• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Ideal Museum Museum Negeri Jambi

Pengertian kondisi ideal adalah suatu keadaan yang diharapkan tercipta sesuai tujuan diadakannya penyempurnaan pameran, yaitu jelas dan runtunnya alur sejarah Jambi. Pemaparan mengenai kondisi ideal ini bertolak dari hasil analisis SWOT yang dikemukakan pada bab sebelumnya.

4.1. 1. Alur cerita

Dari analisis SWOT di muka dijelaskan bahwa alur cerita perlu disempurnakan agar pengunjung museum memahami alur sejarah Jambi yang runtun dari masa prasejarah hingga masa kini. Alur sejarah tersebut dipaparkan dalam uraian berikut ini.

Alur cerita diawali pada masa prasejarah, yaitu suatu masa Jambi dihuni oleh masyarakat pendukung kebudayaan mesolitik yang ditandai dengan kemampuan memanfaatkan batuan untuk perkakas, seperti kapak batu. Kemampuan memanfaatkan batu terus berlangsung hingga masa megalitik, yaitu masa yang aktivitas masyarakatnya banyak memanfaatkan batu besar. Tradisi penggunaan batu besar ini terus berlangsung hingga ke masa kebudayaan logam, bahkan di masa kebudayaan logam inilah kebudayaan megalitik mencapai puncak kesempurnaan

(Suryanegara, 2007: 128). Tinggalan benda-benda masa prasejarah ini berupa beliung batu dan batu silidrik yang banyak ditemukan di Kabupaten Kerinci.

Berakhirnya masa prasejarah, Jambi memasuki masa Hindu-Buddha yang ditandai berdirinya Kerajaan Melayu Kuno sekitar abad ke 4. Kerajaan Melayu Kuno dalam pertumbuhannya mengalami pasang surut, antara lain menaklukan Sriwijaya atau sebaliknya. Kerajaan Melayu Kuno berakhir sekitar abad ke 15 seiring diterimanya agama Islam di Nusantara dan terbentuknya Kesultanan Jambi.

Rentang waktu masa Kesultanan Jambi berkisar tahun 1460 hingga ditetapkannya Jambi sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1904. Diperkirakan pada tahun 1460 yang memerintah negeri Jambi adalah Putri Selara Pinang Masak dengan pusat pemerintahan di Ujung Jabung. Putri Selara Pinang Masak bersuamikan Datuk Paduko Berhalo, seorang bangsawan dari Rum (Turki), dan memiliki 1 orang putri serta 3 orang putra. Putri ini bernama Orang Kayo Gemuk dan ketiga putra bernama Orang Kayo Pingai yang memerintah tahun 1480 setelah orang tuanya meninggal, Orang Kayo Pedataran yang memerintah tahun 1490, dan Orang Kayo Hitam yang memerintah tahun 1500.

Pada masa pemerintahan Orang Kayo Hitam negeri Jambi dibagi dalam 12

kalbu (bangsa) yang dikepalai oleh orang-orang dari keluarga raja. Kalbu VII dan IX

Koto dikepalai oleh Sunan Pulau Johor; Kalbu Petajin dikepalai oleh Orang Kayo Pedataran; Kalbu Maro Sebo dikepalai oleh Sunan Kembang Seri; Kalbu Pemayung dikepalai oleh Ranggamas; Kalbu Jebus Rajasari dikepalai oleh Orang Kayo Pingai;

Kalbu Air Hitam dikepalai oleh Orang Kayo Gemuk; Kalbu Awin, Penagan, Miji,

dan Pinokawan Tengah dikepalai oleh keturunan Sunan Muara Pijoan.

