• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Struktur Sintaksis

4.5 Faktor yang Mempengaruhi Berita

Shoemaker dan Reese (1996:214), dalam model hierarchy of influences on media content menjelaskan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi media antara lain, faktor individu pekerja media (individual level), faktor rutinitas media (media routine level), faktor organisasi media (organization level), faktor eksternal media (extra media level), dan faktor ideologi (ideological level).

Peneliti kemudian menggunakan pendekatan tersebut, untuk melihat faktor apa yang mempengaruhi produksi berita Waspada, khususnya pemberitaan kampanye Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Deli Serdang Ashari-Yusuf pada Pilkada Tahun 2018.

Peneliti juga melakukan wawancara bersifat konfirmasi terhadap Harian Waspada terkait dengan pemberitaan pasangan calon Ashari-Yusuf pada Pilkada Deli Serdang Tahun 2018. Hasil temuan peneliti yang telah dilakukan, peneliti

melihat Harian Waspada telah mempersiapkan dengan matang dalam meliput berita Pilkada serentak tahun 2018. Hal itu ditunjukan dengan menyediakan halaman khusus dengan rubrik Pentas Pilkada, yang berisi ragam liputan yang berkaitan pelaksanaan pilkada di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi isi pemberitaan di Harian Waspada.

Level individu, melalui hasil wawancara yang dilakukan dengan Humas Harian Waspada Erwan Efendi, Redaktur memberikan keleluasan kepada wartawan dalam membangun sebuah berita yang diliputnya di lapangan. Hal itu sesuai dengan pernyataan Humas Harian Waspada mengenai keleluasaan seorang jurnalis melihat sudut pandang suatu realitas.

“Sesuai Undang Undang Pokok Pers, wartawan diberi keleluasan termasuk mengambil sudut pandang serta kebebasan untuk mencari dan memperoleh berita. Sebab wartawan memiliki fungsi informasi kepada khalayak. Dalam peraturan yang berlaku, seorang wartwawan juga tidak boleh dihalangi dalam memperoleh berita, karena ada sanksi tegas bagi yang menghalangi kerja wartawan. Namun tentunya kebebasan tidak serta merta begitu saja, Waspada mengartikan kebebasan itu yang bertanggung jawab. Tidak membuat berita bohong, fitnah dan melanggar kode etik pers yang berlaku”

(wawancara, 9 Juli 2019).

Humas Harian Waspada mengungkapkan, meski wartawawan diberi kebebasan dan keleluasaan dalam membangun berita, tetap saja seorang wartawan harus diberi rambu-rambu. Tujuannya jelas, selain mencegah agar tidak terjadi pemberitaan yang menimbulkan delik pers yang akibatnya berkaitan langsung pada kredibilitas dan independensi wartawan maupun medianya.

Faktor Rutinitas Media, kebanyakan seperti media lainnya, Harian Waspada juga memiliki rutinitas dalam memproduksi berita. Rapat pagi atau disebut juga sebagai rapat proyeksi, merupakan rutinitas yang wajib digelar setia pagi oleh para tim redaksi. Humas Harian Waspada, mengutarakan tujuan rapat pagi untuk mengemukakan ide-ide liputan maupun tindak lanjut (follow up) dari liputan sebelumnya yang perlu untuk dikembangkan.

“Di Waspada ini, sebelum wartawan akan dilepas ke lapangan. Setiap pagi kami tim redaksi, rutin menggelar rapat pagi atau yang disebut juga rapat proyeksi. Rapat proyeksi dipimpin langsung oleh Chief Reporter atau bisa juga disebut ketua reporter dan merangkap sebagai Redaktur Kota Medan.

Dalam isi rapat proyeksi, masing masing wartawan sesuai pos lapangannya, akan mengusulkan bahan liputan kepada chief reporter untuk dapat diterima atau ditolak menjadi sebuah liputan. Pertimbangan lain dalam menentukan bahan liputan, biasanya juga berdasarkan dari isu-isu yang diangkat dari media lokal lainnya. Dari isu itu kemudian dapat dikembangkan dan di follow up. Apakah liputan itu nantinya juga dapat diperdalam lagi menjadi liputan yang bersifat indepth news.”(wawancara, 9 Juli 2019).

