• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Koleksi Regalia Kesultanan Jambi

Pusaka Kesultanan Jambi berupa keris Si Ginjei dan Senja Merjaya diserahkan Pangeran Prabu Negara dan Pangeran Ratu Marta Ningrat kepada Asisten Residen O.L. Petri tanggal 26 Maret 1904. Penyerahan pusaka tersebut juga dihadiri seorang kontrolir, Kemas Kadir, dan Residen Palembang bernama J.A van Rijn Alkemade. Selanjutnya O.L. Petri sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda menyerahkannya kepada Departement van Binnenlandsch Bestuur untuk diteruskan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini Museum Nasional.

Penyerahan pusaka Kesultanan Jambi ini guna memenuhi Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit) Nomor 2 tanggal 24 Mei 1862 yang satu di

antara keputusan tersebut berisi penegasan agar para kepala pemerintahan daerah di Hindia Belanda sedapat dan sebanyak mungkin mengumpulkan koleksi etnografi untuk kepentingan pemerintah, dan mengirimkannya ke Bataviaasch Genootschap

van Kunsten en Wetenschappen.

Museum Nasional tidak hanya menyimpan empat buah koleksi regalia saja, seperti keris Si Ginjei dan Senja Merjaya, bendera Katun Hitam (Raja Sehari), dan bendera wol kuning (Pangeran Ratu), tetapi juga lima koleksi lainnya. Kesembilan koleksi yang menjadi pusaka Kesultanan Jambi kini menjadi bagian dari koleksi etnografi Museum Nasional. Koleksi tersebut ada yang dipamerkan, ditempatkan dalam storage koleksi Sumatra, dan storage ruang tekstil.

Empat di antara sembilan pusaka Kesultanan Jambi merupakan koleksi regalia yang menunjukkan bahwa pemegangnya adalah seorang yang dilegitimasi masyarakatnya sebagai raja atau sultan. Keempat koleksi regalia tersebut adalah keris Si Ginjei, keris Senja Merjaya, bendera katun hitam (bendera Raja Sehari), dan bendera wol kuning (bendera Pangeran Ratu).

Mengenai koleksi tersebut, di bawah ini penulis paparkan keempat koleksi regalia Kesultanan Jambi yang berada di Museum Nasional.

Foto 16. Keris Si Ginjei Sumber: Museum Nasional

3.7.1. Keris Si Ginjei

Keris Si Ginjei menjadi koleksi Museum Nasional pada bulan November 1904 dengan nomor inventaris 10921 (E 263). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch

Genootschap van Kunsten en Wetenschappen

melalui Gubermenten Besluit No. 7, tanggal 14 Agustus 1904.

Keris Si Ginjei bilahnya dibuat dari besi berhiaskan emas daun bermotif sulur daun dengan panjang 39 cm dan ber luk 5. Hulu keris yang dibuat dari kayu berukir berbentuk katak duduk dengan tangan membelit badan. Selut dihiasi permata berjumlah 16 buah berukuran besar dan kecil yang masing-masing berjumlah 8 buah. Kedelapan permata besar rata-rata beratnya 2 karat dengan nilai f. 125 sebuah, sedangkan permata yang kecil masing-masing harganya kurang dari f. 20. Keseluruhan permata tersebut diperkuat emas berbentuk persegi dan oval. Sarung keris (warangka) dibuat dari kayu yang dilapisi emas. Pada bagian depan hiasan warangka diperkaya hiasan motif sulur daun, sedangkan bagian belakangnya polos. Kondisi koleksi sangat baik.

Legenda tertulis yang menyelimuti keris Si Ginjei ini dapat dijumpai dalam beberapa naskah, antara lain: 1). Hal Perkara Kerajaan Jambi (Naskah A); 2) Legenden van Djambi (Naskah B); dan 3) Undang-Undang Piagam

dan Kisah Negeri Jambi (Naskah C). Ketiga naskah tersebut dalam bentuk

penerbitan, seperti buku atau bagian dari isi majalah (tijdschrift). Selain pada naskah, legenda tentang keris Si Ginjei juga beredar lisan di masyarakat dalam berbagai versi yang satu di antaranya menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib (wawancara dengan R.M. Yusuf Kertopati tanggal 13 Januari 2010 dan Rd. Marjoyo Pamuk tanggal 2 Januari 2010).

