• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANAK DI TAPAL BATAS NEGERIKU Oleh Lisniarti, S.Pd.

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 50-56)

Oleh Iswatul Hasanah

ANAK DI TAPAL BATAS NEGERIKU Oleh Lisniarti, S.Pd.

Penempatan SD YPPGI Pyramid, Distrik Pyramid, Kabupaten Jayawijaya,

***

Indonesia? Apa itu Ibu guru? Negara? Oh bukan Ibu guru…

Itu bukan negara kami. Indonesia itu Ibu guru pu (punya) negara. Kita orang beda. Kita Papua. Ibu guru boleh

datang sini. Kita orang senang Ibu guru di sini. Tapi kita beda toh.

***

Diawal pengabdianku acapkali kutemukan pembicaraan seperti ini. Baik di kelas, waktu istirahat, di rumah, maupun ketika les sore. Setiap kali ditanya, “Kita tinggal di negara apa?” atau “Anak, Kita pu negara namanya apa e?”. Mereka selalu kebingungan dan acapkali menjawab “PAPUA”. Awalnya sedikit miris ketika anak-anak usia sekolah dasar (SD) tingkat 3 dan 4 mengucapkan hal tersebut. Harusnya, tanpa diberi tahu anak sekolah dasar mengetahui hal sederhana seperti ini. Tapi tidak untuk anak-anakku di sini. Hal sederhana seperti nama negara saja mereka belum tahu.

Setiap hari sebelum masuk pembelajaran baCA tuLIS hiTUNG (CALISTUNG)*, hal yang selalu kusampaikan berulang- ulang adalah “Anak, Kita tinggal dinegara Indonesia. Ibu guru dari Riau, tapi Ibu guru Indonesia. Anak semua Papua, tapi anak juga Indonesia. Indonesia itu luas anak. Orang tinggal di Jawa, Jawa juga Indonesia toh”. Kusampaikan hal ini setiap hari sampai kurang lebih dua bulan. Atau sampai mereka akrab dengan kata Indonesia. Kusampaikan dengan logat ke-Papua-Papuan seraya berharap mereka mengerti apa yang kuucapakan. Bukan hal yang aneh di sini, jika masih ada anak yang belum mengerti bahasa Indonesia. Setiap hari kulakukan rutinitas ini sampai mereka terbiasa mengucapkan “Kita orang tinggal di negara Indonesia”, walaupun masih ada satu dua orang yang latah mengucapkan “negara Papua”.

Permasalahan tentang nasionalisme tidak berkutat tentang nama negara saja. Anak-anakku di sini banyak yang tidak

menggambar. Dalam setiap gambar akan selalu ada bendera. Akan tetapi bendera yang mereka gambar bukanlah bendera merah putih. Warna merah putih akan selalu mendapat

tambahan warna biru ditambah bonus bintang besar disisi bendera. Setiap kali ditanya, “Anak, ini Ko gambar apa?” dia hanya akan tersenyum tanpa tahu apa yang digambar. Beberapa anak lainnya menjawab, “ini bendera Papua Ibu guru. Ada

dibelakang rumah Sa(ya). “Lalu itu yang dihalaman sekolah kita itu bendera apa e?”. “Oh. Itu Ibu guru pu bendera”. O Tuhan. Aku bergumam dalam hati. Darimana paham ini mereka dapatkan. Siapa yang menanamkan paham seperti ini dalam otak polos mereka. Mereka yang masih dalam lingkup negara Indonesia. Mereka yang bahkan tidak dikategorikan digaris terluar

Indonesia. Bagaimana mungkin tidak mengenal Indonesia. Dan luar biasanya, sebagian dari mereka justru mengira mereka bagian dari Papua Nugini. Ketika ditanya mengapa? Mereka menjawab karena sama-sama Papua.

Suatu kali, teman satu penempatan pernah memarahi anak di kelasnya. Alasannya kenapa digambarnya selalu ada gambar bendera bewarna biru, merah, dan putih plus bintang. Kenapa bukan merah putih saja?. Anak itu dengan polosnya menjawab. “Bapak guru, ini kan hanya gambar”. Ketika mendengarnya kami terhenyak. Benar. Itu memang hanya sekedar gambar. Kenapa begitu kami permasalahkan. Bukankah anak-anak bebas

berimajinasi? Kenapa justru imajinasi mereka dibatasi?. Akan tetapi muncul pertanyaan. Kenapa harus begitu? Dari mana munculnya imajinasi itu? Barangkali tidak akan muncul imajinasi yang begitu liar tanpa ada sebab musababnya. Entahlah.

