• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keraguan Sebagai Kepastian Pertama

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 94-100)

PERKEMBANGAN PSIKIS DALAM MENGETAHUI DAKWAH

C. Keraguan Sebagai Kepastian Pertama

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

89

meragukan daripada kebanyakan orang. Maka marilah kita ikuti tahap – tahap keraguan Descartes.

C. Keraguan Sebagai Kepastian Pertama

Filsafat pada masa lampau terlalu mudah memasukkan penalaran yang hanya bisa – jadi – benar ke dalam khasanah penalaran yang sebenarnya dikhususkan bagi insight niscaya. Seperti dakwah adalah mengubah kondisi masyarakat tertentu menjadi kondisi masyarakat yang lebih baik; bukankah pendidkan, teknologi, polisi, media massa juga mengubah kondisi masyarakat tertentu menjadi masyarakat yang lebih baik? Descartes megakui bahwa tampaknya tidak masuk akal untuk meragukan banyak hal, ”misalnya, de facto saya ada di sini, duduk di atas sajadah, mendengarkan khutbah, mengenakan baju panjang, bersongkok, memegang tasbih ini di tangan, dan beberapa hal yang serupa”. Tetapi ia melanjutkan :

”pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah seseorang manusia, dan bahwa dengan itu saya mempunyai kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal – hal yang sama atau kadang – kadang bahkan hal – hal yang lebih meyakinkan, daripada mereka yang kurang waras di dalam saat – saat mereka terjaga. Beberapa kali telah terjadi pada diri saya bahwa dimalam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk bersila, sedangkan di dalam kenyataannya saya tidur di bed! Pada saat ini memang tampaknya saya terjaga sewaktu memegangi tasbih ini; bahwa kepala yang saya gerakkan ini tidak tertidur, bahwa dengan sengaja saya merentangkan tangan dan memperhatikannya; apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

90

mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi – ilusi yang serupa, dan di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan begitu jelas bahwa tidak ada petunjuk – petunjuk pasti yang memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara keadaan terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam kekaguman.”

Ini adalah ’filsafat mimpi’-nya Descartes yang sangat terkenal itu. Intinya mudah ditangkap. Ketika saya bermimpi mendengar orang menyampaikan pesan dakwah, sepertinya saya menemukan diri di antara objek – objek itu, yang nyata, lepas dari saya, dan di luar kontrol saya. Namun kenyataannya aktivitas dakwah itu tidaklah nyata, tapi mimpi yang tidak lepas dari saya, karena ia dalam mimpi saya. Bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu bermimpi? Bagaimana saya tahu bahwa dakwah yang saya lihat berada di luar saya, de facto bukan merupakan bagian dari imajinasi saya?

Sebagaimana badan saya yang tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi juga begitu jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah khayalan belaka. Jangan – jangan semua hal yang sampai saat ini saya yakini begitu jelas berada dalam illusi saya, kenyataannya ternyata hasil ulah pikiran saya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpiku! Kalau halnya demikian, suatu nada sendu terdengar sayup–sayup dalam henyak kesadaranku. Sebab bersamaan dengan itu, yang runtuh di dalam hancurnya dunia mimpiku bukan hanya menara–menara yang tertutup awan dan istana–istana megah, tetapi juga aku, mimpiku tentang khotib yang menyampaikan pesan dakwah, sahabat

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

91

dekatku sebagai mad’u yang mendengarkan ceramah, orang–orang yang kucintai, orang–orang yang menyebabkan hidupku terasa begitu bahagia. Kalau kesadaran baruku ini benar, terbukti bahwa semuanya yang semula saya kira berbeda dari saya tidak lain hanyalah bayang–bayang yang saya temui di dalam mimpi, yang sama saja dengan saya dan proyeksi diri saya sendiri. Namun budi masih menuntut haknya. Budi tidak menyerah begitu saja. Meskipun seandainya benar-benar saya bermimpi, masih terdapat kebenaran–kebenaran yang tidak hancur di dalam malapetaka mimpi itu, yaitu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi bahwa saya bermimpi, suatu kebenaran yang masih bisa saya tegaskan tanpa syarat.

Dalam matematika, ”Dua kali dua adalah empat”, adalah kebenaran yang terjadi baik di dalam keadaan terjaga maupun di dalam mimpi saya; segi empat mempunyai empat sisi baik di dalam dunia mimpi maupun di dalam dunia sadar. Demikian pula saya melihat dalam dunia mimpi maupun di dalam dunia sadar bahwa mimbar itu menempati ruang kosong, dan matahari bergerak dapat saya lihat baik dalam dunia mimpi maupun di dalam dunia sadar saya. Apakah ada cara dimana keraguan metodis dapat menghancurkan pertahanan dari kebenaran–kebenaran yang kokoh itu?