Pada tahun 1500 saat Jambi diperintah oleh Orang Kayo Hitam diperkirakan agama Islam mulai menyebar di Jambi. Orang Kayo Hitam berputra 2 orang, yaitu Pangeran Ilang Di Air atau Panembahan Rantau Kapas dan Paduka Narah. Panembahan Rantau Kapas memerintah tahun 1515 berputra 1 orang bernama Panembahan Rengas Pandak yang memerintah Jambi pada tahun 1540. Keturunan Panembahan Rengas Pandak yang bernama Panembahan Bawah Sawo memerintah Jambi tahun 1565 dan dilanjutkan oleh Panembahan Kota Baru yang memerintah pada tahun 1590. Salah seorang anak Panembahan Kota Baru yang bernama Pangeran Kedah pada tahun 1615 diangkat sebagai raja dengan gelar Sultan Abdul Kahar. Pada masa inilah awal digunakannya gelar sultan dan mengganti status kerajaan menjadi kesultanan. Secara resmi juga dinyatakan bahwa Kerajaan Jambi yang bersendikan adat dirubah menjadi “Adat Bersendi Syarak, Syarakat Bersendi Kitabullah” dengan pelaksanaannya syarak mengato adat memakai (syarak mengatakan adat memakai).

Pada awal pemerintahan Sultan Abdul Kahar terjadi kontak pertama dengan bangsa asing, yaitu dengan onderkoopman (pedagang muda) kompeni bernama Abraham Strek bersama kapal ‘t Wapen van Amsterdam dan Meiddelburg. Tahun berikutnya (1616) didirikan sebuah kantor dagang di Jambi untuk membeli lada dan berbagai hasil hutan, seperti rotan. Pada tahun 1630 Raja Johor (Malaka) meminta penyerahan negeri Tungkal dari Sultan Abdul Kahar, tetapi permintaan ini tidak diindahkan oleh Sultan Abdul Kahar.

Pada tahun 1643 Sultan Abdul Kahar digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Dipati Anom atau Sultan Agung Abdul Djalil. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Abdul Djalil terjadi perjanjian (kontrak) pertama antara Jambi yang diwakili oleh Pangeran Ratu Raden Penulis dan V.O.C yang diwakili oleh Andries Begart Ploeg. Sultan Agung Abdul Jalil juga berhasil menyelesaikan pembuatan Undang-Undang Kesultanan Jambi yang dimulai semenjak masa pemerintahan Abdul Kahar dan secara resmi menyatakan Islam sebagai agama negara.

Pemerintahan Sultan Agung Abdul Djalil berakhir tahun 1665 dan Raden Penulis atau Sultan Abdul Mahyi yang disebut Sultan Sri Ingologo naik tahta. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingologo perseteruan dengan Johor kian meruncing dan pada tahun 1667 pecah perang. Serangan Johor yang dibantu Palembang dapat dibendung Jambi dengan bantuan kompeni. Tewasnya kepala kantor V.O.C di Jambi, Sybrandswart, menjadi alasan kompeni menangkap Sultan Sri Ingologo karena keterlibatannya. Sultan Sri Ingologo dibawa ke Batavia (Jakarta) dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Banda. Sebagai pengganti Sultan Sri Ingologo, kompeni yang merasa dirinya ikut berkuasa menghendaki pengangkatan Pangeran Depati Raden Cakranegara dengan sebutan Sultan Kiai Gede. Pengangkatan ini ditentang rakyat karena Pangeran Depati Raden Cakranegara bukan putra mahkota (Pangeran Ratu) dan hal ini merupakan pelanggaran adat tata Kesultanan Jambi.

Pangeran Ratu Raden Culip yang seharusnya menggantikan Sultan Sri Ingologo bersama Kyai Sinopatih menyingkir ke daerah uluan dengan membawa tanda-tanda kebesaran kerajaan (regalia) untuk mendirikan pemerintahan tandingan.

Raden Culip berkedudukan di Mangunjaya dengan gelar Sunan Sri Maharaja Batu yang disebut Sunan Suto Ingologo sebagai sultan, sedangkan Kyai Sinopatih sebagai Pangeran Ratu berkedudukan di Bukit Sarpeh Sumai dengan gelar Sunan Abdurrahman. Pemerintahan tandingan ini didukung para pendatang dari Minangkabau dan diakui oleh raja Kerajaan Minang di Pagaruyung. Akibat adanya dua kerajaan dalam satu Kesultanan Jambi ini, penduduk Bangsa XII terpecah. Kelompok VII, VIII, dan IX mendukung Sultan Maharaja Batu, sedangkan penduduk bangsa XII lainnya mengikuti Sultan Kiai Gede. Setelah Sultan Kiai Gede meninggal pada tahun 1696, disetujui pula oleh kompeni untuk mengangkat anaknya Sultan Kiai Gede, yaitu Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan Jambi.

Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan Jambi mengakui kedaulatan Raden Culip Maharaja Batu sebagai Sultan Jambi dan bersedia turun tahta untuk reunifikasi kesultanan (1711). Tidak lama setelah Raden Culip Maharaja Batu memerintah Kesultanan Jambi, kompeni yang tidak menyukainya menangkap dan mengasingkan ke Batavia (Jakarta). Pemerintahan Kesultanan Jambi dikembalikan kepada Sultan Muhammad Syah hingga meninggal di tahun 1740 dan digantikan oleh Raden Julai bergelar Sultan Istera Ingologo.

Pada masa pemerintahan Sultan Istera Ingologo yang berlangsung hingga 1770 berhasil ditutup kantor dan benteng kompeni di Muara Kumpeh (1742), serta memutuskan Jambi bukan lagi sebagai negara vazal Mataram. Sepeninggalan Sultan Istera Ingologo, Jambi dipimpin oleh Sultan Akhmad Zainuddin bergelar Sultan Anom Sri Ingologo hingga tahun 1790. Setelah kematian Sultan Anom Sri Ingalaga

Kesultanan Jambi selanjutnya diperintah oleh Sultan Mas’ud Badaruddin bergelar Sultan Batu Ingologo hingga tahun 1812. Selanjutnya, antara tahun 1812 hingga 1833 Kesultanan Jambi diperintah oleh Raden Denting Sultan Mahmud Mahidin bergelar Sultan Agung.

Ketika Sultan Palembang mengadakan pemberontakan terhadap kompeni pada tahun 1819, Jambi mengirimkan tentara bantuan pada Sultan Palembang. Wafatnya Sultan Agung pada tahun 1828 untuk sementara pemerintahan Kesultanan Jambi diperintah oleh permaisuri raja hingga Pangeran Ratu Raden Mohammad Fachruddin yang bergelar Sultan Keramat dinobatkan sebagai sultan baru pada tahun 1833.

Pada tanggal 14 November 1823 Letnan Kolonel Michiels berhasil memaksa Sultan Keramat untuk menandatangani surat perjanjian yang berlangsung di Sungai Baung, Jambi. Isi perjanjian tersebut adalah: a) Negeri Jambi dikuasai dan dilindungi negara Belanda; b). negeri Belanda mempunyai hak untuk mendirikan kekuatan dalam daerah Jambi.

Pada tanggal 15 Desember 1834 diajukan surat perjanjian baru yang isinya memperluas perjanjian sebelumnya. Surat perjanjian yang disetujui dan ditandatangani Pemerintah Belanda pada tanggal 21 April 1835 berisi: a) Pemerintah Belanda memungut cukai ekspor dan impor barang dan untuk itu Sultan bersama Pangeran Ratu akan menerima f. 8.000,- setahun sebagai ganti rugi; b) Pemerintah Belanda tidak memungut dana lain, tetapi berhak monopoli penjualan garam; c) Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda; d) Pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam Kesultanan Jambi dan tidak

mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai.

Setelah wafatnya Sultan Fachruddin yang bergelar Sultan Keramat di tahun 1841, pemerintahan Kesultanan Jambi dipimpin oleh Pangeran Abdurrahman Martadiningrat bergelar Sultan Abdurrahman Nazaruddin bersama Raden Taha Saifuddin yang bergelar Pangeran Ratu Jayaningrat sebagai Pangeran Ratu. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Nazaruddin rakyat Tungkal yang selama ini tunduk di bawah lindungan Kesultanan Johor kembali dalam lingkungan Kesultanan Jambi.