Posisi Kabupaten Jayawijaya tidak dapat disebut sebagai garis batas terluar Indonesia, karena masih berada di wilayah pegunungan tengah Papua, sehingga masih jauh dari garis perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang benar-benar digaris batas Indonesia?

** Lisniarti S.Pd., peserta SM3T Angkatan V LPTK Universitas Riau ditempatkan di SD YPPGI Pyramid, Distrik Pyramid, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Menjalani pengabdian selama lebih kurang 4 bulan. Banyak suka duka dalam menjalani pengabdian, dan Alhamdulillah lebih banyak sukanya.

SM3T – HEPUBA – PAPUA Oleh Martha Uli Hutahaean

Sarjana Mendidik didaerah Terdepan,Terluar,Tertinggal (SM3T) sebuah program pemerintah dibawah naungan Kementrian Riset dan Teknologi,yang merupakan program percepatan pembangunan dibidang pendidikan di wilayah- wilayah tertinggal Indonesia. Sebuah program yang menghantarkan kami peserta SM3T ke Kab. Jayawijaya Prov. Papua menuju daerah 3T yang mungkin menjadi suatu tantangan terberat yang akan kami hadapi demi turut membantu pemerintah dalam menuntaskan permasalahan pendidikan di daerah ini,khususnya

permasalahaan Baca,Tulis,Hitung (CALISTUNG). Tidak terealisasinya sistem pendidikan, kurangnya tenaga pendidik, minimnya fasilitas sekolah, dan lain sebagainya seakan menjadi permasalahan umum didaeraah ini. Dengan

pengalaman yang terbilang masih sangat sedikit,namun keinginan dan harapan untuk membantu anak-anak didik di daerah ini cukup membuat kami para peserta SM3T untuk terus berusaha memberikan yang terbaik.

Kampung Hepuba,salah satu kampung yang ada di distrik Asolokobal suatu wilayah setingkat kecamatan yang berada di Kab.Jayawijaya. Hepuba juga merupakan pusat dari distrik Asolokobal. Seluruh warga kampong ini masih merupakan penduduk asli dengan Fam ASSO dan LOKOBAL. Kampung Hepuba bersebelahan dengan Kali Baliem dan dikelilingi pegunungan,juga merupakan tempat kelahiran dari bapak Bupati Jayawijaya saat ini.

SD YPPK ST.MICHAEL HEPUBA merupakan tempat saya

melaksanakan tugas mengajar,saya cukup senang karena saya ditugaskan di tingkat sekolah yang sesuai dengan jurusan saya. Martha Uli Hutahaean,S.Pd, saya lulusan dari Universitas Jambi Jurusan Ilmu Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Sambutan awal dari sekolah ini sangat sederhana namun sangat

yang berdiri dihalaman sekolah,dengan seragam merah putih lusu,kaki yang tak beralas,dan ingus yang hampir membasahi bibir,namun teriakan mereka yang tak henti memanggil “ibu guru” membuat saya sangat bahagia. Sekolah ini memiliki Delapan orang staf, seorang Kepala Sekolah, Lima orang Guru Kelas, Satu orang Guru Agama Katholik, dan Satu orang penjaga sekolah. Bangunan Sekolah Dasar yang merupakan yayasan Gereja ini masih Semi Permanen, dengan enam ruang kelas, satu ruang kantor, satu ruang perpustakaan,dua WC guru dan dua WC siswa,sekolah ini tidak memliki perumahan guru,sehingga kami diberi rumah untuk tempat kami tinggal di perumahan pegawai distrik yang kebetulan kosong. Rumah kami berjarak kira-kira 500m dari sekolah dan saya diberi tugas untuk menjadi wali kelas 4 dengan jumlah siswa 18 siswa,11 anak diantaranya laki-laki dan 7 anak perempuan.

