• Tidak ada hasil yang ditemukan

Satu di antara atribut raja yang penting selain gelar yang disandang adalah pusaka, yaitu benda warisan yang dianggap suci dan dapat memberikan kebahagiaan, kekuatan, kewibawaan, serta kemegahan pada orang yang memilikinya. Benda yang menyertakan raja pada saat tertentu dinamakan benda ampilan atau regalia. Alat-alat kebesaran (regalia) dianggap sakral atau keramat yang melambangkan kebesaran dan kekuasaan, penuh kekuatan magis yang dapat mempengaruhi keadaan kosmos. Selain itu, dapat mengembalikan keseimbangan dan menolak berbagai bahaya, seperti wabah, bencana alam atau gejolak masyarakat (Junus, 2002: 47).

Benda pusaka berupa regalia memiliki nilai material dan estetika yang tinggi, silsilah, keagamaan, dan persekutuan dengan mahluk halus. Selain itu, benda regalia ini menjadi sarana upacara yang penting untuk kemegahan raja (Marwoto, 2005: 155). Oleh karena benda regalia dianggap sakral dan keramat, benda ini selalu diselimuti mite atau legenda penciptaannya, tokoh yang memerankannya, kesaktian, dan kekuatan magisnya.

Berbagai upacara dilakukan untuk menampilkan pusaka dan benda regalia lainnya sehingga menambah kebesaran seorang raja. Banyak teori dikembangkan mengenai fungsi ritual dalam kerajaan tradisional, tapi kebanyakan mengaitkan kemegahan dalam upacara kerajaan dengan penggunaan kekuasaan. Ada juga yang mengatakan bahwa ritual adalah salah satu jenis kekuasaan yang mengukuhkan ketidaksamaan sosial dan kebanggaan status. Ritual memiliki kekuatan untuk menegaskan dan mengatur tatanan masyarakat. Pendapat lain menyebutkan bahwa upacara ritual memulihkan kembali kontinuitas tradisi. Hal yang lebih penting dari itu adalah menempatkan pengalaman individu dalam konteks sejarah. Kendati demikian, berbagai upacara dan berbagai pusaka (regalia) dalam masa Islam memiliki nuansa makna yang berbeda dari masa sebelumnya. Raja bukan lagi dianggap dewa-dewa, dan pusaka adakalanya hanya sebagai lambang dari keabsahan kekuasaan (Marwoto, 2005: 155-157).

Benda regalia yang memiliki sejarah, nama, dan kekuatan spiritual dapat berupa mahkota, senjata, panji-panji, dan lain-lain yang selalu dibawa, dikenakan,

atau dekat raja pada saat upacara kebesaran kerajaan. Djohan Hanafiah (1992: 20) yang mengutip pendapat Robert Heine-Geldern menyatakan:

“Pertimbangan apapun mengenai konsepsi negara dan kerajaan di Asia Tenggara kiranya tidak lengkap jika tidak menyebut paling kurang betapa pentingnya benda pusaka tersebut. Beberapa di antara benda pusaka ini ……. mempunyai makna kosmologis ….. dan yang lainnya dianggap memiliki kekuatan magis, seperti pedang raja Kamboja …. Sifat magis benda pusaka ini bahkan lebih ditekankan lagi di Semenanjung Malaya dan Indonesia. Hal ini memuncak dalam konsep aneh yang berlaku di antara suku Bugis dan Makasar. Menurut mereka sebenarnya benda pusaka itulah yang berkuasa, sedangkan raja hanya memerintah negara atas nama benda pusaka itu”.

Benda regalia merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan karena memiliki arti penting sejarah dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

2.1.2. Warisan Budaya.

Mahyudin Al Mudra (2008: 3) menjelaskan bahwa warisan budaya merupakan seperangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi sebelumnya dari kolektivitas pemilik simbol tersebut. Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai dan makna suatu simbol tersebut mengacu pada sesuatu (konsep) yang lain. Wujud simbol dapat berupa teks, suara, bunyi, gerak, gambar, dan lain-lain.

Hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan terhadap sesuatu, dan sesuatu yang dimaknai merupakan sebuah lambang hasil kreasi manusia sendiri. Proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan. Kebudayaan didefinisikan sebagai seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia untuk dapat melakukan reproduksi dan menghadapi lingkungannya. Simbol yang digunakan

atau dimilikinya tersebut diperoleh melalui proses belajar dalam kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Spradley, 1997: 5-8).

Menurut Koentjaraningrat (1990: 186-189) kebudayaan mempunyai tiga wujud. Wujud pertama adalah ide, gagasan, dan sistem nilai yang beroperasi pada tataran kognitif dan agak sulit mengidentifikasikannya. Walau demikian ide, gagasan dan sistem nilai dapat diamati atau diwujudkan dalam tingkah laku, kebiasaan atau yang dikenal sebagai adat istiadat. Kebiasaan atau adat istiadat ini merupakan wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat istiadat, elemen lainnya adalah budaya material yang berupa artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan. Kebudayaan material ini merupakan hal yang paling konkrit atau empirik.

Selanjutnya Mahyudin Al Mudra (2008: 4) menggolongkan warisan budaya dalam 4 bentuk, yaitu:

a) benda fisik atau material culture yang mencakup seluruh benda hasil karya manusia, baik berukuran relatif kecil hingga sangat besar, misalnya emblem, songket, keris, Candi Borobudur, dan lain-lain;

b) pola tingkah laku yang merupakan pengejawantahan dari pandangan hidup dan sistem nilai dalam masyarakat tertentu;

c) pandangan hidup yang sifatnya abstrak dapat berupa kearifan lokal suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya; d) lingkungan yang memainkan peran sebagai bagian yang tidak terpisahkan

Apabila disarikan, keempat bentuk warisan budaya ini berupa nilai budaya (intangible) dan budaya fisik (tangible) dari masa lalu. Nilai budaya masa lalu (intangible heritage) meliputi tradisi, cerita prosa rakyat, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kearifan lokal, dan keunikan masyarakat setempat. Sementara itu, warisan budaya fisik (tangible heritage) diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak bergerak (immoveable heritage) dan warisan budaya bergerak (moveable heritage). Warisan budaya tidak bergerak berada di tempat terbuka dan tidak dapat dipindahkan. Warisan budaya tidak bergerak ini terdiri dari situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, serta bangunan kuno yang bersejarah. Sebaliknya, warisan budaya bergerak merupakan warisan budaya yang dapat dipindahkan atau berada dalam ruangan, seperti karya seni, kriya, arsip, dokumen, foto, karya cetak, dan koleksi museum (Karmadi, 2008: 1).

Dalam Article 1 The World Heritage Convention disebutkan bahwa warisan budaya fisik dibagi atas 3 kategori, yaitu monumen, kelompok bangunan, dan situs. Monumen adalah hasil karya arsitektur, patung, dan lukisan yang monumental, elemen atau struktur tinggalan arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal, dan kombinasi fitur-fitur tersebut yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan. Kelompok bangunan adalah kelompok bangunan yang terpisah atau berhubungan yang dikarenakan arsitekturnya, homogenitasnya, dan ilmu pengetahuan. Situs adalah hasil karya manusia atau gabungan karya manusia dan alam, wilayah yang mencakup lokasi yang mengandung tinggalan arkeologis yang

mempunyai nilai penting bagi sejarah, estetika, etnografi atau antropologi (Unesco: 1972: 2).

Koleksi regalia sebagai warisan budaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Benda cagar budaya dapat diartikan benda alam dan buatan manusia yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Benda alam dan buatan manusia tersebut meliputi kesatuan benda atau bagian-bagiannya yang telah berumur sekurang-kurangnya lima puluh tahun. Benda cagar budaya juga mewakili masa gaya khas yang berumur sekurang-kurangnya lima puluh tahun. Benda-benda cagar budaya yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Cagar Budaya.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum dijelaskan bahwa museum merupakan lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Pemanfaatan benda cagar budaya tersebut dapat berupa penelitian dan penyajian kepada masyarakat (Depdikbud, 1995b: 3-15).