Pada tahun 1855 Sultan Abdurrahman Nazaruddin wafat dan digantikan oleh Pangeran Ratu Jayaningrat yang disebut juga Raden Taha Saifuddin sebagai sultan, sedangkan sebagai Pangeran Ratu diangkat Pangeran Ratu Muhammad Martaningrat. Dua tahun setelah pelantikannya sebagai Sultan Jambi, Sultan Taha Saifuddin membatalkan seluruh isi perjanjian tahun 1833 dan 1834 antara Kesultanan Jambi dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Untuk meningkatkan persiapan pertahanan dan perlengkapan perang, Sultan Taha memerintahkan Pangeran Ratu Martaningrat bersama beberapa orang pengiring berangkat melalui Singapura menuju Turki. Tujuan keberangkatannya adalah mengadakan perundingan dengan pemerintah Turki dalam hal a) pengakuan atas Kesultanan Jambi di bawah pimpinan Sultan Taha Saifuddin; b) bantuan senjata kepada Jambi dalam menghadapi Hindia Belanda sebagai bentuk kerjasama blok Islam.

Kerajaan Turki mengakui keberadaan Kesultanan Jambi dan sebagai bentuk pengakuannya adalah diserahkan bintang tertinggi Kerajaan Turki kepada Sultan Taha Saifuddin melalui Pangeran Ratu Martaningrat. Bantuan militer yang diminta tidak dapat dipenuhi karena jarak kedua negara yang berjauhan, juga blokade laut yang dilakukan

pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda yang merasa terhina oleh segala cara yang dilakukan Sultan Taha Saifuddin akhirnya memutuskan menyelesaikan masalah Jambi dengan kekerasan. Pada tanggal 25 September 1858 wakil pemerintah Hindia Belanda di Jambi menerangkan dengan resmi bahwa tidak mengakui kedaulatan Sultan Taha dan menganggap Sultan Taha sudah diturunkan dari tahta kesultanan.

Saat ibukota kesultanan jatuh ke tangan Hindia Belanda, Sultan Taha, Pangeran Ratu, dan beberapa bangsawan lainnya mengungsi ke daerah uluan dengan membawa pusaka Kesultanan Jambi berikut keris Si Ginjei. Kekosongan pemerintahan Kesultanan Jambi diisi berturut-turut oleh Raden Achmad bergelar Sultan Achmad Nazaruddin (1858), Sultan Achmad Muhiddin (1881), dan Pangeran Surya bergelar Sultan Achmad Zainuddin (1886) yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Sultan Jambi.

Foto 20. Bintang Turki Sumber: Museum Negeri Jambi

Pengangkatan ketiga sultan yang disebut Sultan Bayang banyak mendapat penolakan dari masyarakat, seperti yang dipaparkan A. Mukty Nasruddin (1989: 77) berikut ini: “Sultan Bayang yang diangkat oleh kekuasaan pemerintah Hindia Belanda tidak dihormati oleh sebagian besar masyarakat. Di daerah yang dikuasai Sultan Taha masyarakatnya patuh dan setia kepadanya serta menyatakan permusuhan pada orang Eropa dengan tidak membiarkannya berada di Jambi”.

Masa Kesultanan Jambi berakhir setelah pemerintah Hindia Belanda berhasil menguasai Jambi dan menjadikan Jambi sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya menguasai Jambi banyak mendapat tantangan dari masyarakat dan Sultan Jambi. Beragam cara dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda agar dapat menguasai Jambi, antara lain mengambil alih penguasaan atribut kerajaan dan menggunakan persenjataan yang lebih modern.

Selain menjajah mereka juga memasukkan unsur-unsur kebudayaannya, terutama benda kebudayannya ke dalam kebudayaan Jambi, seperti alat pembayaran, alat kesenian, alat rumah tangga, dan peralatan lainnya. Unsur kebudayaan material yang diterima kini menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Jambi.

Kedatangan bangsa Jepang yang mengakhiri pemerintahan Belanda di Indonesia pun meninggalkan benda-benda sejarah dan kebudayaan yang memperkaya khazanah sejarah dan budaya Jambi, seperti persenjataan dan alat pembayaran.

