• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDIDIK MUTIARA BANGSA DI SARANG PENYAMUN

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 56-61)

Oleh Iswatul Hasanah

MENDIDIK MUTIARA BANGSA DI SARANG PENYAMUN

Oleh : Meta Yulistia,S.Pd (SMP KBT Muliama, distrik Muliama)

“Surga kecil yang jatuh ke bumi”, memang julukan yang tepat untuk tempatku mengabdi saat ini, sekolah satu atap (TK, SD, SMP, SMA dan SMTK) Kristen Baliem Terpadu Muliama, yang terletak di desa Kewin, distrik Muliama, kabupaten Jayawijaya, Papua. Berkah Tuhan akan alam yang indah dan tanah yang subur, semua ada disini, jika bisa diibaratkan, tempat ini hampir seperti negeri dongeng. Jika rajin bangun pagi, naik sedikit ke atas bukit di seberang sekolah, akan terlihat awan yang lebih rendah dari kita. Hasil pertanian disini juga luar biasa, tanamannya sangat subur dan ukurannya jumbo-jumbo, padahal masyarakat disini tidak pernah menggunakan pupuk sedikitpun. Tapi, pendidikan dan ekonomi masyarakat disini, tidak seindah pemandangan alamnya dan sesubur tanahnya. Pendidikan disini sangat kacau, penduduknya banyak yang miskin dan jarang makan. Entah apa yang salah? Itu pertanyaan yang ada di pikiranku saat baru-baru berada di sini.

Banyak hal yang mengejutkan saat berada disini. Anak muridku masih ada yang tidak tau huruh alfabet atau huruf abjad, padahal mereka sudah SMP, bahkan ada yang kelas IX SMP, sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian Nasional. Jika huruf alfabet saja tidak tahu, bagaimana bisa membaca dan bagaimana bisa menerima materi pelajaran yang lebih tinggi lagi? sangat miris. Dalam perhitungan pun, hanya beberapa orang yang lulus saat aku berikan tes tentang penjumlahan. Parah? Memang! Solusi yang masih aku jalankan sampai saat ini adalah memberi pelajaran tambahan untuk anak-anak yang kemampuannya masih rendah.

Masih ada lagi, sudah sangat lama sekali tidak diadakan upacara bendera di sekolah ini, pertama kali kesini, bendera dan tali bendera pun tidak ada, kata guru disini, “bendera dan tali benderanya dicuri orang!”, aku Tanya, “untuk apa orang mencuri tali dan benderanya?”, kata guru disini, “untuk mengikat babi dan benderanya tidak tau untuk apa”. Untuk tahap awal kami mengusahakan bendera dan tali benderanya, tapi untuk hari-hati biasa, tali bendera yang kami gunakan bukan tali bendera yang bagus, tetapi tali raffia atau tali plastic yang kami belah dua, tali yang bagus sementara kami simpan. Tujuannya agar talinya tidak di curi, dan setiap pulang sekolah, benderanya langsung kami turunkan dan di simpan juga, pagi-pagi baru bendera di kibarkan lagi. “Para pencuri boleh saja pintar, tapi kita juga harus lebih pintar dan lebih waspada”.

Hal yang lumrah dan tidak terselesaikan disini, guru-gurunya banyak yang malas datang kesekolah, umumnya guru tersebut sudah berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang digaji dengan uang negara, yang berasal dari uang rakyat. Mereka enak, menikmati uang gajinya, tidak mengajar, tapi anak didik, putra putri bangsa yang menjadi korbannya. Semoga suatu saat mereka mendapatkan balasan yang setimpal akan kejahatan dan kecurangan mereka.

Beberapa hari tinggal di Desa kewin, distrik Muliama, aku dan teman- teman sering bertanya tentang keadaan masyarakat dan pendidikan di sini. Hampir semua orang yang kami tanyai selalu memperingatkan untuk hati-hati, karna di tempat kami mengabdi banyak pencuri. Jika melihat rumah tempat kami tinggal di distrik, semua jendela dan pintu depannya dipalangi dengan papan yang dipaku kuat, hamper seperti rumah yang disita. Tujuanya supaya pencuri tidak bisa membongkar rumah.

Awal-awal aku kira yang mencuri di sini adalah orang-orang yang tidak punya pekerjaan, orang-orang yang sudah tidak sekolah lagi, tetapi ternyata...! Fakta yang mengejutkan yang aku ketahui setelah beberapa bulan mengabdi di sini. Anak-anak sekolahpun pernah sering mencuri, dan yang menyuruh mereka mencuri adalah orang tua mereka sendiri.