Naskah A ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu Jambi yang diterbitkan dalam Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG) XLVIII tahun 1906. Naskah B yang ditulis aksara Melayu diterbitkan dalam Tijdschrift

Nederlandsch Indie (TNI) 8 tahun 1846, sedangkan Naskah C ditulis dalam

aksara pegon yang dialihbahasakan dan diterbitkan tahun 2005 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi.

Naskah A dihimpun oleh kontrolir R.C van den Bor pada tahun 1905 dan diterbitkan tahun 1906 dalam TBG XLVIII. Naskah B dihimpun oleh Residen Palembang A.H.W. de Kock tahun 1843 dan dipublikasikan tahun 1846 dalam TNI 8. Naskah C dihimpun oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Perisai Rajo Sari. Bila menilik kata pendahuluan buku tersebut, Naskah C dihimpun sekitar tahun 1905, yaitu setelah Jambi menjadi daerah administrasi Hindia Belanda.

Naskah A terdiri dari 29 halaman yang diawali dengan: “asalnya negeri Jambi tidak beraja, rajanya di Mataram, mengantarkan hasil 2½ tahun ke Mataram”. Isi selanjutnya lebih banyak menceritakan Orang Kayo Hitam berpetualang di Mataram dan mendapatkan keris Si Ginjei yang pembuatannya sangat pelik guna membunuh Orang Kayo Hitam. Orang Kayo Hitam akhirnya diangkat menantu oleh Raja Mataram karena tidak berhasil dibunuh oleh Raja Mataram. Naskah diakhiri hilangnya keris Si Ginjei di Teluk Air Dingin, tapi berkat bantuan Pak Sulung keris dapat ditemukan kembali.

Naskah B terdiri dari 23 halaman yang terbagi dalam 2 bab. Bab 1 berjudul Oude Legenden Omtrent Toean Telanie, dan Bab 2 berjudul

Oorsprong en Lotgevallen van het Tegenwoordig Vorstelijk Huis van Djambi.

Bab 1 menceritakan Toean Telanai sebagai raja pertama yang berkuasa di Jambi. Dia sangat mendambakan seorang putra, tetapi dambaannya ini sangat sulit. Akhirnya lahirlah sang putra, dan kelahirannya diramalkan bahwa si anak akan membunuh bapaknya. Oleh Toean Telanai anak ini dibuang ke laut dalam peti dengan secarik surat yang menyatakan bahwa bayi tersebut adalah putra Raja Jambi. Bayi ini ditemukan dan dipungut oleh Raja Siam dan dirawat hingga dewasa. Setelah dewasa dia mencari orang tuanya ke Jambi, dan akhirnya ramalan menjadi kenyataan, Toean Telanai dibunuh oleh

anaknya. Kemudian negeri Jambi ditinggalkan rakyatnya sehingga menjadi hutan belantara.

Pada bab 2 kisah dimulai dengan kedatangan Datuk Paduka Berhalo dari Turki dan menetap di Pulau Berhala. Setelah berputra Datuk Paduka Ningsum, dia meninggal dunia4. Cucu Datuk Paduka Berhalo adalah Orang Kayo Hitam yang mengamuk di Mataram. Selanjutnya diceritakan tentang pembagian wilayah, pimpinannya, dan pangkatnya di Kerajaan Jambi. Kisah ini ditutup dengan berkuasanya Sultan Ratu Abdul Rahman Nazaruddin.

Naskah C dibagi dalam beberapa pasal yang diawali pasal yang menyatakan keturunan orang Kerajaan Jambi. Pasal kedua dan seterusnya tentang sila-sila dari sebelah Pagaruyung turunan sebelah perempuan; sila-sila keturunan dari sebelah Turki5; Raja Jambi pergi beristri di Palembang, nikah dengan anak Sunan Palembang; cerita asal Tanah Pilih yaitu pedalaman; undang namanya hukum adat; Ratu Mas Sri Kandi pindah di Ratih; yang pertama kupayan piagam tanah Pijoan Sungai Manggis; salinan piagam utan Tanah Tanjung Pedalaman; salinan piagam Tanah Simpang dan tanah Kumpeh Ilir serta undang-undang pecacahan, saya Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Raja Sari utan tanah yang tersebut ini; salinan piagam tanah ulak Duren Hijau pegangan Ngebi Sutho Dilogo pembesar orang kerajaan; salinan

4

Versi lainnya menceritakan bahwa Orang Kayo Hitam bukan cucu Datuk Paduka Berhalo, tetapi anak Datuk Paduka Berhalo, seperti yang diuraikan pada Naskah A dan C.