Humas Harian Waspada juga menjelaskan dengan rinci proses rutinitas itu bergulir. Proses pengumpulan berita hingga pengerjaan desain lay out koran, pada sore hari harus segera rampung, mengingat pada pukul 19.00 WIB, akan dikirim ke percetakan. Sejumlah Redaktur, Penanggungjawab Redaksi, bahkan Pimpinan Redaksi setiap sore biasanya melakukan rapat budgetingguna membicarakan mana saja berita-berita yang layak terbit untuk mengisi setiap halaman. Namun ada pengecualian khusus penentuan isi halaman satu atau headline, biasanya kami tunggu sampai pada pukul 00.00 WIB. Mengapa begitu? Para Redaktur dan Penanggungjawab Redaksi masih menunggu, apakah ada peristiwa penting lainnya yang terjadi pada malam itu atau tidak. Contohnya seperti kasus kebakaran, pembunuhan atau peristiwa yang tidak dapat diprediksi lainnya.

Level Organisasi Media, level organisasi sebuah media juga berkenaan dengan bagaimana posisi pimpinan media dalam memberikan pengaruhnya kepada kepada isi pemberitaan dari sebuah surat kabar. Penanggungjawab Harian Waspada, mengungkapkan Harian Waspada memiliki tolok ukur dalam menentukan layak tidaknya berita untuk dimuat.

“Dalam menentukan kebijakan berita semua media menggunakan sebuah tolok ukur yakni News Value. Dari news value tersebut pada akhirnya berita nantinya akan dimuat atau tidak, serta dalam hal ini Waspada sebagai media cetak, juga akan menentukan akan diletakkan dimana berita tersebut apakah halaman depan (headline) atau di halaman dalam koran, sesuai tinggi rendahnya news value dari berita tersebut”. (wawancara, 11 Juli 2019).

Penanggungjawab Harian Waspada menegaskan, menjadikan news value sebagai tolok ukur merupakan sebuah standart organisasi media. Meski pengaruh pemilik media itu pasti ada, namun tetap saja news value dianggap menjadi acuan dalam menentukan kebijakan berita di dalam organisasi media seperti Harian Waspada.

“Berbicara kebijakan redaksi (Policy) dalam memberitakan kampanye, masing-masing media tentunya memiliki kebijakan tersendiri. Kebijakan itu datangnya dari Pimpinan Redaksi. Bisa saja berpihak pada calon yang mana, parpol yang mana dan sebagainya. Pimpinan Redaksi lah yang bertanggung jawab atas hal ini. Hal tersebut dainggap sebagai dinamika media, agar segala pemberitaan mengenai kampanye yang beredar tidak hanya seragam melulu pro kebijakannya salah satu calon, tetapi juga mengambil sisi kritisnya terhadap kebijakan calon. Yang paling utama kebijakan pemberitaan kampanye haruslah berimbang (cover both side)”(wawancara, 11 Juli 2019).

Level Eksternal Media, faktor eksternal media juga memberikan peranan dalam mempengaruhi isi berita. Penanggungjawab Harian Waspada menjelaskan dalam wawancaranya, Harian Waspada memiliki independensi yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun dari pihak luar. Waspada memiliki acuan tersendiri yakni pertimbangan news value dalam menentukan kelayakan sebuah berita untuk dapat dimuat.

“Kita (Harian Waspada) memiliki indepedensi yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Selama berita itu punya news value bisa saja kita muat. Jika news value tinggi akan kita letakan di halaman depan, jika rendah di halaman dalam, bahkan tidak dimuat sama sekali.Semua media pasti memiliki kedekatan dengan siapa saja, karena setiap orang adalah sumber informasi. Tetapi sebisa mungkin harus dapat menjaga hubungan. Sebab pada prinsipnya kita harus menjaga independensi media, agar tidak menjadi corong berita dari para pejabat” (wawancara, 11 Juli 2019).

Adapun frekuensi pemberitaan kampanye Ashari-Yusuf yang kerap muncul pada halaman Waspada, Penanggungjawab Harian Waspada tidak menampik kalau berita tersebut merupakan bagian dari berita pariwara atau beriklan.

