• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Struktur Sintaksis

5.2 Babak Baru Jurnalisme Presisi Dalam Peliputan Pilkada

Di era sekarang, persyaratan pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi jurnalis dirasakan semakin berat. Sekadar dedikasi untuk mencari kebenaran saja tidaklah memadai.hal ini karena dunia dan masyarakat kita sudah berkembang semakin besar dan kompleks. Berbagai perubahan di dunia terjadi dengan cepat.

Maka dari itu ada anggapan menjadi jurnalis yang generalis saja untuk era saat ini tidaklah cukup, namun dibutuhkan jurnalis spesialisasi. Jurnalis yang spesialisasi mereka yang spesialis diberbagai bidang, seperti bidang iptek, sosial-ekonomi, hukum, politik, militer, olahraga, seni budaya dan lain sebagainya.

Jumlah informasi yang tersedia saat ini semakin melimpah, sehingga jurnalis perlu berfungsi sekaligus sebagai penyaring (filter), pengirim (transmitter), pengorganisasi (organizer), dan penerjemaah (interpreter) informasi, selain tentunta sebagai pengumpul fakta dan penyampai fakta itu pada publik. Banyaknya peran ini memerlukan pelatihan khusus yang harus dimiliki jurnalis di era sekarang.

Dalam kondisi kelimpahan informasi yang jumlahnya terus berlipat ganda, untuk memahami informasi yang ada saja sudah dirasa perlu menjadi jurnalis spesialis, belum lagi untuk mengkomunikasikan informasi itu ke publik. Jurnalis era sekarang harus memiliki pengetahuan yang mencakup, pertama bagaiamana menemukan informasi, kedua bagaimana mengevaluasi dan menganalisisnya dan ketiga bagaimana mengkomunikasikannya dengan cara sedemikian rupa, yang akan mengatasi kelimpahan informasi, serta bagaimana informasi itu bisa sampai ke orang yang membutuhkan dan menginginkannya.

Dalam kaitan itulah, muncul istilah jurnalisme presisi (precision journalism). Jurnalisme presisi adalah penerapan metode-metode riset ilimu sosial dan perilaku (behavioral) dalam praktik jurnalisme. Penerapan jurnalisme presisi dengan metode keilmuan diharapkan dapat mengurangi kekliruan penyampaina informasi yang terjadi akibat berbagai faktor. Mulai dari simplifikasi yang berlebihan, generalisasi yang tidak tepat, kemalasan dan keengganan mencermati rincian informasi, dan lain sebagainya.

Tujuan jurnalisme presisi adalah untuk menjauhkan jurnalisme dari bias politik. Jurnalisme presisi juga bertujuan untuk menjaga prinsip kerja jurnalisme yaitu objektifitas, objektifitas dalam defenisinya adalah melporkan kebenaran dan mereplikakan persitiwa (Damers & Nichols, 1987).

Cranberg dalam Meyer (1991) menjelaskan bahwa penggunaan sains dalam penyebaran informasi ini dapat membuat hasil jurnalistik lebih sistematis, terkomposisi denga lebih rapi dan dapat didistribusikan pada masyarakat sehingga masyarakat dapat memahami suatu isu lewat perspektif pengetahuan yang akurat.

Jurnlis dan ilmuwan sosial memang semakin mirip satu sama lain. Mereka sama-sama sangat mengandalkan pada observasi dan interpretasi, pengumpulan observasi dari catatan publik (public record), dari wawancara, dari partisipasi langsung dan kemudian menghasilkan interpretasi. Dengan penggunaan metode ilmiah, kemiripan itu semakin besar lagi. Bedanya, para jurnalis menuangkan hasil interpretasinya dalah bahasa jurnalistik, sedangkan para ilmuan sosial menggunakan jargon di bidang keilmuannya.

Penerapan jurnalisme presisi menjadi penting, ketika pada masa saat ini menjadi jurnalis dianggap cukup dengan berbekal akal sehat, kearifan dan sedikit fakta saja. Namun dengan bekal sedikit fakta semacam itu, jurnalis menganggap dirinya sah saja untuk melakukan interpretasi dan lalu mengambil kesimpulan-kesimpulan drastis dalam menulis berita atau analisis.