5

Kekaguman pada bangsa Turki yang menurut alam Melayu disebut bangsa Rum menjadikannya sebagai asal usul keturunan ataupun adanya garis Rum di dalam silsilah kerajaan (Hanafiah, 1992: 17). Turki dipandang sebagai perwujudan ideal Jambi tentang kekuatan dan penolong nyaris Ilahi, serta sebagai juru penyelamat pada masa-masa gawat (Scholten, 2008: 43)

piagam utan tanah bangsa dalam Kumpeh pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Masumai pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Masumai kedanauan Depati Tumpul bersama Gendut Muara Sakala pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi; salinan piagam utan tanah Sengketi Besar pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas; salinan piagam utan tanah Mersam pegangan Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam Malapari Rambutan Manis pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar dari orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; salinan piagam tanah Tantan yaitu pegangan Ngebi Sutho Dilogo priyayi Rajo Sari pembesar dari orang Kerajaan Jambi yang dua belas bangsa; kisah Raja Empat Puluh di Jambi asalnya dari Keraton sebab mendurhaka kepada Sultan; Jambi berajakan Dewa Sekarabah namanya keturunan dari megat-megatan; kisah Jambi berajakan Si Pahit Lidah, dan tatkala mati Raja Si Pahit Lidah maka ini Jambi tidak beraja lagi; orang kerajaan yaitu priyayi Tujuh Koto Sunan Pulau Johor; kisah Orang Kayo Hitam kepada tarikh 737 tahun; utan tanah Simpang namanya dan yaitu tanah bahagian namanya; dan peri menyatakan Sultan Ahmad Zainuddin bin Sultan Sri Maharaja Batu.

Naskah C yang seluruhnya 131 halaman merupakan naskah paling lengkap dari dua naskah lainnya.

Untuk memperkirakan kapan cerita ini diedarkan, tentunya harus membandingkannya dengan peristiwa sejarah yang tercatat. Peristiwa dan bukti-bukti sejarah Jambi diperkirakan cerita tersebut dikembangkan sekitar tahun 1663 dengan dasar bahwa dari ketiga naskah tersebut menyatakan bahwa Jambi sebelum Orang Kayo Hitam berkuasa secara teratur mengirim upeti ke Mataram, yaitu setiap 2½ atau 3 tahun sekali. Naskah C menyebut upeti tersebut sebagai pekasam pacat dan pekasam keluang ke Mataram.

Dalam peristiwa sejarah, Jambi memutuskan hubungan dengan Mataram, baik sebagai vasal maupun ideologi politik sekitar tahun 1663. Peristiwa tersebut dipaparkan oleh de Graaf (1987: 75) sebagai berikut:

“Pada tanggal 17 Mei 1663 datanglah dari Jambi tanpa dipanggil Kepala Kompeni Evert Michielsen ke Batavia atas permintaan dan sebagai utusan Pangeran Ratu Jambi dengan membawa berita penting. Antara lain dia harus mengemukakan kepada Pemerintah Batavia tentang pemisahan Sri Baginda (Jambi) dari Istana Mataram (Daghregister). Selain itu, muncul pula dua utusan Jambi, yaitu Kiai Demang Nayariadiwangsa, putra Temenggung Suryanata, penasehat utama Temenggung, dan seorang lagi Kiai Ngebei. Mereka berdua dengan hikmat bukan saja menyampaikan berita tentang raja muda yang naik tahta, tetapi juga menyatakan hasrat untuk memisahkan diri dari Mataram dan melakukan hubungan yang lebih dekat dengan Kompeni. Jadi raja yang muda itu telah memegang tampuk pemerintahan, tetapi belum berpengalaman. Ia sudah bertekad bulat untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Mataram atau kerajaannya, dan akan melakukan politik mendekati Kompeni”.

