• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI BERITA TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI DELI SERDANG ASHARI-YUSUF PADA MASA KAMPANYE DI SURAT KABAR HARIAN WASPADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSI BERITA TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI DELI SERDANG ASHARI-YUSUF PADA MASA KAMPANYE DI SURAT KABAR HARIAN WASPADA"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI BERITA TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI DELI SERDANG

ASHARI-YUSUF PADA MASA KAMPANYE DI SURAT KABAR HARIAN WASPADA

TESIS

OLEH:

MUHAMMAD IRFAN BATUBARA 167045018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

KONSTRUKSI BERITA TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI DELI SERDANG ASHARI-YUSUF PADA

MASA KAMPANYE DI SURAT KABAR HARIAN WASPADA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MUHAMMAD IRFAN BATUBARA 167045018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konstruksi Berita Tentang Gaya Kepemimpinan Calon Bupati dan Wakil Bupati Deli Serdang Ashari-Yusuf Pada Masa Kampanye di Surat Kabar Harian Waspada. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Subjek penelitian adalah teks berita kampanye pasangan calon bupati Ashari-Yusuf pada Pilkada Deli Serdang 2018 di Harian Waspada.

Penelitian ini melihat bagaimana bingkai gaya kepemimpinan Ashari-Yusuf dalam berkampanye di Pilkada serentak Deli Serdang dengan menggunakan analisis framing model Pan dan Kosicki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Harian Waspada membingkai gaya kepemimpinan dengan satu sudut pandang, yaitu gaya kepemimpinan demokratis. Framing atau pembingkaian dilakukan dengan cara pemilihan narasumber yang dianggap sebagai patron klien serta penulisan judul berita yang berkali-kali menampilkan nama Ashari-Yusuf untuk menempatkannya sebagai fokus utama pembaca. Harian Waspada juga melakukan penekanan dan penonjolan berupa kutipan, frasa dan gambar guna mendukung framing pemberitaan, seperti kata “lanjutkan pembangunan” dan “bapak pembangunan” yang bertujuan memberi makna positif bagi citra diri pasangan Ashari-Yusuf. Sementara itu, porsi pemberitaan menunjukkan keberpihakan kepada calon Ashari-Yusuf, sehingga isu kolom kosong tidak mendapat porsi yang sama. Dari hasil penelitian ini, banyak ditemukan permasalahan yang kompleks yang ternyata dapat mempengaruhi isi dari teks berita. Faktor kedekatan dengan kandidat, nilai sebuah berita, ideologi media hingga adanya praktik pesanan liputan.

Kata kunci: Analisis Framing, Framing Model Pan & Kosicki, Surat Kabar, Pilkada Kolom Kosong, Harian Waspada

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN TESIS i

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI TESIS ii

PERNYATAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DARTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Fokus Masalah 12

1.3 Tujuan Penelitian 13

1.4 Manfaat Penelitian 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14

2.1 Paradigma Penelitian 14

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu 15

2.3 Uraian Teoritis 22

2.3.1 Konstuksi Realitas Sosial 24

2.3.2 Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial 24

2.3.3 Gatekeeping Media 28

2.3.4 Analisis Framing 29

2.3.5 Analisis Framing Model Pan dan Kosicki 32

2.3.6 Kepemimpinan Politik 34

2.4 Kerangka Pemikiran 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 37

(11)

3.1 Metode Penelitian 37

3.2 Aspek Kajian 39

3.3 Subjek Penelitian 39

3.4 Objek Penelitian 41

3.5 Teknik Pengumpulan Data 43

3.5.1 Data Primer 43

3.5.2 Data Sekunder 44

3.6 Teknik Analisis Data 44

3.7 Teknik Keabsahan Data (Triangulasi) 46

BAB IV TEMUAN PENELITIAN 48

4.1 Temuan Penelitian 48

4.1.1 Analisis Berita Kampanye Terkait Isu Kepemimpinan 49

A. Berita 1 49

B. Berita 2 54

C. Berita 3 59

D. Berita 4 64

E. Berita 5 69

F. Berita 6 73

4.2 Ringkasan Hasil Penelitian 76

BAB V PEMBAHASAN 80

5.1 Konstruksi Pemberitan Ashari-Yusuf 80

5.2 Faktor yang Mempengaruhi Berita 86

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 91

6.1 Simpulan 91

6.2 Saran 92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Masalah

Media massa merupakan sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan informasi dan pesan kepada khalayak luas. Media massa dalam produksinya menyajikan berita-berita hangat dan aktual guna memenuhi kebutuhan informasi pembacanya. Media massa menurut Achmad (2002:10), dapat juga diartikan sebagai sebuah instrumen komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengirim informasi, merekam serta membagikan pengalaman dengan cepat kepada khalayak luas, secara terpencar dan heterogen.

Media massa atau pers ditinjau dari fungsinya memiliki peran penting dalam era demokrasi sekarang ini. Kebebasan pers yang dianugerahkan menjadikan pers salah satu wadah ekspresi rakyat dalam berpendapat, berkomunikasi, serta memberikan pengawasan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti yang dikatakan Jay Black dan Federick C. Whitney (Nurudin, 2006), bahwa fungsi media massa sama dengan komunikasi massa yaitu menginformasikan (to inform), memberikan hiburan (to entertain), membujuk (to persuade) dan mentransmisi budaya (transmission of the culture). Fungsi tersebut sama halnya seperti yang ditulis dalam kitab UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, bahwa pers berfungsi sebagai informasi, hiburan, pendidikan dan pengawasan (social control) baik kepada perilaku publik maupun pemerintah.

Media dan Politisi atau pemerintah memiliki kaitan yang erat diantara keduanya. Hubungan yang terjalin bukan hanya sang jurnalis butuh informasi dari para politisi atau pejabat pemerintah, sebagai sumber informasi, melainkan sang politisi dan pemeritah juga butuh media penyampaian ke publik terkait kebijakan- kebijakan yang mereka ingin sampaikan. Hubungan yang saling keterkaitan tersebut, menempatkan posisi para jurnalis berada di lingkaran terdekat dengan para pejabat pemerintahan. Hubungan diantara keduanya juga kerap dikatakan sebagai mitra. Jadi wajar saja, bila menemukan pemandangan para jurnalis selalu bergerombolan di gedung istana, parlemen, kantor pejabat pemerintahan lainya,

(13)

menunggu untuk melakukan wawancara atau drop stop kepada nara sumber yang dituju. Selain itu hubungan lain seperti mengundang makan, berkunjung ke kanotr redaksi hingga berkunjung ke proyek, contoh itu menjadi bentuk kedekatan media dengan para pejabat.

Seyogianya, media memiliki posisi strategis diantara elemen negara yang lain seperti birokrasi, eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan partai politik. Pers juga merupakan bagian pilar ke 4 dalam demokrasi, yang mana media massa merupakan sub sistem dari sistem sosial di Indonesia. Media massa tentunya memiliki power dalam mempengaruhi opini publik serta menggiring persepsi diantara masyarakat guna tercapainya suatu tujuan. Pembentukan image dan citra seseorang juga tak luput dari peran serta media massa dalam mengkonstruksi individu menjadi dikenal, bahkan sebaliknya media massa juga mampu menjatuhkan karir atau lawan politik tertentu dengan strategi penguasaan media.

Berbicara mengenai historis pada era transisi bangkitnya kebebasan pers pada saat itu, membuat pelaku kalangan media massa merasa khawatir akan banyaknya partai politik yang memiliki modal kuat untuk beriklan politik di media massa. Kekhawatiran tersebut tentunya hal yang mendasar, mengingat akan berimbas kepada citra dan independensi serta kredibilitas media yang telah dikelola (Danial, 2009:180). Pada perkembangannya media tentu saja tidak serta merta dapat menolak kue iklan yang tentu jumlahnya fantastis jika mengacu pada media-media besar yang memiliki banyak pembaca. Hal tersebut juga tidak lepas dari “darah” media, dalam hal ini pemasukan dari iklan. Selain jurnalis, iklan telah menjadi motor penggerak media untuk tumbuh dan terus hidup dalam memproduksi informasi. Strategi pendekatan kepentingan politik dalam menjaring politisi untuk beriklan tentunya menjadi pilihan strategis, bahkan lebih jauh dari itu, praktik pers lainnya seperti menawarkan jasa meliput dan menulis sesuai pesanan juga menjadi pilihan.

Menurut Hamad (2002:12) pada umumnya terdapat tiga kegiatan dalam membangun liputan politik yang memilki dimensi pembentukan opini publik media massa. Pertama menggunakan simbol-simbol politik (language of politic), kedua melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies), ketiga

(14)

melakukan fungsi agenda setting media (agenda setting function). Ketiga tindakan tersebut dilakukan oleh sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi seperti kebijakan redaksional mengenai kekuatan politik tertentu, kepentingan politik pemilik media, relasi media dengan kekuatan politik tertentu. Sedangkan faktor eksternal meliputi tekanan pasar pembaca, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya, tentunya bisa jadi peristiwa politik dapat menimbulkan opini publik yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing media mengkonstruksi berita politik.

Penggunaan media massa sebagai alat kampanye tentunya sebuah hal yang strategis, mengingat terbatasnya waktu masa kampanye, geografis daerah yang luas, sehingga media massa sebuah solusi yanag dipilih oleh kandidat dan tim kampanye. Media massa dianggap menjadi strategi efektif, guna dapat menjangkau seluruh masyarakat secara luas di daerah pemilihan. Menurut Nimmo (2005:48), kesempatan seseorang kandidat agar dapat memenangkan pemilihan secara langsung, dipengaruhi juga pada beragamnya penggunaan media massa yang dilakukannya dalam berkampanye politik.

Kotler dan Roberto (1989) mendefinisiksan apa itu kampanye, seperti yang dikutip dari Cangara (2009: 284). Kampanye adalah sebuah upaya yang dikelola oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk memersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membangun ide, sikap dan perilaku tertentu. Pada sebuah panggung kampanye politik, peristiwa tersebut, yakni pertemuan seorang calon dengan para konstituennya, dapat saja didramatisasi. Drama-drama tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah pesan penyampaian pandeangan dan konsep politik yang ingin diwujudkan, hingga kepada janji-janji politik yang seakan memberi harapan kepada konstituen.

Richard A. Joslyn dalam Swanson (1990) menggambarkan, panggung kampanye politik itu, tidak ubahnya bagaikan sebuah adegan drama yang dipentas perankan oleh para aktor-aktor politik. Apra aktor tampil baik guna mengumpulkan simpati publik

(15)

Tentunya tujuan utama kontestan yang bertarung dalam kampanye politik di media massa, berusaha menciptakan citra diri positif dan tampil bagaikan kesatria selayaknya aktor laga, dalam upaya meningkatkan popularitas.

Rekonstruksi positif media massa terhadap figur kontestan yang bertarung, tentu saja dianggap memberi nilai jual kepada masyarakat, dalam mempengaruhi pilihannya, terutama pemilih pemula yang dianggap potensial.

Gegap gempita perhelatan pesta demokrasi serentak tahun 2018 telah usai diselenggarakan. Ada hal yang menarik dari penyelenggaran pilkada tahun 2018 tersebut. Sebab sebanyak 178 pilkada serentak yang meliputi tingkat provinsi dan kabupaten/kota, diwarnai dengan munculnya satu pasangan calon saja atau disebut calon tunggal. Hal tersebut terjadi di 13 daerah di Indonesia. Fenomena ini meningkat sejak tahun 2015, dimana saat itu ada tiga wilayah yang memiliki calon tunggal. Adapun mekanisme pada pemilihan calon tunggal di pilkada 2015 dengan memilih pilihan kolom “Setuju” atau “Tidak Setuju” yang terdapat pada surat suara pemilih. Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusannya mengacu pada pengalaman pilkada 2015, melakukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang didalamnya mengatur ketentuan calon tunggal, ketentuan tersebut ada pada pasal 54C UU Nomor 10 Tahun 2016 bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom, yang terdiri atas satu kolom foto pasangan calon dan satu sisinya kolom kosong tidak bergambar,

Pemilihan Bupati Kabupaten Deli Serdang pada pilkada serentak tahun 2018 menjadi salah satu yang tidak luput dari sorotan media massa, khususnya media cetak. Pasalnya Pilkada Kabupaten Deli Serdang menjadi salah satu wilayah dengan kolom kosong sebagai penantang utama pasangan calon. Selain itu juga ada Kabupaten Padang Lawas Utara yang juga memiliki calon tunggal.

Total keseluruhan ada dua wilayah di Sumatera Utara pasangan calon kepala daerah yang maju bertarung untuk berhadapan dengan kolom kosong.

Ashari Tambunan dan Muhammad Ali Yusuf Siregar atau yang lebih dikenal dengan Ashari-Yusuf, merupakan pasangan calon tunggal yang maju dalam kontestasi Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2018. Hal itu telah

(16)

ditetapkan dan disepakati bersama sesuai dengan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Deli Serdang Nomor:37/HK.03.1- Kpt/1207/KPU-Kab/II/2018 dimana keputusan tersebut berdasarkan pasal 3 sampai 5 PKPU no.14 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasangan calon. Ashari sendiri merupakan seorang Bupati Deli Serdang pada periode sebelumnya. Sebagai calon petahana, Ashari memilih Yusuf sebagai wakilnya untuk maju bertarung dengan kotak kosong. Yusuf sendiri merupakan seorang pejabat Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Deli Serdang.

Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan pangkat golongan IV C. Yusuf juga harus rela meninggalkan jabatannya untuk pensiun dini, demi maju bersama Ashari bertarung menjadi wakil bupati Deli Serdang.

Majunya calon petahana Ashari didampingi wakilnya Yusuf, tak lepas dari dukungan partai-partai pengusung di parlemen. Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hari Nurani Rakyat (HANURA), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) dan Partai Nasional Demokrat (NASDEM), berhasil di borong Ashari-Yusuf sehingga memantapkan pasangan itu untuk maju dan berambisi mampu meraih kemenangan untuk kedua kalinya.

Upaya memborong partai pendukung dengan memanfaatkan latar belakang sebagai calon petahana, membuat pasangan ini dengan percaya diri mampu merebut suara diatas 50% suara di Deli Serdang.

Pencalonan pasangan Ashari-Yusuf maju dalam Pilkada Deli Serdang sebenarnya bukan tanpa saingan, melainkan sejumlah pasangan calon (paslon) yang hendak maju mendaftar gagal di meja KPU Deli Serdang, akibat berbagai alasan persyaratan administrasi. Para bakal pasangan calon yang maju rata-rata merupakan berlatar belakang paslon perseorangan atau non partai. Sebanyak 3 bakal pasangan calon yang datang mendaftar di KPU Deli Serdang, dari tiga yang mendaftar, dua diantaranya merupakan calon independen. Menurut Komisioner

(17)

KPU Sumut, gagalnya kedua bakal pasangan calon perseorangan akibat tidak memenuhi jumlah dukungan KTP yang harus dipenuhi. KPU Deli Serdang juga memberikan masa perbaikan syarat calon, pada tanggal 18-20 Januari 2018, namun kedua pasangan calon jalur perseorangan yang hendak maju juga tidak mampu memenuhi syarat dukungannya. Atas dasar itu, akhirnya mereka yang maju dari jalur perseorangan tidak mendapatkan tiket maju di Pilkada Deli Serdang. Adapun syarat dukungan yang harus dipenuhi oleh pasangan calon julur perseorangan yakni sebanyak 87.496 KTP.

Pendapat berbeda datang dari paslon Sofyan Nasution-Jamilah. Mereka menduga ada upaya penggagalan yang dilakukan KPU Deli Serdang dalam proses pendaftaran, sehingga paslon Sofyan Nasution-Jamilah dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) atas dukungan KTP yang diserahkan. SofyanNasution menemukan ada tiga pelanggaran yang dilakukan komisioner KPU Deli Serdang dalam mengeluarkan keputusan. Pertama, adanya dugaan kecurangan terhadap tindakan sepihak tanpa sepengetahuanSofyan Nasution dalam hal proses penyerahan berkas syarat dukungan kepada verifikator.Sofyan Nasution menilai, adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan KPU Deli Serdang dalam upaya penggelapan berkas-berkas dukungan untuk dirinya. Tindakan tersebut tentunya telah melanggar aturan, bila rujukannya mengacu pada peraturan PKPU No 3 tahun 2017 pasal 17 ayat 5 tentang proses verifikasi berkas.

Dugaan berikutnya yakni, ketidak netralan operator Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Operator Silon yang bertugas dalam hal ini merupakan Aparat Sipil negara (ASN). Tentunya kubu Sofyan meragukan netralitasnya. Kemudian terakhir, adanya dugaan tercecernya dua berkas dukungan KTP yang berasal dari Kecamatan Sibolangit dan Labuhan Deli yang belum diverifikasi. Sofyan dan timnya menemukan ada dua berkas yaitu lampiran hard copy untuk Kecamatan Sibolangit dan Labuhan Deli yang tertinggal sehingga tidak masuk perhitungan tim verifikator. Tetapi KPU Deli Serdang justru sudah melakukan rapat pleno, seyogianya menurut Sofyan, KPU harus kembali memverifikasi ulang semua, baru dapat menggelar rapat pleno (kantor berita rmolsumut.com/28 Februari 2019)

(18)

Pilkada Deli Serdang yang digelar pada tanggal 27 Juni 2018, akhirnya dimenangkan oleh pasangan Ashari-Yusuf setelah meraih kemenangan 509.399 suara (83%). Sementara itu lawannya, kotak kosong meraih sebanyak 103. 705 suara (17%). Adapun jumlah partisipasi pemilih yang datang ke TPS sebanyak 679.003 dari 1.165.762 daftar pemilih tetap (DPT) Kabupaten Deli Serdang.

Tentunya dengan hasil tersebut, KPU Sumut menetapkan pasangan Ashari-Yusuf berhak memimpin kembali Kabupaten Deli Serdang periode 2019-2023.

Fenomena pasangan calon tunggal bukan saja merepresentasikan sepinya Pilkada Deli Serdang dari putra-putri terbaik, terlebih lagi seolah membungkam berbagai persoalan daerah yang membelenggu warganya. Meski istilah pilkada identik dengan pesta demokrasi, namun Pilkada Deli Serdang begitu terasa sunyi.

Kabupaten Deli Serdang yang memiliki luas wilayah lebih kurang 2497 km2, dengan jumlah penduduk mencapai 1.886.388 juta jiwa, yang kemudian terbagi menjadi 33 Kecamatan, namun hanya mampu memasok satu pasang calon untuk bertarung pada kontestasi Pilkada Deli SerdangTahun 2018.

Berbicara mengenai peta kekuatan pasangan Ashari-Yusuf yang maju menjadi pasangan tunggal, tentunya tidak lepas dari popularitas Ashari sendiri sebagai seorang calon petahana. Ashari merupakan adik dari almarhum Amri Tambunan yang tidak lain juga mantan Bupati Deli Serdang, pemenang dua periode sebelumnya. Sulitnya meruntuhkan politik dinasti menjadi ganjalan bagi para pesaing yang ingin maju di pemilihan bupati. Hal tersebut diperkuat dengan dukungan mayoritas partai politik yang berkoalisi ke kubu pasangan Ashari-Yusuf yang ditengarai ingin “cari aman” dan tidak mau untuk keluar dari zona nyaman, untuk kemudian tampil dengan calon alternatif lain.

Berdasarkan UU No. 10/2016 tentang Pilkada, maka partai atau gabungan partai dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Tentunya persyaratan pencalonan tersebut dalam beberapa kasus, mampu dimanfaatkan oleh sejumlah calon. Terutama calon petahana,mereka melakukan penguasaan jumlah kursi dari partai-partai yang ada.

(19)

Adanya upaya “membeli” atau “memonopoli” kursi-kursi yang ada dengan memanfaatkan elektabilitas dan popularitas yang tinggi.

Menurut Iza Rumesten, seorang dosen Universitas Sriwijaya Palembang, yang pernah melakukan penelitian tentang calon tunggal di Pilkada, yang peneliti kutip dari laman berita online BBC Indonesia, mengungkapkan adanya dominasi satu partai atau beberapa partai di daerah, terutama di daerah kecil, membuka terjadinya calon tunggal. Tentu saja partai-partai lain kesulitan untuk mengajukan calon. Selain itu faktor lainnya yang mendorong calon tunggal adalah mahalnya

“uang mahar” atau “uang perahu” yang ditetapkan oleh partai politik untuk memberi dukungan. Tingginya uang mahar yang ditetapkan terkadang membuat calon yang hendak maju harus berpikir dua kali.

Calon yang hendak maju juga harus dapat memikirkan uang-uang lainnya yang tentunya amat sangat dibutuhkan. Di luar urusan uang mahar, calon juga harus memikirkan biaya kampanye hingga biaya untuk membayar tiap saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Menurut hasil penelitian Iza, pengalaman yang diungkapkan oleh seorang pengurus partai, mengatakan untuk biaya makan dua orang saksi selama dua hari saja, diperkirakan seorang calon harus menyiapkan uang setidaknya Rp 40 miliar di satu daerah yang punya sekitar 60.000 TPS. Hal tersebut hanya berlaku untuk di wilayah Sumatera, sedangkan di wilayah Jawa, dana akan jauh lebih besar lagi, mengingat jumlah TPS bisa mencapai 75.000 dan uang tersebut hanya untuk uang makan saja belum pengeluaran yang lainnya.

(bbc.com/indonesia/25 Agustus 2018).

