• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan strukturalisme linguistik

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

B. Kategori dan Pendekatan Kesarjanaan Barat dalam Kajian

3. Pendekatan strukturalisme linguistik

Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam struktur.98 Dengan demikian, pelbagai unsur pembangun struktur itu memiliki

koherensi atau pertautan yang erat. Mereka tidak otonom satu dengan yang lain, melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit, dan hanya dengan interaksi itulah ia mendapatkan arti.99 Strukturalisme linguistik memiliki akar-akarnya dalam semiologi Saussure, Mazhab Linguistik Praha dan Formalisme Rusia. Pengaruh de Saussure terhadap strukturalisme terletak pada pergeseran orientasi studi

linguistiknya dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Dengan pendekatan sinkronik,

97 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,

1980), h. 186-187.

98 Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 6-7. 99 Pemahaman strukturalisme demikian serupa dengan konsep nazhm yang dikembangkan

‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî yang menyoal hubungan sintagmatis kata di dalam kalimat dan struktur teks yang lebih luas. Kata-kata individual, menurut al-Jurjânî, tidak memiliki nilai distingtif kecuali berada dalam struktur yang lebih luas. Lihat Aẖmad Sayyid Muẖammad ‗Ammâr, Nazhariyyat al-I„Jâz

studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya melainkan pada hubungan antarunsurnya. Dalam pendekatan struktural, masalah unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang krusial.

Sebuah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan secara sistemik dan saling menentukan satu sama lain sehingga membentuk sebuah totalitas pada dirinya. Pengertian struktur, menurut Jean Piaget dalam bukunya Le Structuralisme (1968),100 adalah ditemukannya kesatuan yang meliputi tiga ide dasar: ide kesatuan (the idea of wholeness), ide transformasi (the idea of transformation), dan ide pengaturan diri sendiri (the idea of self-regulation). Ide kesatuan mengandaikan bahwa struktur adalah keseluruhan yang bulat, dan bahwa unsur-unsur pembentuknya tidak mungkin berdiri sendiri di luar struktur. Ide transformasi menyaran pada pemahaman bahwa struktur dimaksud bukanlah sesuatu yang statis melainkan mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional. Ide regulasi-diri menunjuk pada kemampuan struktur untuk melakukan proses transformasi tanpa bantuan dari luar, melainkan cukup dengan dirinya sendiri.101 Ketiga gagasan dasar dalam sebuah karya sastra demikian mengasumsikan bahwa sebuah teks dapat dipahami cukup melalui berbagai unsur yang membangunnya, berupa bahasa, ungkapan, dan sistem tanda lain yang tersurat, tanpa memerlukan bantuan lain dari luar dirinya, hal-hal non-bahasa.

Dengan demikian, sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalis, adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya, yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan timbal balik dan saling

menentukan. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, unsur-unsur tersebut tidak penting bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting

100 Sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 5.

101 Rahmad Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

setelah berada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya bersangkutan. Setelah menjelaskan fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, selanjutnya dijelaskan pula bagaimana hubungan antarusur tersebut secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama

menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi antarunsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan juga relasi intertekstual.102 Analisis mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam paragraf atau konteks wacana yang lebih besar. Analisis relasi intertekstual berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun dalam periode-periode yang berbeda.

Pendekatan struktural menawarkan kelebihan bahwa analisis karya sastra tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain—walau harus diakui bahwa hal-hal tersebut dapat memperkaya wawasan dan pemahaman—melainkan ―cukup‖ berbekal kemampuan bahasa, kepekaan sastra dan minat yang intensif.103

Sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang melakukan studi al-Qur‘an dengan pendekatan struktural belum banyak. Di antara yang sedikit tersebut adalah Toshihiko Izutsu (1914-1933) dan Richards C. Martin. Toshihiko Izutsu menerapkan pendekatan struktural terhadap al-Qur‘an untuk dapat menangkap pandangan dunia

102 Dick Hartoko dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),

h.136.

