BAB I: PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
5. Analisis Data
Analisis data diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu analisis data yang tidak menggunakan angka melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan, dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu atau kualitas dari data.63
62 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op. Cit., hlm. 19.
63 Ibid.
A. Ruang Lingkup Pertanggungjawaban Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana sebagai suatu istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.64
Tindak pidana sangat penting dipahami, bukan saja untuk kepentingan akademis, tetapi juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum masyarakat.
Bagaimana mungkin masyarakat dapat berbuat sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum (pidana), apabila pedoman bertingkah laku tersebut tidak dipahami atau tidak dimengerti sama sekali. Oleh karena itu yang penting bukan karena apa yang masyarakat ketahui mengenai tindak pidana, akan tetapi juga apa yang seharusnya mereka ketahui.65
64 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 124.
65 H.M Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2016), hlm.
58.
J. E. Jongkers dikutip dalam buku Martiman Prodjohamidjojo memberikan defenisi strafbaarfeit menjadi dua pengertian yaitu:
1. Defenisi pendek memberikan pengertian bahwa strafbaarfeit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
2. Defenisi panjang atau lebih mendalam bahwa strafbaarfeit adalah suatu kejahatan melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dapat dipertanggungjawabkan.66
Seseorang yang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu dijatuhi pidana. Untuk menjatuhkan pidana kepada orang itu, harus terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan dan itu di luar perbincangan tentang perbuatan pidana. Dalam praktik peradilan, yang pertama kali dilakukan hakim ketika memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya adalah apakah orang yang dihadapkan kepadanya memang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.67
Moeljatno sebagaimana dikutip dalam buku Andi Sofyan dan Nur Aziza berpendapat bahwa setelah memilih perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit beliau memberikan perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam denagan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tak
66 Martiman Prodjohamidjojo, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hlm. 15-16.
67 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 99.
boleh atau menghambat akan terciptanya tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.68
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana di dalam hukum pidana dasar utama adalah adanya suatu tindak pidana yang memberikan suatu pengertian tentang sesuatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang, dimana terhadap pelanggarannya dapat dijatuhi pidana. Sesuatu perbuatan dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana apabila perbuatan itu telah memenuhi atau mencocoki semua unsur yang dirumuskan sebagai tindak pidana.69
R. Tresna sebagaimana dikutip dalam buku Adami Cazawi berpendapat bahwa tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni :
1. Perbuatan/rangkaian perbuatan manusia ;
2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ; 3. Diadakan tindakan penghukuman.70
Sedangkan Moeljatno dalam bukunya mengemukakan bahwa perbuatan pidana (tindak pidana) terdiri dari beberapa unsur atau elemen yaitu :71
68 Andi Sofyan dan Nur Aziza, Hukum Pidana, (Makassar : Pustaka Pena Press, 2016), hlm.
99.
69 Roni Wiyanto, Op.Cit., hlm. 163.
70 Adami Cazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 80.
71 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hlm. 69.
1. Kelakuan dan akibat ;
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan ; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana ; 4. Unsur melawan hukum yang objektif ;
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Teguh Prasetyo berpendapat bahwa di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana yaitu :
1. Unsur subjektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) ;
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat (1) KUHP ;
c. Macam-macam maksud atau ogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lainnya ; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya yang
terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP ;
e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP ;
2. Unsur objektif
Unsur objektif adalah unsur-unsur yang berasal dari luar diri sipelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku ini harus dilakukan, terdiri dari :
a. Sifat melanggar hukum ; b. Kualitas si pelaku ;
c. Kausalitas atau hubungan sebab akibat.72
Unsur tindak pidana menurut Simons terdiri dari dua unsur, yaitu :
1. Unsur objektif terdiri dari perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti didalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau di muka umum.
2. Unsur subjektif terdiri dari orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan, perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.73
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Hukum pidana diadakan bertujuan melindungi dan menghindari gangguan atau ancaman bahaya terhadap kepentingan hukum, baik kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Tiap-tiap perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan dapat memberikan gambaran kepentingan hukum apa yang
72 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 50.
73 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana, 2014), hlm. 39.
dilanggar. Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan menjadi berbagai jenis delik.74
Hukum pidana mengenal berbagai jenis delik yang dapat dibedakan menurut pembagian delik tertentu, diantaranya :75
1. Delik kejahatan (Misdrijiven) dan delik pelanggaran (Overtredingen)
Delik kejahatan secara doctrinal adalah perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang seharusnya dipidana karena bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau delik hukum, artinya sudah dianggap sebagai kejahatan meskipun belum dirumuskan dalam undang-undang karena merupakan perbuatan tercela dan merugikan masyarakat atau bertentangan dengan keadilan, misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Sedangkan delik pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang, delik pelanggaran ini sering disebut sebagai mala quia prohibia atau delik undang-undang, artinya perbuatan itu baru dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang, misalnya Pasal 550 KUHP tentang tanpa wewenang berjalan di tanah yang sudah ditaburi atau ditanami.
