• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Sebagai Orang Yang Membantu

2. Penyertaan Dalam Tindak Pidana

Deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda), deelnemen artinya “ikut mengambil bagian”, sedangkan deelneming diartikan sebagai “pengambilan bagian”.95 Deelneming diartikan sebagai “penyertaan”. Deelneming dipermasalahkan dalam hukum pidana karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oleh beberpa orang, karena jika hanya satu orang yang dipertanggungjawabkan bukan termasuk deelneming.

Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana tersebut, masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lain, yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana.96

94 Lihat ketentuan Pasal 2 dan Pasal 32 ayat (2) huruf „b‟ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

95 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 136.

96 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), hlm. 127.

b. Bentuk-Bentuk Penyertaan (deelneming) 1) Mereka Yang Melakukan

Mereka yang melakukan adalah orang yang melakukan secara material, melakukan sendiri suatu perbuatan yang dirumuskan di dalam setiap delik. Ketentuan Pasal 55 KUHP ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pidana kepada dader tetapi kepada pleger.97

Pelaku (dader) yang dimaksud adalah orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana dirumuskan oleh undang-undang, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik yakni:

1. Delik formil, pelakunya adalah barangsiapa telah memenuhi semua unsur tindak pidana ;

2. Delik materil, pelakunya adalah barangsiapa yang menimbulkan akibat yang dilarang dalam perumusan delik ;

3. Delik yang memuat unsur kualitas atau kedudukan, pelakunya adalah barangsiapa yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas sebagaimana yang dirumuskan. Misalnya, dalam kejahatan jabatan pelakunya adalah Pegawai Negeri.98

97 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Depok : Raja Grafindo Persada, 2017), hlm.

212.

98 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta ; Sinar Grafika, 2005), hlm.

78.

2) Mereka Yang Menyuruh Melakukan

Merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda yang menyatakan bahwa “Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan dan tanpa tanggungjawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.99

R. Soesilo berpendapat bahwa dalam hal mereka yang menyuruh melakukan sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh (pleger).

Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain. Meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri peristiwa tindak pidana, akan tetapi menyuruh orang lain, disuruh itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.100

Menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen) terjadi apabila seorang lain menyuruh si pelaku (yang disuruh) melakukan perbuatan pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku (yang disuruh) tidak dapat dikenai hukuman pidana. Jadi dapat disimpulkan bahwa si pelaku (dader) seolah-olah menjadi alat belaka (instrument) yang dikendalikan oleh si penyuruh.

99 Adami Cazawi, Op.Cit., hlm. 88.

100 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor : Politea, 1998), hlm. 73.

3) Mereka Yang Turut Serta Melakukan

Medeplegen merupakan bentuk deelneming, dimana terdapat seseorang atau lebih yang turut serta melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya.

Suatu tindak pidana dalam keadaan medeplegen, tiap-tiap orang terlibat secara langsung sebagai peserta pelaku tindak pidana, sehingga tiap-tiap orang dipandang sebagai mededader dari peserta lain atau orang yang turut serta melakukan tindak pidana.101

Siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat (meedoet) dalam melakukan tindak pidana. Pandangan sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana.102

4) Mereka Yang Sengaja Menganjurkan

Orang yang sengaja menganjurkan adalah orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur : uitlokker/actor intelectualis) atau dengan memberi upah,

101 Roni Wiyanto, Op.Cit., hlm. 258.

102 Adami Cazawi, Op.Cit., hlm. 100.

perjanjian, salah memaakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, dengan sengaja menghasut supaya melakukan perbuatan itu.103

5) Mereka Yang Membantu Melakukan

Simons dikutip dalam buku Lamintang, berpendapat bahwa medeplichtigheid itu merupakan suatu onzelfstandige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri. Unsur sengaja dalam medelictige ini merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan karena unsur sengaja ditujukan pada perbuatan atau sikap dalam memberi bantuan.104

Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut :

Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ; 2. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan ;

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bilamana seseorang dapat dianggap dengan sengaja memberi bantuan atau pertolongan pada waktu tindak pidana dilakukan sebagai berikut :

a. Seseorang itu harus diliputi unsur kesengajaan (obzet), yaitu sengaja untuk memberi bantuan adanya tindak pidana.

103 Sughandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya : Usaha Nasional, 1980), hlm. 68.

104 Lamintang, Op.Cit., hlm 646.

b. Bantuan yang diberikan itu harus dilakukan pada waktu tindak pidana dilakukan oleh orang lain.

c. Bentuk bantuan yang diberikan dapat berupa apapun, baik bantuan yang bersifat materiil maupun idiil.105

3. Tindak Pidana Pembunuhan dan Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

a. Tindak Pidana Pembunuhan

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh kitab undang-undang hukum pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu pembunuhan.

Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa obzet pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.106

Tindak pidana pembunuhan merupakan tindak pidana materil atau materiel delict, yakni suatu tindak pidana yang baru dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.107

Pasal 338 KUHP yang bunyinya “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan

105 Roni Wiyanto, Op.Cit., hlm. 272.

106 Lamintang dan Theo Lamintang, Op. Cit., hlm. 1.

107 Ibid., hlm. 28.

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan /merampas jiwa orang lain adalah pembunuhan.108

Unsur-unsur pembunuhan adalah :109

1. Unsur subjektif : Opzettelijk atau dengan sengaja.

2. Unsur objektif :

a. Beroven atau menghilangkan.

b. Leven atau nyawa.

c. Een ander atau orang lain.

Ajaran causaliteitsleer atau ajaran mengenai sebab akibat mempunyai arti yang sangat menentukan bagi usaha untuk memastikan tentang siapa yang sebenarnya dapat dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana pembunuhan, karena yang dapat dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana pembunuhan itu pastilah orang yang tindakannya dapat dipandang sebagai penyebab timbulnya akibat berupa hilangnya nyawa orang lain. Sama halnya dengan ajaran deelneming tentang siapa yang sebenarnya dapat dipandang sebagai pelaku pembunuhan itu.110

Para guru besar berpendapat bahwa ketentuan di dalam Pasal 55 KUHP tidak telah bermaksud untuk menyamakan mereka yang menyuruh melakukan, mereka

108 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 22.

109 Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hlm. 28.

110 Ibid., hlm. 29.

yang turut melakukan, dan mereka yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu dengan pelaku dari tindak pidananya sendiri, melainkan hanya bermaksud untuk mengatur pertanggungjawaban dari mereka yang terlibat dalam suatu tindak pidana kecuali pelakunya sendiri menurut hukum pidana, karena tanpa ada ketentuan pidana seperti itu akan membuat orang-orang tersebut dipidana.111

b. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Pasal 340 KUHP yang bunyinya “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain dihukum karena salahnya pembunuhan berencana, dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun “. Menurut Tirtaamidjaja dikutip dalam buku Leden Marpaung mengutarakan “direncanakan terlebih dahulu” bahwa ada suatu jangka waktu bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berpikir dengan tenang.112

Di dalam tindak pidana pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan nyawa orang lain dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada tindak pidana pembunuhan berencana terlebih dahulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang

111 Ibid.

112 Leden Marpaung, Op.,Cit. hlm. 31.

pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya.113

Tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu dapat diketahui bahwa tindak pidana pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Unsur subjektif :

a. Opzettelijk atau dengan sengaja

b. Voorbedachte raad atau direncanakan terlebih dahulu 2. Unsur objektif :

a. Beroven atau menghilangkan b. Leven atau nyawa

c. Een ander atau orang lain.114

Simons berpendapat sebagaimana dikutip dalam buku Lamintang bahwa orang hanya dapat berbicara tentang adanya perencanaan lebih dulu, jika untuk melakukan suatu tindak pidana itu pelaku telah menyusun keputusannya dengan mempertimbangkannya secara tenang, demikian pula telah mempertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan dan tentang akibat-akibat dari tindakannya.

113 Mochhamad Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 93.

114 Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit., hlm. 52.

Antara waktu seorang pelaku menyusun rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut selalu harus terdapat suatu jangka waktu tertentu.115

4. Jenis-Jenis Sanksi Bagi Anak

Pengaturan sanksi dalam undang-undang pengadilan anak telah dirumuskan dalam bentuk sanksi yang berupa pidana dan tindakan. Namun undang-undang pengadilan anak masih berpijak pada filosofi pemidanaan yang bersifat pembalasan (retributif). Atas dasar itu mengingat pertama, karakteristik perilaku anak ; kedua, karakteristik anak pelaku kenakalan ; ketiga, tujuan pemidanaan dimana unsur

“paedagogi” menjadi unsur utama dalam pemidanaan anak.116

Resolusi PBB 45/110-The Tokyo Rules, dalam Rule 8-Sentencing diaposition tentang perlunya pertimbangan dalam pembuatan keputusan menyangkut : a) kebutuhan pembinaan pelaku ; b) perlindungan masyarakat dan kepentingan korban, maka dinyatakan bahwa pejabat pembinaan dapat menerapkan jenis sanksi dalam bentuk :117

a. Sanksi verbal yang berupa pemberian nasihat baik, teguran keras dan peringatan keras ;

b. Pelepasan bersyarat ;

c. Pidana yang berhubunan dengan status ;

d. Sanksi ekonomi dan pidana yang bersifat uang seperti denda harian ; e. Perampasan dan pengambilalihan ;

f. Pembayaran ganti rugi pada korban atau perintah konpensasi lain ; g. Pidana bersyarat/tertunda ;

115 Ibid.

116 Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pidana Anak Di Indonesia, (Jogjakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm. 217.

