• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanyaan; Pusat Dakwah

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 126-131)

ALASAN MENGETAHUI FAKTA DAKWAH

E. Pertanyaan; Pusat Dakwah

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

121

E. Pertanyaan; Pusat Dakwah

Kebutuhan untuk menemukan suatu awal yang bulat tentang dakwah dirasakan oleh filsuf bukan terutama karena kondrat pengetahuan, tetapi karena kodrat dari usaha kritisnya untuk mengetahui dakwah. Ia ingin menyatukan beragamnya pertanyaan yang membingungkan mengenai dakwah, ia ingin melihat pengetahuan dakwah sebagai keutuhan, dan oleh karenanya ia ingin membawanya kembali kepada dasar-dasarnya sendiri. Usaha mencari dasar – dasar sebenarnya bukanlah merupakan usaha untuk menemukan suatu pokok khusus pengetahuan, tetapi mencari dasar dari kemungkinan mengetahui dakwah. Harus ada sesuatu mengenai pengetahuan yang memungkinkannya menjawab pertanyaan mengenai nilai – kebenaran dakwah. Pengetahuan yang memungkinkan pembedaan antara kesan dan kenyataan dakwah, juga harus memuat dasar yang memungkinkannya untuk mengatasi perbedaan ini. Dakwah sebagai pengetahuan, di dalam dasar-dasarnya sendiri, harus telah mengatasi perbedaan antara kesan dan kenyataan.

Pengetahuan manusia mengenai dakwah mempunyai dasarnya di dalam eksistensi, dan selanjutnya di dalam dasar itu harus terdapat alasan-alasan untuk mengatasi perbedaan kesan dan kenyataan dakwah. Eksistensi manusia, yang tampaknya asing dan eksternal bagi pengetahuannya, haruslah merupakan dasar bagi pengeahuan dan apapun yang bersifat absolut yang di ketemukan oleh pengetahuannya. Sebab untuk mengatsi perbedaan kesan dan kenyataan dakwah berarti mencapai suatu pemahaman (insight) absolut. Kesimpulannya adalah: eksistensi manusai yang bersifat

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

122

kontingen ini haruslah merupakan dasar bagi kontaknya dengan yang absolut.

Bagi Descartes, perbedaan kesan dan kenyataan tentang dakwah didasarkan di dalam pengalaman diriku sendiri sebagi suatu subjek berpikir individual. Maksudnya, paradigma yang masuk akal bagi “kenyataan dakwah“ adalah yang termuat di dalam genggaman refelektifku mengenai diriku sendiri sebagi sebuah pengada berfikir. Alasan bahwa kenyaataan dakwah dari hal-hal lain bisa diragukan adalah karena mereka tidak menunjukan inteligibilitas yang sama, dalam pandangan ini, muncul karena saya menangkap setiap hal di samping diri berfikir individualku sebagai sesuatu yang menjauh dari cara paradigmatik dari kenyataan yang terdapat dalam diriku. Maka boleh dikatakan bahwa diri merupakan kenyataan dakwah tanpa syarat, sebab diri merupaka dasar bagi perbedaan antara kesan dakwah dan kenyataan dakwah.

Tetapi penalaran Descartes ini tidak jalan. Diri-cogito tidak dapat secara memadai mendasari perbedaan kesan dan kenyataan dakwah, sebab di sini bukanlah awal yang tak tereduksikan. Kita harus mencari yang lebih jauh. Diri dari pengalaman bukanlah suatu subtansi berfikir privat, tetapi suatu diri yang secara transendental dihubungkan dengan dakwah, suatu gestalt (keseluruhan) fundamental dimana diri dan yang lain dipersatukan secara mendasar. Lalu apakah awal pengertian yang tak tereduksikan, yang menjadi dasar bagi dimunculkan dan diatasinya perbedaan antara kesan dan kenyatataan dakwah?