Permintaan itu biasanya diminta langsung oleh tim sukses dari pasangan calon.

Level Ideologi Media, dari hasil wawancara dengan Humas Harian Waspada, dapat disimpulkan Waspada menetapkan diri sebagai media politik dan religius. Penetapan tersebut tentunya membuat Harian Waspada melakukan persiapan matang dalam peliputan, mengenai pembentukan halaman khusus seputar isu politik, yang diberi nama rubrik “Pentas Pilkada”.

“Tidak dipungkiri Waspada memang dikenal sebagai koran politik.

Halaman Pentas Pilkada dibuat juga sebagai wadah berita politik untuk wilayah Sumatera Utara” (wawancara, 9 Juli 2019).

Humas Harian Waspada juga menjelaskan terkait apakah ada kedekatan atau hubungan khusus dengan pasangan calon, dalam hal ini Ashari-Yusuf. Erwan mengatakan, kedekatan secara struktural itu tidak ada. Sebab, Ashari-Yusufjuga bukan bagian dari Waspada dalam struktural.

“Setiap nara sumber merupakan mitra, dalam hal ini sebagai sumber informasi. Kedekatan itu juga dapat diartikan sebagai posisi pengawasan antara media dan sumber informasi. Apalagi posisinya saat ini sebagai kepala pemerintahan. Pers harus hadir disitu dalam mengawasi (social control)”(wawancara, 9 Juli 2019).

Jawaban Humas Waspada tersebut dapat disimpulkan bagaimana, Waspada berusaha menjaga independensinya dalam menajalankan fungsi pers.

Menjalin komunikasi dan hubungan dengan siapa saja merupakan bentuk mitra media dengan sumber informasinya.

Ketika ditanya mengenai pendapatnya mengenai sosok kepemimpinan Ashari, Humas Harian Waspada tersebut menjawab, tidak mengenal dekat sosok Ashari Tambunan. Namun secara umum dirinya dapat menilai, Ashari dinilai baik dalam kepemimpinan.

“Cukup diketahui, secara dekat saya tidak mengetahui lebih jauh bagaimana beliau, karena juga kan jauh. Namun secara umum saya melihat kepemimpinannya bagus. Indikatornya apa? Saya melihat mengenai sejumlah pembangunan yang ada di Deli Serdang saat ini. Salah satunya mengenai pembangunan mesjid yang di Lubuk Pakam itu, saya melintas beberapa hari lalu dan cukup baik progres pembangunannya” (wawancara, 9 Juli 2019).

4.6 Triangulasi

Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumnpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang.

Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbed-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.

Peneliti telah melakukan wawancara langsung dengan tiga informan dari latar belakang yang berbeda. Hal ini sebagai upaya melihat sudut pandang yang berbeda dari fenomena yang peneliti teliti. Pertama peneliti mewawancarai M.

Husni Siregar. Husni merupakan Kepala Biro Deli Serdang dan Serdang Bedagai untuk Surat Kabar Harian Waspada. Kedua, Pengamat Media sekaligus Wartawan Senior Amirul Khair dan ketiga Iskandar Zulkarnain Pengamat Komunikasi dan juga staf pengajar Departemen Komunikasi FISIP USU.

Siang itu peneliti menemui Husni Siregar di ruang kerjanya di Kantor Biro Harian Waspada Deli Serdang dan Sedang Bedagai di Lubuk Pakam, Husni mengungkapkan khusus pemberitaan terkait Ashari-Yusuf dalam Pilkada Deli Serdang 2018, dirinya dan wartawan di lapangan yang paling bertanggung jawab atas kebutuhan berita selama periode kampanye.

“Wartawan Deli Serdang hingga Serdang Bedagai ada 6 orang wartawan di bawah Kepala Biro, mereka yang saya tugaskan meliput kemana saja Ashari-Yusuf berkampanye. Para wartawan diberi kebebasan dan keleluasaan membuat berita. Jadi berita kampanye yang dimuat di Waspada, merupakan hasil dari liputan langsung di lapangan bukan press realase.” (wawancara, 15 November 2019).