103 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984),

Kitab Suci tersebut. Kajiannya tertuang dalam Ethico-Religious Concepts in the

Qur‟an (terbit pertama kali pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran) dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung (terbit pertama kali pada tahun 1964). Sementara Richards C. Martin menerapkan pendekatan strukturalisme linguistik ini ketika menganalisis Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26). Tulisannya berjudul ―Structural Analysis and the Qur‟an:

Newer Approaches to the Study of Islamic Text‖, dimuat dalam Jurnal of the American Academic of the Religion, Vol. XLVII (1979), No. 4.104

Pemahaman terhadap pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim dalam kajian al-Qur‘an dirasa perlu bagi umat Muslim, karena hal ini dapat membantu untuk memahami penyebab lahirnya pandangan sarjana-sarjana non Muslim tersebut terhadap al-Qur‘an. Bila umat Muslim hanya memahami konklusi dan konsep-konsep mereka saja, maka kemungkinan ―ketersinggungan iman‖ dapat terjadi yang pada gilirannya dapat menimbulkan bibit-bibit konflik dan perasaan antipati. Pemahaman terhadap pendekatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat menyelamatkan umat Muslim dari sikap emosional dan menuntutnya untuk berdialog secara sehat.

F. Respon Sarjana Muslim

Jika ketertarikan umat Islam terhadap al-Qur‘an dipandang sebagai hal wajar bahkan suatu keharusan, karena al-Qur‘an memang Kitab Suci mereka dan sumber utama ajaran Islam, maka berbeda halnya jika non-Muslim melakukan hal yang sama terhadap Kitab Suci umat Muslim ini. Meskipun aktivitas ini sudah lama dilakukan, namun di kalangan umat Islam sampai saat sekarang masih timbul kecurigaan terhadap kajian-kajian mereka. Tidaklah mengherankan apabila

pertanyaan-pertanyaan mengenai keabsahan kajian mereka sering dikemukakan: apakah mereka

104 Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “a la” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 11.

pantas atau memiliki otoritas untuk mengkaji al-Qur‘an? Apa motif-motif yang mendorong mereka untuk melakukan kajian terhadap al-Qur‘an?

Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan al-Qur‘an kepada anak-anak mereka. Dari sisi ini dapat diambil kesimpulan, bahwa umat Islam pada umumnya tidak tertarik untuk memperbolehkan non-Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an.105 Kondisi ini kelihatannya terwariskan dalam sebagian kalangan

sarjana Muslim hingga sekarang.

Penolakan terhadap aktivitas non-Muslim dalam kajian al-Qur‘an disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak motivasi dan tujuan yang tidak baik dari orientalisme kepada Islam. Beberapa studi terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat memang menunjukkan dominannya motivasi dan tujuan dimaksud. Beberapa hasil penelitian terhadap kajian-kajian orientalis seperti yang telah disampaikan oleh Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Qur‟an di atas, kemudian oleh Muẖammad Musthafâ al-Aʻzhamî, dalam The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to

Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, yang hampir memastikan bahwa semua orientalis, meskipun dengan kadar yang berbeda, memiliki motivasi dan tendensi yang berseberangan dengan tradisi Islam,106 demikian juga dengan Muẖammad Husain ʻAlî Shaghîr, dalam Mustasyriqûn wa Dirâsât

al-Qur‟âniyyah, yang menyebutkan bahwa kajian orientalis terhadap al-Qur‘an, secara khusus, dan kajian terhadap Islam, pada umumnya, didorong oleh motivasi

105 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen

McAuliffe (ed.),Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the

Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237.

106 Muammad Musthafâ al-Aʻzhamî, The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to

Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani, 2005). h. 335-379.

penyebaran agama, imperialisme dan kolonialisme, di samping motivasi ilmiah,107 semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.

Di samping itu, karena kebanyakan sarjana non-Muslim tidak mengakui al-Qur‘an sebagai firman Allah. Adalah hal yang tidak mengherankan apabila dalam karya sarjana-sarjana non-Muslim ditemukan pernyataan seperti, ―Al-Qur‘an adalah perkataan atau ucapan Muhammad‖,108 dan ungkapan-ungkapan lain yang senada.

Dan karena tidak mengakui al-Qur‘an sebagai firman Allah, mereka juga tidak memperlakukan al-Qur‘an sebagai kitab suci, melainkan sebagai dokumen literer.109

Yang demikian itu tentu saja melukai perasaan umat Islam karena secara fundamental bertentangan dengan keyakinan umat Islam itu sendiri.

