• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dakwah Dan Bahasa Harian

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 150-155)

PERSEPSI TENTANG DAKWAH

2. Dakwah Dan Bahasa Harian

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

145

ditunjuk, berdasarkan teorinya. Hanyalah kegiatan subjektif untuk mendampingkan sensasi. Maka pernyataannya menjadi absurd bahwa sensasi muncul karena pendampingan sensasi yang menyebabkan saya untuk mempunyai sensasi.

2. Dakwah Dan Bahasa Harian

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan representasionalisme dan idealisme Berkeleyan adalah dengan mempertanyakan titik toak yang mereka ambil secara gratis. Titik tolak itu adalah keyakinan bahwa dakwah yang saya sadari langsung adalah ide kita sendiri.

Pengandaian ini langsung mendorong diskusi yang berpangkal dari dasar subjektif dan menimbulkan kesulitan yang besar. Suatu usaha yang tegar untuk memotong dan membawa kembali diskusi kepada suatu dasar yang tak teragukan dilakukan oleh mereka yang merangkul keistimewaan epistimologi dari” data inderawi”. Istilah data inderawi diperkenalkan oleh George Moore (1480-1535) dan Bertrand Russell (1872-1970) sebagai sejenis hal yang tak teragukan yang bersifat netral ”di mana realis-epistimologis dan idealis epistimologis dapat menemukan dasar yang sama.

Sebelum memutuskan apakah ”mad’u” yang saya sadari adalah sebuah ide atau suatu objek material yang berdikari, semua pihak sekurang-kurangnya mungkin setuju bahwa saya langsung menyadari ”mad’u”, dan itu pastilah ada. Kita belum bertanya apakah hal itu ada sebagai suatu ide atau sebagai objek material, sebab perbedaan antara ide dan objek material secara kognitif tidaklah

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

146

primitif; perbedaan itu baru muncul kemudian, setelah saya mulai menyelidiki perbedaan antara data yang benar –benar primitif.

Apa yang dinyatakan kepada kesadaran ialah bahwa saya sadar, dan sadar mengenai ”mad’u”. Apa yang dianggap pasti oleh Moore ialah bahwa kesadaran menjangkau sesuatu dan bahwa pesan dakwah yang dijangkaunya itu tidak identik dengan kesadaran, maka ia menentang Berkeley di dalam” The Refutation of Idealisme”, dengan mengatakan bahwa ”mad’u” yang saya sadari tidak dapat direduksikan kepada kesadaranku mengenainya. Kesadaranku mengenai ”mad’u” mempunyai sesuatu yang sama: kesadaran; tetapi ada juga yang membedakannya: objek-objek yang menyebabkan kesadaran terjadi, yaitu ”mad’u”. Maka terdapat perbedaan antara kesadaran dan objeknya. ”kesadaran adalah, dan harus, sedemikian rupa, sehingga objeknya, bila kita sadari, sama seperti adanya dengan bila tidak kita persepsi.” Russell menyetujui pendapat ini dengan mengatakan bahwa dapat dimengertilah bahwa data inderawi yang kita persepsi berada persis sama seperti kalau kita tidak mempersepsikannya. Russell menggunakan kata ”sensibilia” untuk memaksudkan data inderawi yang tidak dipersepsi.

Jelaslah bahwa maksud utama dari para pendukung datum-inderawi adalah untuk menekankan realisme. Moore menyatakan bahwa tidak ada persoalan mengenai bagaimana kita keluar dari lingkaran sensasi; menyadari berarti sudah berada di luar lingkaran privat.

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

147

Tetapi ternyata bahwa kemudian muncul soal di mana tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan dakwah yang masuk di dalam kesadaran. Di dalam perkembangan selanjutnya dari teori ini, datum inderawi dianggap berfungsi sebagai sesuatu dari ”benda ketiga” yang diletakkan di antara kesadaran dan benda fisik. Dengan demikian, malahan muncul kembali kesulitan-kesulitan yang ingin disingkirkan oleh teori ini.

Beberapa kesulitan ini diungkap oleh C.D. Broad, pendukung terkenal dari ajaran ini. Broad mencoba setia kepada realisme, tetapi mempunyai kesulitan untuk menyesuaikannya dengan pengandaian-pengandaian datum inderawinya. Dia yakin bahwa kita betul di dalam bahasa harian untuk mengatakan bahwa kita tahu kebenaran dari pernyataan seperti “saya mendengar pesan dakwah” atau ”da’i di atas mimbar,” sebab keadaan-keadaan itu seringkali muncul.

