• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alam Jasmani

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 52-56)

JASMANI DAN ROHANI

C. Sejarah Pemikiran Tentang Jasmani-Rohani

1. Alam Jasmani

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

47

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"76.

C. Sejarah Pemikiran Tentang Jasmani-Rohani

1. Alam Jasmani

Para filsuf Lonia abad permulaan seperti Tales, Anaximander, dan Anaximenes, kagum dengan ketertiban dan keteraturan yang tampak dalam alam kodrat; bahwa benda-benda itu bergerak, teratur, dan tertib. Mereka memastikan bahwa pergerakan itu ada yang mengatur. Phytagoras justru melihat adanya perbedaan-perbedaan kualitas di dunia ini. Sesuai dengan keahliannya mengenai geometri, menurutnya; dunia ini bergerak, tertib, teratur, dan berbeda-beda secara kualitatif itu oleh karena struktur atau bentuk geometrik.

Plato menegaskan filsafat cosmologinya dalam diolog buku yang berjudul timaeus, yang memahami bahwa dunia terbentuk seperti cara kerja tukang kayu yang memberi bentuk meja yang dibuatnya. Dalam metafisikanya, Aristoteles mengatakan bahwa kenyataan itu merupakan satuan-satuan yang konkret satu demi satu yang kita kenal di dunia ini. Dengan demikian Aristoteles tidak membicarakan masalah penciptaan, tetapi membicarakan gambaran mengenai apakah yang dinamakan kenyataan. Substansi, menurut Aristoteles merupakan hal-hal yang dianggap sungguh-sungguh nyata. Substansi itu dilihat sebagai

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

48

kebulatan-kebulatan yang termasuk matra-matranya, kualitas-kualitasnya, kuantitas-kuantitasnya, relasi-relasinya (ingat sembilan kategori Aristoteles).

Para pemikir generasi sesudahnya seperti; Copernincus (1473-1543), Geordano Bruno (1458-1600), Kepler (1571- 1630), Galileo Galele (1564-1641), dan Newton (1642-1727), serentak menolak atas gagasan mengenai alam yang digambarkan sebagai organisme yang berhingga, yang teleologis. Sebagai gantinya mereka memandang alam sebagai yang tidak berhingga dan yang menyerupai mesin (mekanik), dan tidak berjiwa.

Ditemukannya teori heliosentris, oleh Copernincus dijadikan sebagai titik balik. Bahwa segenap bagian dari angkasa mempunyai kualitas yang sama. Tidak ada perbedaan antara bumi kita dengan benda-benda angkasa lainnya; dan hukum-hukum gerakan berlaku di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja sejauh dalam lingkungan alam semesta.

Bruno menjelaskan bahwa alam semesta sebagai sesuatu yang tidak berhingga, yang terhampar secara tidak menentu di dalam ruang, dan manusia mendiami dunia yang terhitung jumlahnya, yang kesemuanya itu bergerak berdasarkan hukum-hukum yang sama.

Kipler dengan tegas menolak ajaran tentang gerak alami, sebagai gantinya ia mengemukakan prinsip gerak lamban. Prinsip ini mengatakan bahwa sebuah benda cenderung untuk gerak atau diam di tempat ia berada, kecuali kalau ia dipengaruhi oleh benda lain yang di

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

49

sekitarnya. Prinsip ini mengajarkan kerja mekanis yang menghasilkan perubahan-perubahan kuantitatif.

Alam hendaknya diselidiki dengan menggunakan matematika. Demikian dikatakan oleh Galileo. Segala kenyataan pasti bersifat kuantitatif dan dapat diukur. Yang dinamakan kualitas sesungguhnya hanyalah bagian lahiriyah yang nampak pada sesuatu barang, yang dihasilkan oleh manusia, oleh suatu proses yang terdapat dalam benda-benda alami yang kemudian ditangkap oleh alat-alat indrawi.

