki semangat yang sama, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam mempunyai cara pandang sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat ―Islam‖ menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral.

Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, dari perspektif Islam, sebuah ―pandangan dunia‖ tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Ia tidak berdasarkan pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data pengalaman dan penginderaan semata, karena semua itu terbatas dalam dunia materi saja. Pandangan dunia menurut Islam berhubungan dengan aspek alam akhirat. Segala sesuatu dalam Islam pada akhirnya difokuskan pada aspek akhirat, tanpa mengabaikan aspek dunia.311 Pandangan Syed Naquib al-Attas ini sejalan dengan Toshihiko Izutsu. Weltanschauung al-Qur‘an yang ingin diungkap Toshihiko Izutsu

306 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,

(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4.

307 Maulana al-Maududi, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967), h. 14 dan

41.

308 Sayyid Quthb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 41. 309 Muammad Athif al-Zain, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989), h. 13.

310 Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖ dalam Journal of Islamic

Philosophy 1 (2005), h. 12. Diakses dari http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf pada

tanggal 10 Agustus 2009. Tulisannya yang lebih lengkap terdapat dalam, Prolegomena to the

Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1995), h. 2.

311 Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖, h. 11; Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, h. 1.

tidak hanya berkisar pada realitas yang tampak saja, namun juga realitas yang tidak tampak.

Uraian di atas, selain menunjukkan keterpengaruhan Toshihiko Izutsu oleh hipotesis Edward Sapir, juga semakin memperjelas pengertian semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu. Semantik dimaksud adalah sejenis ontologi yang konkrit, hidup, dan dinamis, bukan semacam ontologi yang sistematis-statis yang merupakan hasil pemikiran seorang filosof. Menurut Toshihiko Izutsu, analisis semantik akan membentuk sebuah ontologi wujud (being) dan eksistensi pada tingkat konkrit sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‘an. Tujuannya adalah untuk memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‘an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang tampaknya memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan weltanschauung al-Qur‘an.312 Jadi, semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu tidak hanya untuk

memahami makna, tetapi sekaligus budaya yang terkandung dalam bahasa itu. Menurut Toshihiko Izutsu, hal ini merupakan bukan pekerjaan yang mudah. Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-Qur‘an tidak sederhana. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi memiliki ketergantungan yang sangat kuat antara satu dengan yang lain, dan makna konkret dihasilkan dari seluruh sistem yang saling berhubungan tersebut.313

Sebenarnya, menurut Toshihiko Izutsu, ada cara yang lebih mudah untuk memahami makna sebuah kata asing, yaitu dengan menerjemahkan kata tersebut ke dalam bahasa orang itu sendiri.314Dengan cara ini, kata Arab ―kâfir‖ dapat dijelaskan

312 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3.

313 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4.

314 Kata terjemah secara etimologis berasal dari bahasa Arab (tarjamah), yang artinya: (a)

menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhdhaahu); (2) memindahkan makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql al-kalâm min lughah ilâ ukhrâ); (3) biografi seseorang (sîratuhu wa ayâtuhu). Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: Maktabah al-Islâmiyah, t.th), h. 83. Hans Wehr, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III, h. 93. Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî menambahkan bahwa kata ini juga berarti menerangkan kalimat dengan bahasa lain (fassara al-kalâm bi lisân âkhar). Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî, Mukhtâr al-Shiâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 108. Sementara

bahwa ia memiliki makna yang sama dengan kata Inggris ―misbeliever‖, ‖dzâlim‖ sama dengan ―evildoer‖, ―zhand‖ sama dengan ―sin‖, dan seterusnya. Namun dalam penilaian Toshihiko Izutsu, cara ini kurang dapat diandalkan.315 Memang tidak ada kata dari dua bahasa yang berbeda yang benar-benar memiliki muatan makna yang sama (sinonim), karena – sebagaimana telah dikemukakan di depan – setiap bahasa lahir dari pola pikir yang berbeda dalam memandang dunia. Dan ini merupakan salah satu problem yang mendasar dalam penerjemahan.316 Penerjemahan kata-kata asing ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, menurut Toshihiko Izutsu, hanyalah merupakan sebuah langkah pertama untuk mempelajari bahasa asing.317

Supaya tidak terjadi eliminasi dalam memahami konsep weltanschauung al-Qur‘an, Toshihiko Izutsu berusaha untuk membiarkan al-Qur‘an menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri.318 Caranya adalah dengan mengumpulkan semua kata-kata penting yang mewakili konsep-konsep penting

menurut Muẖammad Enani, kata ini mencakup semua hal yang terkait dengan penerjemahan, seperti proses penerjemahan („amaliyah al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh al-mutarjam). Muẖammad Enani, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah, (Kairo: Longman, 2003), h. 5. Adapun secara terminologis, menerjemah berarti mengganti materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain. J.C. Catford, Linguistic Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 20. Lihat juga Eugene A. Nida dan Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 12.

315 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s

University Press, 2002), h. 24.

316 Secara umum, problem penerjemahan dapat dibagi dua, yaitu: pertama, berkaitan dengan

kosakata, dan kedua, berkaitan dengan susunan kalimat. Lihat Muẖammad Enani, Fann al-Tarjamah, (Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet. VII, h. 4.