Husni juga mengatakan Kepala Biro juga memiliki fungsi menyaring dan mengedit berita-berita kiriman wartawannya di lapangan sebelum dirinya nanti mengirim ke Redaktur Sumut Harian Waspada di Medan. Berbicara mengenai alokasi khusus terkait berita kampanye AshariYusuf, Husni menekankan tidak ada alokasi khusus mengenai hal itu.

“Pilkada merupakan isu penting bagi media serta ada tanggung jawab informasi pula yang harus diberikan kepada masyarakat. Mengenai frekuensi pemberitaan kampanye Ashari-Yusuf yang sering muncul di Harian Waspada sebab karena lawan yang dihadapi pasangan calon ashari-Yusuf tidak ada. Tapi kami juga mengimbanginya dengan memberitakan para bakal calon yang juga gagal mendaftar seperti Sofyan dan lain-lain.

Kami ikuti perkembangannya mulai dari dia mendaftar sampai dinyatakan dia tidak lolos, karena gagal memenuhi syarat yang ditetapkan KPU Deli Serdang.” (wawancara, 15 November 2019).

Melalui pernyataanya, Husni juga tidak menampik bagaimana kedekatan medianya terhadap sang Bupati Ashari Tambunan. Kedekatan itu dibangunnya sejak dirinya ditugaskan menjadi wartawan pos Deli Serdang hingga akhirnya

Kantor Berita Harian Waspada Pusat memutusnya untuk menjadi Kepala Biro dengan membuat kantor khusus biro Deli Serdang di Lubuk Pakam.

“Kedekatan tidak hanya era Ashari, namun di era Bupati Deli Serdang sebelumnya juga kita telah dekat. Komunikasi keakraban dibangun antara narasumber dan juga wartawan sebagai pencari informasi seputar bupati.

Bahkan pada saat era kepemimpinan Almarhum Ansyari Tambunan, beliau pernah bercanda kepada kami para jurnalis, ‘jika ada sebuah peristiwa yang terjadi namun di media lain sudah terbit tetapi di Harian Waspada belum terbit, saya tidak akan percaya’, begitulah kurang lebihnya, almarhum membilangkannya soal Harian Waspada ini kepada kami.” (wawancara, 15 November 2019).

Kantor Biro Harian Waspada Deli Serdang ini juga diresmikan langsung oleh Ashari Tambunan saat itu, dia yang potong pita. Pembentukan kantor biro seiring berjalan juga ternyata diketahui tanpa anggaran dari kantor pusat.

Berbagaia biaya seperti sewa bangunan, listrik dan lainnya juga berasal dari swadaya kepala dan wartawan untuk menutupinya kata Husni.

“Tidak dipungkiri sering berjalannya kantor biro ini, hanya mengandalkan swadaya teman-teman wartawan dan saya sendiri yang harus berkorban untuk menutupi biaya operasional kantor biro. Dulu ada petuga kebersihan saya gaji, namun mau harus dana dari mana, jadi mohon maaf kalau sedikit berantakan. Kantor biro fungsinya biar ada wadah teman-teman kalau harus menemui tamu, narasumber, menulis berita atau hanya sekedar istirahat saja.” (wawancara, 15 November 2019).

Pengamat media sekaligus wartawan senior Amirul Khair, mengatakan dalam pandangannya mengenai kelayakan sebuah media dalam meliput pilkada yang baik dan berimbang. Seyogiyanya wartawan dan media harus mampu memegang teguh kenetralitasan dalam menyusun berita.

“Tidak dipungkiri dinamika pilkada di Deli Serdang kali ini adem ayem, mengingat hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam artian calon tunggal. Media dalam amatan tidak terlalu sibuk dalam pemberitaan. Saya rasa ini hanya mengalir begitu saja, berita-berita bersifat seremonial saja yang hadir di media, tanpa ada perang visi misi calon yang berkompetisi.

Media-media yang memberitakan tidak menarik lagi dengan hanya ada calon tunggal seperti ini,” (wawancara, 26 November 2019)

Kekakuan juga terlihat pada pemberitaan yang disajikan media dalam memberitakan isu pilkada dengan calon tunggal ini. Pemilihan sudut pandang berita yang monoton serta tidak adanya upaya menggali lebih dalam mengenai

fenomena calon tunggal yang sebenarnya baru pertama kali terjadi di Kabupaten Deli Serdang tersebut.

“Banyak sisi yang dapat media sajikan dalam menggali dan menyajikan berita yang seharusnya lebih menarik dan berimbang dari isu pilkada di Deli Serdang ini, meski hanya ada calon tunggal. Wartawan juga harus mampu memanfaatkan KPU sebagai basis informasi untuk sosialisasi kolom kosong, karena KPU lah yang memiliki kewenangan atas sosialisasi tersebut, meski tidak dipungkiri pada saat pilkada kemarin itu, ada saja riak-riak dari basis masyarakat di facebook dalam perjuangan mendukung kolom kosong, seperti demokrasi untuk kolom kosong yang digaungkan sejumlah masyarakat, seharusnya wartawan mampu melihat sisi yang lain dan hal itu dapat jadi pertimbangan materi liputan yang menarik agar ada keberimbangan dalam menyusun liputan agar tidak monoton,”

(wawancara, 26 November 2019).

Hal berbeda lainnya juga disampaikan Iskandar Zulkarnain pengamat Komunikasi dan juga staf pengajar Departemen Komunikasi FISIP USU. Iskandar menilai fenomena calon tunggal menghadapi kolom kosong yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan tidak lepas dari banyak faktor yang mendasari fenomena ini terjadi.

“Faktor pertama kegagalan dari partai politik dalam mewujudkan kepercayaan (trust) kepada masyarakat, sehingga masyarakat atau calon yang hendak maju tidak lagi melalui kendaraan partai politik dan memilih jalur independen untuk maju. Faktor kedua munculnya calon tunggal karena bakal calon berhasil memborong semua partai sebagai kendaraanya. Hal ini merupaka sudah ke ranah permainan politik tingkat tinggi, sehingga sudah di pastikan tidak ada lawannya, mengingat menjadi calon independen juga diketahui cukup sulit untuk lolos,” (wawancara, 9 Desember 2019).

Hal semacam ini juga bermuara kepada kepercayaan (trust) masyarakat lagi-lagi, bisa saja kolom kosong yang berhasil menang seperti yang terjadi di Kota Makassar. Iklim yang seperti ini sebenarnya tidak baik dalam politik Indonesia kedepan. Prediksi mengenai adanya calon-calon kandidat yang akan maju dalam pilkada akan berupaya untuk dapat memborong partai-partai untuk dapat mendukungnya, tentunya ada biaya (coast) yang mahal ditempuh.

Dampaknya ialah praktik korupsi makin tinggi, sebab ada upaya pengembalian modal disitu.

“Faktor lainnya yang membuat politik kita tidak sehat juga kita melihat bagaimana tanggung jawab dari pembina partai politik, akan tetapi tidak bisa dibebankan pada satu pihak, disini juga ada peran departemen pemerintah dalam negeri yang kita ketahui mereka kerap memberi bantuan-bantuan berupa pembinaan partai politik, hal itu supaya memberikan pendidikan politik yang baik sehingga kader-kader baru bermunculan, mengingat kita saat ini kekurangan sekali calon-calon baru, lalu yang terjadi pemain-pemain senior saja yang muncul mewarnai.

Adapun calon muda yang bermunculan saat ini justru yang terjadi sebuah politik dinasti, seperti anaknya, adiknya, abangnya dan keluarga lainnya.

Jadi kalau ditanya siapa yang paling bertanggung jawab atas munculnya fenomena calon tunggal ini, yang pertama presiden atas nama negara, namun presiden juga dibantu dalam kerjanya seperti kementerian dalam negeri juga turut berperan dengan memberi bantuan materil pada partai politik agar bantuan tersebut dapat menekankan partai politik dalam memberi pendidikan politik kepada kader dan masyarakat. Serta kita sebagai masyarakat juga harus aktif dan kritis dalam pendidikan politik.

Pemerintah juga tidak perlu anti ketika masyarakat berdemo dengan mengkritik kebijakan pemerintah, sebab itu merupakan sebuah pendidikan politik juga bagi masyarakat,” (wawancara, 9 Desember 2019).

Media dan pemilu merupakan dua hal yang saling berkaitan, media memiliki peran penting dalam arus informasi kepada publik dengan mengedepankan fungsinya sebagai penginformasi, edukasi dan kontrol sosial di masyarakat. Pada praktiknya media kerap ditemukan masih belum seutuhnya netral dan independen dalam membertitakan. Vincent Mosco mengatakan dalam konteks negara yang berkembang, yang namanya komodifikasian, atau dalam hal ini merubah sesuatu informasi menjadi nilai ekonomi, saat ini media tidak hanya bekerja pada hal idelanya mencari informasi dan menyebarkannya, akan tetapi juga mencari sisi kepentingan bisnisnya atau keutnungan.

“Dalam teori manajemen media, yang diungkapkan oleh A.J.Libeling mengatakan dalam pendekatan dikotomi, terdapat dua belahan, dimana belahan pertama media pada idelanya yakni sebagai pembawa pesan, belahan kedua bisnisnya. Kedua belahan ini haruslah berjalan dengan seimbang dan menjadi satu kesatuan, sebab jika tidak maka media tidak akan sehat. Pada dasarnya jika bisnisnya tinggi dalam mengejar keuntungan maka idealis medianya akan hilang dan tidak benar, sebaliknya jika idealis media tinggi maka dikhawatirkan bisnisnya akan hilang dan akan membuat bangkrut. Terakhir penentunya ini SDM sebab selama ini tidak pernah diperhatikan oleh negara, jika merujuk pada undang-undang sebelum undang-undang pers No 40 tahun 1999 yakni undang-undang No. 21 tahun 1982, dalam pasalnya disebutkan saham kepemilikan media wajib diberikan kepada para pekerja, sementara dalam

undang-undang terbaru No. 40 pasal tersebut telah dihapus, akibatnya telah terjadi kapitalisasi sehingga para pekerja harus tunduk untuk terus menghasilkan target keuntungan jika tidak maka risiko dipecat. Dampak lain juga kepada pengaruh keindependensian wartawan, ada batasan-batasan yang diberikan perusahaan medianya untuk tidak ‘mengganggu’

perusahaan atau perorangan jika masih memiliki hubungan kekerabatan.

Jadi saya melihat praktik semacam ini wajar dilakukan saat ini. Namun kewajaran-kewajaran seperti itu juga tidak pula dibenarkan karena hal itu salah,” (wawancara, 9 Desember 2019).

Pada regulasi yang diterapkan pada masa itu, tidak hanya mengatur bagaimana kepemilikan saham yang harus dimiliki para pekerja, persoalan isi atau konten medianya juga turut diatur dalam undang-undang Pers No 21 tahun 1982.

Mulai dari persoalan mengenai berapa persen berita serta berapa persen pemuatan iklan. Tentu saja aturan tersebut juga memberikan hak atas ruang publik yang sepantasnya diberikan media kepada khalayak dalam memperoleh informasi.

Masalah seperti ini harusnya telah menjadi perhatian negara dengan segera melakukan upaya revisi dan perbaikan pada perundang-undangan pers saat ini.

Seyogianya media dituntut untuk harus menjalankan fungsinya, seperti menginformasi, mendidik memberikan hiburan dan kontrol sosial. Media juga harus memberitakan berdasarkan kebenaran karena fakta itu merupakan kesucian.

semua kandidat dalam meliput isu pemilu haruslah diberi porsi yang sama dan berimbang. Media harus dapat memberitakan yang benar bukan yang bayar. KPU sebagai penyelenggara harus mengambil peran di dalam media, begitupun sebaliknya media kepada KPU dalam hal jika terjadi kasus calon tunggal. Porsi atau ruang untuk pendidikan demokrasi yang baik kepada masyarakat tentang keberadaan kolom kosong harus dapat terpenuhi dan berimbang dengan porsi pemberitaan calon kandidat lainnya, sehingga tercapailah sebuah asas keberimbangan dalam pemberitaan.

Peran media menjadi sangat penting dalam suatu negara, media memiliki julukan pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Alhasil jika media sebagai pilar tidak kuat akibat pragmatis dan kapitalis tentunya kedepan dapat membuat hancur demokrasi Indonesia.

BAB V PEMBAHASAN