• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dakwah Dan Analisa Bahasa

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 155-162)

PERSEPSI TENTANG DAKWAH

4. Dakwah Dan Analisa Bahasa

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

150

bagian pun dari apa yang ingin dinyatakan oleh pernyataan objek-material dakwah. Padahal sifat umum dari objek objek-material dakwah, yaitu sifat permanen dan daya kausalnya tidaklah mudah untuk diterjemahkan menurut bahasa fenomenali (datum-indrawi).

4. Dakwah Dan Analisa Bahasa

Banyak pihak dewasa ini cenderung untuk menyetujui jalan ke luar yang disajikan oleh filsuf-filsuf analitik yang melihat seluruh persoalan terutama sebagai kekacauan linguistik. Pendekatan mereka mempunyai banyak kemiripan dengan pendekatan Ayer, tetapi mereka cukup puas untuk mempertahankan pentingnya pendapat umum dan membiarkan macam-macam cara berbicara mengenai data pengalaman saling berdampingan, daripda menentang bahwa pendapat mereka dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.

Sangat menarik adalah jawaban L. S Stebbing terhadap masalah ”dua khotib” yang diajukan oleh Sir Arthur Eddington. Dia menuduh Eddington bahwa ’masalah’ ini dimunculkan hanya karena kegagalan Eddington yang mengacaukan bahasa harian dengan bahasa khotib?” Jenis kata apakah ini? Kata ini menarik artinya dari pengertian biasa, dan mempunyai penggunaan terbatas pada bidang harian ini.

Salahlah bagi Eddington untuk membuat lelucon mengenai ”dua khotib”, sebab lelucon yang bodoh itu menimbulkan masalah-masalah filoofis yang serius meskipun tetap lelucon bodoh. Hanya ada satu khotib, yaitu orang yang menyampaikan pesan dakwah di hari

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

151

jum’at, sebab arti kata khotib ditarik dari dunia persepsi langsung. Saya tidak dapat menanyakan apakah khotib itu real atau tidak, karena kalau khotib itu tidak real maka tidak pernah ada khotib real. Tidak ada khotib saintifik, karena kata ”khotib” tidak mempunyai arti dan guna secara saintifik. Sains boleh bicara mengenai atom atau elektron, tetapi pembicaraan mengenai kenyataan khotib sebagaimana saya persepsikan. Paradigma (contoh utama) bagi kenyataan objek-objek seperti ”khotib” terdapat di dalam dunia persepsi langsung. Sangat keliru untuk menggunakan kamus dari satu bidang ke bidang yang lain.

Dari pernyataan Stebbing ini, dapat dilihat dengan jelas apa yang dimaksudkannya. Bahasa mempunyai artinya dari penggunaan harian. Dalam penggunaannya dan kenyataan bahwa bahasa tersebut menunjuk kepada sesuatu tertentu adalah jelas, karena bahasa menarik artinya dari penggunaannya. Saya pasti memaksudkan sesuatu dengan kata ”da’i”, ”mad’u”, ”pesan dakwah”, ”metode dakwah”, ”media dakwah”, dst. Sebab saya menggunakan kata-kata itu untuk menunjuk sesuatu tertentu. Kata tidak dapat digunakan untuk meragukan kenyataan dari objeknya. Maka Stebbing dengan mentah-mentah menolak lelucon Eddington mengenai perbedaan antara pengalaman orang biasa dan pengalaman saintis.

5. Pengertian Ostensif Dakwah

Pandangan ini mengatakan bahwa kita tidak dapat bertanya terus-menerus mengenai ”kenyataan dakwah” dari objek pengalaman biasa, karena arti paradigmatik dari kenyataan dakwah ditemukan

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

152

dakwah itu tidak real, maka saya bahkan tidak tahu apa yang saya makud dengan kenyataan dakwah. Martin Lean adalah contoh penting dari pendapat ini.

Dia menentang pendapat Broad yang mengatakan bahwa kita tidak pernah mengalami objek, tetapi hanya data inderawi, dan bahwa bahasa harian mengandung teori-teori (hipotesis) yang tidak dapat dibuktikan mengenai benda-benda pengalaman. Menurut Lean pendapat Broad ini didasarkan pada konsep bahasa yang salah. Dakwah yang kita persepsi secara langung adalah persis dengan dakwah yang kita persepsi, yaitu objek-objek yang bersifat umum dan berdikari.

Lean menekankan bahwa bahasa adalah nyata seutuhnya dan tidak mungkin memuat hipotesis yang tidak dikenal atau pun menunjuk kepada hal yang tidak dapat diamati. Arti kata-katanya terdapat di dalam penggunaannya: kata di dalam dirinya sendiri hanyalah suara, dan kita memberikan arti kepadanya dengan cara kita menggunakannya. Maka kata ”dakwah” pasti mempunyai referensi sahih.

Jelaslah bahwa teori Lean bersandar pada teori ostensif mengenai bahasa. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah teori seperti itu dapat memberi pengertian lebih terhadap kata ’”dakwah” daripada apa yang diberikan oleh kaum phenomenalis? Pertikaian antara Lean dan Broad akhirnya akan mencapai perdebatan yang tak terselesaikan, dan akibatnya tak terkenali, terutama mengenai apa yang dimaksud dengan

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

153

tepat oleh istilah objek fisik dan sejauh mana dapat dibuktikan di dalam persepsi inderawi. Broad juga mempertahankan bahwa ada unsur-unsur konseptual yang terlibat di dalam pengertian sebuah objek, sehingga dakwah yang dinyatakan kepada indera bukan objek tetapi sesuatu (data inderawi) yang dengannya kita menyimpulkan atau menyusun pengertian suatu objek.

