• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realisme Virtural Dakwah

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 168-172)

OBJEKTIVITAS DAKWAH

B. Realisme Virtural Dakwah

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

163

kencang? atau apa? mungkin ada yang mengatakan bahwa bagi mereka perbedaan-perbedaan itu tidak membuat perbedaan praktis, benarkah begitu?

B. Realisme Virtural Dakwah

Penelitian yang berhubungan dengan pesan dakwah; Pertanyaan– pertanyaan seperti di atas dapat menimbulkan kecurigaan bahwa kita menempatkan masalah secara keliru. Penelitian mengenai pesan dakwah dalam kaitannya dengan suara, seharusnya tidak bertanya mengenai suara da’i manakah yang ”benar”, atau suara Kiai yang menggema yang benar?. Ketidakpuasan ini menyebabkan banyak filsuf menyimpulkan bahwa di dalam hubungan dengan data seperti suara da’i, tidaklah berhubungan dengan sifat–sifat intrinsik dari dakwah, tetapi dengan sesuatu yang secara esensial bersifat relasional.

Demikian juga dengan sifat–sifat objek inderawi yang lain. Apa yang kita katakan mengenai suara qori’ah yang merdu, rasa snack yang gurih, pesan dakwah yang hangat dan bau khas soto ayam! Mereka bukanlah sifat–sifat intrinsik dakwah yang lepas dari pengamat, tetapi merupakan data yang terjadi di dalam interkasi antara dakwah dan pengamat. Maka suara adzan melengking ditengah hutan bergerak tanpa suara, sebab suara adalah segi yang dialami secara sadar dari interaksi antara telinga dan getaran– getaran udara. Di mana tidak ada interaksi, maka suara juga tidak terjadi. Itulah pandangan filsuf–filsuf yang mempertahankan pandangan yang disebut ”realisme virtual kritis”.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

164

Bagi pendapat ”realisme virtual kritis”, kualitas–kualitas yang ditangkap indera benar–benar objektif hanya bagi kesadaran, dan hanya bersifat objektif semu bila terlepas dari kesadaran. Pendapat ini harus dipertentangkan dengan realisme naif dan dengan ”realisme formal kritis”, yang memeprtahankan bahwa kualitatas–kualitas yang ditangkap indera secara formal bersifat objektif terlepas dari pengalaman sadar.

Menurut pandangan realisme virtual, peristiwa dakwah yang terjadi di luar kesadaran pengamat hanyalah keadaaan yang secara kualitatif bersifat tandus. Namun pandangan ini tidaklah menganggap persepsi sebagi sesuatu yang sewenang–wenang. sebab pandangan ini mempertahankan bahwa meskipun kualitas-kualitas ini secara formal tidak hadir dan di luar persepsi, tetapi secara virtual mereka hadir. Maka terdapat sesuatu daya di dalam dakwah yang lepas dari persepsi yang harus diperhitungkan secara formal. Daya ini menjadi nyata bila terjadi persepsi; beberapa catatan yang perlu diberikan disini ialah;

Pertama, realisme virtual ingin tetap diperhitungkan sebagai realisme langsung. Realisme ini tidak menyangkal bahwa di dalam

mengetahui dakwah, kita langsung mengetahui yang lain. Apa yang saya ketahui mengenai dakwah bukanlah modifikasi subyektif dari diri saya sendiri. Yang saya ketahui adalah dakwah. Peristiwa dakwah yang di sini, adalah dakwah, bukan koleksi dari ide–ide saya. Pesan dakwah, metode dakwah, da’i, media dakwah dan mad’u bersifat objektif. Di dalam mengetahui dakwah, secara langsung saya menjangkau lingkup dakwah yang mengatasi lingkup saya sendiri.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

165

Di sinilah letak perbedaan antara realisme virtual dengan teori John locke. Locke berpendapat bahwa kualitas–kualitas sekunder; seperti khutbah, ceramah, diskusi keagamaan, tahlilan, yasinan dst. adalah ”ide-ide”. Jadi bersifat subjektif. Kemudian dia harus menghadapi persoalan– persoalan bagaimana ide–ide ini menyerupai kualitas di dalam dakwah. Dan Locke beranggapan bahwa kita tidak tahu dakwah.