Kebanyakan masyarakat disini mendidik anak mereka dengan cara yang salah, jika anak mereka, terutama yang laki-laki belum pernah mencuri, artinya belum hebat. Antara percaya dan tidak percaya, tetapi saat mengajar mata

pelajaran IPA (Ilmu pengetahuan Alam) di kelas VIII SMP, saya hubungkan pelajaran dengan moral dalam kehidupan sehari-hari. Saya katakana pada anak murid, “anak-anak kalian tahu sekarang kan betapa besarnya perjuangan mama kalian melahirkan kalian, pasti mama-mama kalian mau kalian jadi anak yang baik dan berbakti toh? tidak ada kan mama yang mau melihat anaknya mencuri atau berbuat jahat?”. Betapa terkejutnya aku saat mereka banyak yang menyeletuk menjawab, “ mama kita yang suruh curi ibu guru?”, saya tanya, “benarkah? Kenapa mama kalian suruh curi?”, mereka jawab, “kalau tidak curi, tidak bisa makan ibu guru”. Parah ! mendengar jawaban mereka, beberapa saat aku kehilangan kata-kata. Percuma mereka sekolah selama ini jika moral mereka tidak bisa jadi baik, sia-sia ilmu yang mereka pelajari selama ini jika tidak terjadi perubahan tingkah laku mereka kearah yang lebih baik. Tapi bukan seorang guru namanya, kalau tidak bisa meluruskan sesuatu yang bengkok dari anak muridnya, aku berikan ceramah panjang pada mereka dan aku ceritakan tentang bagaimana kehidupan pribadiku. “Ibu guru tahu, disini keadaannya susah toh? Apa-apa mahal disini, ibu guru saja sampai disini terkejut saat berbelanja, harga barang-barang disini sangat luar biasa mahalnya di bandingkan di tempat ibu guru tinggal di Riau sana. Kalian tau kan mencuri itu termasuk dosa yang sangat besar dan di benci Tuhan, kalian sekarang sudah jadi anak sekolahan, berpendidikan, jika ingin makan atau mencari uang, kalian gunakan otak kalian, bukan mengambil sesuatu yang bukan hak kalian. Ibu guru dulunya juga bukan orang berada, ibu guru juga dulu hidup susah, orang tua ibu guru hanya petani karet, saudara ibu guru juga banyak, semenjak SD ibu guru sudah belajar cari uang sendiri untuk jajan, ibu guru jualan keripik, sampai kuliah ibu guru juga bekerja sambil kuliah…. bla… bla….bla…(panjang ceramah aku)”, mudah-mudahan mereka paham, mendengarkan dan mengamalkan apa yang aku ajarkan.

Dongeng, seperti kata asing disini, mereka sama sekali tidak tau cerita- cerita dongeng yang umumnya diketahui anak-anak kecil di tempatku ataupun anak-anak di wilayah Indonesia lainnya. Cerita kancil, timun mas, dan lain-lain, mereka sama sekali tidak tau. Salah satu mediaku untuk mengajarkan moral pada mereka adalah dengan mendongeng. Saat istirahat, aku biasa memanggil anak-

anak baik yang SD,SMP bahkan SMA untuk mendengarkan dongeng. Di akhir cerita selalu aku jelaskan pesan-pesan moral yang terselip dalam cerita tersebut.

Jam pelajaran terakhir, sangat jarang ada guru yang masuk mengajar, jadi tiap-tiap jam pelajaran terakhir, anak-anak disini sangat susah untuk disuruh masuk kelas. “Anak-anak yang lain sudah pulang ini ibu guru, bagaimana kalau kita pulang saja e, kita sudah lapar ini ibu guru”, Haah…. Itu kata-kata yang tidak menyenangkan di telingaku, sudah pasti aku marahi mereka, “Masuk, yang pulang biarkan saja, ibu kasih alfa di daftar hadir mereka”.

Pada awal aku mulai mengajar, bingung sekali mencari cara agar mereka mau belajar pada jam terakhir. Karna kebiasaan buruk guru yang lain, jam pelajaran akupun terkena imbasnya. Setiap ada kelas yang terdapat pelajaran IPA pada jam terakhir, biasa aku terapkan pembelajaran dengan menyelipkan game dan aku siapkan hadiah. Ini cukup efektif membuat anak tidak malas lagi masuk kelas pada jam pelajaran terakhir.