Peneliti asal Belanda, Ward Berenschot dan Edward Aspinall dalam bukunya yang berjudul Democracy For Sale: Pemilu, Klientalisme dan Negara Indonesia, turut memberi fokus utama terkait mahalnya ongkos politik. Ward &

Edward menyebutkan biaya politik di Indonesia perlu diturunkan. Sebab hal tersebut memiliki kaitan erat dengan fenomena transaksional yang masih mewarnai proses Pemilu. Politik transaksional yang salah satu bentuknya terwujud dalam jual beli suara pada masa pemilihan umum. Hal tersebut merupakan salah satu praktik yang khas dalam politik informal Indonesia, meski

(20)

isu politik transaksional sendiri dapat juga ditemukan di negara-negara lain, termasuk Argentina dan India yang merupakan hasil komparatif si penulis buku.

Tingginya biaya politik yang berkaitan dengan politik transaksional tentunya sangat perlu untuk dibatasi. Praktik politik transaksional dilakukan politisi dengan memenangi pemilihan serta mendistribusikan projek-projek berskala kecil dan memberikan uang tunai dan barang kepada para pemilih (money politic). Para politisi juga mendapatkan dana untuk membiayai kampanye mereka dengan praktik memperjual-belikan kontrak, perizinan dan manfaat- manfaat lainnya dengan para pengusaha. Mereka para politisi juga terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka dan dengan birokrat untuk merebut kendali atas sumber-sumber daya negara, dalam rangka membiayai kegiatan politik mereka. Politisi bukan bergantung pada partai, justru para politisi bergantung kepada struktur organisasi yang bersifat ad hoc dan personal, yang lebih dikenal dengan sebutan “tim sukses”, untuk menyelenggarakan kampanye pilihan mereka.

Berkaca dari kasus tersebut, Ward & Edward dalam bukunya, memberikan pandangan bahwa politik transaksional dapat menyebabkan berbagai gejala penyakit kronis, seperti maraknya praktik korupsi, politik oligarki, dan tatanan pemerintah yang lemah. Dibutuhkan suatu reformasi elektoral untuk mengubah incentive structure yang dihadapi oleh politisi dan menekan ongkos politik.

Reformasi pemilu sangat dibutuhkan, hal yang dapat dilakukan misalnya dengan mengubah open list system partai untuk pemilihan parlemen. Contoh lain adalah dengan memperkuat pengawasan kampanye serta mengintegrasikan pemilihan parlemen dan pemilihan kepala daerah (Ward & Edward, 2019).

Menyederhanakan persyaratan diperkirakan menjadi solusi jalan tengah, guna mencegah munculnya calon tunggal setiap adanya pesta demokrasi.

Persyaratan harusnya dapat diubah di parlemen, meski seperti yang kita ketahui undang-undang pemilu sendiri tidak lain merupakan produk politik yang tentunya juga bermuatan politik. Sebab jika tidak lekas dirubah maka potensi calon tunggal akan tetap terus terjadi. Syarat jumlah kursi bagi partai pendukung harusnya dapat diperlunak bagi para calon yang hendak maju, serta bagi mereka yang maju dari

(21)

jalur independen atau yang dalam undang-undang calon perseorangan, agar lebih dapat diringankan dalam mengumpulkan jumlah KTP dukungannya.

Dalam prosesnya, keberadaan calon tunggal dalam keikutsertaannya tidak semua mampu menang dengan telak dan mutlak, bahkan harus lapang dada menerima kekalahan dengan melawan kotak kosong. Kasus yang paling mengejutkan terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Pasangan Munafri Arifuddin- Andi Rahmatika Dewi yang didukung mayoritas partai di daerah harus mengalah dengan kotak kosong. Pasangan yang identik disapa Appi-Cicu itu hanya mampu meraih 46% suara, sementara kotak kososng didukung oleh 53% suara. KPU akhirnya memutuskan untuk melakukan pilkada ulang pada pilkada serentak berikutnya. Pilkada serentak akan dilaksanakan pada tahun 2020 mendatang.

Sementara guna mengisi kekosongan kursi pemerintahan, maka akan ditunjuk pejabat (Pj) walikota yang akan menjalankan pemerintahan di daerah tersebut, sampai digelar lagi pilkada.

Berkaca dari kasus menangnya kotak kosong dari calon tunggal yang maju merupakan sikap demokrasi masyarakat dalam menentukan sikapnya demi kesejahteraan daerahnya. Masyarakat juga dianggap sudah lebih melek soal politik. Fenomena kemenangan kotak kosong juga bisa dikatakan fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia. Hal tersebut sekaligus mematahkan pendapat bahwa masyarakat selama ini tak peduli dengan proses pemilihan dan hanya ikut- ikutan dalam pemilihan calon kepala daerah. Masyarakat membuktikan elite tidak bisa mengatur kepentingan secara sepihak, masyarakat juga bisa mengartikulasikan kepentingannya dari pada harus dimonopoli elit partai.

Sebagai penyelenggara, KPU Deli Serdang tentunya berperan penting dalam menggelar sosialisasi di daerah yang punya calon tunggal di pemilihan kepala daerah. Sosialisasi terkait dengan diperbolehkannya memilih kotak kosong.

Dalam teknisnya, KPU Deli Sedang harus menggelar secara proporsional agar tidak mengesankan mengampanyekan untuk memilih kotak kosong sehingga dapat merugikan pasangan calon tunggal. Mengacu pada UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 77 (1) yang mengatur bahwa media massa harus memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menyampaikan tema dan

(22)

materi kampanye. KPU Deli Serdang tentunya mampu memanfaatkan ruang ini bersosialisasi ke media mengenai lawan dari calon tunggal yakni kotak kosong.

Memilih kotak kosong bukanlah tidak menggunakan hak suara atau biasa disebut golongan putih (Golput), tetapi memilih kotak kosong maknanya sah, dan merupakan bagian dari demokrasi, pilihan hati nurani pemilih. Meski begitu ada saja pihak-pihak bahkan kelompok masyarakat yang sependapat untuk sepakat memobilisasi masyarakat lainnya untuk memilih mencoblos kotak kosong sebagai bentuk tidak terwakilkannya aspirasi serta dianggap sebagai simbol perlawanan.

Media massa dan jurnalisme politik erat kaitannya dalam memberi pengaruh terhadap publik. Media dapat menggiring opini publik, sama seperti apa yang dikontruksikan media. Jurnalis sebagai orang yang paling depan dalam mengumpulkan dan menulis realitas di lapangan tidak serta merta menjadi orang terakhir menentukan isi dan setting berita, namun adanya tahapan lain yang telah tersistem juga harus dilewati seperti redaktur, pemimpin redaksi hingga pemilik media. Tentu saja media memberitakan berita Pilkada serentak ini dengan pandangan (frame) nya masing-masing sesuai kepentingannya. Berangkat dari uraian latar belakang di atas, peneliti akan menganalisis pemberitaan Pilkada Deli Serdang 2018 melalui media cetak yakni surat kabar lokal.

Media cetak yang dipilih dalam penelitian ini adalah, Surat Kabar Harian Waspada. Harian Waspada sebagai salah satu surat kabar tertua di Indonesia, yang lahir di Medan sejak 11 Januari 1947, serta tidak luput untuk memberi sorotan terhadap pelaksanaan Pilkada Deli Serdang Tahun 2018. Perludipahami lebih lanjut bahwa dalam pemberitaan di Surat Kabar Harian Waspada tentang Pilkada Deli Serdang 2018 (Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Deli Serdang) terdiri dari beberapa tahapan berita, yang pertama pemberitaan setelah pengumuman calon, kedua pada masa kampanye, ketiga pasca pemilihan bupati. Pada penelitian ini, dalam memilih berita peneliti lebih fokus pada pemberitaan terkait isu kepemimpinan calon pada masa kampanye di surat kabar Harian Waspada.