Secara tegas Pangeran Ratu menyatakan: “ingin berkuasa sebagai raja, bukan sebagai vazal, kalau tidak … lebih baik turun saja”. Pernyataan ini

dicatat dalam Daghregister, 5 April 1663. Selanjutnya, Pangeran Ratu berkata dengan marah: “Para leluhur kami adalah raja-raja yang berdaulat, mengapa kami tidak?” (de Graaf, 1987: 74).

Mengenai prosesi pengangkatan raja baru Haga (1929: 234) memaparkan sebagai berikut:

“Pada hari yang telah ditentukan, lurah dari Jebus (satu di antara Bangsa XII) diangkat sebagai Raja Jambi – ‘Raja Sehari’ – yang berlaku dari pagi hari hingga pukul 5 sore. Pada menit-menit terakhir sultan baru diperlihatkan pada orang-orang yang berkumpul. Kepala Suku Kedipan saat itu menembakan meriam Si Jimat, sedangkan Kepala Suku Perban membunyikan gong Sitimang Jambi sambil berseru: “Dengarkan semua rakyat Kerajaan Jambi yang terdiri dari VII Koto, IX Koto, Jebus, Air Hitam, Petajin, Maro Sebo, Pucuk Jambi, dan IX Lurah, inilah raja kita”. Penduduk yang berkumpul menyambutnya dengan meriah. Kemudian keris pusaka kerajaan Si Ginjei disisipkan di ikat pinggang raja baru oleh ‘Raja Sehari’ sambil mengucapkan: “Adik, engkau telah diangkat menjadi raja. Seluruh tanah, air, dan rakyat yang hidup itu dipercayakan dalam pemeliharaan dan lindunganmu”. Lalu “Raja Sehari” menyatakan hormatnya pada Sultan, diikuti pula oleh para kepala anggota berbagai suku, para menteri, dan mereka yang menghadiri pelantikan”.

Legenda lisan tentang keris Si Ginjei menceritakan bahwa keris tersebut hilang secara gaib seiring tewasnya Sultan Taha. Versi lainnya menceritakan bahwa keris tersebut berada dalam perut ikan tapa besar yang bersembunyi di Sungai Batanghari di muka rumah dinas Gubernur Jambi (wawancara dengan R.M. Yusuf Kertopati tanggal 18 Januari 2010 dan Raden Marjoyo Pamuk tanggal 2 Januari 2010).

Sebelum diserahkan oleh Pangeran Prabu Negara ke Pemerintah Hindia Belanda, keris Si Ginjei dikuasai Sultan Taha Saifuddin. Sultan Taha

Foto 17. Keris Senja Merjaya Sumber: Museum Nasional

Saifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang diakui masyarakat Jambi. Sultan Taha Saifuddin gugur pada tanggal 26 April 1904 di Betung Berdara, Kabupaten Tebo saat disergap tentara kolonial Belanda.

3.7.2. Keris Senja Merjaya.

Keris Senja Merjaya menjadi koleksi Museum Nasional pada bulan November 1904 bernomor inventaris 10920 (E 264). Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van

Kunsten en Wetenschappen melalui Gubermenten Besluit No. 7, tanggal 14

Agustus 1904.

Keris Senja Merjaya bilahnya dibuat dari besi dengan sedikit hiasan motif sulur daun dari emas daun, terutama pada bagian

dapur dan lambe. Keris yang panjangnya 35

cm berhulu kayu bentuk katak duduk dengan tangan membelit badan, ber-luk 7, dan ber-selut emas dengan motif sulur daun, tumpal, bunga, dan lidah api. Kondisi koleksi sangat baik.

Keris Senja Merjaya merupakan keris pemberian Sultan Palembang kepada Pangeran Ratu Anom Martadiningrat sebagai hadiah perkawinannya dengan putri Palembang. Dalam Naskah C, Pasal Raja Jambi

Foto 18. Bendera Katun Hitam (Raja Sehari) Sumber: Museum Nasional

Pergi Beristri di Palembang, Nikah Dengan Anak Sunan Palembang, dipaparkan sebagai berikut:

“Maka berwasiatlah Ratu Ibu kepada anaknya dan kepada raja yang besar-besar, dan kepada mentrinya yang besar dikatanya inilah keris aku yang disangui Sri Paduka Ayahanda Susunan Palembang, masa aku hendak berangkat ke Jambi dahulu, maka sekarang ini keris aku namai Singo Marjayo yang aku jadikan kerajaan kepada orang Tembesi, dan kepada Orang Batin Sembilan. Siapa juga yang bergelar Pangeran Ratu, maka itulah yang memegang keris ini, maka itulah raja orang Tembesi dan orang Batin Sembilan ……”. (Darahim, 2005: 35).

Sebelum diserahkan ke Pemerintah Hindia Belanda, Keris Senja Merjaya dikuasai oleh Pangeran Ratu Martaningrat. Kondisi koleksi sangat baik.

3.7.3. Bendera Katun Hitam.

Bendera katun hitam menjadi koleksi Museum Nasional pada tanggal 22 Mei 1905 dengan nomor inventaris 11674. Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen melalui Gubermenten Besluit

Bendera katun hitam berbentuk empat persegi panjang. Pada tepi atas kain disisipkan sehelai katun putih bentuk empat persegi panjang berukuran 28 x 44 cm. Bendera yang berukuran panjang 179 cm dan lebar 82 cm merupakan bendera Raja Sehari saat prosesi pelantikan Sultan Baru.

Mengenai Raja Sehari disebutkan dalam Naskah C, yaitu Pasal yang Pertama Menyatakan Keturunan Orang Kerajaan Jambi Satunya. Pasal tersebut berbunyi:

“Adapun Raja Sari itu keturunan Orang Kayo Pingai. Dan kepalanya yang besar tumbuhnya di Kampung Baharu Tanjung Pedalaman, asalnya sekarang sudah pindah di Tanjung Pasir. Dan pengaturannya hadap raja, jika hendak mendirikan raja dialah dahulu menjadi raja, satu hari itu lalu mendirikan sulthan” (Darahim, 2005: 21-22).

Sumber lain, yaitu dalam Pasal 5 Undang-Undang dan Ketentuan Tentang Pencacahan Orang-Orang di Dalam Kerajaan Yaitu Yang 12 Kalbu berbunyi:

“Adapun mengenai periyayi RAJA SARI adalah keturunan Orang Kayo Pingai, pembesar yang mengepalai kalbu ini duduknya ada di Kampung Baru Tanjung Pedalaman akan tetapi sekarang ini sudah pindah di dusun Tanjung Pasir, kalbu ini memegang adat dan aturan untuk memegang jabatan raja untuk satu hari, bila negeri melakukan penobatan/pelantikan raja, karena itu disebutkan sebagai RAJA SARI (Raja Sehari)” (Abdullah: 1995: 12).

Foto 19. Bendera wol kuning (Pangeran Ratu) Sumber: Museum Nasional

3.7.4. Bendera Wol Kuning.

Serupa dengan Bendera katun hitam, bendera wol kuning menjadi koleksi Museum Nasional pada tanggal 22 Mei 1905, tapi dengan nomor inventaris berbeda, yaitu 11679. Koleksi ini diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen melalui Gubermenten Besluit No. 17, tanggal 12 Mei 1905.

Bendera kain kuning ini berbentuk empat persegi panjang polos dari bahan wol. Bendera yang berukuran panjang 246 cm dan lebar 140 cm dahulu menunjukkan jabatan Pangeran Ratu. Kondisi koleksi rapuh, dan beberapa bagian robek.

Keempat koleksi dan koleksi lainnya yang berada di Museum Nasional tidak dapat dikembalikan ke daerah asalnya karena koleksi tersebut sudah menjadi aset nasional. Permintaan beberapa pemerintah daerah yang menginginkan kembalinya koleksi ke daerahnya hanya dapat dipenuhi dengan membuatkan replika atau memvisualkan dalam bentuk foto (wawancara dengan Intan Mardiana tanggal 25 Januari 2010).

Kesempatan untuk membuat replika koleksi regalia Kesultanan Jambi dan koleksi lainnya belum dapat dipenuhi karena keterbatasan anggaran. Anggaran yang sekarang tersedia digunakan untuk membuat replika koleksi arca batu yang berasal dari situs Percandian Muaro Jambi (wawancara dengan Junaedi T. Noor tanggal 19 Januari 2010).

Dokumen terkait