Pada masa kemerdekaan muncul kegiatan mengembangkan kebudayaan lama, seperti teknik membuat perhiasan. Walaupun kehidupan terus berkembang, tetapi banyak unsur kebudayaannya merupakan kebudayaan berkelanjutan (living culture),

terutama di pedesaan. Kebudayaan berkelanjutan inilah yang menjadi klimaks dalam alur cerita di ruang khazanah Museum Negeri Jambi.

Agar alur sejarah Jambi tergambar runtun dan jelas sesuai peristiwa yang terjadi di Jambi dapat dilakukan melalui beberapa strategi, yaitu:

1) menyelaraskan dan mengisi kekosongan jalannya suatu peristiwa pada sumber tertulis dengan memaksimalkan informasi dari sumber tidak tertulis yang jumlahnya semakin berkurang;

2) untuk menyelaraskan dan mengisi kekosongan jalannya suatu peristiwa diperlukan kecakapan pengelola koleksi (kurator) menggali lebih dalam aspek sosial budaya dari koleksi di berbagai sumber agar seluruh aspek kehidupan pada masa tertentu dapat tergambarkan;

3) sumber data dapat diperoleh melalui kerjasama dengan individu atau lembaga lain, seperti Museum Nasional, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, museum lain, dan Pemerintah Daerah;

4) selain tersedianya koleksi, penggambaran seluruh aspek kehidupan pada masa tertentu dapat dilakukan dengan mengintegrasikan koleksi dalam satu tema;

5) tidak adanya koleksi asli maupun replika yang mendukung alur cerita dapat dipenuhi dengan bentuk visual (foto) yang diperoleh melalui kerjasama dengan lembaga lain.

4.1.2. Koleksi

Untuk mendukung alur cerita harus tersedia koleksi, baik yang dimiliki Museum Negeri Jambi maupun lembaga lain, seperti Museum Nasional, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, Direktorat Museum, museum lain, dan Pemerintah Daerah. Tersedianya koleksi yang sesuai alur cerita dapat diperoleh melalui pengadaan koleksi dari luar museum, juga penambahan, pemindahan, dan pengurangan koleksi yang sudah ada di ruang khazanah. Penambahan, pemindahan, dan pengurangan koleksi di ruang khazanah Museum Negeri Jambi digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 9.

Penambahan, Pengurangan, dan Pemindahan Koleksi

No Penambahan No Pemindahan No Pengurangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. Vitrin 1 (koleksi Prasejarah);

Vitrin 4 (koleksi replika arca Prajnaparamita) ; Vitrin 7 (koleksi regalia: keris Si Ginjei);

Vitrin 8 (koleksi regalia: keris Senja Merjaya); Vitrin 15 (koleksi kebudayaan ber-kelanjutan);

Koleksi perhiasan sebagai pengganti koleksi songket yang dikeluarkan (vitrin 14);

1.

2.

3.

Vitrin 3 (koleksi Hindu-Buddha) ke vitrin 4 (replika arca Prajnapara-mita) dan sebaliknya; Vitrin 5 (koleksi

teknologi/Hindia Belanda ke vitrin 10 (koleksi batik) dan koleksi batik dikeluarkan.

Koleksi coupon penukaran (vitrin 13) ke vitrin 11 (masa Hindia-Belanda). 1. 2. 3. 4. 5.

Koleksi songket di vitrin 9 dikeluarkan karena ada koleksi sejenis di lantai 2 ruang pameran tetap; Vitrin 10 (koleksi batik) dikeluarkan karena ada koleksi sejenis di lantai 2 ruang pameran tetap; Koleksi numismatika yang sejenis dikeluarkan;

Koleksi keramik yang berupa guci besar dikeluarkan;

Vitrin 13 (kupon karet) dikurangi dan koleksi dipindahkan ke vitrin 11 (masa Hindia Belanda) karena mengganggu sirkulasi pengunjung.

Dari tabel di atas dijelaskan bahwa penambahan koleksi dilakukan pada vitrin 1 yang berisi koleksi prasejarah, vitrin 4 yang berisi replika arca Prajnaparamita, vitrin 7 dan 8 untuk koleksi regalia Kesultanan Jambi, dan vitrin 15 untuk kebudayaan yang berkelanjutan.