Sebagai surat kabar harian lokal yang beredar di wilayah Aceh dan Sumatera Utara, latar belakang sejarah (historis) yang dimiliki Waspada juga turut

(23)

menjadi faktor pertimbangan bagi peneliti. Surat kabar Harian Waspadadinilai cukup populer dikalangan masyarakat Sumut khususnya. Sebagai media mainstream (media arus utama), Harian Waspada tidak hanya dikenal terbit dalam edisi cetak, melainkan juga dalam format cetak digital (e-paper). Aksese-paper diterbitkan guna memenuhi kebutuhan para pembacanya yang mungkin tidak terjamah pendistribusian edisi cetak ke wilayahnya, sehingga edisi digital (e- paper) menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pembaca setia mereka. Faktor lainnya memilih koran Harian Waspada sebagai subjek penelitian yakni, frekuensi pemberitaan kampanye Pilkada Deli Serdang 2018 yang tayang setiap harinya juga turut menjadi pertimbangan peneliti. Dalam penelitian analisis isi, teks berita merupakan bagian vital yang tidak bisa ditawar, sebab fungsi teks beritatersebut nantinya akandijadikan objek penelitian untuk kemudiandianalisis.

Ada sebuah hasil riset dari Edelman Trust Barometer Global Report 2018, yang sumbernya peneliti kutip dari artikel Kompasiana.com. Terdapat sebuah fenomena dalam delapan tahun terakhir, dimana telah terjadi perubahan yang signifikan dalam dunia media. Kepercayaan publik terhadap media mainstream tahun ini, masih lebih unggul dibandingkan kepercayaan publik terhadap media sosial. Fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap media sosial bisa dikatakan sebagai nafas baru (second wind) bagi pelaku bisnis media mainstream saat ini, dalam hal ini Harian Waspada. Studi tersebut menunjukan, di negara Indonesia ada kecenderungan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap media sosial sekitar 5 persen, sebaliknya justru ada peningkatan kepercayaan masyarakat kepada media massa mainstream sekitar 5 persen. Tentunya jika mengacu pada hasil riset tersebut, sebagai salah satu media mainstream, sepantasnya Harian Waspada masih mampu mendapat kepercayaan lebih, dibanding media sosial.

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan di atas, kemudian peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan memberi judul penelitian, “Konstruksi Berita Tentang Gaya Kepemimpinan Calon Bupati dan Wakil Bupati Deli Serdang Ashari-Yusuf Pada Masa Kampanye di Surat Kabar Harian Waspada”.

1.2. Fokus Masalah

(24)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti memfokuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi berita tentang gaya kepemimpinan calon bupati dan wakil bupati Deli Serdang Ashari-Yusuf pada masa kampanye di surat kabar Harian Waspada?

2. Bagaimana proses framing dan produksi berita yang terjadi di ruang redaksi Harian Waspada dalam menghasilkan teks berita tentang gaya kepemimpinan Ashari-Yusuf saat masa kampanye pada Pilkada Deli Serdang tahun 2018 ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu untuk:

1. Menganalisis konstruksi berita tentang gaya kepemimpinan calon bupati dan wakil bupati Deli Serdang Ashari-Yusuf pada masa kampanye di surat kabar Harian Waspada.

2. Menganalisis proses framing dan produksi berita yang terjadi di ruang redaksi Harian Waspada dalam menghasilkan teks berita tentang gaya kepemimpinan Ashari-Yusuf saat masa kampanye pada Pilkada Deli Serdang Tahun 2018.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis manfaat penelitian, antara lain:

(1) Aspek Teoritis

Secara teoritis, manfaat penelitian dapat memberi kontribusi akademis serta menambah referensi tentang teori-teori yang berkaitan dengan analisis framingdalam pemberitaan pemilhan kepala daerah.

(2) Aspek Akademis

(25)

Secara akademis, penelitian dapat memperluas pemahaman tentang analisis framing dalam hal mengkonstruksi pemberitaan kampanye politik dalam pilkada.

(3) Aspek Praktis

Secara praktis, hasil penelitian dapat memberikan masukan positif bagi para pembaca dan media massa lainnya. Serta untuk menunjukkan kepada khalayak tentang kontruksi realitas sosial yang dilakukan media massa, khususnya media cetak, agar khalayak cerdas dalam memilih informasi dan mampu memberi penilaian kritis terhadap berita yang disampaikan oleh media.

(26)

26 2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Berita yang diproduksi oleh media massa khususnya dalam hal ini surat kabar merupakan realitas sosial yang dikonstruksikan oleh jurnalis dan media tempat ia bekerja, sehingga apa yang ditulis dan diproduksi oleh media tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pemilih dalam mempertimbangkan pilihannya dalam pilkada.

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dapat dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaransuatu ralitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto, 2002:13).

Tesis utama dari Peter L. Berger adalah manusia dan masyarakat ialah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Manusia tidak lain adalah produk manusia namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya (Eriyanto, 2002:16). Menurut Vardiansyah dan Febriani (2018),dalam ilmu komunikasi yang dikonstruksi adalah tindakan manusia dalam menyampaikan pesan, termasuk isi pesan itu sendiri, misalnya berita dimaknai sebagai kontruksi atas realitas.

(27)

Tentunya dengan mengkonstruksinya, paradigma konstruktivisme menganggap hal tersebut sebagai cara bagaimana memaknai manusia dengan benar.Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivisme adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu

Sebagai bagian dari komunikasi massa, pers memiliki peran dan fungsi penting sebagai dari saluran (channel) komunikasi politik. Peran pers di dalam komunikasi politik, telah mempertemukan berbagai kepentingan di ruang publik.

Saat pada posisi tersebut, maka pers telah menempatkan dirinya sebagai “ruang publik” bagi berbagai pihak untuk bertemu. Oleh karenanya, sebagai ruang publik, tempat bertemunya berbagai kepentingan, pers memiliki kekuatan dan pengaruh, dalam membentuk opini publik.

Terkait dengan pemilihan bupati, media pers dituntut memiliki peran secara demokratis mempublikasikan liputannya. Dalam konteks publikasi itu media, pers menjadi representasi dari kepentingan khalayak. Representasi itu diarahkan pada keberpihakan media kepada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan publik. Semua elemen memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan opini dan komunikasi politiknya di media pers secara rasional dan proporsional. Sebab, dalam pandangan Subiakto dan Ida (2012: 53), proses komunikasi politik yang terjadi, terutama di kalangan akar rumput (grassroot), dan beberapa di kalangan elit masih lebih banyak berbentuk kurang rasional.

Lebih lanjut disebutkan Subiakto dan Ida (2012:163), objektivitas media pers dalam pemilukada kadang kurang berkepentingan dengan esensi politik, melainkan menggunakan politik, utamanya political affairs, sebagai item bargaining atau tawar menawar yang bernilai ekonomi untuk pendapatan cash flow media kedepannya, jika calon yang didukungnya pada akhirnya menjadi penguasa daerah.

(28)

Hasil penelitian Dian dan Hendra (2017), menjelaskan bagaimana media massa dalam hal ini media cetak menkonstruksi pemberitaan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua tahun 2017, dengan caranya masing masing. Penelitian itu mencoba membandingkan atau komparatif surat kabar Republika dan Harian Media Indonesia dengan mem-framing headline surat kabar itu pada sehari sebelum pencoblosan dan sesudah hari pencoblosan.