2.1.3. Penyajian Pameran.

Penyajian benda cagar budaya atau koleksi di museum dapat diartikan sebagai berbagai cara mengomunikasikan suatu gagasan yang berkenaan dengan koleksi museum kepada pihak lain dalam bentuk ceramah, pemutaran film, penerbitan karya ilmiah, dan pameran (Udansyah, 1987/1988: 1). Oleh karena luasnya pengertian penyajian, penulis membatasi hanya pada penyajian dalam bentuk pameran. Hal ini sesuai dengan judul tesis yang penulis ketengahkan, yaitu Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Museum Negeri Jambi.

Penyajian dalam bentuk pameran dapat berupa pameran tetap, pameran temporer, dan pemeran keliling. Pameran tetap adalah pameran yang berlangsung dalam jangka waktu 3-5 tahun dengan tema pameran sesuai jenis, visi, dan misi museum. Pameran temporer atau pameran khusus berlangsung dalam jangka waktu 1 minggu hingga 3 bulan, dan pameran keliling berlangsung hanya beberapa hari di luar lingkungan museum (Depdikbud, 1992/1993: 44).

Informasi dalam pameran berbentuk cerita yang disampaikan dengan menggunakan sarana-sarana dan koleksi yang disajikan secara utuh. Koleksi yang dipamerkan akan mendukung cerita yang disampaikan kepada pengunjung. Cerita ini dapat diresapi sejak awal masuk ke dalam ruangan pameran hingga ke luar ruang pameran (Depdikbud, 1993/1994: 2).

Agar suatu pameran menarik, museum harus memperhatikan 4 faktor utama pameran, yaitu: a) cerita; b) koleksi; c) sarana dan biaya; d) metode dan teknik penyajian. Untuk jelasnya penulis paparkan faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

a) faktor cerita fungsinya menyampaikan informasi koleksi dari semua aspek, seperti alam, manusia (termasuk unsur sosial, budaya, teknologi, dan sejarahnya) di masa lalu, sekarang, dan akan datang;

b) faktor koleksi harus berkaitan dengan cerita yang akan disajikan secara mendetail dan sistematis. Hal ini dimaksudkan agar detail konsep penyajian dapat menjelaskan dengan pasti semua koleksi yang diperlukan dalam menunjang jalannya cerita di pameran (Depdikbud, 1992/1993: 40-41). Untuk mencapai tujuan agar tersedia koleksi guna mendukung cerita yang akan disajikan diperlukan kegiatan pengadaan koleksi. Pengadaan koleksi merupakan suatu kegiatan pengumpulan benda-benda asli (realia) atau pembuatan replika yang dapat dijadikan koleksi museum. Tujuannya adalah sebagai bahan pembuktian sejarah alam, budaya manusia, dan lingkungannya dari wilayah Nusantara yang dapat menggambarkan identitas kesatuan bangsa. Pengadaan koleksi bukan sekadar menunjang jalannya cerita suatu pameran, tetapi juga penyelamatan warisan sejarah alam dan budaya, serta bahan penyebarluasan informasi kekayaan warisan sejarah alam dan budaya. Benda-benda yang dapat dijadikan koleksi museum terdiri atas etnografika, historika, arkeologika, numismatika dan heraldika, filologika, keramik asing, buku/majalah antikuriat, karya seni

dan kriya, benda grafika (foto, peta asli atau setiap reproduksi yang dapat dijadikan dokumen), diorama (gambaran berbentuk tiga dimensi), benda-benda sejarah alam (flora, fauna, benda-benda batuan dan mineral), benda-benda-benda-benda wawasan Nusantara, baik asli (realia) maupun replika yang mewakili sejarah alam dan budaya dari wilayah Nusantara, replika, miniatur, dan koleksi hasil abstraksi (Depdikbud, 1986: 14). Kegiatan pengadaan koleksi dilakukan melalui hibah (hadiah atau sumbangan), titipan, pinjaman, tukar menukar dengan museum lain, hasil temuan (survei, ekskavasi, sitaan), dan imbalan jasa (pembelian dari hasil penemuan atau warisan) (Depbudpar, 2007: 4);