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

123

Inilah pertanyaannya eksistensiku sebagai pengada yang bertanya yang menimbulkan perbedaan kesan dan kenyataan dakwah. Bila saya memasuki inti pengetahuanku tentang dakwah, diatas mana eksistensiku sebagi pengada dakwah bertanya dibangun, yang saya ketemukan adalah pertanyaan. Dipusat pengetahuan dakwah, adalah pertanyaan. Tak ada sesuatupun yang bisa lebih jauh dari ini. Sebagai subjek yang tahu saya menghayati pertanyaan saya berada penuh dengan pertanyaan tentang dakwah. Karena saya dapat mempertanyakan pengalaman dakwah, maka saya dapat membedakan antara kesan dan kenyataan dakwah. Sebelum ada perbedaan ini, eksistensiku sebagi pengada dakwah – bertanya tentang dakwah telah ada.

Apa yang telah dinyatakan disini ialah bahwa pertanyaan mengenai dakwah merupakan bentuk pertama dari pengetahuan tentang dakwah. Arti pertama diberikan kepada kita ke dalam bentuk pertanyaan. Eksistensi manusai adalah pertanyaan ini. Mengapa saya menegaskan sesuatu? Karena secara implisit saya telah bertanya sebelumnya pertanyaan pertama merupakan dasar dari adanya pernyataan apapun. Sebagai mana dinyatakan oleh Ortega y Gaset, hal yang paling mengagumkan adalah bahwa manusia bisa mempunyai masalah karena dia pengada–bertanya.

Kenyataan dakwah diberikan kepada saya sebagai korelasi dari pertanyaan: maka di dalam menghayati pertanyaan mengenai dakwah, saya menghayati arti dakwah, dan tidak ada jalan keluar dari padanya. Saya adalah kehadiranku di dalam arti dakwah, karena aku adalah pertanyaan dakwah itu. Dakwah adalah korelasi dari eksistensiku karena dakwah

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

124

pertanyaan karena pikiranku terbuka terhadap dakwah di dalam kemungkinannya untuk dipertanyakan, pikiran itu bersifat korelatif dengan dakwah sebagi termuat di dalam pertanyaan mengenai dakwah. Dengan demikian, diri dan dakwah merupakan dua sisi dari pengalaman yang terbuka dengan bertanya kepada dakwah.

Lebih dari itu, apa yang diberikan kepada pertanyaan adalah kenyataan bahwa kita bertanya pertanyaan yang datang kepada dirinya sendiri, menyatakan diri di dalam bahasa selanjutnya, kitalah yang berbicara dan kitalah yang bertanya sebagi penanya, saya merupakan bagian dari masyarakat pengada/bertanya. Kita pengada bertanya. Maka Heidegger mengatakan bahwa “ bahasa adalah rumah pengada dakwah”. Manusia, sebagai eksistensi bertanya, menanyakan dakwah dari pengada dakwah yang di temuinya. Padahal dia menayakannya di dalam bahasa, maka dakwah berada di dalam bahasa.

Sebaliknya, manusia hadir di dalam inteligibilatas dakwah dengan tinggal di dalam bahasa. Di sini Brunner beda. Awal dari pikiran adalah pertanyaan. Tetapi pertanyaan disuarakan di dalam bahasa. Inteligibiltas penuh dari pertanyaan memuat masyarakat dari pengada bertanya yang memberinya suara: inteligilitas memuat dialog dengan tinggal di dalam pertanyaan, saya terbuka bagi “engkau” yang menyapaku dan yang tinggal bersamaku di dalam bahasa. Di dalam pertanyaan termuat: seruan dan jawaban dari “aku “ dan “engaku”- tentang dakwah yang saya tanyakan adanya.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

125

Maka bisa ditegaskan bagaimana eksistensiku dapat merupakan dasar bagi hubunganku dengan yang absolud. Sebab bahkan dengan tingkat pra-pengetahuan, saya pengada-bertanya: kenyatan manusiawi diselipkan ke dalam dakwah sebagi suatu pertanyaan hidup. Sewaktu manusia menyadari dirinya sendiri, dia menangkap eksistensinya sebagai sesuatu eksistensi- bertanya. Tetapi eksistensi-bertanya diarahkan kepada yang absolut. Pertanyaan adalah kehadiran dari yang anbsolut. Kehadiran pengada di dalam kemampuannya untuk di pertanyakan; maka cara eksistensi yang tepat manusiawi adalah keterbukaan kepada pertanyaan.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

126

BAB VI

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 126-131)