317 Dalam pengajaran bahasa asing, terdapat banyak cara atau metode yang dikembangkan.

Salah satunya adalah metode terjemah. Metode ini dalam prakteknya dikombinasikan dengan pengajaran tatabahasa, sehingga disebut dengan metode tatabahasa-terjemah (grammar-translation method). Lihat Rusydi Aẖmad Thu‗aimah, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ: Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989), h. 127-129. Shalâh ‗Abd al-Majîd al-‗Arabî,

Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ: Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981), h. 40-41. Nâyif Kharmâ dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„îmuhâ wa Ta„allumhâ, (Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988), h. 169-172. Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Theaching, (New York: Cambridge University Press, 1992), h. 3-5. Sri Utari Subyakto Nababan, Metodologi

Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 11-14. Dan Bambang Kaswanti

Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 43-44.

seperti Allah, Islâm, nabî, îmân, kâfir, dan lain sebagainya, lalu menelaah makna kata-kata itu dalam konteks al-Qur‘an. Kata-kata penting ini, oleh Toshihiko Izutsu, disebut sebagai istilah-istilah kunci. Konsep ini menunjukkan bahwa tidak semua kata-kata dalam suatu kosakata memiliki nilai yang sama dalam pembentukan struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata tersebut.

Istilah-istilah kunci merupakan pola umum kosakata yang mewakili kata-kata yang menjadi anggotanya. Istilah-istilah kunci tersebut memiliki hubungan antara satu dengan yang lain sebagai suatu hubungan yang sangat kompleks dan memiliki arah yang beragam.319 Berdasarkan eksposisi ini, sekarang dapat diketahui bahwa kosakata dalam pengertian ini bukanlah semata-mata jumlah totalitas kata dari suatu bahasa, dan bukan pula sekedar kumpulan acak sejumlah besar kata tersebut yang dikumpulkan tanpa aturan dan prinsip yang masing-masing berdiri sendiri tanpa ada hubungan dengan kata-kata yang lain.320 Kosakata adalah struktur multi-strata yang dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok istilah-istilah kunci.321

Istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang memainkan peranan yang sangat signifikan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia kitab suci ini, menurut Toshihiko Izutsu, tidak ada satu pun yang baru, termasuk kata Allah yang sekaligus berfungsi sebagai kata fokus tertinggi sebagaimana akan dikemukakan dalam bagian selanjutnya. Tidak hanya istilah-istilah kunci saja, bahkan semua kosakata yang digunakan oleh al-Qur‘an berasal dari kosakata pra-al-Qur‘an.322

319 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20.

320 Gambaran umum tentang kosakata pada umumnya adalah khazanah atau perbendaharaan

kata suatu bahasa yang tersusun secara alfabetis. David Grambs, misalnya, mengatakan: ―Vocabulary is a list of words, usually defined and alphabetized, as in dictionary or specialized glossary; complete word stock of language; sum corpus of words used in a sublanguage by group, class, or individual scope of diction;command of words or range of expression.‖ David Grambs, Words About Words, (New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1979), h. 387.

321

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20.

322 Toshihiko Izutsu menegaskan: ―Since, the Qur‟an is, linguistically, a work of genuine

Arabic, it will readily be seen that all the words used in this Scripture have a pre-Qur‟anic or Islamic

background. Many of them came from the rank and file of pre-Islamic Arabic.‖ Toshihiko Izutsu, God

Hanya saja kata-kata tersebut berada dalam sistem konseptual yang berbeda. Al-Qur‘an menggunakan kata-kata tersebut dan mengkombinasikannya dalam suatu kerangka konseptual yang secara total baru, dan dengan demikian belum dikenal pada masa pra-al-Qur‘an.

Kata-kata yang menempati status sebagai istilah-istilah kunci dalam sistem al-Qur‘an, dilihat secara diakronis, memiliki dua tipe: Pertama, kata-kata tersebut berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah tingkatan istilah kunci. Kata taqwâ, misalnya, merupakan kata yang sangat penting dalam al-Qur‘an dan salah satu istilah kuncinya yang paling khas, tempat seluruh bangunan kesalehan dalam al-Qur‘an berpijak. Namun kata ini pada masa pra-al-Qur‘an merupakan kata umum yang mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perilaku binatang yang sangat umum, yakni sikap membela diri disertai dengan rasa takut.323

Kedua, istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang dalam sistem sebelumnya merupakan istilah-istilah kunci juga. Hanya saja struktur semantiknya sudah jauh berubah sebagai akibat dari perobahan sistem tersebut. Contohnya adalah kata karîm. Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat penting pada masa jahiliyah, yang berarti kemuliaan garis keturunan, yakni seorang yang mulia semenjak lahir karena silsilahnya yang masyhur dan tak memiliki cela sedikitpun. Kata karîm, dalam konsepsi jahiliyah juga bermakna seseorang yang memiliki sifat dermawan yang luar biasa, yang menurut konsep sekarang sifat tersebut dikategorikan sebagai pemborosan. Dalam konsep al-Qur‘an, muatan makna kata ini harus mengalami perubahan drastis karena harus diletakkan dalam hubungan yang dekat dengan taqwâ.324

Untuk dapat menentukan kata-kata mana dari sekian banyak kata dalam al-Qur‘an yang patut disebut sebagai istilah-istilah kunci, maka seorang penafsir harus memiliki gambaran skematik umum terlebih dahulu terhadap seluruh obyek yang

323 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 39.

akan ditafsirkan. Untuk mendapatkan gambaran skematik umum ini, seorang penafsir disarankan untuk memahami al-Qur‘an secara langsung tanpa didahului oleh pembacaan-pembacaan terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim dalam rangka memahami dan menafsirkan kitab suci ini.325