Dari hasil analisis SWOT strategi pengadaan koleksi, khususnya koleksi regalia yang menjadi mata rantai sejarah Jambi, strateginya adalah:

1) oleh karena aset nasional dan tidak dapat dikembalikan ke Jambi, pemanfaatan koleksi regalia Kesultanan Jambi yang berada di Museum Nasional dapat dilakukan melalui pembuatan replika atau divisualkan (foto);

2) pembuatan replika atau visualisasi dari koleksi regalia dapat dilakukan melalui kerjasama dengan instansi lain, seperti Museum Nasional, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, Direktorat Museum, dan Pemerintah Daerah Jambi.

Berkenaan dengan pembuatan replika dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum. Dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 berbunyi:

(1) Untuk menghindari kerusakan, kehilangan, dan/atau kemusnahan, benda Cagar Budaya di museum yang memiliki:

a. risiko, kerusakan, dan keamanan yang tinggi; b. nilai bukti ilmiah dan sejarah atau seni yang tinggi; c. nilai ekonomi yang tinggi;

d. sangat langka dapat dibuat tiruannya.

(2) Setiap pembuatan tiruan benda cagar budaya di museum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaporkan kepada Menteri.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya membuat keterangan:

a. nama benda cagar budaya di museum yang dibuat tiruannya; b. keterangan data pemilik;

c. jenis bahan pembuatannya; d. jumlah tiruan;

e. tujuan pembuatan

Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Seperti diungkapkan di halaman 85, agar alur cerita sejarah Jambi sesuai urutan waktu (timelines) dapat juga dilakukan dengan visualisasi koleksi regalia Kesultanan Jambi. Visualisasi dilakukan dengan membuat foto regalia dan menguraikan latar belakang koleksi beserta ukurannya. Ukuran koleksi penting agar pengunjung dapat mengetahui ukuran sebenarnya dari koleksi regalia yang diamatinya. Visualisasi koleksi lebih mudah, murah, dan cepat dibandingkan membuat replika.

Wujud keris Si Ginjei dan benda regalia Kesultanan Jambi lainnya penting dihadirkan di Museum Negeri Jambi agar alur sejarah jelas dan menepis cerita yang berkembang di masyarakat bahwa keris Si Ginjei hilang secara gaib. Selain itu, menunjukkan pada masyarakat bahwa betapa pentingnya koleksi regalia ini, sehingga Pemerintah Kolonial Belanda pun berupaya untuk mendapatkannya.

Tidak adanya koleksi juga memaksa dimasukkannya koleksi yang dianggap serupa, seperti menempatkan replika arca Prajnaparamita yang diperoleh hibah dari Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini nampak pada vitrin 3 yang berisi replika arca Prajnaparamita, sedangkan pembandingnya berupa foto tanpa informasi.

Arca Prajnaparamita yang asli ditemukan di reruntuhan Candi Wayang, Kompleks Percandian Singosari, Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Arca ini merupakan tinggalan arkeologi masa Majapahit yang dapat dijumpai tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di daerah lain di Indonesia, seperti Muaro Jambi. Arca Prajnaparamita yang ditemukan di Kompleks Percandian Muaro Jambi kondisinya tidak utuh, tanpa kepala dan lengan. Arca ini dipamerkan di Museum Situs Candi Muaro Jambi. Di bawah ini digambarkan bentuk kedua arca Prajnaparamita.

Foto 21. Arca Prajnaparamita dari situs Candi Muaro Jambi

Sumber: Amdefi.

Foto 22. Arca Prajnaparamita dari situs Percandian Singosari.

Sumber: Museum Nasional

Sebaiknya koleksi arca Prajnaparamita (realia atau replika) dari situs Percandian Muaro Jambi ditempatkan di vitrin dengan pembanding ditempatkan di sampingnya. Kedua arca Prajnaparamita ini harus diberi label yang menjelaskan bagian-bagian tertentu dari arca yang menunjukkan bahwa arca tersebut memiliki kesamaan wujud.

