• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik terhadap Toshihiko Izutsu

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu

Tafsîr merupakan salah satu ilmu yang dikembangkan di dalam kajian keislaman (dirāsat al-islamiyyah) selain fiqh, ushul al-fiqh, ushul al-dîn, dan hadîts. Dibandingkan dengan kajian-kajian lain, tafsîr memiliki nilai yang sangat strategis karena memberi jalan pada ilmu lain untuk menemukan rujukan yang sah. Karena demikian pentingnya, maka dalam khazanah pustaka Islam, termuat berbagai kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur‘an. Dalam Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk menyatakan ada lima belas kriteria yang harus dimiliki seorang penafsir al-Qur‘an, yaitu: pertama, memahami hadis dengan baik; kedua, mengetahui bahasa Arab; ketiga, menguasai gramatika bahasa Arab (naẖw); keempat, menguasai sistem konjugasi bahasa Arab (tashrîf); kelima, menguasai etimologi bahasa Arab (isytiqâq); keenam, ketujuh dan kedelapan, mempunyai kemahiran di dalam ilmu balâghah dan bagian-bagiannya seperti ma‗ânî, bayân, badî‗; kesembilan, menguasai ragam bacaan (qirâ‟ât) al-Qur‘an; kesepuluh, mengerti ilmu tauhîd; kesebelas, mengetahui ushûl al-fiqh; keduabelas, mengerti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl); ketigabelas, memahami kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur‘an; keempatbelas, memahami nâsikh dan mansûkh; dan terakhir, mengamalkan apa yang telah diketahui.255 Senada dengan hal tersebut, ʻAbd al-Hay al-Farmâwî menyatakan bahwa seorang penafsir harus memenuhi empat syarat:256 Syarat pertama dan utama adalah harus benar aqidahnya dan menjalankan sunah Nabi, kemudian benar tujuannya, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan jalur naql (metode tafsîr bi

al-ma‟tsûr), dan menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran.257 Ini

255 Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1986), h. 186-187.

256

ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 17-19.

257 Ada lima belas ilmu, yang meliputi linguistik, teologi, ushûl al-fiqh, asbâb nuzûl wa al-qashash, al-nâsikh wa l-mansûkh, hukum Islam, hadits, dan ʻilm al-mauhibah. Untuk lebih jelasnya, lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 19-20.

menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur‘an harus dilakukan oleh orang-orang Muslim yang memiliki keahlian-keahlian khusus. Dengan demikian, muslim biasa (ʻawâm) tidak diperkenankan melakukan pengkajian terhadap kandungan al-Qur‘an, apalagi non-Muslim.

Pendapat-pendapat di atas diperkuat pula oleh Abdullah Saeed.258 Ia secara tegas menyatakan bahwa non-Muslim tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an. Baginya, penafsiran al-Qur‘an merupakan kerja kesalehan yang memerlukan persyaratan-persyaratan khusus. Di antara persyaratan tersebut yang paling utama adalah seorang penafsir harus Muslim dan menjalankan ajaran-ajaran Islam.259 Jadi, jika ada non-Muslim yang menafsirkan al-Qur‘an, maka penafsirannya dianggap tidak sah. Meskipun dipandang tidak memiliki otoritas, menurut Abdullah Saeed, non-Muslim dapat menyumbangkan usaha penafsirannya terhadap al-Qur‘an dalam kerangka akademis.260 Dalam artian penafsiran mereka secara ilmiah dapat diterima, hanya saja tidak dapat dijadikan landasan dan pegangan amalan bagi umat Islam.

Apa yang dikemukakan oleh Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, ʻAbd Hay al-Farmâwî, dan Abdullah Saeed di atas merupakan pandangan mainstream kaum Muslim. Pendapat serupa telah digagas oleh para pendahulu dalam kajian al-Qur‘an, misalnya Ibn Jarîr al-Thabarî,261 yang secara ekplisit juga menyatakan keyakinan yang benar (Muslim) sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pengkaji al-Qur‘an.

Berdasarkan hal tersebut, maka Toshihiko Izutsu tidak memiliki otoritas untuk menafsirkan al-Qur‘an, karena sampai akhir hayatnya ia adalah seorang pemeluk Zen

258 Abdullah Saeed adalah profesor Kajian Arab dan Islam Sultan Oman dan direktur Pusat

Kajian Islam Kontemporer Universitas Melbourne, Australia. Dia telah banyak menulis tentang Islam dan dia juga mengarang dan menjadi editor sejumlah buku, di antaranya Approaches to Qur‟an in

Contemporary Indonesia (2005), Freedom of Religion, Aposty and Islam (co-author, 2004), Islam and Political Legimacy (2003), Islam in Australia (2003), dan Islamic Bank and Interest,(1996).

259 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114. 260 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114.

261 Al-Thabarî menyatakan, min shartihi shiẖẖah al-iʻtiqâd wa luzûm sunnah al-dîn, fa inna man kâna maghmûsh ʻalaihi fî dînihi lâ yu‟tamanu ʻalâ al-dunyâ fa kaifa ʻala al-dîn. Lihat, Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz 2, h. 176.