117 Ibid., hlm. 219.

h. Pidana pengawasan ; i. Perintah kerja sosial ;

j. Pengiriman pada pusat kehadiran ; k. Penahanan rumah ;

l. Pembinaan non lembaga lain ; dan

m. Kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut diatas.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditentukan tentang pidana pokok bagi anak yang

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat.119

Sanksi tindakan didalam Undang-Undang Sitem Peradilan Pidana Anak adalah :120

a. Pengembalian kepada orang tua/wali;

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di rumah sakit jiwa;

118 Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

119 Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

120 Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

d. Perawatan di LPKS;

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. Perbaikan akibat tindak pidana.

5. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang Membantu Melakukan Tindak Pidana

Pasal 57 ayat (1) KUHP mengurangi maksimum hukuman pokok dalam hal membantu tindak pidana dengan sepertiga. Apalagi maksimal hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum dalam hal medeplichtigheid ini dijadikan hukuman penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun.121

Pembantuan tindak pidana yang dimaksud memiliki beberapa catatan pengecualian yaitu :

a. Pembantu tindak pidana dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :

1. Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP ) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan ;

2. Membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP) ; 3. Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).

b. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat tindak pidana, yaitu :

121 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 129.

1. Membantu menyembunyikan barang-barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP) ;

2. Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).122

Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa “ Pidana penjara dapat dijatuhkan kepada anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa ” sedangkan ayat (6) menyatakan bahwa “Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun ”.

122 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.Cit., hlm. 181.

A. Kajian Tentang Hukum Perlindungan Anak 1. Konsep Hukum Perlindungan Anak

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyebutkan bahwa anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran UU.No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.123

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa anak adalah seorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah maupun sosial. Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.124

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak

123 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm. 8.

124 Maulana Hassan Wadong, Advokasi Dan Perlindungan Hukum Anak, (Jakaerta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hlm. 18.

menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.125

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang telah dikeluarkan yang berarti pengertian anak yaitu seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial, atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan soaial. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah ia dilahirkan.126

Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbungan fisik maupun mental sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak merupakan segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar.127

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and

125 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

126 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak,(Jakarta : Bumi Aksara, 1990), hlm. 20.

127 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2010), hlm. 33.

freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas.128

2. Hak-Hak Anak

Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.129

Ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak menyatakan bahwa hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.130

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan sebagai berikut :

128 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : Mandar Maju, 2009), hlm. 1.

129 Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

130 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan ;

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.131

2. Hak atas pelayanan ;

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.132

3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan ;

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.133

4. Hak atas perlindungan lingkungan hidup ;

Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.134

5. Hak mendapat pertolongan pertama ;

Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan dan perlindungan.135

131 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 80.

132 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

133 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

134 Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

135 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

6. Hak memperoleh asuhan ;

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan lain.136

7. Hak memperoleh bantuan ;

Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.137

8. Hak diberi pelayanan dan asuhan ;

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan itu diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.138

9. Hak memperoleh pelayanan khusus ;

Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupannya.139

136 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

137 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

138 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

139 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

10. Hak mendapat bantuan dan pelayanan ;

Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan, dan kedudukan sosial.140

3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak a. Prinsip Nondiskriminasi

Prinsip nondiskriminasi memerintahkan kepada negara untuk tidak melakukan praktik diskriminasi terhadap anak dengan alasan apapun. Siapapun tidak boleh memperlakukan anak dengan memandang ia berasal dari etnis, aliran, kelompok ekonomi, atau sosial manapun. Setiap anak berhak mendapatkan keadilan atas hak-haknya tanpa dibatasi oleh perbedaan suku, warna kulit, agama, status sosial dan lain sebagainya.141

Semua hak yang diakui dan terkandung dalam konvensi hak anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak sebagaimana disingkat (KHA) ayat (1) , “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada diwilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau

140 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

141 Nursariani, Op.Cit..

sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya si anak sendiri atau orang tua wali sahnya.142

Ayat (2) menyatakan “Negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, wali yang sah atau anggota keluarganya”.143

b. Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak sesuatu yang menurut orang dewasa baik belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak bukan dengan ukuran orang dewasa dan tidak berpusat pada kepentingan orang dewasa, oleh karena itu sebaiknya anak-anak dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan anak.144

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak sebagaimana disingkat (KHA) : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga

142 Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Anak.

143 Pasal 2 ayat (2) Konvensi Hak Anak.

144 Nursariani, Op,Cit., hlm. 37.

peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.145

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada