• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGABDI DI TANAH MUTIARA HITAM PAPUA Mutiara hitam!

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 61-66)

Oleh Iswatul Hasanah

MENGABDI DI TANAH MUTIARA HITAM PAPUA Mutiara hitam!

Mendengar nama ini, tak asing bagi kita. Kenapa tidak asing? Karena yang kita tahu bahwa mutiara hitam adalah barang berharga dengan nilai jual yang tinggi. Tapi mutiara hitam yang akan penulis sampaikan adalah anak-anak papua yang begitu sangat berharga. Dimana anak-anak Papua ini kurang diasah dalam dunia pendidikan jadi mereka masih tertinggal dalam dunia pendidikan dan perkembangan zaman saat ini. Misalnya anak-anak yang ada di Riau yang masih SD sudah tahu menggunakan Hp dan laptop yang canggih sedangkan mutiara hitam penulis sama sekali tidak mengenal hal-hal seperti itu. Kenapa begitu karena kurangnya tenaga pengajar yang mengajar mereka.

Gambar 1 . saya dan siswa saya kelas IIIa SD Inpres Wesaput, distrik Wesaput.

Kurangnya tenaga pengajar yang dimaksud penulis disini bukan hanya kurangnya guru, tapi juga kurangnya keinginan guru-guru di tanah mutiara hitam

ini menjadikan generasi muda mereka maju dan menjadi mutiara hitam yang benar-benar indah, dan mahal. Penulis akan menceritakan bagaimana pengalaman penulis selama mengajar di tanah mutiara hitam terutama di wamena jantungnya Papua. Disebut jantungnya Papua karena tidak sah bila ke Papua tanpa menginjakkan kaki ke wamena, karena wamena adalah kabupaten pertama di Papua.

Penulis sampai di wamena ini melalui program pemerintah DIKTI. Yang membuat suatu program bernama SM3T ( Sarjana Mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal) yang sudah berjalan lima tahun. Penulis mengikuti program ini pertama kali karena mendengar dari teman-teman yang sudah pernah mengikuti program ini dan telah mengikuti PPG. Mereka mengatakan “cobalah masuk SM3T, setelah mengabdi ke daerah 3T kita akan dikuliahkan PPG.” Itulah motivasi pertama saya mengikuti program SM3T ini, masuk ke program ini tidaklah mudah seperti yang saya perkirakan. Mencoba ikut SM3T harus melalui tiga tahap ujian yaitu: ujian seleksi administrasi yang telah ditentukan oleh DIKTI, setelah lulus tahap satu maka masuk tahap kedua ujian test online, dan setelah itu baru test wawancara. Setelah semuanya lulus, kami dilatih selama ± 2 minggu menghadapi kemungkinan yang akan kami hadapi di daerah penempatan nanti.

Sewaktu pelatihan selama ± 2 minggu, kami pun mendapatkan lokasi penempatan. Penulis mendapat penempatan di Kabupaten Jayawijaya, kota Wamena. Mendapat penempatan ini penulis sangat senang , karena akhirnya saya bisa memijakkan kaki di tanah mutiara hitam dan paling ujung dari Indonesia. Setelah pelatihan tepatnya tanggal 24 agustus 2015 kami ada 54 orang yang diberangkatkan ke Papua dari LPTK UR. Kami berangkat dari bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, perjalanan dari RIAU ke Wamena transit 3 kali dengan lamanya perjalanan 6 jam. Seminggu sampai di wamena akhirnya kami mendapatkan penempatan mengajar disini, dan saya ditempatka di Distrik Wesaput, SD Inpres Wesaput.

Hijaunya alam papua tengah dan indahnya pemandangan di tanah papua tengah terutama di kabupaten Jayawijaya, berbanding terbalik dengan pendidikan

yang sangat miris dan prihatin. Pendidikan bermutu semakin jauh dari kelompok orang miskin, inilah situasi yang dialami warga pendalaman di kabupaten Jayawijaya. Dan guru-guru yang mendapatkan penugasan di pinggiran dan di pos- pos banyak yang tinggal di kota. Mereka lebih memilih tinggal di kota daripada mengajar di pinggiran atau dipos-pos, karena kurangnya fasilitas dan motivasi untuk mengajar. Fasilitasnya adalah tidak adanya angkutan langsung dari kota ke tempat mereka mengajar, kurangnya buku bacaan untuk digunakan guru dan siswa, serta kurangnya motivasi untuk berkembang dari penduduk itu sendiri dan guru. Misalnya penduduk disini masih mengutamakan hukum adat daripada hukum Negara, penduduk yang masih suka mabuk baik yang tua dan muda, penduduk yang masih suka memalak (minta uang) dengan suka hatinya, dan penduduk yang suka membunuh.

Lain halnya dengan tempat saya mengajar,memang kurang guru, tapi guru-guru di sekolah saya mengajar semua gurunya sering datang ke sekolah mengajar, yang jarang datang justru adalah siswa – siswi itu sendiri. Misalnya di kelas saya mengajar di kelas III A, Siswaa yang terdaftar 45 orang tapi yang hadir

hanya setengahnya, kadang juga hanya sepertiganya saja. Kenapa hal itu terjadi?, pertama kali saya masuk pun bertanya seperti, padahal rumah mereka sangat dekat dengan sekolah tapi mereka pemalas ke sekolah. Setealah saya tanya ke guru- guru di sekolah saya dan siswa-siswi yang rajin sekolah.

Mereka begitu karena orangtua mereka lebih mementingkan anaknya bekerja ikut ke ladang atau ke kampung membantu orangtuanya. Dan yang paling mengejutkan orangtuanya akan menyuruh anak-anak mereka ke sekolah bila sudah dekat dengan ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Mendengar hal itu saya pertama tidak percaya sama sekali, dan beberapa bulan mengajar dan ujian akhir semester tiba benar apa yang dikatakan guru-guru kelas saya hampir penuh dengan kehadiran siswa-siswi yang tak pernah saya lihat sama sekali. Dalam masalah ini saya mengambil sikap tegas dengan memulangkan mereka ke rumah mereka membawa orangtua mereka ke sekolah untuk menjelaskan, kenapa anak mereka baru sekarang hadir?.

Itulah persoalan yang dihadapi dalam faktor guru sehingga kami di berangkatkan mengabdi ke tanah mutiara hitam ini. Persoalan yang berikutnya adalah kemampuan anak dalam hal pembelajaran di kelas. Masalah yang di hadapi adalah hal mendasar yaitu kemampuan siswa dalam hal calistung (baca, tulis dan hitung), ke tiga hal ini adalah persoalan yang sangat dasar tapi sulit untuk diatasi. Penulis mengatakan hal ini karena penulis sendiri kesulitan dalam menyelesaikan persoalan ini, karena siswa-siswi itu kurang motivasi untuk pintar. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka belajar pada pertama kali.

Pertama kali penulis mendapat tugas menjadi wali kelas di kelas III A

penulis mengadakan test kepada satu persatu siswa dalam hal membaca, menulis, dan menghitung. Dalam hal membaca siswa saya sangat kurang membaca, menulis juga begitu lain halnya dalam menghitung mereka sangat suka. Setelah ± 4 bulan disini siswa saya yang sudah bisa membaca hanya setengah dari jumlah siswa begitu juga dengan menulis, tapi dalam hal menghitung mereka semua sudah bisa dalam hal penjumlahan dan pengurangan, mereka agak susah dalam hal kali-kali.

Untuk mengatasi persoalan ini saya membagi siswa saya dalam 3 kelompok yang tahu membaca, yang masih mengeja dan yang tidak tahu sama sekali dalam membaca, pada hari senin, rabu dan jumat fokus pada membaca dan menulis, selasa dan kamis fokus menghitung dan sabtu belajar bebas, dan tidak terlepas dari jadwal pelajaran yang di bagi oleh kepala sekolah. Yang sudah pandai membaca saya fokus kan dalam menulis, yang masih mengeja saya fokus utama dalam membaca dan menulis, dan yang belum bisa membaca, saya lebih fokus mengajar mereka. Saya mengajar mereka mulai dari huruf A-Z, dan mereka semua tahu tapi dalam menyatukan huruf mereka kurang karena mereka dulu rupanya di ajarkan menghafal huruf bukan mengimplementasikan penggunaan huruf dalam membaca. Dalam menulis mereka semua bisa tapi ada saja huruf yang kurang dalam penulisan, dan mengatasinya ini saya selalu melatih mereka menulis dengan memberikan contoh kalimat di buku untuk ditiru mereka dan mendiktekan kalimat untuk mereka tulis di buku. Dalam hal menghitung mereka

sangat menyukai menghitung daripada membaca, jadi penulis tidak sulit dalam melatih mereka dalam menghitung.

Gambar 2. Siswa antusia belajar setelah saya member mereka sebuah tugas menulis.

Gambar 4. Siswa mengerjakan tugas hitungan di depan kelas.

Selain mengajar saya juga melatih siswa-siswi dalam hal latihan PBB, upacara dan melati mereka dalam pramuka. Dengan di bantu senior angkatan 4 dari LPTK UNMUL yang di tempatkan lagi setelah perpanjangan kontrak dari Dinas Pendidikan dan Pengajaran di Kabupaten Jayawijaya. Mengajar mata pelajaran Penjaskes. Setelah kehadiran guru Penjaskes siswa semangat untuk olahraga karena selama ini tidak ada yang mengajar mereka. Begitu juga dalam hal pramuka dan PBB mereka sangat semangat ikut kegiatan tersebut.

Gamabar 4. Siswa antusias dalam belajar olahraga, pramuka, dan lain-lain. Demikianlah pengalaman saya dalam mengajar dan mengabdi di tanah mutiar hitam Papua, dimana saya mendapatkan siswa-siswi saya yang beda dengan siswa-siswi yang pernah saya ajar di kota besar. Siswa-siswi di tanah mutiara hitam sangat polos, tapi kepala batu. Karena mereka susah menangkap pelajaran. Mereka lebih suka dalam hal bermain, menggambar dan mengerjakan tugas di depan kelas. Inilah gambaran mutiara hitam yang ada di tanah Papua semoga dengan adanya kegiatan SM3T ini dapat mengubah mutiara hitam ini menjadi lebih bagus dan bersinar terang di Indonesia. Sekian dan terima kasih.

Penulis,

Monalisa L.G Girsang,S.Pd

Dalam dokumen CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA. (Halaman 61-66)