Tiga hari pertama,saya menghabiskan waktu untuk berkenalan sembari bercerita bersama anak kelas lima,Perlu waktu lebih dari 1 bulan bagi saya untuk mengenal dengan pasti wajah dan nama dari siswa yang saya ajar,terkadang saya masih salah mengenali karena wajah,kulit,dan rambut mereka yang sangat mirip. Awalnya saya cukup bingung mau memulai pelajaran,apa materi yang akan ajarkan dan bagaimana cara saya untuk menyampaikan pembelajaran di kelas ini,namun saya cukup penasaran akan cerita teman-teman yang lain ketika mereka pertama kali mengajar,mereka meminta siswa mereka menggambar,dan

menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan. Tak mau terus penasaran saya pun mengikuti jejak para teman saya,meminta siswa saya menggambarkan bagaimana kehidupan di papua sebagai bagian dari Indonesia,dan benar seperti yang

ditemukan oleh teman-teman yang lain,hampir 60% siswa menggambarkan rumah,sekolah,dan tempat tinggal mereka dengan hiasan bendera bintang kejora. Ternyata memang hampir dari keseluruhan anak-anak di papua ini masih merasa bahwa mereka bukan bagian dari Indonesia.

Mengajar di Sekolah dasar bukanlah hal yang pertama saya

lakukan,namun ketika saya mulai mengajar di sekolah ini saya seakan mengalami mengajar siswa SD untuk pertama kali,perbedaan yang sangat signifikan dengan keadaan ketika saya mengajar siswa SD di sumatera. Saya mengajar di kelas

tinggi yakni kelas 4,namun saya merasa saya mengajar di kelas 2 ataupun kelas 3. Setelah melakukan beberapa tes awal untuk mengetahui tingkat pengetahuan membaca,menulis dan berhitung dari siswa kelas 4 ini saya cukup tersenyum namun tak henti menggeleng-gelengkan kepala. Untuk membaca siswa kelas 4 ini masih sangat lambat,bahkan ada yang masih mengeja dan tidak tahu membaca. Untuk menulis,mereka tidak menghiraukan pemakaian huruf besar dan kecil,dan untuk berhitung masih sangat butuh kerja keras karna untuk penjumlahan bilangan sampai 20 saja masih sangat lambat. Untuk itu dalam waktu Tiga bulan yang saya lewati,saya tidak mengajarkan materi seperti pada kurikulum pendidikan. Selama ini saya hanya lebih banyak untuk melatih membaca,menulis dan mengajarkan operasi hitung penjumlahan dan penguranagan.

Satu bulan pertama belum ada hal yang menjadi permasalahan yang saya temui,semua masih berjalan seperti biasa,namun dalam bulan kedua bahkan bulan yang ke tiga permasalahan yang sama dengan yang di temui oleh teman-teman pun juga saya temui,para guru-guru mulai tidak menampakkan batang hidungnya kesekolah,begitu juga dengan kepala sekolah,hamipr pada bulan ke dua dan ketiga bapak kepala sekolah sama sekali tidak pernah hadir di sekolah.Saya juga

menemui beberapa tindakan kekerasan terhadap anak yang sungguh membuat saya sangat terkejut. Saya tidak bisa berbuat banayak untuk permasalahan ini, saya merasa tidak punya cukup hak untuk mencampuri masalah tersebut, saya hanya bisa menasehati anak-anak untuk tidak melakukan hal yang membuat guru- guru setempat menjadi marah.

Ada beberapa pertanyaan dan pernyataan siswa yang mungkin akan terus melekat di pikiran saya, “Ibu guru,enak ya jadi orang Indonesia,cantik,kulitnya putih rambutnya bagus.” “Ibu guru nanti kalo saya sudah besar saya bolekah saya main ke Indonesia?”, “Ibu guru orang-orang di Indonesia itu jahat kah tidak?” dan beberapa pertanyaan lain. Saya hanya bisa menjawap semampu dan sebaik yang saya bisa, dan tetap selalu menjelaskan dengan perlahan bahwa mereka semua adalah juga bagian dari Indonesia.

Sudah tiga bulan saya dan teman-teman mengabdikan diri di masing- masing sekolah di Kab. Jayawijaya ini,masih cukup banyak tugas yang harus saya

benahi dalam menjalankan tugas ini,tetap berusaha dan berdoa serta memberikan yang terbaik adalah harapan saya untuk anak-anak di SD YPPK HEPUBA demi cita-cita mereka yang yang selalu mereka impikan.

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 50-56)