Secara metodologis, kajian Islam oleh non-Muslim memang akan selalu menghadapi resistensi, tantangan dan gugatan. Hal ini karena, seperti yang

diungkapkan oleh Abdul Rauf, berdasarkan data sejarah, agak susah – bahkan tidak mungkin – bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain.110 Fazlur Rahman mengakui kritik Abdul Rauf tersebut, namun ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya berlaku bagi kalangan orientalis dan non-Muslim yang mendekati dan mengapresiasi Islam tanpa didukung oleh pengetahuan yang memadai, namun hanya berdasarkan atas praduga-praduga.111 Namun demikian, di tengah arus penolakan tersebut, beberapa sarjana Muslim seperti Muẖammad Amîn al-Khûlî (1895-1966) yang menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyya al-akbar wa atsaruhâ al-a„al-adabî

107 Lihat Muammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-ʻArabi, 1999), Cet. I, h. 13-18.

108 Lihat H.A.R. Gibb, Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950),

h. 35.

109 Lihat Helmut Gätje, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge & Kegal Paul, 1976), h. 42-43.

110Muhammad Abdul Rauf, ―Outsider‘s Interpretation of Islam: A Muslim Point of View‖,

dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of Arizona, 1985), h. 185.

111 Fazlur Rahman, ―Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay‖, dalam

al-a„zham),112 dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al-Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia,113 secara terang ingin membuka ruang bagi setiap orang untuk mengkaji al-Qur‘an tanpa melihat latar keagamaannya, apakah ia Muslim atau bukan.

Memang bila dicermati, dalam al-Qur‘an sendiri terdapat perintah yang ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya.114 Ini berarti terbuka kemungkinan bagi pemahaman yang benar dari mereka. Dan kenyataan membuktikan adanya orang-orang non-Muslim yang masuk Islam setelah mendengar atau mengkaji al-Qur‘an.115

Setiap Muslim harus dapat menerima pendapat yang baik dan benar dari siapa pun, karena Islam sangat terbuka dan mengingatkan bahwa kebenaran harus menjadi milik Muslim dari mana pun sumbernya. Kaum Muslim juga harus dapat menerima kritik yang dilontarkan oleh siapa pun dengan lapang dada, dan mendiskusikannya, lalu menerimanya selama tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip serta rincian ajaran

112 Lihat Mu

ẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Nawi wa Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h. 12-13.

113 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid

yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang

menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan

Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini

sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, al-Nashsh, al-Shulthah, al-Haqîqah, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003), h. 86.

114 Baca Q.S. al-Taubah (9): 6.

115 Sebagai contoh adalah ʻUmar ibn al-Khattâb (w. 24/644) yang memeluk Islam setelah

membaca Q.S. Thâhâ (20): 1-2. Labid ibn Rabiʻa, seorang maestro penyair Arab, yang menggantungkan syair-syair gubahannya di depan pintu Ka‘bah sebagai ajang unjuk kemampuan

menggubah syair di kalangan masyarakat Arab, juga masuk Islam setelah membaca beberapa ayat

yang digantung di atas pintu Ka‘bah oleh pengikut Nabi Muhammad. Navid Kermani, Gott ist Schön,

Das Aesthetische Erleben des Koran, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an

agama yang bersifat pasti, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, non-Muslim dapat meraih kebenaran dari bacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an.

BAB III

AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU

Sebuah pandangan tidak muncul dalam ruang yang hampa tetapi sangat dipengaruhi oleh subyektifitas dan historitas yang melingkupinya, maka pandangan tersebut harus dipahami melalui usaha pembaca atau penafsir untuk merekonstruksi atau membangun kembali pengalaman mental penulisnya atau mengulang proses kreatif penulis secara utuh.116 Demikian juga halnya dengan pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an, sebelum membahasnya lebih detail harus dipahami terlebih dahulu pribadi tokoh dimaksud. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas secara singkat riwayat hidup Toshihiko Izutsu dari sisi pengalamannya sejak kecil, pendidikannya, kecenderungannya, dan karya-karyanya tentang al-Qur‘an.