Newton dalam bukunya The matimatcal priciples of natural philosophy, menjelaskan bahwa; alam merupakan sebuah mesin besar yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum gerakan dan segenap proses yang terdapat di dalamnya ditentukan oleh massa, posisi, dan kecepatan yang dipunyai oleh partikel-partikel materi yang terdapat di dalamnya. Materi ini bersifat mati. Artinya hanya memiliki sifat-sifat kuantitatif dan terdapat dalam dunia yang bersifat tidak berhingga yang ciri pokoknya adalah adanya gerakan.

Kita sulit mengelak pemikiran para filsuf di atas, sejauh gejala dakwah kita pandang sebagai gejala fisik. Bagaimanakan dakwah itu mengada, bergerak, tertib, dan teratur. Perhatikanlah ketika khatib itu berkhutbah di atas mimbar. Mengapa mimbar itu tidak berbalik menyerang sang Khatib ketika ia tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Khatib itu tidak sesuai dengan yang diperbuatnya. Mengapa pula jama’ah jum’at itu juga tunduk mendengarkan uraian Khatib, padahal mereka sudah sangat kenal dengan Khatibnya. Pesan yang disampaikan

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

50

kok ya nurut saja diucapkan oleh Khatib. Tentu ada yang mengatur. Tetapi di dalam Khotib berkhutbah itu terdapat perbedaan-perbedaan kualitas. Dan perbedaan-perbedaan kualitas itu ditentukan oleh struktur dan bentuk geometisnya. Dan dalam perspektif cosmologis, benar seperti yang dikatakan oleh Plato. Bahwa dakwah ada penciptanya.

Aristoteles tidak membicarakan masalah penciptaan, tetapi membicarakan apakah yang dinamakan kenyataan. Dalam konteks ini, Aristoteles tidak membicarakan siapa menciptakan dakwah? Tetapi membicarakan apakah yang dinamakan kenyataan dakwah? Sehingga kenyataan dakwah itu terdiri dari satuan-satuan konkret, yang dikenal dalam dakwah. Ia adalah substansi dakwah. Dan substansi dakwah itu

adalah da’i, mad’u, pesan dakwah, metode dakwah, dan media dakwah.

Dakwah harus tunduk pada hukum gerak. Demikian dikatakan oleh generasi filosof sesudahnya. Gerak alami dakwah didukung oleh Copernenicus dan Bruno. Tetapi pada Kipler yang mengembangkan prisip gerak lamban mengatakan bahwa gerak dakwah itu dipengaruhi oleh keadaan disekitarnya. Prinsip ini mengajarkan kerja mekanis dakwah yang menghasilkan perubahan-perubahan dakwah secara kualitatif. Dalam prinsip Bruno perubahan-perubahan dakwah itu dapat diukur secara kuantitatif. Dengan demikian maka dakwah merupakan sebuah mesin yang partikel-pertikelnya adalah da’i, mad’u, pesan

dakwah, metode dakwah, media dakwah, yang berjalan sesuai dengan

hukum-hukum gerak dakwah, yakni mengajak menuju ke Hadirat Ilahi. Dan segenap proses yang terdapat di dalamnya ditentukan oleh massa, posisi, dan kecepatan yang dipunyai oleh da’i, mad’u, pesan dakwah, metode

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

51

dakwah, dan media dakwah, yang hanya memiliki sifat-sifat kuantitatif dan terdapat dalam dakwah, dengan ciri pokoknya adalah adanya

gerakan mengajak menuju ke Hadirat Ilahi

Meminjam alam pikiran Russell, bahwa dakwah itu tersusun dari kejadian-kejadian. Sedangkan kejadian dakwah itu ialah sesuatu yang menempati ruang-waktu yang terbatas. Kejadian-kejadian dakwah itu merupakan unsur-unsur penyusun dakwah terkecil, dan bukan suatu substansi dakwah.

Kejadian dakwah itu mendapatkan arti bukan sebagai kata benda, tetapi suatu kata keadaan. Adalah keadaan dakwah, atau peristiwa dakwah. Jadi da’i, bukanlah kata benda, tetapi kata keadaan. Keadaan

ketika ia mengajak menuju ke Hadirat Ilahi didengarkan oleh mad’u,

menggunakan metode, di atas mimbar (media)

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 52-56)