• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jalan Keluar Dari Esolasi

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 103-108)

PERKEMBANGAN PSIKIS DALAM MENGETAHUI DAKWAH

E. Jalan Keluar Dari Esolasi

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

98

Christine Ladd Franklin, seorang ahli logika. Franklin mencoba meyakinkan Russell bahwa dia benar-benar seorang solipsis. Tetapi Franklin sekaligus heran mengapa begitu banyak orang lain tidak juga solipsis!

Persoalan bagi idealis epistemologis atau subjektivis adalah bagaimana, berdasarkan konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari dakwah yang lain dari dirinya sendiri? Rupanya seorang idealis sungguh – sungguh akan menemukan kesulitan untuk menghindari kesimpulan solipsistik. Apa yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa mereka yang mulai dengan mengambil titik tolak subjektivis, akhirnya percaya bahwa mereka telah menemukan suau bentuk kesadaran yang merupakan kekecualian dari status subjektif murni dan yang juga mempunyai referensi objektif. Bila mereka tidak melakukan hal itu, mereka akan terkurung di dalam keadaan jiwa individual mereka sendiri untuk selamanya.

E. Jalan Keluar Dari Esolasi

Menyebut konsepsi Descartes mengenai ‘kesadaran’ sebagai subjektivis merupakan penyederhanaan dan tidak adil terhadap pendapatnya. Untuk menampilkan gambaran utuh mengenai Descartes, kita harus memberinya suatu eksposisi yang jauh lebih seimbang daripada yang sekarang. Bahwa terdapat bahaya subjektivis di dalam pendekatannya, telah disadari penuh oleh Descartes. Dia sendiri berusaha untuk melepaskan diri dari subjektivisme. Untuk itu, Descartes berusaha menemukan jalan keluar untuk mengatasi jalan buntu subjetivisme. Dan usaha Descartes ini sangat menarik untuk disimak.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

99

Descartes berpendapat bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cogito) ia akan mampu untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang dapat digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Mengapa dia tidak mungkin menyangkal eksistensinya sendiri? Sebab, katanya, ia menangkap dengan begitu jelas dan disting, sehingga keraguan menjadi tak berdaya.

Tetapi, seandainya masuk akal ada suatu pernyataan yang dibuat berasal dari suatu kenyataan dakwah yang begitu jelas dan disting, mungkin merupakan suatu pernyataan yang salah, kepastian kesalahannya akan tanpa sadar. Sebab di dalam penemuan ketidak-teragukannya dari dakwah yang begitu jelas dan disting juga termuat penemuan bahwa tak sesuatu pun yang diberikan oleh dakwah secara jelas dan disting bisa salah. Maka, kita ”dapat menetapkan sebagai aturan umum bahwa dakwah yang saya tangkap dengan sangat jelas dan disting adalah benar”.

Perlu ditekankan bahwa Descartes di sini hanya memusatkan perhatiannya kepada apa yang disebutnya dakwah sebagai ”yang tunggal atau simple”, yang sama dengan jelas dari diriya sendiri, eviden, masuk akal. Apa yang selalu ditekankannya adalah sifat intuitif dari pengetahuan: apa yang aku lihat mengenai dakwah, aku lihat. Yang jelas dan disting dari dakwah adalah sesuatu yang bercahaya berkat sinarnya sendiri. Pendiriannya adalah ini: kenyataan dakwah yang begitu positif dan langsung selalu termuat di dalam ide yang jelas dan disting, sehingga isinya adalah real; perbedaan antara yang subjektif dan objektif ditekan, dan budi mencapai apa yang mempunyai niali pengetahuan dakwah tak bersyarat.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

100

Persoalannya adalah, adakah saya memiliki pengertian lain yang langsung, positif, dan jelas di samping eksistensi diri saya sendiri? Descartes menemukan ide itu di dalam ideku mengenai pengada tak terbatas, yaitu

Allah. Arti dari ide ini begitu jelas dan disting. Maka, ide ini merupakan

kenyataan yang tak bersyarat. Ide sebagai ide, yang begitu jelas dan disting, harus ada. Tetapi, saya adalah makhluk terbatas; oleh karenanya, saya tidak mungkin merupakan sebab yang memadai bagi munculnya ide mengenai sesuatu yang tak terbatas. Tidak mungkin pula bahwa ide ini merupakan hasil dari usaha saya mengkombinasikan-macam ide yang saya sebabkan, yang masing-masingnya terbatas sesuai dengan keterbatasan saya. Tidak ada kombinasi dari aspek-aspek terbatas yang mungkin menghasilkan pengertian dari yang tak terbatas. Pengertian mengenai yang tak terbatas bukanlah bersifat negatif, tetapi justru positif. Saya tidak mungkin mengerti sesuatu sebagai terbatas kecuali saya sebelumnya telah memiliki patokan untuk mengukur batasannya.