Lean hanya mulai dengan keyakinan anggapan-umum bahwa kita menangkap dakwah dan mencoba untuk mempertahankan keyakinan ini, sementara dia sendiri menempati diri di dalam batas-batas teori ostensif bahasa. Ia akan mengatakan, melawan Broad, misalnya bahwa kita tidak hanya melihat permukaan atau suatu potongan temporal dakwah, tetapi melihat ”dakwah yang” mempunyai permukaan dan kelangsungan. Tetapi kenyataannya adalah dalam arti manakah dapat dikatakan bahwa kita melihat ”dakwah yang”? Sebenarnya suatu teori ostensif mengenai bahasa akan mengalami kesulitan untuk membedakan arti yang diberikannya kepada objek dari arti yang diberikan oleh fenomenalis.

Kalau analisa bahasa lebih senang menekankan bukan pada validitas kata objek, tetapi hanya pada kecocokan dari dua kamus, ia mungkin menghindari pernyataan bahwa kata objek mempunyai arti lebih daripada arti yang diberikan fenomenalis. Tetapi hal itu berarti mengizinkan adanya dua kamus yang saling berdampingan tanpa hubungan satu sama lain. Langkah ini menimbulkan masalah baru, yaitu bagaimana mendamaikan dua ”dakwah” atau dua macam

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

154

dan dakwah yang dipahami oleh sains. Perbedaan antara kedua bahasa begitu nyata dan persoalan hubungan antara keduanya benar-benar masalah yang perlu dipecahkan. Membiarkan mereka saling berdampingan saja hanyalah menyerah kepada persoalan tanpa memecahkannya.

Sebenarnya Stebbing merinci lebih lanjut kodrat hubungan antara dua bahasa. Sebab dia memperlakukan, misalnya. ”atom” dan ”hukum ilmiah” sebagai pernyataan-pernyataan konvensional (berdasarkan perjanjian) mengenai hubungan formal dari pengada-pengada yang dipersepi. Atom bukanlah jenis khusus dari pengada-pengada perseptual tetapi ”cantelan” untuk mengagantungkan pernyataan-pernyataan.

Menurut pandangan ini bahasa ilmiahlah yang mempunyai kedudukan sekunder. Sebab objek sains bukanlah ”benda-benda” tidak tampak, yang secara kausal menyebabkan persepsi dari data-data yang dipersepsi, tetapi suatu konstruk (construct) untuk mempermudah ungkapan mengenai hubungan teratur antara pengada-pengada perseptual. Benda-benda itu harus mempunyai ”kenyataan” yang sejajar dengan kenyataan dari benda-benda fisik.

6. Dakwah Dan Bahasa Biasa

Mungkin usaha paling terkenal dan menarik untuk memecahkan masalah-masalah filosofis dengan menekankan keunggulan ”bahasa biasa” adalah usaha Ludwig Wittgenstein. Wittgentein berkeyakinan bahwa keistimewaan bahasa biasa terletak

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

155

pada kenyataan bahwa arti daripada kata-kata berasal dari bahasa harian.

Tetapi ia tidak puas dengan ”teori ostensif” karena dianggap licik. Tidak dapat disangkal bahwa arti ditarik dari penggunaannya dan kata hanya mempunyai arti sebagaimana kita maksudkan. Tetapi ”penggunaan” kata-kata lebih jauh dari sekedar menunjuk. Menanyakan arti kata ”jika” atau ”tetapi” sama dengan menanyakan arti sebuah bidak di dalam permainan catur. Sebuah bidak mempunyai arti hanya di dalam permainan catur. Demikian pula halnya dengan kata ”jika” atau ”tetapi”.

Tentu saja, kita dapat memikirkan macam-macam permainan- bahasa, dan Wittgenstein bermain-main di dalam melakukannya. Tetapi bahasa harian mempunyai kedudukan istimewa, karena kita semua bermain dengan bahasa ini. Kata-kata merupakan potongan-potongan yang rumit, sebagaimana bahasa adalah permainan yang rumit. Tetapi keragaman yang membingungkan dari penggunaan mereka tidak lebih misterius daripada hal-hal yang bisa dikerjakan oleh semua ”alat”. Arti ”tertentu” dari sebuah kata adalah khayal: kata adalah segala yang dilakukannya.

Pandangan Wittgenstein mempunyai relevansinya bagi masalah persepsi, sebab persoalan ini dapat dianggap muncul dari kegagalan untuk menghargai macam-macam cara memberi arti kepada kata-kata. Anggapan yang menyatakan bahwa kata-kata bahasa harian dan kata-kata sains ”menunjuk” atau mempunyai arti yang sama, akan

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

156

menghadapi masalah besar, yaitu di dalam menentukan yang manakah yang benar-benar menunjuk kepada objek ”real”. Tetapi kalau kita menyadari bahwa permainan bahasa sains dan bahasa harian merupakan hal yang berbeda, kita tidak akan merasa bahwa kita harus memutuskan manakah yang kita pilih.

Dengan cara yang mirip, Gilbert Ryle menyangkal hak saintis untuk meremehkan kenyataan dari kualitas-kualitas sekunder dan menyatakan bahwa kenyataan dapat dilukiskan hanya dengan kualitas-kualitas primer yang dianggapnya berguna. Sebab kenyataannya adalah bahwa kata-kata saintifik tidaklah berfungsi dengan cara yang sama seperti kata-kata bahasa harian. Kata–kata sains tidaklah memberikan lukisan.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

157

BAB VII

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 155-162)