Namun istilah pesan dakwah sebagai suatu “objek material” mengandung hipotesis-hipotesis yang tidak dapat dibuktikan melalui persepsi langsung. Anggapan umum mengandaiakn bahwa ”pesan dakwah” sebagai suatu objek material adalah suatu kesatuan, suatu pengada dakwah komplit, yang bertahan melalui jangka waktu tertentu, yang selalu siap untuk ditangkap oleh pengamat lain. Tidak ada sesuatu pun mengenai hal ini yang dapat dibuktikan. Apa yang dinyatakan kepada persepsi adalah data inderawi, banyak dan berulang, sementara dan mengapung. Istilah mengenai suatu objek disusun

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

148

berdasarkan gejala-gejala yang pasti tetapi lekas hilang, tetapi tidak dapat hanya berdasar mereka sendiri.

3. Fenomenalisme Dakwah

Alfred Yulius Ayer memperkembangkan hal ini lebih jauh, dia berakhir di dalam sejenis fenomenalisme yang mempunyai pengaruh cukup besar. Ayer memerlakukan pertikaian antara datum inderawi dengan objek material terutama sebagai pertikaian bahasa. Sebenarnya tidak ada pertikaian yang benar-benar mendalam, sebab posisi mana pun yang kita ambil tidak akan mengakibatkan hal-hal yang berbeda. Maka perdebatan hanyalah bersifat linguistic: bahasa manakah yang lebih cocok untuk mengungkapkan pengalaman kita tentang dakwah. Tidak ada yang “benar” atau “salah” karena tidak ada tes yang mungkin yang dapat menyelesaikan perbedaan.

Kalau saya mengatakan “khotib berkhutbah di atas mimbar” dan anda mengatakan “Khotib berkhutbah tidak di atas mimbar”, salah satu harus benar dan yang lain salah, karena kedua pernyataan tersebut suatu benda material dan saya mengatakan bahwa khotib adalah suatu nama untuk kumpulan data inderawi, tidak perlu bahwa salah satu salah karena mereka tidak menunjukkan perbedaan di dalam pengalaman, tetapi hanya cara berbicara yang berbeda mengenai pengalaman yang sama.

Tetapi pendapat Ayer ini terbuka terhadap tuduhan bahwa ia benar benar percaya bahwa teori datum inderawi adalah benar.” Fenomenalisme linguistic”–nya mengarah kepada tantangan bahwa

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

e

149

yang kita maksud dengan “objek fisik” hanyalah “pola-pola” data inderawi yang konstan.

Pada umumnya, fenomenalisme dakwah mempertahankan bahwa istilah dari suatu objek pengetahuan dakwah lebih merupakan suatu konstruksi logis pikiran dari pada sesuatu yang diberikan langsug di dalam pengalaman, menurut para fenomenalisme dakwah mereka dapat mendeskripsikan dengan memadai semua yang benar-benar dinyatakan sebagai pengalaman dengan istilah-istilah mereka dan bahwa segala cara berbicara yang lain bersifat berlebihan, karena cara itu harus diterjemahkan dengan istilah-istilah fenomenalisme agar mempunyai arti dakwah. Penolakan terhadap fenomenalisme dakwah terletak pada pertanyaaan apakah data dakwah ini benar? Mampukah dia mereduksikan semua pernyataan pengalamannya tentang dakwah ke dalam suatu referensi eksklusif kepada data inderawi? dapatkah ia menyatakan di dalam bahasanya segala sesuatu yang ingin dinyatakan oleh bahasa-objek itu?

Penolakan terhadap fenomenalisme dakwah berdasar dua hal ini cukup kuat. Keberatan R.J. Hirst perlu diperhatikan. Ia berpendapat bahwa bahasa fenomenalis selalu ”dicemari” oleh bahasa objek-material realis. Yaitu bahwa fenomenalis dakwah selalu menggunakan bahasa yang kembali memasukkan pengandaian-penganaian objek-material dakwah ke dalam deskripsinya sendiri. Senyatanya fenomenalis dakwah mempunyai tugas yang cukup mendesak: ia harus menerjemahkan arti dakwah dari ”objek” secara

Psikologi Dakwah Dan Epistemologi

Pag

e

150

bagian pun dari apa yang ingin dinyatakan oleh pernyataan objek-material dakwah. Padahal sifat umum dari objek objek-material dakwah, yaitu sifat permanen dan daya kausalnya tidaklah mudah untuk diterjemahkan menurut bahasa fenomenali (datum-indrawi).

Dalam dokumen Psikologi Dakwah dan Epistemology (Halaman 150-155)