Hal ini begitu jelas di dalam konsepsinya mengenai Allah sebagai Pengada Sempurna. Kesempurnaan merupakan pengertian pertama dan pemahaman pengada-pengada dari pengalaman sebagai tidak sempurna hanya mungkin bila saya mempunyai pengertian lebih positif mengenai Yang Sempurna. Sebab yang sesuai bagi eksistensi ide yang tak terbatas mengenai pengadaan yang sempurna adalah pengadaan yang sempurna, tak terbatas. Jadi kalau ada ide mengenai yang tak terbatas, harus ada penyebabnya, yaitu Allah yang sempurna sendiri, Allah yang tak terbatas. Jadi Allah ada.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

101

Tinggal pertanyaan mengenai dunia luar. Bagaimana saya mengatasi keraguan mengenai eksistensi dakwah yang reall di luar saya dan lepas dari saya? Untuk melakukan hal ini Descartes menggunakan dua jalan: kodrat dakwah dari pengadaan sempurna dan kodrat dari pengalaman inderawi saya.

Pengalaman inderawi saya bukanlah ciptaan sadar saya sendiri. Sebaliknya, data mengenai dakwah yang muncul di dalam persepsi saya, sering dipaksakan pada saya berlawanan dengan kehendak dan keinginan saya. Sebagai perasa, saya adalah kesadaran perseptif, dan oleh karenanya bukanlah penyebab aktif. Misalnya, saya harus mengatakan bahwa AA Gym itu seorang da’i laki-laki. Saya tidak bisa seenaknya mengatakan ”AA Gym itu seorang da’iyah perempuan yang cantik sekali”. Jadi saya dipaksa untuk menerima ide ” AA Gym itu seorang da’i laki-laki”. Artinya, saya bukanlah pencipta atau penyebab munculnya ide itu. Dengan demikian, data yang saya rasa mesti mempunyai eksistensinya dari suatu sebab yang lain daripada diri saya sendiri.

Tetapi mengapa bukan Allah yang memaksakan ide-ide itu? tetapi badan-badan lain? Sejauh Descartes dapat melihatnya, kemungkinan seperti itu tidak sesuai dengan kodrat Allah sebagai pengada sempurna. Karena kesempurnaan-Nya yang mutlak benar dan tidak mungkin menjadi sebab penipuan. Padahal saya mempunyai keyakinan yang tertahankan bahwa pengalaman-pengalaman yang saya miliki mengenai dakwah dipaksakan pada saya oleh dakwah itu sendiri, dan tak mungkin bahwa saya dapat melepaskan diri dari keyakinan itu.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

102

Selanjutnya, seandainya terjadi kekeliruan di dalam keyakinan saya, dan seandainya Allahlah yang menjadi penyebab ide khayalan itu yang terjadi di dalam diri saya, maka Ia akan menjadi pembuat ilusi universal dan tak terelakkan pada diri saya. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan kebenaran sempurna-Nya. Meminjam bagaimana Descartes menyimpulkan:

”Maka kita harus mengakui bahwa dakwah ada. Namun, mungkin ia tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dakwah dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa

dakwah yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting ... haruslah

sungguh – sungguh dipahami sebagai objek luar.”

Kita harus ingat bahwa perhatian Descartes terhadap dakwah hampir-hampir tidak pernah ada, dan tidak berlaku untuk semua yang biasanya dianggap di dalam kata ”dakwah”. Sebab Allah hanya akan bersalah karena menipu bila terjadi keyakinan-keyakinan saya sungguh-sungguh sesat. Maka hanya sifat-sifat yang dengan jelas dan disting terdapat di dalam dakwahlah yang dianggap pasti sebagai yang real secara objektif. Apa itu? Jawabnya ialah sifat-sifat yang dipahami di dalam objek dari

keluasan dan gerakan dakwah.

Sifat-sifat lain yang dianggap termasuk di dalam dakwah, atau dapat direduksikan kepada kedua sifat itu, atau tidak mempunyai sifat jelas dan disting seperti Sifat-sifat warna (perbedaan pola dakwah yang dikembangkan oleh aliran keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Khizbuttahrir, dsb, kehangatan (suasana persaudaraan antar mad’u, atau

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

103

antara mad’u dan da’i), suara atau popularitasnya, rasa sakit ketika berjuang menunjukkan eksistensi kelompok di tengah-tengah masyarakat yang majmuk, daya tahan (survivality), sifat dingin anggota, rasa suka atau tidak suka, dan sejenisnya, tidak dengan jelas dapat dikatakan sebagai sifat-sifat dakwah yang tidak dapat dipisahkan. Cukup mudah untuk menyadari bahwa sifat-sifat itu merupakan pengalaman-pengalaman subjektif yang saya terapkan pada dakwah tetapi tidak secara esensial termasuk di dalam ide dakwah dengan jelas dan disting. Sifat yang jelas masuk di dalam ide dakwah adalah keluasan (ruang). Maka dunia yang telah ditetapkan oleh Allah ialah semesta geometris dari materia di dalam gerakan. Inilah sumber dari dualisme Cartesian yang terkenal itu.

Sekarang menjadi jelas bagi Descartes bahwa esensi dari budi

adalah pikiran dan esensi dari materia adalah keluasan. Setiap pernyataan

dakwah yang tidak real, atau pernyataan dakwah yang hanya dapat menjadi real, bila mempunyai sifat sebagaimana kesadaran akan dakwah adalah real. Dampak dari pandangan seperti ini besar dan bercabang-cabang. Dikotomi Cartesian menegaskan pandangan mekanis mengenai dakwah yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains. Tetapi dengan memperlakukan manusia sebagai suatu ”hantu yang merasuki sebuah mesin”, ajaran Descartes menimbulkan masalah budi – materia yang sangat rumit.

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 103-108)