Budhism. Namun dengan mencermati seruan Muẖammad Amîn al-Khûli (1895-1966) yang menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyyah al-akbar wa atsaruhâ al-adabî al-a„zham),262 dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al-Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia,263 dan perintah al-Qur‘an yang ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya,264 maka apa yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu dapat dipandang sebagai sesuatu yang sah-sah saja.

Selain dipandang tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an berdasarkan sudut pandang sarjana-sarjana „ulûm al-Qur‟ân, Toshihiko Izutsu juga tidak sepi dari kritik yang dilontarkan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu datang dari Fazlur Rahman yang menulis sebuah ulasan terhadap God and Man in the Qur‟an.265 Dalam beberapa bagian dari review tersebut, Fazlur Rahman mengkritik Toshihiko Izutsu yang terlalu bercita-cita tinggi untuk menjelaskan al-Qur‘an atas dasar pencarian ―struktur dasar‖ dan ―konsep-kunci‖ al

262 Lihat Muammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Nawi wa Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h. 12-13.

263 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid

yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang

menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan

Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini

sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan:

Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 86.

264 Baca Q.S. al-Taubah (9): 6.

265 Ulasannya dimuat dalam Jurnal Islamic Studies, Juni 1966, Vol. V, No. 2, Islamic

Research Institute, Rawalpindi. Dan cantumkan dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. vii-xiv.

Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman, tanpa pendekatan sejarah, kita tidak akan dapat berlaku adil terhadap evolusi konsep, khususnya konsep Allah.266

Kritik lain datang dari Harry Partin. Menurutnya, analisis Toshihiko Izutsu tidak memadai secara historis. Hal ini berdasarkan, pertama, mengabaikan peranan sejarah di dalam mempengaruhi perubahan makna, dan kedua Toshihiko Izutsu tidak menegaskan fakta bahwa surat-surat dalam al-Qur‘ān diturunkan selama masa lebih daripada dua puluh tahun dan beberapa kata yang terdapat di dalam surat-surat awal sangat berbeda maknanya dengan surat-surat terakhir. Dengan kata lain, ada sebuah sejarah semantik di dalam al-Qur‘an itu sendiri. Jelas, pendapat Harry Partin ini makin mengukuhkan kritik Fazlur Rahman terhadap Toshihiko Izutsu.267

Daniel A. Madigan juga mengkritik Toshihiko Izutsu. Ia keberatan dengan teori makna dasar dan makna relasional yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu. Premis dari teori tersebut adalah makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh posisinya dalam suatu sistem.268 Pendekatan Toshihiko Izutsu didasarkan atas keyakinan bahwa orang dalam situasi budaya yang berbeda akan menggunakan kata-kata untuk mengelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam. Dengan demikian kebutuhan akan pemetaan bidang semantik masing-masing kata harus benar-benar dieksplorasi. Karena berdasarkan pemetaan dan hubungan dalam bidang semantik, makna berubah seiring waktu. Menurut Daniel A. Madigan, istilah ―makna yang tepat‖ dapat membahayakan. Tidak ada satupun makna yang dapat diklaim sebagai makna al-Quran. Mengutip Wilfred Cantwell Smith, makna Quran adalah ―sejarah makna-maknanya‖.269

Meskipun demikian, beberapa sarjana Muslim memberikan apresiasi yang positif. Parvez Manzoor, misalnya, sebagai seorang yang sangat keras menentang

266 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. x.

267 http://www.ahmadsyahidah.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 268 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 13.

269 Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture,, h. 80.

kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat dengan mengatakan bahwa apapun manfaat dan gunanya, studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam kedendaman,270 merekomendasikan karya-karya Toshihiko Izutsu bagi sarjana-sarjana Muslim. Dalam pandangannya, sarjana-sarjana Jepang ini – sebagai orang luar orientalisme – tidak mewarisi prasangka sejarah atau ketakutan emosional. Oleh karena itu, meskipun karyanya ditopengi oleh metode orientalisme, namun bersinar dengan kilauan yang mempesona. Karya-karyanya sekaligus menyajikan argumentasi yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran sebuah kitab suci hanya dapat dicapai oleh mereka yang menjadi insider tradisi suci tersebut. Parvez Manzoor bahkan menganggap metode yang dipergunakan oleh Toshihiko Izutsu, yaitu membiarkan al-Qur‘an berbicara sendiri, sebagai metode terbaik untuk mengkaji al-Qur‘an.271

Demikian juga dengan Seyyed Hossein Nasr. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Selain itu, ia menambahkan bahwa Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.272

270Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),

dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45.

271Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),

dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 59-60.

Terlepas dari polemik otoritatif tidaknya Toshihiko Izutsu dalam penafsiran al-Quran dan kritik-kritik yang dilontarkan oleh kalangan akedemisi, pendekatan dan metode yang dipakai oleh Toshihiko Izutsu dapat membuka cakrawala baru dalam studi al-Qur‘an.