• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Terhadap Cartesian

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 108-112)

PERKEMBANGAN PSIKIS DALAM MENGETAHUI DAKWAH

F. Kritik Terhadap Cartesian

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

103

antara mad’u dan da’i), suara atau popularitasnya, rasa sakit ketika berjuang menunjukkan eksistensi kelompok di tengah-tengah masyarakat yang majmuk, daya tahan (survivality), sifat dingin anggota, rasa suka atau tidak suka, dan sejenisnya, tidak dengan jelas dapat dikatakan sebagai sifat-sifat dakwah yang tidak dapat dipisahkan. Cukup mudah untuk menyadari bahwa sifat-sifat itu merupakan pengalaman-pengalaman subjektif yang saya terapkan pada dakwah tetapi tidak secara esensial termasuk di dalam ide dakwah dengan jelas dan disting. Sifat yang jelas masuk di dalam ide dakwah adalah keluasan (ruang). Maka dunia yang telah ditetapkan oleh Allah ialah semesta geometris dari materia di dalam gerakan. Inilah sumber dari dualisme Cartesian yang terkenal itu.

Sekarang menjadi jelas bagi Descartes bahwa esensi dari budi

adalah pikiran dan esensi dari materia adalah keluasan. Setiap pernyataan

dakwah yang tidak real, atau pernyataan dakwah yang hanya dapat menjadi real, bila mempunyai sifat sebagaimana kesadaran akan dakwah adalah real. Dampak dari pandangan seperti ini besar dan bercabang-cabang. Dikotomi Cartesian menegaskan pandangan mekanis mengenai dakwah yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains. Tetapi dengan memperlakukan manusia sebagai suatu ”hantu yang merasuki sebuah mesin”, ajaran Descartes menimbulkan masalah budi – materia yang sangat rumit.

F. Kritik Terhadap Cartesian

Pertanyaan pokok adalah titik tolak Descartes: apakah dia telah melukiskan kesadaran manusia dengan benar? Apakah hal pertama yang

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

104

dirinya sendiri sebagai ego individual dan terisolasi? Pertanyaan ini sangat menentukan; dan sisa dari semuanya yang terjadi di dalam epistemologi tergantung pada jawabannya. Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Jika Descartes benar di dalam titik tolaknya, maka kita mulai dengan subjektivisme dan kemudian harus menentukan apakah ia benar–benar mengatasinya? Jika dia tidak benar, kita harus mencari jalan keluar sendiri. Sedikit perhatian bisa diberikan kepada bahasa khusus yang digunakan Descartes untuk mendasari keraguannya mengenai objektivitas dunia luar, pada khususnya mengenai ”keraguan impian”-nya. Descartes benar – benar bertanya ”bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu melakukan apa yang biasanya saya anggap sebagai mimpi?”

Kalau hal ini benar–benar dimaksudkannya secara harfiah, pertanyaannya mendekati sesuatu yang tidak masuk akal. Kita tahu bahwa kita mimpi dengan memperbandingkannya dengan dunia yang konsisten, teratur, koheren dimana kita sungguh–sungguh sadar akan diri kita dan akan kenyataan. Sama sekali tidak masuk akal untuk bertanya: bagaimana saya tahu bahwa keadaan terjaga tidak sama dengan apa yang biasanya saya maksudkan dengan mimpi? Sebab bila halnya demikian, saya tidak akan tahu apa yang saya maksud dengan mimpi. Sama sekali tidak ada nilai praktisnya untuk mempertanyakan apakah keadaan terjaga sama dengan mimpi. Kalau saya bisa mengadakan penyelidikan kritis mengenai pengalaman saya di dalam mimpi, hal itu bukan mimpi lagi.

Descartes tentu mempunyai maksud yang tidak begitu bodoh. Maksudnya ialah bahwa keadaan terjaga sama tertutupnya dengan keadaan mimpi. Bukan dimaksudkan sebagai ”mimpi” dalam arti biasa, tetapi melulu

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

105

bersifat sama subjektifnya dengan mimpi. Maka keadaan buruk kita mengenai dakwah ini dapat dinyatakan sebagai semacam perbandingan: sebagaimana gambaran mimpi terhadap dakwah. Dan sampai saat ini, buku-buku dakwah mengenai dakwah yang beredar merupakan bentuk pengetahuan campur aduk antara mimpi, ilusi, keinginan, dan seabaginya.

Dengan kata lain, mungkin di dalam hubungan dengan dakwah yang benar–benar real, objek inderawi adalah suatu ilusi. Bahkan keyakinan ini tidak seluruhnya persis. Bisa hanya dianggap sebagai menekankan bahwa ada dakwah yang lebih real di dalam adanya daripada yang diberikan kepada kita melalui indera; bahwa persepsi inderawi merupakan suatu penampakan yang pucat dan tidak lengkap dari kenyataan dakwah.

Tetapi kalau itu yang dimaksudkan Descartes, maka tidak ada sesuatu pun yang sungguh–sungguh baru mengenai cara melihat persepsi inderawi ini. Plato telah melakukannya lama sebelum Descartes; dan dalam arti tertentu, siapa pun yang menekankan superioritas insight intelektual yang akan diberikan titik berat padanya. Pada dirinya sendiri keyakinan ini tidak dapat membatalkan objektivitas kenyataan yang diberikan kepada indera, tetapi hanya menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah. Dalam arti tertentu inilah yang dilakukan oleh Descartes. Ia membedakan antara dakwah yang ditangkap dengan indera dan dakwah yang ditangkap dengan intelek dengan mengorbankan yang pertama. Kriterium Descartes bagi objektivitas adalah inteligibilitasnya (clearness and distinctness). Ia harus digolongkan di antara mereka yang memeluk pembedaan Platonis antara episteme (pengetahuan dari yang masuk akal dan niscaya) dan doxa

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

106

Sejauh ini, dalam perspektif Descartes hanya membedakan antara dakwah sebagai yang diterima dengan jelas dan disting oleh pikiran dari dakwah sebagai yang diterima dengan kabur dan kacau oleh indera. Namun di dalam perbandingan sebagaimana dibuat di dalam diagram di atas, Descartes boleh dikatakan sebagai menekankan status subjektif dari objek indera dan tidak hanya sifatnya yang kacau. Perbandingan dengan mimpi dapat digunakan untuk menekankan sifat sangat privat dari kesadaran inderawi. Berdasarkan ini, Descartes tidak hanya menyatakan bahwa objektivitas dari hal yang ditangkap dengan indera itu kabur, tetapi bahwa hal itu tidak diketahui sama sekali. Bagi Descartes, hal yang ditangkap dengan indera sama seperti mimpi yang terpotong dari kenyataan lepas. Maka bagi Descartes berarti bahwa kesadaran kita mengenai kenyataan dari yang lain (benda, orang) hanyalah merupakan kerja pikiran. Pandangan seperti ini tentu saja melibatkan kesulitan – kesulitan yang besar.

Diagram mengetahui dakwah

Gambaran dakwah aadalah X

Gambaran dakwah dalam mimpi

seperti objek dakwah ditangkap indrawi Objek dakwah ditangkap

inderawi

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

107

BAB V

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 108-112)