Realisme virtual kritis mempertahankan bahwa kesadaran selalu mengenai yang lain dan pencapaiannya terhadap yang lain ini tidak berdasarkan penyimpulan. Bagi pendapat ini tidak ada pertanyaan mengapa peristiwa dakwah yang ditangkap indera ”menyerupai” peristiwa dakwah yang tidak dipersepsi. Dakwah yang nyata terlepas dari sensasi adalah suatu objek yang dapat ditangkap indera dan subjek tertentu yang dapat menangkap dengan indera; kesadaran pengamat dakwah adalah aktualisasi baik dari kemampuan subjek untuk merasa dakwah dan kemapuan dakwah untuk dirasa. Maka kesadaran pengamat dakwah bukanlah sesuatu yang bersifat ”subjektif” tetapi merupakan aktualisasi dari kehadiran dakwah di hadapan pengamat yang sadar.

Kedua, perhatian harus dipusatkan pada cara bagaimana

pandangan ini disajikan. Jelaslah bahwa samapai sekarang yang dibicarakan berpusat di sekitar kualitas sekunder. Hanya sifat–sifat inilah yang dinyatakan oleh realisme virtual sebagai objektif secara virtual. Pertanyaan selajutnya adalah mengapa pernyataan ini khusus mengenai sifat–sifat sekunder. Dan tidak memasukkan kualitas–kualitas primer? dua hal yang harus diperhatikan:

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

166

a. Perasaan adalah kenyataan bahwa sifat relasional dari datum dakwah hanyalah suatu alasan untuk meragukan objektivitas intrinsik di dalam dakwah jika ada suatu hubungan dari keragaman (heterogenitas) antara organ yang menangkap dan objek dakwah yang ditangkap. Di dalam hal seperti ini, di mana organ berbeda di dalam kodratnya dari objek, maka perbedaan ini akan merupakan sebab dari penyimpangan dan menentang sifat intrinsik dari datum dakwah yang ditangkap. Maka datum dakwah seperti suawa dipersepsi oleh telinga dan perlengkapan saraf. Tetapi tidak ada kemiripan antara datum suara merdu dan perlengkapan gendang telinga: telinga, saraf, selaput otak, yang tidak bersuara merdu.

Tetapi di dalam hal keluasan dan gerakan dakwah, tidak ada keragaman seperti itu, melainkan suatu homogenitas antara organ yang menangkap dan objek dakwah yang ditangkap. Tangan yang saya gunakan untuk merasa keluasan permukaan sajadah direntangkan dengan cara yang sama sebagaimana permukaan sajadah terentang. Maka kenyataan bahwa saya menangkap keluasan dengan suatu organ tidak menyelinapkan suatu penyimpangan ke dalam persepsi, sebab ada homogenitas di dalam hubungannya dengan kualitas yang ditangkap. Maka, meskipun data ini, dalam arti tertentu, juga bersifat ”relasional”, hubungan ini tidak mengurangi objektivitas formalnya.

b. Beberapa pengarang skolastik mengandalkan kenyataan bahwa sains memberikan kepastian kepada kita mengenai objektivitas dari kualitas– kualitas primer (keluasan dan gerak dakwah). Hal ini berbeda dengan pandangan sains mengenai kualitas–kualitas sekunder. Yang didobrak oleh sains adalah anggapan mengenai kualitas–kualitas sekunder yang

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

167

menyatakan bahwa bagi kesadaran langsung banyak, kalau tidak semua, kualitas sekunder dialami sebagai kualitas objektifnya seperti keluasannya.

Tetapi sains berhasil menunjukan bahwa gejala–gejala khutbah, pengajian, ceramah, diskusi keislaman, dan kualitas–kualitas sekunder dapat dimengerti dengan mempertimbangkan fisiokimis mereka sebagai susunan atomik yang berhubungan melalui medium elektromagnetik dengan badan fisiologis saya, tidak ada unsur dari kualitas sekunder masuk di dalam deskripsi ini. Kualitas sekunder diterangkan secara kausal sebagai muncul dari interaksi antara pengada–pengada yang dapat dimengerti tanpa bantuan kualitas sekunder itu.

Jadi banyak filsuf mengambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun untuk melawan objektivitas kualiatas primer, tetapi banyak hal bisa dikatakan mengenai kualitas sekunder yang bertentangan dengan pandangan umum. Mereka menerima gambaran saintifik sebagai sentral filosofis.

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 168-172)