Misalnya dalam penelitian mengenai berita gaya kepemimpinan Ashari-Yusuf saat kamapanye pada Pilkada Deliserdang 2018, koran Harian Waspada kerap menulis kalimat dengan makna generalisasi, padahal pendapat tersebut hanya keluar dari satu atau dua orang dari masyarakat saja yang setuju serta mendukung program Ashari-Yusuf untuk maju kembali menjadi bupati.

kesimpulannya dukungan dari satu dua masyarakat belum tentu mewakili suara seluruh masyarakat lainnya yang berada disatu kecamatan tersebut.

Di Indonesia saat ini media-media nasional seperti Tempo, Kompas dan Media Indonesia sudah mulai menerapkan jurnalisme presisi. Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) yang dimiliki media telah memainkan perannya

dengan melakukan survei dan jajak pendapat untuk menyoroti isu-isu sosial, politik dan ekonomi tertentu. Mettodenya juga beragam mulai dari wawancara via telepon maupun terjun langsung survei lapangan kepada para responden di berbagai kota. Upaya tersebut meski belum ekstensif seperti apa yang dilakukan media luar negeri, namun hal itu sebetulnya merupakan bagian dari praktik jurnalisme presisi. Media telah menggunakan metode-metode ilmu sosial untuk mengetahu perkembangan wacana publik yang sedang terjadi.

Penerapan jurnalisme presisi tidak hanya diterapkan pada media cetak saja. Media daring seperti tirto.id juga tengah mengarah menuju pada penerapan jurnalisme presisi. CEO media trito.id A. Sapto Anggoro mengatakan jurnalisme presisi merupakan penerapan metode-metode ilmu sosial dan perilaku dalam jurnalisme berbasis data. Jurnalisme presisi yang dicetuskan Philip Mayer tersebut, dianggap sebuah langkah baik yang ditujukan agar media dapat mereduksi kelalaian penyampaian informasi dan dapat menciderai wibawa dari jurnalistik.

Media daring atau dikatakan media online, pada masa depan tidak hanya menjadi media yang unggul dari segi kecepatan saja, namun nantinya masyarakt butuh informasi yang berkualitas dengan berbasis data serta menjadikannya akurat dan tidak dangkal. Meski begitu pada masa-masa mendatang dalam penerapan jurnalisme presisi, media juga haruslahdapat presisi dan cepat pula. Dalam menyelaraskannya kedepan diperlukan jurnalis dan peneliti serta orang yang dapat mengolah data mampu bekerja sama nantinya. Pada prinsipnya alur kerja wartawan adalah diantaranya menganalisis data, mengekstrak data kembali, setelah itu mengahsilkan berita.

Independensi dari sebuah media menjadi hal yang penting. Bagaimana kita dapat belajar dari media-media di Jerman. Bagja Hidayat seorang wartawan Tempo menulis dalam website pribadinya menjelaskan, di Jerman, independensi tiap wartawan dan media menjadi hal utama. Keindependensian ditunjukan dengan adanya sejumlah media tak punya pemegang saham. Pemegang saham koran-koran di Jerman adalah pemabacanya sendiri. Salah satunya koran harian Taz. Koran yang didirikan pada 1987 oleh mahasiswa ini menjadikan pembaca

sebagai tulang punggung keuangan mereka. Tak hanya pembeli koran tapi pembaca juga sebagai pemegang saham. Tiap pembaca juga dibatasi memiliki saham dan hanya boleh memiliki saham satu lembar saham seharga 500 Euro untuk menghindari kepemilikan mayoritas.

Manajemen koran Taz membayar utang tiap bulannya seperti membayar bunga deposito. Para pembaca juga diberi keleluasaan menentukan segala hal, seperti memilih pemimpin redaksi, meminta isu liputan, bahkan mengusulkan ide-ide inovasi dalam memajukan koran dalam rapat pemegang saham tiap tahun.

Tidak hanya pada media cetak, media di bidang penyiaran juga sangat kental independensinya. Lembaga penyiaran seperti TVRI dan RRI, memperoleh dana publik. Di Jerman setiap rumah membayar pajak penyiaran 17,5 euro sebulan.