74 Roni Wiyanto, Op.Cit., hlm. 169.
75 Ibid., hlm. 169-177.
2. Delik Formil (Formeel Delict) dan Delik Materil (Materieel Delict)
Delik atau perbuatan pidana formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan dilarang. Perbuatan pidana formil adalah perbuatan pidana yang dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya seperti yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Sedangkan perbuatan pidana materil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Jadi jenis perbuatan ini mensyaratkan terjadinya akibat untuk selesainya perbuatan seperti dalam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
3. Delik Aduan ( Klacht Delicten ) dan Delik Umum ( Gewone Delicten )
Delik aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti pencemaran nama baik yang diatur di dalam Pasal 310
KUHP, dan delik aduan relatif adalah delik yang dilakukan dalam lingkungan keluarga, seperti pencurian dalam keluarga yang diatur dalam Pasal 367 KUHP.
Sedangkan delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian dan penggelapan.
4. Delik Kesengajaan ( Obzet ) dan Delik Kealpaan ( Culpa )
Delik kesengajaan adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah disyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan dengan sengaja, seperti Pasal 338 KUHP tentang sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Sedangkan delik kealpaan yakni delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan bahwa delik-delik tersebut cukup terjadi dengan tidak sengaja agar pelakunya dapat dihukum, seperti dalam Pasal 359 KUHP.
5. Delik Umum ( Delicta Communia ) dan Delik Khusus ( Delicta Propria )
Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang, delik umum sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Contohnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 245 KUHP tentang pemalsuan mata uang, Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan delik khusus adalah suatu delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu, misalnya Pegawai Negeri atau Militer. Contohnya delik-delik yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Perbankan dan sebagainya.
6. Delik Komisi, Delik Omisi dan Delik Komisi Per Omisi
Delik komisi adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang, seperti yang terdapat di dalam Pasal 362 KUHP tentang larangan mencuri. Delik omisi adalah berupa pelanggaran terhadap keharusan-keharusan menurut undang-undang, seperti yang terdapat dalam Pasal 522 KUHP tentang kewajiban melaksanakan menjadi saksi. Sedangkan delik komisi per omisi adalah delik yang dapat diwujudkan, baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu, contohnya Pasal 194 yaitu tidak menarik suatu wesel kereta api.
7. Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut
Delik berdiri sendiri adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung secara terus menerus seperti pencurian dan pembunuhan. Sedangkan delik berlanjut adalah perbuatan pidana yang mempunyai ciri bahwa perbuatan yang dilarang itu berlangsung terus menerus, misalnya delik merampas kemerdekaan orang dalam Pasal 333 KUHP. Dalam delik ini, selama orang yang dirampas kemerdekaannya itu belum dilepas, maka selama itu pula delik itu masih berlangsung terus.
8. Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran
Delik politik murni adalah delik-delik yang dilakukan untuk kepentingan politik, misalnya Pasal 104 KUHP tentang makar. Sedangkan delik politik campuran adalah delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum,
dengan perkataan lain bahwa delik ini seolah-olah nampak sebagai delik umum, tetapi sebenarnya delik itu merupakan tujuan politik atau sebaliknya. Misalnya pencurian terhadap dokumen negara yang bersifat rahasia atau pembunuhan kepala negara yang sebenarnya si pelaku mempunyai dendam pribadi.
9. Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi
Delik biasa adalah semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidananya, contoh: Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Sedangkan delik berkualifikasi adalah delik yang berbentuk khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat atau mengurangi ancaman pidananya.
4. Pertanggungjawaban Pidana
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang secara objektif yang ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan.76
Pertanggungjawaban pidana pada prinsipnya didasarkan pada asas kesalahan yang secara tegas menyatakan bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya seorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana karena telah
76 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 156.
melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum apabila dalam diri orang itu terdapat kesalahan. Apabila dalam diri orang itu tidak ada kesalahan, maka terhadap orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.77
Roeslan Saleh berpendapat bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu ia akan dipidana.78
b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana 1) Kesalahan Pelaku Tindak Pidana
Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa dapat dicela, akan tetapi sesungguhnya pasti dalam hukum pidana orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut.79
Pelaku yang apabila adalah seorang manusia, maka hubungannya dengan kesalahan adalah mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana (schuld-verband). Hanya dengan [hubungan] batin ini perbuatan yang terlarang dapat
77 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang : UMM Press, 2008), hlm. 225.
78 Repository.unpas.ac.id. diakses pada tanggal 18 Juni 2019 Pukul 20.00 Wib.
79 D. Schaffmeister, dkk. Op.Cit., hlm. 77.
di pertanggungjawabkan pada si pelaku. Dan baru kalau ini tercapai maka betul-betul ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana (geen strafbaar feit zonder schuld).80
Kesalahan dalam arti luas meliputi sengaja, kelalaian, dan dapat dipertanggungjawabkan, ketiga-tiganya merupakan unsur subjektif syarat pemidanaan atau jika kita mengikuti golongan yang memasukkan unsur kesalahan dalam arti luas kedalam pengertian delik sebagai unsur subjektif delik, ditambahkan pula bahwa tiada alasan pemaaf merupakan pula bagian keempat dari kesalahan.81
Kesalahan selalu hanya mengenai perbuatan tidak patut, melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Ditinjau secara seksama kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya, perbuatan orang ini tidak hanya tidak patut secara objektif tetapi juga dapat dicelakan kepadanya.82
a) Kesengajaan (opzet)
Kesengajaan adalah unsur yang bersifat subjektif untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang dibebani pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
80 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hlm. 65.
81 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 229.
82 Schaffmeister dkk, Op.Cit., hlm. 79.
dilakukan. Seseorang yang melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dirinya dapat dicela melakukan kesengajaan.83
Ditinjau dari sifatnya, didalam hukum pidana pada umumnya dikenal tiga jenis kesengajaan, antara lain :84
1. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan
Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk) atau disebut dolus directus adalah jenis kesengajaan yang paling sederhana, jenis kesengajan ini lebih mudah dilakukan pembuktian dengan melihat kenyataan-kenyataan yang menghubungkan antara si pelaku dengan tindak pidana yang dilakukan. Seseorang dapat dikatakan opzet als oogmerk apabila ia dengan sengaja melakukan suatu perbuatan dengan maksud atau bertujuan untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu.
2. Kesengajaan sebagai kesadaran akan kepastian
Kesengajaan sebagai kesadaran akan kepastian adalah kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan menimbulkan suatu akibat yang pasti atau akibat yang menjadi keharusan. Artinya jenis kesengajaan ini yang menjadi ukuran penilaian adalah suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang.
83 Roni Wiyanto, Op.Cit., hlm. 202.
84 Ibid., hlm. 208-216.
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
3. Kesengajaan sebagai kesadaran akan kemungkinan
Kesengajaan sebagai kesadaran akan kemungkinan atau obzet met waarschijnlijkheids bewustzijn, adalah kesengajaan yang dilakukan seseorang untuk menimbulkan sesuatu akibat yang tertentu, tetapi ia menyadari bahwa perbuatan itu juga akan memungkinkan timbulnya suatu akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki dan akibat itu juga dilarang oleh undang-undang. Artinya seseorang itu menyadari akan kemungkinan timbul suatu akibat yang tidak dikehendaki dan akibat itu bersifat melawan hukum, tetapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk tidak melakukan suatu perbuatan.
b) Kealpaan (culpa)
Kealpaan (culpa) diartikan sebagai kesalahan pada umumnya, akan tetapi culpa dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati, sehingga secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Untuk terjadinya culpa maka yang harus diambil sebagai ukuran ialah
bagaimanakah sebagian besar orang dalam masyarakat bersikap tindak dalam suatu keadaan yang nyata-nyata terjadi.85
E.Y. Kanter berpendapat bahwa kealpaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan, yang bentuknya lebih rendah derajatnya daripada kesengajaan, karena bilamana dalam kesengajaan suatu akibat yang timbul itu dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikehendaki walaupun pelaku dapat menyadari sebelumnya.86
Simons dikutip dalam buku Mahrus Ali mengatakan bahwa pada umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan disamping dapat menduga akibatnya. Namun meskipun suatu perbuatn dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan, yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya.87
2) Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. atau dengan kata lain mampu untuk menginsyafi sifat
85 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), hlm. 53.
86 Htpps :// core.ac.uk˒pdf. diakses pada tanggal 19 Juni 2019 Pukul 20.00 Wib.
87 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 177.
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.88
Akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sedangkan kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan.89
3) Tidak Ada Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapus kesalahan terdakwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan merupakan perbuatan pidana tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
Adapun macam-macam alasan pemaaf yang dimaksud adalah :
1. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggungjawab
Pasal 44 KUHP menyatakan “ Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Alasan pemaaf karena jiwa yang cacat tubuhnya atau gangguan penyakit mempunyai sifat perseorangan dimana
88 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, (Jakarta :Aksara Baru, 1983), hlm. 80.
89 Mahrus Ali, Op.Cit. hlm. 177.
perbuatannya itu sendiri tetap dipandang bersifat melawan hukum, akan tetapi berhubung keadaan si pembuat di situ kesalahannya tidak ada padanya, dan karena itu pula kepadanya tidak dipidana.90
2. Perbuatan yang dilakukan karena terdapat daya paksa
Pasal 48 KUHP menyatakan bahwa “ Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Simons mengatakan bahwa harus dipisahkan antara daya paksa sempit dengan keadaan darurat. Dalam hal pertama disitu tidak ada kesalahan (alasan pemaaf) sedangkan yang kedua yang hapus ialah sifat melawan hukum perbuatan (alasan pembenar). Van Hattum berpendapat bahwa Pasal 48 hanya ada alasan pemaaf.
3. Perbuatan karena pembelaan terpaksa melampaui batas
Pasal 49 ayat (2) KUHP menyatakan “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana”. Melampaui batas yang perlu ada dua macam, pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat diserang. Kedua, orang yang
90 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992), hlm.
202.
berhak membela diri karena terpaksa akibat keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.91
4. Perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
Perbuatan yang dilakuan untuk menjalankan perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan “Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
Perbuatan yang dilakuan untuk menjalankan perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan “Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.