c) faktor sarana dapat berupa sarana dasar, seperti bangunan lengkap dengan ruangan pamerannya, vitrin, panil, dan ruang evokatif yang dilengkapi tata lingkungan dan pertamanan yang menarik, maupun sarana penunjang, seperti foto penunjang, label, tata lampu, dan tata warna yang memerlukan biaya tidak sedikit;

d) faktor metode dan teknik penyajian meliputi ukuran minimal vitrin dan panil, tata cahaya, tata warna, tata letak, tata pengamanan, tata suara, labeling, dan foto-foto penunjang (Depdikbud, 1992/1993: 41).

Keempat faktor tersebut di atas, yaitu cerita, koleksi, sarana, dan faktor teknik serta metode penyajian baru dapat dilaksanakan apabila sudah dibuat suatu desain penataan berdasarkan metode tertentu. Metode yang dianggap baik sampai saat ini adalah metode yang berdasarkan motivasi pengunjung, meliputi: a)

motivasi pengunjung untuk melihat keindahan benda-benda yang dipamerkan; b) motivasi pengunjung untuk menambah pengetahuan; dan c) motivasi pengunjung untuk melihat dan merasakan suasana tertentu pada pameran di museum (Depdikbud, 1992/1993: 42).

Timbul Haryono (Museum Nasional, 2002: 2) menjelaskan bahwa suatu hal yang menjadi pertimbangan dalam menata koleksi adalah perpaduan antara orientasi yang bersifat ke dalam dengan orientasi yang bersifat keluar. Orientasi ke dalam adalah penataan dan informasi yang diberikan harus menurut kaidah-kaidah keilmuan, serta berdasarkan pada sumber-sumber informasi ilmiah. Hal ini sejalan dengan tugas museum, yaitu melaksanakan kegiatan penelitian dan menyebarluaskan hasil penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Orientasi keluar adalah informasi yang diberikan kepada pengunjung yang bersifat ilmiah, karena museum merupakan sumber pengetahuan yang dapat dikaji dan dipakai sebagai bahan penelitian oleh kalangan ilmuwan. Museum juga sebagai tempat untuk mendidik masyarakat, baik masyarakat umum, pelajar, maupun ilmuwan.

2.1.4. SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats)

Untuk mengkaji permasalahan di atas digunakan analisis SWOT

(strengths-weaknesses-opportunities-threats), yaitu analisis situasional dengan mengidentifikasi

berbagai faktor secara sistematis terhadap kekuatan-kekuatan (strenghts) dan kelemahan-kelemahan (weaknesses) lembaga atau organisasi, kesempatan-kesempatan (opportunities) dan ancaman-ancaman (threats) dari lingkungan untuk

dijadikan rumusan strategi penyempurnaan tata pameran (Rangkuti, 2005: 18; Hasan, 2009: 2).

Kekuatan (strenghts) merupakan semua hal yang dibutuhkan pada kondisi yang sifatnya internal agar kegiatan-kegiatan penyempurnaan tata pameran berjalan maksimal. Sebaliknya, kelemahan (weaknesses) merupakan kekurangan pada kondisi internal yang berakibat kegiatan-kegiatan penyempurnaan tata pameran belum terlaksana secara maksimal. Kesempatan atau peluang (opportunities) merupakan faktor-faktor lingkungan luar (eksternal) yang positif, sedangkan ancaman (threats) merupakan faktor-faktor lingkungan luar yang negatif (Hasan, 2009: 2-4).

Dalam SWOT berbagai indikasi harus terdata dan terbaca oleh pelaku organisasi dan disajikan dalam bentuk matrik. Matrik SWOT berisi faktor-faktor strategis organisasi yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki organisasi.