Uang tidak masuk kek kas negara, melainkan disisihkan ke sebuah rekening yang kemudian ditranfer kepada lembaga penyiaran tersebut. Hal itu menunjukan kalau sejatinya pemilik media adalah publik dan bukan negara.

Independensi media yang harus dijunjung tiap jurnalis dan media, juga haruslah diimbangi dengan independensi penyelenggara pemilu, dalam hali ini KPU. KPU Deli Serdang harus dapat aktif memainkan perannya, terutama upaya sosialisasi dan informasi kepada publik tentang berbagai hal terkait penyelenggaraan pemilu. Fenomena keberadaan kolom kosong sebagai penantang baru dalam pilkada beberapa tahun ini, haruslah dapat menjadi perhatian KPU dalam hal sosialisasi tersebut. KPU Deliserdang belum telihat perannya dalam menjalankan sosialisasi kolom kosong. Apalagi tugas dan weweanang mengenai pendidikan politik dan sosialisasi telah diatur. KPU Deliserdang harus cermat dalam membedakan kamapanye atau sosialisasi kolom kosong sehingga tidak terjebak pada praktik kepentingan.

Keberadaan kolom kosong sebenarnya dapat diangkat menjadi sebuah pilihan isu yang menarik bagi media. Penerapan jurnalisme presisi menjadi sebuah landasan dalam membuat wacana tentang fenomena kolom kosong. Media dan Litbang dapat bekerja dengan mengagendakan survei jajak pendapat kepada publik mengenai isu tersebut, sehingga keberadaan kolom kosong secara tidak langsung menjadi sebuah sosialisasi ataupun pendidikan politik kepada

masyarakat. Alasan berikutnya survei jajak pendapat mengenai keberadaan kolom kosong juga menjadi sebuah upaya memfasilitasi suara-suara pemilih yang mungkin selama ini tidak pernah diliput, mengenai apa yang sebenarnya pemilih butuhkan dan inginkan.

Pertimbangan sumber daya manusia dan finansial media turut menjadi perhatian khusus dalam menciptakan laporan-laporan jurnalistik yang berkualitas.

Media pada saat ini juga harus mengandalkan kedalaman dan kelengkapan informasi, bukan lagi kecepatan namun isinya dangkal. Penerapan jurnalisme presisi yang nantinya dapat dilakukan oleh media-media di Indonesia diharapkan mampu mengurangi kekeliruan penyampaian informasi, yang dapat saja terjadi akibat dari berbagai faktor. Media juga harus mulai menghilangkan kebiasaan ceroboh seperti menulis generalisasi yang tidak tepat, simplikasi yang berlebihan serta kemalasan mencermati rincian informasi dan lain sebagainya. Semuanya nanti akan bermuara kepada sebuah langkah besar yakni mengembalikan wibawa dari jurnalistik itu sendiri.

Mengaitkan pada penelitian yang sejenis terdahulu, peneliti berupaya mencoba meneliti hingga pada ke tahap messo dari sebuah konstruksi pemberitaan. Pada penelitihan terdahulu masih banyak para peneliti sebatas membongkar isi teks dengan kesimpulan berpihak atau tidak berpihak. Akan tetapi penelitian ini mencoba lebih jauh mencari jawaban dibalik aktor para pembuat teks dalam hal ini orang-orang di balik layar. Discourse practice analysis menjadi sebuah tahapan yang penting dalam penelitian framing, tahap ini dilakukan setelah peneliti menyelsaikan penelitian pada teks berita yang diproduksi media. Tujuan dari meneliti tahap mikro hingga messo, agar hal-hal yang ditemukan pada teks berita dapat diteruskan kepada mencari jawaban apa yang sebenarnya sedang dilakukan si produksi dalam hal ini orang-orang redaksi dalam mengkonstruksi isi teks tersebut. Dari penelitian ini, banyak permasalahan yang kompleks yang ternyata dapat mempengaruhi sebuah berita. Faktor kedekatan, nilai sebuah berita, ideologi media hingga pesanan langsung yang dapat mempengaruhi isi teks.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN