• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMPAT TERJADINYA WAMENA BERDARAH, ITULAH DAERAH PENGABDIANKU!

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 115-121)

KARENA PAPUA JUGA INDONESIA

TEMPAT TERJADINYA WAMENA BERDARAH, ITULAH DAERAH PENGABDIANKU!

by : Winanda Dwinasari

Papua, sebuah pulau yang tak pernah saya duga bisa menjadi tempat pengabdian saya selama satu tahun kedepan melalui program SM3T. Tepatnya pada tanggal 28 Agustus 2015, yaitu hari pengumuman daerah sasaran, saya mendapat amanat untuk melaksanakan tugas pada sebuah sekolah yayasan katolik bernama SD YPPK Santo Stevanus Wouma, yang berada pada distrik Wouma, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Pertama kali saya dijemput oleh pihak sekolah untuk perkenalan dengan guru beserta staff adalah pada hari Sabtu, tepatnya tanggal 29 Agustus 2015, sehari setelah pengumuman daerah sasaran resmi diumumkan. Perasaan saya ketika itu sangat rumit saya ceritakan, karena saya belum tahu sama sekali seperti apa kondisi masyarakat, kondisi sekolah, keadaan anak-anak yang nanti akan saya didik. Ketika saya sampai disekolah, saya merasa senang karena ternyata sekolah saya masih cukup dekat dengan kota, jika menggunakan sepeda motor hanya memerlukan waktu 10 menit saja.

Saya beserta rekan seperjuangan saya ketika itu langsung disambut baik oleh kepala sekolah beserta guru-guru, setelah berbincang-bincang dan berkenalan, kepala sekolah mengumumkan bahwa saya diamanatkan mengajar di kelas III sedangkan rekan saya mendapat tugas mengajar di kelas VI. Tak lama setelah acara perkenalan dan pembagian tugas tersebut, hal yang tak disangka- sangka pun terjadi, PERANG antar suku sedang berlangsung tepat dijalan didepan sekolah. Mama-mama beserta anak bayinya berlarian meminta perlindungan disekolah. Saya beserta rekan saya ketika itu panik, karena hal ini baru pertama kali kami alami. Suara teriakan pun terdengar membuat siapapun yang mendengarnya merasa ketakutan. Saya mulai berdoa dalam hati begitu pun rekan saya, guru-guru mulai menghubungi polisi. Alhamdulillah perang tersebut hanya berlangsung 15 menit saja, saya pun bisa bernapas lega ketika itu, tak lama setelah itu saya beserta rekan diantar pulang oleh guru-guru.

Itulah pengalaman yang paling saya ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki disekolah tempat pengabdian saya. Hari baru pun datang, pada tanggal 01 Agustus 2015, saya beserta Tim SM3T Angkatan V LPTK UR 2015 diantar oleh bapak dari dinas pendidikan ke daerah sasaran masing-masing. Keesokan harinya, ketika saya masuk pertama kali masuk dikelas IIIA , saya

menemukan pemandangan yang sangat tidak biasa, anak-anak dengan kulit hitam, rambut keriting, bulu mata lentik, melihat saya dengan pandangan antusias. Pelajaran pun dimulai dengan perkenalan, baik saya yang memperkenalkan diri maupun anak-anak. Mereka maju satu persatu kedepan untuk memperkenalkan diri.

Jumlah anak didik saya sebanyak 29 siswa, terdiri dari 14 siswa laki-laki dan 15 siswi perempuan. Mereka semua anak yang baik dan manis meskipun ada kalanya mereka membuat saya kesal, namun dengan melihat semangat, senyum serta tingkah polos mereka mampu membuat rasa kesal saya hilang seketika.