Dalam menyajikan matrik SWOT harus didata semua kekuatan (strenghts) dan kelemahan (weaknesses) lembaga atau organisasi yang mencakup sumber daya manusia (SDM), jaringan, sarana, dan prasarana yang dimiliki, sehingga kekuatan (strenghts) dan kelemahan (weaknesses) merupakan kondisi internal lembaga yang dirasakan saat ini. Selanjutnya amati dan didata berbagai kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats) di luar yang mempengaruhi jalannya lembaga atau organisasi. Kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats) yang terklasifikasi merupakan

rumusan faktor-faktor strategis eksternal dalam upaya menangkap peluang untuk dimaksimalkan dan sekaligus meminimalkan ancaman (Hasan, 2009: 4).

Kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman digambarkan dalam matrik SWOT sebagai berikut:

Tabel 2 Matrik SWOT Kondisi Internal Kondisi Eskternal

Kekuatan (Strenghts) Kelemahan (Weaknesses)

Peluang (Opportunities) SO (ada kekuatan internal dan ada peluang eksternal).

WO (ada kelemahan pada internal tetapi terbuka peluang eksternal)

Ancaman (Threats) ST (secara internal ada kekuatan tetapi ada ancaman eksternal)

WT (secara internal ada kelemahan dan ancaman eksternal yang besar).

Tabel 2 di atas dapat dijelaskan bahwa SO adalah strategi yang memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; WO adalah strategi meminimalkan kelemahan internal yang ada dan memanfaatkan peluang eksternal; ST adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan kekuatan yang dimiliki lembaga atau organisasi untuk mengatasi ancaman; dan strategi WT adalah strategi yang ditetapkan berdasarkan kegiatan meminimalkan kelemahan yang ada dan menghindari ancaman.

2.1.4. Desain Pameran

Menurut Udansyah (1987/1988: 2-5) pameran di museum hendaknya bertitik-tolak dari tiga unsur, yaitu koleksi, pengunjung, dan sarana pameran. Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan.

Koleksi yang dipamerkan hendaknya ditampilkan utuh, sehingga selain nilai nominal dan keindahan koleksi yang nampak, juga nilai intrinsik. Benda-benda koleksi yang dipamerkan harus diseleksi dahulu agar tidak terlalu banyak dan terkesan padat. Tata pameran yang sederhana justru dapat menaikan nilai koleksi yang dipamerkan dengan memberi kesempatan luas dan jelas pengunjung mengamati koleksi. Dekorasi atau unsur lain yang dominan harus dihindari, karena mungkin akan mengganggu konsentrasi pengunjung mengamati koleksi. Hal lain yang harus diperhatikan adalah faktor konservasi, yaitu perlindungan, perawatan, dan kebersihan benda koleksi. Koleksi harus dibersihkan dari kotoran, dan apabila rusak harus diperbaiki dahulu sebelum dipamerkan.

Pameran yang disajikan harus dapat memuaskan dan menyenangkan pengunjung, seperti penataan ruang yang memberikan kebebasan bergerak pengunjung. Pengunjung yang berada di dalam ruangan harus dibuat betah agar dapat dengan tenang menikmati serta menghayati isi pameran yang disajikan. Untuk itu harus menghilangkan atau meminimalkan berbagai gangguan, seperti suara bising, udara terlalu panas atau dingin, dan cahaya lampu yang menyilaukan sehingga pengunjung sulit mengamati koleksi.

Selain unsur koleksi dan pengunjung sebagai titik tolak pertimbangan perencanaan tata pameran, juga harus dilengkapi dengan unsur sarana yang baik. Betapapun baiknya konsep, apabila tidak ditunjang dengan faktor sarana yang menarik tentu pameran tidak sempurna.

Penggantian koleksi pameran tetap secara teratur sangat penting dilakukan sebagai daya tarik pengunjung. Dalam hal ini perlu diciptakan sistem tata pameran yang memungkinkan mudahnya perubahan-perubahan koleksi tersebut. Apabila hal tersebut sulit dilakukan mungkin karena vitrin yang tersedia sulit dirubah, untuk daya tarik pengunjung perlu digiatkan pameran temporer.

Faktor lain yang terdapat dalam suatu rancangan pameran adalah tata pameran, karena betapapun bagusnya konsep pameran apabila tidak diiringi keberhasilan dalam menata, sasaran pameran tersebut tidak berhasil. Selain itu pameran harus menarik secara estetis. Apabila hal ini kurang digarap sifat yang memberi kenikmatan pada suatu pameran tidak terpenuhi. Walaupun estetika itu penting dalam setiap pameran, tetapi tidak boleh mengalahkan segi komunikatifnya, kecuali apabila pameran tersebut sepenuhnya hanya memperagakan koleksi secara estetis.

Dalam menyajikan koleksi, penyaji perlu mempertimbangkan bahwa pengunjung museum mempunyai latar belakang pendidikan dan lingkungan yang harus dipenuhi semua. Agar maksud tersebut tercapai perlu dipertimbangkan metode yang sesuai dengan motivasi pengunjung museum, yaitu:

1. Metode romantika, yaitu cara penyajian koleksi yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengungkapkan suasana tertentu yang berhubungan dengan koleksi yang dipamerkan;

2. Metode intelektual, yaitu cara penyajian koleksi yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengungkapkan dan memberikan informasi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan koleksi yang dipamerkan;

3. Metode estetis, yaitu cara penyajian koleksi yang disusun sedemikian rupa sehingga segi-segi keindahan dari koleksi tersebut dapat diungkapkan. Hal penting lain adalah materi penunjang berupa informasi yang mengungkapkan latar belakang sosial, sejarah alam dan budaya, asal lingkungan koleksi, proses pembuatan, dan peranannya dalam masyarakat. Materi penunjang informasi tersebut antara lain berupa foto dan benda grafis, seperti gambar, sketsa, skema, peta, dan label yang komunikatif. Dengan demikian koleksi yang disajikan dalam suatu pameran dapat bercerita tentang dirinya secara jelas kepada pengunjung.

Dalam upaya menciptakan suatu pameran yang lebih komunikatif dan menarik pengunjung, sebuah museum dalam menyajikan koleksinya harus melakukan penyempurnaan tata pameran. Hal ini dilakukan agar dalam menyajikan koleksinya tetap sesuai dengan motivasi, tema, dan metode penyajian terbaru.

Satu di antara beberapa hal penting dalam upaya menyempurnakan suatu pameran adalah tersedianya koleksi, baik koleksi asli (realia) maupun replika. Selain untuk mendukung alur cerita suatu pameran, pembuatan koleksi replika juga ditujukan untuk menghindari kerusakan, kehilangan, atau kemusnahan benda cagar

budaya yang memiliki museum. Benda cagar budaya di museum memiliki risiko kerusakan dan keamanan yang tinggi, nilai bukti ilmiah dan sejarah atau seni yang tinggi, nilai ekonomi yang tinggi, sangat langka (Depdikbud, 1995b: 10).

Koleksi yang menarik dan langka ingin dimiliki museum atau institusi lain perlu dibuatkan reproduksi berupa replika, terutama untuk koleksi unggulan (masterpiece). Koleksi masterpiece adalah koleksi yang memiliki nilai tertinggi, baik bahan, teknik pembuatan, latar belakang sejarah maupun seni, seperti berbahan emas, perak, bertatahkan batu mulia, berhiaskan filigran, granulir, niello, dan lain-lain. Tujuan pembuatan replika selain menjaga keamanan koleksi asli dengan menyimpannya di tempat aman, juga berguna untuk pendidikan anak, sehingga anak-anak dapat memegang atau meraba tanpa harus cemas dengan kerusakan koleksi (Depbudpar, 2007: 16).

Rangkaian korelasi antar teori tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

Penyajian Desain Pameran Bagan 2. Korelasi Antar Teori

Masyarakat Warisan

budaya

Koleksi Museum

Umpan balik (feedback) SWOT

Dokumen terkait