• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Manfaat Penelitian

2.3 Uraian Teoritis

2.3.4 Analisis Framing

Pengkonstruksian berita yang dilakukan oleh media massa dapat ditelaah melalui berbagai metode salah satunya adalah analisis framing. Analisis framing digunakan untuk melihat bagaimana media membingkai sebuah peristiwa, tokoh, kelompok, dan lain sebagainya sebagai realitas sosialyang ada di masyarakat.

Pembingkaian yang dilakukan media tentu tidak lepas dari proses konstruksi, karenanya, pada setiap peristiwa yang diberitakan media tidak benar-benar sesuai dengan realita melainkan hasil dari berbagai proses pembentukan atau konstruksi.

Analisis framing ini juga tergolong baru dalam kelompok analisis isi media, framing juga mendapatkan banyak pengaruh dari teori-teori sosiologi dan psikologi dalam penerapannya. Sumbangan pemikir Peter L. Berger dan Erving

Goffman dari sosiologi menaungi analisis ini dan dan dari sisi psikologi yang berhubungan dengan skema dan kognisi. Analisis framing ini juga termasuk ke dalam paradigma kontstruktivis, paradigma ini memiliki pandangan tersendiri dalam memandang bagaimana media, wartawan dan berita, dimana kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif, realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan.

Tabel (1) Skema Analisis Framing Menurut Eriyanto (2002: 13) Paradigma Konstruksionis

Teori Ervin Goffman

Peter L Berger

Model Model Murray Edelmen

Model Robert N. Entman Model Willian A. Gamson

Model Zhandong Pan dan Gerald M. Kosicki

Ada beberapa definisi mengenai analisis framing, Eriyanto dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi,dan Politik Media) tahun 2011, merangkum definisi framing dari beberapa pakar yakni, Robert N. Entman menyatakan bahwa framingmerupakan proses seleksi dai berbagaiaspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol ketimbang aspek lain.

Dirinya juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapat alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson mendefinisikanframing sebagai cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan. Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Todd Gitlin juga mengemukakan pendapatnya mengenai framing yang merupakan strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan

sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan dan ppresentasi aspek tertentu dari realitas. David E. Snow dan Robert Sanford berpendapat bahwa framing merupakan pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dan kalimat tertentu.

Amy Binder mendefinisikan framing sebagai skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa. Terakhir, pemikiran Zhandong Pan dan Gerald M. Kosicki memberikan sumbangan pemikirannya mengenai definisi framing yakni sebagai strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Menyimpulkan seluruh definisi diatas, Eriyanto (2011: 79) juga memberikan definisi framing yaitu pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartwan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Framing pada prosesnya tidak hanya menyangkut dengan wartawan melainkan juga berhubungan dengan proses produksi berita/kerangka kerja dan rutinitas organisasi media.

Tahap paling awal dari produksi berita adalah bagaimana wartawan mempersepsi peristiwa/fakta yang akan diliput, artinya tidak mungkin wartawan menulis berita tanpa perspektif. Penekanan aspek tertentu itu menjadi konstruksi awal dari sebuah peristiwa yang dibuat berita, namun pada prakteknya pembingkaian berita tidak hanya persoalan bagaimana wartawan memandang serta membingkai peristiwa melalui teks berita tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain rutinitas media, organisasi media dan ideologi media.

Wartawan bekerja pada sebuah sistem yang disebut perusahaan media yang

didalamnya terdapat rutinitas kerja, nilai-nilai media dan lain sebagainya yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi isi berita.

Hal ini didukung dengan pendapat Fishman yang menyatakan bahwa berita bukanlah refleksi atau distorsi dan realitas yang seakan berada di luar sana titik perhatian tentu saja bukan pada apakah berita merefleksikan realitas, atau apakah berita distorsi atas realitas. Berita adalah apa yang pembuat berita buat (Eriyanto, 2011: 116). Menurut Fishman selanjutnya ada dua kecenderungan studi yang melihat proses produksi berita, pandangan pertama, sering disebut dengan pandangan seleksi berita, yang pada hasilnya sering melahirkan teori gatekeeper.

Inti dari pandangan ini adalah proses seleksi, yang mana diawali dengan proses seleksi dari wartawan. Wartawan memilih peristiwa mana yang penting, peristiwa yang pantas diberitakan atau tidak dan lain sebagainya. Setelah itu berita masuk ke ruang redaktur dan akan mengalami penyeleksian kembali, penyuntingan, penekanan pada bagian yang penting. Penambahan dan pengurangan dan sebagainya. Pandangan ini berpendapat bahwa memang benar-benar ada realitas riil yang ada di luar diri wartawan, dan realitas yang riil tersebut yang nantinya diseleksi dan dibentuk untuk menjadi suatu berita yang di cetak.

Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita. Menurut perspektif ini peristiwa bukan diseleksi, melainkan dibentuk oleh wartawan.

Pertanyaan yang mendasari perspektif ini adalah bagaimana wartawan membuat berita, titik perhatiannya adalah rutinitas dan nilai-nilai kerja wartawan yang memproduksi berita tertentu. Di sini wartawan tidak perekam pasif namun aktif melihat peristiwa hingga pendekatan dengan narasumber, hal ini dianggap dapat mempengaruhi berita. Tidak seperti pandangan pertama, pada perspektif ini dijelaskan seakan ada informasi yang diambil oleh wartawan, kemudian informasi tersebut diambil lagi oleh redaktur dan seterusnya, sehingga setiap bagian pada dasarnya membentuk konstruksi dan realitasnya masing-masing (Eriyanto, 2011:

116-117).