Ternyata banyak orang yang menipu diri sendiri terhadap hal–hal yang mereka pikir mereka ketahui benar, tetapi saya tahu bahwa saya tidak menipu diri setiap saya menambahkan dua dan tiga, atau menghitung sisi dari sebuah segi empat, atau mempertimbangkan benda–benda (material) yang masih lebih sederhana, dan ternyata sesuatu yang lebih sederhana

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

92

Bila seringkali saya membuat kesalahan di dalam menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi; atau menghitung berapa kecepatan gerak bumi mengitari matahari, atau menghitung berapa jumlah atom pada mimbar khutbah, atau berapa luas ruang mutlak yang didiami jagad raya ini, atau terdapat pesan dakwah, metode dakwah, da’i, media, dan mad’u dalam aktivitas dakwah, tanpa menyadarinya; jaminan mana yang saya miliki bahwa saya tidak selalu membuat kekeliruan? Pertimbangan ini tentu saja lemah, Descartes, di dalam mencari sesuatu untuk menegaskannya, sekarang sampai kepada batas ekstrem dari keraguan metodiknya. Ini adalah hipotesis mengenai si jenius yang jahat (”Malin Genie”/baca; keraguan tanpa batas atau skeptisisme absolut), yang dengannya dia dengan satu pukulan dapat menggoncangkan dasar–dasar setiap pokok pengetahuan yang dimilikinya, termasuk kebenaran – kebenaran matematik.

Siapa bisa membuktikan bahwa tidak ada suatu kekuatan lebih tinggi, yaitu si genius yang jahat (baca; keraguan absolute), yang selalu mempermainkan saya demi kepentingannya sendiri dan yang menyebabkan saya dipenuhi dengan semua bentuk keyakinan kosong? Mungkin saya satu – satunya pribadi di dalam kenyataan, sedangkan seluruh pengalaman saya mengenai dakwah hanyalah merupakan khayalan, suatu lapisan ilusi yang ditanamkan oleh suatu kekuatan yang dengan penuh kejahatan senang menipuku terus – terusan. Padahal tidak ada objek sama sekali di luar diri saya:

”Maka saya akan mengira ... suatu makhluk jenius jahat yang begitu berkuasa dan jahat, telah menggunakan seluruh tenaganya untuk menipu saya ... Maka, saya menjadi yakin bahwa semua aktifitas dakwah

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

93

yang saya lihat adalah salah; saya mulai yakin bahwa tak ada dakwah suatu pun yang pernah ada sama sekali sebagaimana ingatan saya yang salah telah menampilkannya kepada saya. Saya berpikir bahwa saya tidak mempunyai indera; saya bayangkan bahwa badan, bentuk, keluasan, gerakan dan tempat merupakan khayalan pikiran saya. Lalu, apa yang dapat dianggap sebagai benar? Mungkin tidak ada satupun, kecuali bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti.”

Lalu apa? Apakah ini sama dengan kelumpuhan total? Apakah masih ada sesuatu yang dapat meloloskan diri dari kehancuran total ini? Meskipun kedengarannya aneh, namun masih ada :

”Bagaimana saya tahu bahwa tidak ada suatu dakwah pun yang berbeda dari hal – hal yang telah saya pikirkan, yang mengenainya tak ada keraguan sedikitpun? ... Saya sendiri, bukankah sekurang – kurangnya merupakan dakwah? Tetapi telah saya sangkal bahwa saya mempunyai indera dan badan. Tetapi saya ragu, apa yang menjadi akibatnya? Apakah saya begitu bergantung kepada badan dan indera sehingga saya tidak dapat ada tanpa badan dan indera? Tetapi saya telah yakin bahwa tak ada sesuatu pun di seluruh dunia, tak ada surga, tak ada bumi, tak ada budi, tak ada dakwah, dan tak ada badan: apakah saya juga yakin bahwa saya tidak ada? Sama sekali tidak: saya tentu saja ada sebab saya meyakinkan diri saya sendiri mengenai sesuatu ... Padahal ada seorang penipu atau yang lain, yang sangat kuat dan sangat licik, yang selalu menggunakan kepintarannya untuk menipuku. Maka tanpa sangsi saya tetap ada bahkan seandainya dia menipu saya, dan biarkan dia menipuku semau – maunya, ia tidak dapat

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

94

sesuatu. Maka setelah merefleksikan dan memeriksa segala sesuatu dengan sebaik – baiknya dan hati – hati; kita harus sampai kepada kesimpulan yang pasti bahwa pernyataan ini: Saya ada, saya bereksistensi, secara niscaya benar setiap kali saya menyatakannya, atau bila saya memikirkannya secara mental.”

Maka hal ini merupakan karang di atas mana keraguan Descartes akhirnya diatasi: ”Cogito, ergo sum”, saya berpikir, maka saya ada. Tidak peduli betapa pun asam keraguan menggerogoti, keraguan ini tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri: yaitu eksistensi dari orang yang meragukan.

Beberapa catatan perlu diberikan bagi maksud Descartes. Pertama – tama, perlu dicatat bahwa isi dari cogito, yaitu apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah: cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir: yaitu eksistensi dari budi, sebuah substansi sadar. Namun hal ini tidak menjamin eksistensi dari badan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa ketika Descartes berbicara mengenai ”berpikir, ia tidak memaksudkan secara ekslusif pada penalaran saja; tetapi juga melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, yang dianggap sebagai kegiatan sadar, termasuk di dalam istilah ”berpikir” ini. Meskipun mungkin status dari objek – objek mereka bisa diragukan.

Perlu dicatat pula bahwa cogito bukanlah dicapai melalui penyimpulan, dan ”ergo” bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

95

Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan.

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 94-100)