Setelah 4 bulan pengabdian berjalan, setidaknya sekarang sudah ada sedikit perubahan pada diri anak didik saya, dimana yang tadinya belum bisa membaca, sekarang sudah bisa membaca meskipun belum terlalu lancar. Anak yang tadinya belum bisa berhitung, sekarang sudah bisa penjumlahan, pengurangan serta perkalian. Saya berharap semoga doa saya selalu dijabah Allah untuk membuat perubahan-perubahan yang lebih baik lagi pada diri anak didik saya disisa 8 bulan pengabdian saya disini.

Rasa syukur tak lupa saya haturkan atas segala nikmat hidup serta kesempatan yang Tuhan berikan kepada saya, ketika saya dipertemukan dengan anak-anak didik saya, mereka amanat yang harus saya jaga dan saya selalu berusaha dan berdoa, agar ketika masa pengabdian saya telah usai saya bisa melihat perubahan-perubahan yang baik pada diri anak-anak didik saya, saya berharap anak-anak saya bisa menjadi anak-anak yang dibanggakan orangtua, serta bisa menjadi anak-anak yang dapat menaikkan harkat martabat keluarganya.

Luar biasa Udara segar

Berikan Perhatian yang Lebih kepada Mereka Oleh Windy Delvia

Berawal dari program pemerintah dinas pendidikan tinggi yang menugaskan sarjana pendidikan ke daerah 3T yang di sebut dengan SM-3T (Sarjana Mengajar terdepan, terluar dan tertinggal) dan saya pun sampai di tanah Wamena, Papua yang menyegarkan ini. Sungguh udara yang menyegarkan dengan suhu berkisar 90C-150C memberikan efek pikiran yang nyaman dan tenang

dan saya tidak sedikitpun menyesal ketika sampai di tanah Wamena. Setelah seminggu di Wamena, barulah kami diberikan surat tugas untuk mengajar d sekolah-sekolah. Saya ditempatkan sekolah dasar INPRES MULELE yang terdapat di Distrik Wamena, betul saya dapatnya di daerah kota Wamena. Ada rasa syukur yang mesti rasa ungkapkan, karena tidak banyak teman-teman yang dapat di kota hanya 8 orang dan saya salah satunya.

Untuk menuju SD INPRES MULELE butuh waktu sekitar 10-15 menit menggunakan sepeda. SD INPRES MULELE terletak di jalan Hom-hom, disana ada juga Kampus Yapis II. Selain saya melihat Siswa saya juga melihat mahasiswa pribumi yang rata-rata mereka semua ketika pergi belajar hanyalah jalan kaki. Semangat seperti itu haruslah menjadi pertimbangan untuk kita semua, bahwa semangat belajar masyarakat pribumi itu luar biasa.

Jam sekolah rata-rata di Wamena mulai dari jam 07.30-12.00 WIT, itu berlaku mulai dari jenjang SD, SMP, dan SMA. Setiap pagi saya pergi ke sekolah menggunakan sepeda, di jalanan bertebaranlah masyarakat yang sibuk menempuh aktivitasnya masing-masing, mulai dari siswa, mahasiswa, Guru, PNS, Pedagang, tukang becak, ojek yang disambut dengan udara yang segar. Rasa lelah mengayuh sepeda seketika bisa hilang ketika ada siswa yang menyapa dengan sebutan Ibu Guru, iya di Wamena ini sebutan guru itu Ibu Guru dan Bapak Guru. Padahal kalau di kampung saya biasanya hanya dengan sebutan Ibuk dan Bapak. Namun, beda halnya di Wamena yang mengistimewakan sebutan guru. Profesi Guru

sangat di hormati oleh masyarakat, karena Guru bagi meraka adalah pendidik yang dapat memberikan kepintaran.

Di SD INPRES MULELE awalnya saya mengajar di kelas 1 mengganti Guru yang sedang cuti. Agak sulit mengajar siswa karena beda bahasa, jadi ketika saya berbicara yang mengerti hanyalah beberapa siswa saja dan saya juga kesusahan untuk mengerti bahasa mereka. Bahasa yang saya sebut maksudnya logatnya. Mereka berbahasa Indonesia, tapi logatnya yang membuat saya bingung. Untuk menutupi kesulitan itu saya banyak menugaskan siswa untuk menulis. Siswa kelas 1 sebagiannya belum bisa menulis karena tidak semua siswa mendapat pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak.