Ada lagi kelakuan anak-anak yang membuatku pusing. Kelakuan mereka yang brutal, suka bikin onar, malas dalam belajar, semua itu sering membuatku marah. Aku minta saran pada guru-guru yang lain untuk menghadapi kelakuan mereka. Kata guru-guru disini, “Pukul saja sudah ibu guru!”. Anak-anak disini memang baru takut dan diam di dalam kelas, jika gurunya suka memukul mereka. Tidak mungkin aku memukul anak murid, mana tega aku. Itupun bertentangan dengan apa yang sudah di ajarkan selama aku kuliah. jadi aku putar otak lagi, bagaimana menghadapi mereka. Aku baca buku pengalaman guru-guru yang pernah mengajar di daerah terpencil, umumnya anak-anak yang berbuat kenakalan disekolah, mereka butuh perhatian lebih dari kita senbagai seorang guru. Aku coba, di sekolah dan di luar sekolah aku beri mereka perhatian yang lebih. Tapi, akibatnya, mereka selalu ingin aku mengajar di kelas mereka, saat aku mengajar di kelas lain, mereka selalu mengintip lewat jendela atau meribut di luar kelas mencari-cari perhatian. Ini suangat mengesalkan dan sangat mengganggu. Berarti strategi dan caraku salah. Suatu saat aku panggil mereka ke kelas, dan aku beri mereka motivasi dengan kopi, aku tuang kopi kedalam 2 cangkir bening, aku tanya, “Kalian suka kopi tidak?” (catatan: masyarakat disini sangat suka sekali mengkonsumsi kopi). Satu cangkir kopi aku tambahkan gula, kopi dan susu, aku

tanya, “Kalian suka?”, mereka jawab, “Suka sekali ibu guru”. Yang satu lagi, aku tambahkan batu kerikil, sampah dan tanah, sontak mereka terkejut saat aku masukkan sampah ke dalam kopi yang satu ini. “Ibu guru, kenapa?”, tidak aku jawab, aku kembali bertanya, “Kalian masih suka?”, jawab mereka “Tidak ibu guru”.

“Nah, kopi ini ibarat kalian. Hitam Kulit keriting rambut. Sama seperti kopi ini. Sebelum ibu tambahkan sesuatu kedalamnya, masih ada orang yang menyukai kopi ini!”

“Saat kopi ini ibu ditambahkan gula, kalian semakin suka toh? Itu ibarat sifat baik kalian, jika orang baik, maka orang lain akan semakin suka padanya. Ibu tambahkan lagi susu, kalian makin suka tidak?”

“Makin suka ibu guru!”

“Susu yang ibu tambahkan, ibarat ilmu pengetahuan. Saat kalian punya ilmu pengetahuan yang luas, kalian akan bisa jadi orang yang dihormati dan dihargai, derajat kalianpun akan diangkat lebih dari orang yang tidak punya ilmu.” “Nah, kopi yang satu ini. Siapa yang mau meminumnya? Kamu? atau kamu?”

“Tidak mau, itu sudah kotor”

Aku beri mereka senyuman, “Tidak ada yang mau toh? Kerikil ini ibarat orang yang keras kepala atau kepala batu, tidak mau mendengarkan ucapan orang lain yang menyuruh pada kebaikan. Sampah ini ibarat kelakuan buruk seperti mencuri, menipu, membunuh, dan lain-lain. Sedangkan tanah ini ibarat kebodohan dan kurangnya ilmu pengetahuan. Apa ada yang mau berteman dengan orang yang kepala batu, suka menipu atau mencuri barang milik temannya sendiri, atu kalian mau berteman dengan orang yang tidak ada isi kepalanya alias bodoh? maukah?”

“Tidak ibu guru!”

“Nah, kalian pikirkan baik-baik pelajaran hari ini? Pelajaran hari ini memang singkat dan hal yang sederhana, tapi maknanya sangat penting untuk kalian. Semoga bermanfaat dan selalu kalian ingat!”

Sejauh ini mulai ada perubahan sikap mereka kearah yang lebih baik, tanpa menggunakan kekerasan, mereka sudah mau menuruti perkataanku. Aku belum tau, apakah aku bisa membuat perubahan lebih jauh lagi disini, meski dengan cara-cara sederhana, semoga mereka bisa berubah seutuhnya jadi anak yang lebih baik, jadi anak yang cerdas dan bisa membuatku bangga.

Masih banyak pengalaman yang ingin aku ceritakan, tapi untuk sementara cukup itu saja. Aku bersyukur bisa berada disini, bahagia bisa bertemu dengan masyarakat disini. Semoga pengabdian ini bisa bermakna dan tidak sia-sia. (14/12/2015)

MENGABDI DI TANAH MUTIARA HITAM PAPUA

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 56-61)