Pemindahan koleksi dilakukan pada vitrin 3 (vitrin masa Hindu-Buddha) ke 4 (replika arca Prajnaparamita) dan sebaliknya; vitrin 5 (teknologi/Hindia Belanda) ke vitrin 10 (batik), dan isi vitrin 10 (batik) dikeluarkan karena pada ruang pameran tetap lantai 2 dipamerkan koleksi sejenis.

Pengurangan koleksi dilakukan pada koleksi sejenis, seperti koleksi numismatika dan koleksi yang mengganggu alur pengunjung, seperti koleksi guci.

Koleksi guci dikeluarkan selain mengganggu alur pengunjung, juga rawan dari kerusakan karena ditempatkan di luar vitrin tanpa pelindung atau pembatas.

Apabila dibandingkan dengan denah ruang khazanah sebelumnya (denah 9 halaman 51) nampak tidak banyak terjadi perubahan susunan vitrin, hanya perubahan bentuk vitrin, terutama vitrin 11 dan 13 (numismatika). Perubahan bentuk vitrin disesuaikan dengan vitrin lainnya agar tidak mengganggu sirkulasi pengunjung dan meminimalkan ruang kosong.

Koleksi masa Melayu Kuno yang mengisi vitrin 3 (replika arca Prajnaparamita) dan 4 (Melayu Kuno) perlu dilakukan pertukarkan, yaitu koleksi di vitrin 3 ke vitrin 4, dan sebaliknya. Pemindahan koleksi replika arca Prajnaparamita diiringi dengan pengadaan koleksi arca Prajnaparamita yang ditemukan di situs Candi Muaro Jambi. Pengadaan koleksi arca Prajnaparamita dari situs Muaro Jambi dilakukan dengan membuat replika, karena koleksi asli arca Prajnaparamita merupakan bagian dari koleksi Museum Situs Candi Muaro Jambi.

Berakhirnya masa Hindu-Buddha, Jambi memasuki masa Islam yang ditandai munculnya Kesultanan Jambi yang diperkirakan pada abad ke 15. Oleh karena itu, alur cerita selanjutnya adalah menempatkan koleksi Islam dan Kesultanan Jambi pada vitrin 5 hingga 9. Hasilnya pada vitrin 5 berisi koleksi naskah aksara incung, vitrin 6 berisi koleksi Al-Qur’an, vitrin 7 berisi koleksi replika atau visualisasi keris Si Ginjei, replika bendera katun hitam, dan “Bintang Turki”, sedangkan vitrin 7 berisi koleksi replika atau visualisasi keris Senja Merjaya, dan vitrin 9 berisi tombak.

Datangnya bangsa asing yang diawali pembukaan kantor dagang lalu berkembang menjadi pendudukan dipaparkan pada vitrin 10, 11, dan 12. Pada vitrin 10 dan 11 dipaparkan masa pendudukan Belanda, sedangkan vitrin 12 dipaparkan masa pendudukan Jepang. Vitrin masa pendudukan Belanda, yaitu vitrin 10 berisi persenjataan yang digunakan tentara kolonial Belanda maupun para pejuang kemerdekaan, dan vitrin 11 berisi dampak kedatangan bangsa Belanda di Jambi, antara lain diperkenalkannya mesin jahit, dan sistem pembayaran berupa mata uang Belanda (Gulden) dan coupon penukaran. Untuk vitrin 12 berisi senjata dan mata uang yang berlaku pada masa pendudukan Jepang di Jambi dari tahun 1942 hingga 1945.

Masuknya era kemerdekaan hingga kini dipaparkan pada vitrin 13 hingga 15. Pada vitrin-vitrin ini berisikan koleksi pakaian, perhiasan, dan benda-benda kebudayaan masa lalu yang hingga kini digunakan masyarakat. Susunan ideal vitrin digambarkan pada bagan di bawah ini:

Dalam penataan yang didasarkan atas urutan waktu (timeline) koleksi harus diintegrasikan dalam satu vitrin atau tema, tidak dikelompokkan berdasarkan jenis koleksi. Pengintegrasian koleksi dimaksudkan agar dalam satu masa dapat dipaparkan semua aspek yang terjadi pada masa tersebut dan hasilnya digambarkan sebagai

Dokumen terkait