Untuk menyetarakan semuanya, setiap masuk kelas saya memberikan kartu yang bertuliskan suku kata. Saya berikan 1 orang 5 kartu dan saya menugaskan untuk mengingat suku kata pada kartu itu. Namanya juga anak-anak yang masih suka bermain, semuanya ribut lari sana lari sini, pukul sana pukul sini. Teriak sana teriak sini. Tidak ada tertib seperti yang saya harapkan. Saya mulai bingung bagaimana caranya menertibkan 30 siswa ini. Saya suruh duduk ke tempat masing-masing, akhirnya mereka duduk. Tapi Cuma 2 menit mereka diam dan kembali ribut. Dan saya mulai bingung lagi. Rasanya mau menangis lihat siswa ribut-ribut, rasanya mereka tidak menghargai saya yang berada di depan kelas. Saya mulai kesal dan kecewa, jauh dari apa yang saya harapkan.

Untuk pertemuan selanjutnya saya berpikir harus menggunakan strategi jitu untuk memfokuskan pikiran mereka untuk belajar. Saya harus hapal nama mereka semua, biar ketika ada yang ribut saya tinggal panggil namanya. Cukup efektif ketika saya hapal nama mereka. Tapi lama-kelamaan mereka suka namanya saya panggil. Malah mereka sengaja berjalan agar di panggil dan disuruh duduk. Kebingungan mulai melanda. Saya harus mencari lagi sesuatu yang memfokuskan pikiran mereka. Saya mencari berbagai macam tepuk, mulai dari tepuk pramuka, tepuk diam, tepuk salut, dan tepuk-tepuk lainnya. Hal semacam ini juga memberikan efek yang positif meskipun belum maksimal karena namanya juga anak-anak agak sedikit susah mengaturnya. Perlahan-lahan keributan kelas mulai berkurang. Dan perlahan-lahan siswa satu persatu mulai mengenal huruf. Sampai disitulah cerita saya di kelas 1.

Setelah mengajar di kelas 1, saya dapat kelas baru yaitu kelas 5 denga mata pelajaran IPA sesuai dengan jurusan saya. Sebenarnya tidak terlalu sesuai, tapi ada sedikit hubungannya saya jurusan Pendiddikan Fisika masih kategori IPA.

Di kelas 5 perjuangan sama yang tampak ketika harus menenangkan suasana kelas. Ternyata kelas rendah maupun kelas atas sama ributnya. Kembali lagi saya bingung apa yang harus saya lakukan untuk menenangkan mereka tidak mungkin saya samakan dengan anak kelas satu tepuk-menepuk apalagi bernyanyi. Awalnya saya buat diskusi kelompok, tapi tidak berjalan dengan baik. Ternyata kalau dibuat kelompok mereka malah suka bisa diskusi. Diskusinya bukanlah tentang pelajaran, tapi cerita dan teriak-teriak. Masih saja dengan suasana keributan. Setelah itu saya tugaskan menghapal. Menghapalnya lumayan berjalan tapi ributnya masih ada, Karena mereka menghapal itu menggunakan metode suara, harus dikeraskan. Lalu saya memberikan tugas tulisan, ada sebagian yang mengerjakan dan ada yang tidak. Dan akhirnya saya pun menggunakan metode lama. Menjelaskan materi lalu diskusi, dicatatkan, terakhir diberi tugas. Hal semacam itu membuat mereka lebih nyaman dan semangat.kalaupun ada yang mulai ribut, teman yang lain pasti melarang. Ternyata mereka tidak bisa mandiri, belum bisa belajar secara mandiri. Mereka belajar memang harus selalu dipantau, diingatkan, dan harus diperhatikan. Saya harus memperhatikan semua siswa supaya mereka serius belajar. Tidak terlalu membutuhkan media yang penting mereka diperhatikan. Cukup pengalaman saya sampai di sini, mudah-mudahan pendidikan d Jayawijaya ada peningkatan karena adanya guru SM-3T.

Mengajar di SD YPPK Sinatma Walesi Papua Oleh Yesi Herlina

Saya Yessi Herlina jurusan PPKn Universitas Riau. Ini pertama kalinya saya mengajar didaerah 3T, di tugaskan di daerah Papua,juga mengajar ditingkat sekolah dasar.Saya di tugaskan untuk mengajar di SD YPPK Sinatma Walesi.

Hari pertama saya datang mengajar ke SD YPPK SinatmaWalesi, saya merasa senang sekali karena disambut baik oleh guru-guru dan anak-anak murid

di sekolah tersebut. Ditambah lagi jumlah anak-anak muridcukup banyak sehingga menambah semangat saya untuk mengajar. Memang terasa sekali berbeda mengajar di daerah asalku dengan disini. Kenapa? karena masih banyak anak-anak belum mengerti banyak bahasa Indonesia, terlebih untuk kelas 1 dan 2. Sehingga membuat saya agak sulit berkomunikasi, namun sedikit demi sedikit saya mempelajari bahasa sehari-hari mereka.

Untungnnya, di sekolah tersedia buku-buku pelajaran dengan kontekstual Papua. Dengan begitu dapat mempermudah saya dalam mengajar dan berkomunikasi dengan murid-murid. Sehingga kegiatan belajar dan mengajar pun berjalan dengan baik. Ada beberapa kondisi yang sangat membuat hati saya miris yaitu kondisi dimana masih banyak anak-anak yang belum mempunyai seragam sekolah sehingga anak-anak ke sekolah dengan berpakaian bebas dan tidak memakai sepatu.Saya sangat berharap sekali pemerintah dapat melihat itu dan tidak membiarkan kondisi tersebut.

Selain kondisi tersebut, juga kondisi dimana masih banyak anak-anak yang belum memahami kebersihan diri. Contohnya, banyak anak-anak yang tidak mandi ke sekolah bahkan berhari-hari tidak mandi. Untuk itu saya selalu mengajarkan kepada mereka bagaimana menjaga kebersihan diri. Mulai mandi 2 kali sehari pagi dan sore hari, cuci tangan sebelum makan, mengosok gigi dan untuk ganti baju setiap hari.

Kembali kekondisi kegiatan belajar mengajar, masih banyak guru-guru tetap sekolah yang jarang datang sehingga anak-anak jarang juga belajar di sekolah. Untuk itu saya membantu dengan kegiatan kelas rangkap. Walaupun adanya kelas rangkap saya merasa kegiatan belajar mengajar kurang maksimal, karena tidak fokus kesatu kelas. Tapi saya akan berusaha untuk itu.

Ada lagi kendala dalam KBM berlangsung yaitu masih banyak anak-anak yang belum bisa membaca, menulis, dan menghitung. Hal itu sangat menghambat dalam penyampaian materi pelajaran, sehingga harus dilakukan pengajaran yang berulang-ulang. Untuk itu selain fokus dalam penyampaian materi, saya juga fokus untuk mengajarkan calistung kepada mereka. Dan syukur ada kemajuan untuk itu.

Memang masih banyak tertinggal jika dibandingkan dengan kota-kota besar. Baik mengenai cara berpikir, teknologi, kebiasaan, dan lingkungan. Untuk itulah daerah ini termasuk daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Dan tugas sayalah sebagai guru SM3T untuk bisa memberikan yang terbaik guna mencapai kemajuan bangsa Indonesia dan sesuai dengan visi SM3T yaitu MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia). Demikianlah cerita pengalaman mengajar saya. Mudah-mudahan dapat dimengerti dengan baik, dan mohon maaf jika ada kata-kata yang salah. Terima kasih. Wasalam.

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 115-121)