Model yang digunakan Dian dan Hendra, adalah framing model Entman.

Berdasarkan analisis framing yang dilakukannya terhadap berita headline sehari sebelum dan sehari sesudah pemungutan suara pemilukada DKI Jakarta putaran keduayang diterbitkan kedua surat kabar Republika dan Media Indonesia, terilihat pola yang signifikan dari kedua surat kabar dalam mengonstruksi keberpihakan mereka dalam pemilukada DKI Jakarta melalui praktik jurnalisme politik yang dijalankan berdasarkan kebijakan redaksinya.

Harian Media Indonesia dan Republika telah menunjukkan keberpihakannya dalam memberikan pelaksanaan pemilukada DKI Jakarta putaran kedua, walaupun konstruksi keberpihakan itu ditampilkan dengan framing yang berbeda berdasarkan pola praktik jurnalisme politik yang mereka anut.

Kedua media nasional itu juga berpengaruh aktif dalam menggiring opini publik untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon dan pilgub DKI Jakarta putaran kedua. Tentunya hal itu tidak lepas dari latar belakang pendiri dan latar belakang ekonomi politik kedua media nasional tersebut.

Media massa dan penguasa memiliki kaitan yang erat dalam fungsinya.

Tidak hanya berfungsi mengawasi pemerintahan, disatu sisi media massa juga berperan dalam membangun citra positif penguasa. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan Nanda Rizki (2017), tesis yang berjudul Konstruksi Pemberitaan Tentang Bupati Bireuen Ruslan M Daud di Koran Serambi Indonesia, menjabarkan bagaimana sang Bupati digambarkan dengan citra diri yang positif pada kegiatan program pemberian beasiswa dan bedah rumah kepada masyarakat tidak mampu di Kabupaten Bireun di Koran Serambi Indonesia.

(29)

Model framing Pan dan Kosicki digunakan peneliti sebagai pisau analisisnya, yakni dengan membedah satu demi satu melalui empat strukturnya, yakni sintaksis, tematik, skrip dan retoris. Tidak berhenti pada analisis teks saja, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan redaktur dan wartawan dari Koran Serambi Indonesia tersebut sesuai relevansi terhadap tujuan penelitian.

Proses ini disebut juga dengan Discourse Practice Analysis guna mendiskusikan langsung dengan si pengkonstruksi berita itu sendiri, dalam hal ini orang-orang yang berada di balik dapur redaksi media Serambi Indonesia.

Dalam menganalisis teks, peneliti juga membagi dua isu berita, yang pertama mengenai berita program bedah rumah dan kedua berita program beasiswa. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat kontruksi pemberitaan tentang pencitraan Bupati Bireun pada program pemberian beasiswa dan bedah rumahkepada masyarakat tidak mampu di Kabupaten Bireun di Koran Serambi Indonesia yang dilakukan melalui proses framing atau pembingkaian oleh jurnalis atau penulis berita. Framing atau pembingkaian dilakukan dengan cara pemilihan sumber berita, pemilihan kutipan dari sumber berita, dan gambar yang mendukung framing pemberitaan. Pembingkaian berita juga dilakukan lewat pemilihan kata dan istilah yang digunakan dalam menyusun artikel berita sehingga menciptakan makna yang positif bagi citra diri Bupati Bireun.

Elina (2014), menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam mem-framingberita Calon Presiden RI tahun 2014-2019, yang dimuat harian lokal Kaltim Post dan Tribun Kaltim. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif interpretatif. Peneliti membatasi periode pemberitaan yang dimuat kedua surat kabar lokal tersebut, yakni mulai dari tanggal 1-31 Desember 2013.

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwah adanya pengaruh pemilik media memberikan dampak pada keberpihakan pemberitaan oleh media Kaltim Post sebagai salah satu surat kabar terbesar di Kalimantan Timur lebih menonjolkan sosok Dahlan Iskan didalam pemberitaannya. Tidak jauh berbeda dengan Kaltim Post, Tribun Kaltim juga lebih menonjolkan salah satu tokoh, yaitu Joko Widodo dalam setiap terbitannya. Pada sisi Teori Agenda Setting media

(30)

mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tersebut. Media mengatakan pada masyarakat apa yang penting dan tidak penting serta mengatur apa yang dilihat dan tokoh siapa yang harus didukung.

Fitra Ardiantoro (2010), dalam penelitiannya mengenai citra pasangan calon walikota dan wakil walikota periode 2010-2015 di Bandar Lampung, juga menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki sebagai pisau analisisnya, guna membedah berita yang dibuat Harian Umum Lampung Post edisi Juni 2010. Lampung Post sebagai media lokal menerbitkan halaman khusus dengan judul “Lampung Memilih Kepala Daerah”. Tentunya melalui halaman khusus tersebut Harian Lampung Post mempunyai pembingkaian tersendiri dalam mengkonstruksi berita-berita kepala calon kepala daerah yang maju dalam pertarungan.

Adapun tujuan dari penelitian ini, guna mengetahui bagaimana Harian Umum Lampung Post dalam mengkonstruksi empat aspek yang ada didalam model framing Zhandong Pan dan Gerald M. Kosicki yakni sintaksis, skrip, tematik dan retoris pada pemberitaan pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung periode 2010-2015. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi dokumentasi dan wawancara. Sampel berita diambil sebanyak 7 berita, serta teknik penarikan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling.Kesimpulan dari penelitian ini adalah, bagaimana telah terjadi perang simbolik antara pihak yang berkepentingan terhadap isu ini. Media memiliki strategi wacana tersendiri dalam memaknai reaksi yang ditimbulkan dalam masalah pemberitaan seputar citra pasangan calon walikota dan wakil walikota Bandar Lampung periode 2010-2015, baik terkait visi misi, debat kandidat pasangan calon hingga kampanye.

Tidak hanya pada medium surat kabar yang menjadi sampel penelitian framing, media daring (online) juga tidak luput sebagai sampel penelitian, guna membedah berbagai berita yang telah melalui konstruksi. Ratih Cahya (2016) memilih membingkai berita pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada keikut sertaannya pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017. Media yang dipilih

(31)

adalah Sindonews.com dan Metronews.com pada periode tayang bulan Juli hingga September 2016.

Penelitian ini menggunakan model framing Robert N Entman. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan konstruksionis.

Adapun sumber data yang diperoleh si peneliti, melalui data primer adalah teks berita metrotvnews.com dan sindonews.com yang tentunya berhubungan dengan realitas pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Untuk membatasi pemberitaan yang dimuat oleh kedua media, maka dipilih tanggal 27 Juli 2016 – 27 Agustus 2016. Ada empat aspek yang akan diuji melalui model framing Entman, yakni identifikasi masalah (define problems), identifikasi sumber masalah (diagnose cause), memuat keputusan moral atau evaluasi moral (make moral judgement) dan yang terakhir menekankan penyelesaian (suggest remedies).

Dari hasil analisis dan diskusi pembingkaian berita mengenai pencalonan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) di media Sindonews.com lebih banyak mengonstruksi Ahok sebagai sosok yang tidak konsisten dalam mengambil keputusan. Bahkan digambarkan sebagai seorang yang tega menyakiti hati pendukungnya demi memeroleh jabatan sebagai gubernur DKI Jakarta. Hal ini didukung dengan pemilihan narasumber dari pemberitaan di artikel yang lebih banyak memilih orang yang bersebrangan dengan ahok seperti anggota partai politik yang mendukung lawan Ahok. Sedangkan apa yang dimuat metrotvnews.com justru berbanding terbalik, dan mendukung penuh apa yang telah dilakukan Ahok.

Dari kedua media online tersebut, dapat dilihat bahwa konstruksi realitas oleh media massa bisa dilakukan dengan cara mengambil sudut pandang yang berbeda untuk dikonsumsi oleh khalayak. Sindonews.com dan metrotvnews.com banyak menggunakan Ahok sebagai define problem dan diagnose cause.

Sedangkan untuk make moral judgement dan suggest remedies tergantung dari masing-masing artikel. Namun, seringnya kedua media memberikan solusi yang berbeda. Sindonews.com lebih menunjukkan bahwa berpindahnya Ahok dari jalur

(32)

independen ke partai politik dinilai negatif. Sebaliknya media metrotvnews.com menganggap itu hal yang positif bagi pendukungnya.

Penelitian lainnya pada konteks framing pemberitaan pemilu, dilakukan oleh Ayub Dwi Anggoro (2014). Membedah tentang konstruksi berita yang dilakukan dua media televisi yakni TV One dan Metro TV dalam menayangkan secara audio visual, hasil pemilihan Presiden tahun 2014. Si peneliti melihat dua kubu yang bertarung dalam kontestasi pemilihan presiden, juga turut dibarengi dengan pertarungan medianya pula. Kondisi tersebut tentunya telah membelah kekuatan korporasi perusahaan media. Pertarungan yang paling mencolok adalah pertarungan TV One dengan Metro TV.

Model framing yang digunakan dalam penelitiannya yakni model Robert N. Entman, identifikasi tentang penggunaan media televisi untuk kepentingan politik demi mencapai kekuasaan diklasifikasikan dengan melakukan analisis bingkai sebuah peristiwa yang diberitakan yakni berita Pilpres 2014 di kedua korporasi media tersebut melalui pembahasan pendefinisian masalah. Berita hasil pemilihan presiden kemudian diidentifikasi sumber masalah dan kedua media TV One dan Metro TV kemudian membuat keputusan moral tentang berita hasil pemilihan presiden pada tanggal 9 Juli 2014. Setelah itu pada spek yang terakhir menekankan pada penyelesaian, berita hasil pemilihan Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 oleh kedua media TV One dan Metro TV dari hasil analisis tersebut ditemukan keberpihakan media pada pasangan calon presiden dalam konten pemberitaan yang disiarkan. TV One membingkai program pemberitaan yang mencitrakan Prabowo dan Hatta Rajasa sebagai pemenang Pemilu 2014-2019 sedangkan Metro TV memenangkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilu melalui tayangan program quick count.

Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini yakni, nilai keberimbangan dan kenetralitasan berita dan institusi media telah hilang pada pemberitaan program tayangan yang mengupas tentang hasil pemilu 2014 dengan judul acara Presiden Pilihan Rakyat (TV One) dan Presiden Pilihan Kita (Metro TV). Persaingan media tidak hanya pada ranah bisnis saja namun sudah merambah kepada wilayah politis. Hal itu tidak lepas dari keterkaitan pemilik media dalam persaingan

(33)

politik. Media kini tidak hanya terindikasi sebagai partisan, tetapi juga gagal menjalankan perannya dalam mengawal dan mengedukasi pemilu. Masyarakat juga dituntut cerdas dan terampil dalam bermedia, sehingga paham mana media yang kredibel dan tidak.

Keterbatasan waktu dan ruang dalam berkampanye keberbagai wilayah pemilihan membuat berkampanye di media menjadi opsi bagi setiap kontestan.

Media cetak salah satunya, juga memiliki pembaca setia setiap harinya. Penelitian yang dilakukan Saddam Amar (2016) mencoba mengonstruksi pemberitaan kampanye dua pasang kandidat Calon Walikota di Kota Medan tahun 2015.

Harian Analisa dipilih sebagai media yang akan di-framing. Si peneliti melihat media lokal tersebut dinilai berimbang dalam tiap pemberitaannya. Adapun sampel pemberitaan pada saat masa kampanye calon yakni tanggal 27 Agustus – 5 Desember 2015.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode framing Zhandong Pan dan Gerald M Kosicki. Fokus penelitian jelas mengarah pada empat aspek, yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Adapun hasil dari penelitian ini, Harian Analisa dinilai dalam setiap pemberitaannya cukup berimbang, hal itu dapat dilihat memberikan porsi ruang yang cukup bagi kedua kandidat yang bertarung di pemilihan walikota di Kota Medan. Dalam soal konstruksi berita Analisa dikatakan lebih netral dan berusaha untuk bertindak independen, bebas dan tanpa tekanan untuk memberitakan suatu peristiwa. Selain itu, konstruksi berita juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal surat kabar Analisa. Hal ini menunjukkan bahwa netralitas dan objektivitas media dipengaruhi oleh kepentingan pemilik media. Sementara itu bagi kedua kandidat yang bertarung dalam kontestasi pemilihan walikota, menganggap Harian Analisa dianggap penting dalam peran kampanye, sehingga kedua kandidatsecara bergantian hadir ke kantor redaksi Harian Analisa untuk bertemu dengan sang pemilik media, yakni Supandi Kusuma.

Secara keseluruhan berdasarkan tujuh Penelitian Terdahulu yang telah disampaikan diatas, adanya persamaan yang didapat dengan penelitian yang akan dilakukan yakni, dalam sisi metodologinya yaitu sama-sama menggunakan

(34)

analisis framing dengan paradigma konstruktivis. Adapan perbedaannya lebih kepada isu yang digunakan, media massa yang akan diteliti, serta tahapan yang lebih mendalam, yakni tidak sebatas mikro namun hingga ke tahap messo untuk menemukan jawaban langsung dari si pemproduksi teks.

2.3 Uraian Teoritis

2.3.1 Konstruksi Realitas Sosial

Umumnya teori dalam paradigma defenisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktoryang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya, itu tercakup dalam fakta sosial, yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial (Ritzer,2011 dalam Bungin 2014: 191). Pandangan ini melihat bahwa realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya.

Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik didalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektik. Individu mengkonstruksi realitas sosial dengan mengrekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008: 189).

Berger dan Luckman mengatakan seperti yang dikutip dalam buku Burhan Bungin (2008: 189) bahwa realitas ada tiga macam yaitu realitas objektif, realitas subjektif dan realitas intersubjektif. Selain itu realitas sosial adalah proses dialektikanyayang berlangsung dalam proses simultan:

1. Eksternalisasi dengan dunia sosiukultural sebagai produk manusia.

2. Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.

(35)

3. Internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Disisi lain Sztompka (2004) mengatakan bahwa realitas sosial itu ada dua, yaitu realitas potensial yang merupakan sebuah realitas dapat diungkapkan oleh peneliti melalui pengamatan yang mendalam dan kajian yang panjang. Kemudian realitas aktual adalah realitas yang dapat langsung diamati melalui penginderaan (Bungin, 2008: 83)

Istilah konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak Peter L. Berger dan Thomas Luckman menulis hal tersebut melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge (Bungin, 2008: 13) menggambarkan proses sosial melalui tindakan interaksinya, yang mana individu menciptakan terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Pendapat Suparno yang dikutip dalam bukunya yang berjudul Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (1997: 25) menyatakan terdapat tiga macam konstruktivisme, yakni konstruktivisme radikal, konstruktivisme realisme hipotesis, konstruktivisme biasa. Ketiga macam konstruktivisme tersebut menggambarkan bahwa konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena individu tersebut mengalami relasi sosial dengan lingkungan sekitar. Berger dan Luckman memberi nama hal tersebut sebagai konstruksi sosial.

Berger dan Luckman juga mengemukakan realitas sosial yang terbentuk dari realitas objektif yang berasal dari pengalaman didunia objektif yang berada diluar diri, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.

Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang bentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas subjektif dan simbolis kedalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997 dalam Bungin, 2015: 206).

(36)

Jika Berger dan Luckman menyatakan konstruksi adalah konsep, kesadaran umum, dan wacana publik, maka menurut Gramsci konstruksi dilakukan negara melalui alat pemaksa seperti birokrasi, administrasi, militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontekstual (Sugiono, 2006: 19).

Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi, berseberangan dengan gagasan Deridda ataupun Habermas dan Gramsci yang menawarkan konsep dekonstruksi sosial. Kajian didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bagian analisisnya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut.

Menurut Berger dan Luckman (Bungin, 2008: 13), dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Seluruh media baik cetak maupun elektronik tentu menggunakan bahasa baik itu bahasa verbal ataupun non-verbal seperti gambar, grafis, foto, angka, tabel, maupun,gerak-gerik. Seperti yang ditulis oleh Hamad (2004: 13) dalam bukunya yang berjudul Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, sebuah foto juga merupakan bagian dari bentuk kontruksi realitas sosial pada media cetak.

2.3.2 Media Massa Sebagai Hasil Dari Konstruksi

Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckman ini mengalami kemandulan karena mereka luput dan tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. Burhan Bungin melalui bukunya yang berjudul Konstruksi Sosial Media Massa, Realitas Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik (2008: 15), telah mengoreksi pemikiran konstruksi sosial dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjektivasi dan internalisasi.

Substansi dari teori konstruksi media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga

(37)

membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Konstruksi media massa memiliki tahapan sebagai berikut, tahap menyiapkan materi konstruksi, tahap sebaran konstruksi, tahap pembentukan konstruksi, dan tahap konfirmasi.

Isi media menurut Alex Sobur (2009, 87), pada hakekatnya adalah hasil dari konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat mempresentasikan realitas, namun juga menentukan gambaran seperti apa yang akan dikemas oleh bahasa tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.

Palgunov mengatakan, sebuah berita kerap didefinisikan sebagai laporan dari sebuah kejadian oleh para ahli. Definisi tersebut membuat khalayak lupa, bahwa sebuah berita sebenarnya hasil dari konstruksi dan dibuat untuk memenuhi tujuan tertentu.

“News should not be merely concerned with reporting such and such for a fact or event, it must pursue a definite purpose. It should not simply report all fact and just any events” (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2012: 32)

Dengan adanya tujuan dari sebuah pembuatan berita, maka berita tidak lagi murni pelaporan apa yang ada di lapangan. Tujuan dari pembuatan berita tersebut secara umum dapat dilihat dari siapa pemilik media massa dan apa visi- misi pada media massa yang memuat berita tersebut (Tamburaka, 2012: 15).

Tidak semua berita dapat menarik perhatian khalayak. Pada zaman dulu berita dianggap sebagai sesuatu yang baru. Dengan demikian, semua berita akan menarik perhatian bila informasi yang dijadikan berita tersebut merupakan sesuatu yang baru (Mondry, 2008: 134). Tetapi kini kemenarikan berita dinilai dari beberapa hal yang disebut dengan nilai berita (news value). Secara umum berita dianggap bernilai jika berita tersebut memiliki nilai prominence, human interest, conflict/controversy, unusual, proximity. Nilai berita disebut sebagai prosedur standar peristiwa apa yang layak disebutkan kepada khalayak (Eriyanto,

(38)

2011: 123). Dengan kata lain, nilai berita merupakan konstruksi dari wartawan dan media massa.

Pendefinisian berita sebagai sebuah laporan dari suatu peristiwa membuat berita yang muncul di media massa manapun bisa dianggap oleh khalayak sebagai cerminan dari realitas yang ada (mirror of reality). Namun pandangan konstruksionis justru melihat bahwa;

“The importance of this early work on routines, in sum, rests largely on its contribution to a view of news as a construction of reality, rather than a mirror of that reality” (Becker & Vlad, 2009: 59).

Pendapat tersebut dikarenakan menurut pandangan konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media itu sendiri (Eriyanto, 2011: 29). Dengan demikian tidak mungkin suatu berita mencerminkan keadaan yang ada secara utuh, melainkan sudah terkontaminasi dari konstruksi medianya.

Berita yang dianggap ideal adalah berita yang bebas dari opini wartawan yang membuat berita. Pandangan konstruksionis menilai bahwa berita tidak lepas dari opini karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif (Eriyanto, 2011: 31). Wartawan dalam melihat sebuah fakta akan menafsirkan fakta tersebut berdasarkan pandangannya sendiri.

Pandangan wartawan dalam melihat sebuah fakta, dapat dipengaruhi oleh field of experiences yang dipengaruhi ideologi yang dianut wartawan. Teun A. Van Dijk menyatakan bahwa,

“ideologies control more specific groups attitudes and how personal mental models of journalism abaout news events control activities of news making, such as assignments, news gathering, interviews, news writing, editing and final make up” (Dijk, 2009: 195).

Pandangan tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan berita suatu peristiwa yang sama. Fenomena ini merupakan sebuah hal yang wajar karena adanya perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh wartawan dan media itu sendiri.

(39)

Shoemaker dan Reese (1996: 214) menjelaskan tentang faktor faktor yang dapat mempengaruhi isi dari suatu media. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor individu pekerja media (Individual level), faktor rutinitas media (Media Routines level), faktor organisasi media (Organization Level), faktor eksternal media (Extramedia Level) dan faktor ideologi (Ideological Level).

Ideological level Extramedia Level Organization Media Routines Journalist

Gambar 2.1:Ideological influences on media content in the hierarchical model.

(Shoemaker dan Reese, 1991: 223).

Faktor individu pekerja media, berhubungan dengan latar belakang profesional pekerja media, pengalaman, nilai yang dianut, keyakinan, dan latar belakang pendidikan. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada bagaimana sebuah berita ditulis. Selain itu, afiliasi politik juga cukup berpengaruh terhadap proses produksi berita. Rutinitas media (Media Routine Level) dan organisasi (Organization Level). Rutinitas media dan organisasi ini merujuk pada aturan- aturan yang berlaku dalam organisasi media tersebut. Standart Operating Procedure (SOP) atau prosedur operasional standar dalam sebuah media akan mempengaruhi apakah suatu informasi dapat ditulis menjadi sebuah berita atau tidak.

(40)

Tingkatan selanjutnya adalah kekuasaan di luar media (Extra Media Level). Media tidak berada di dunia asing. Media adalah bagian dari totalitas sebuah sistem. Sistem politik dan media akan mempengaruhi bagaimana media menentukan peristiwa dan bagaimana peristiwa tersebut dihadirkan. Faktor-faktor ekstra yang mempengaruhi isi berita menurut Shoemaker dan Reese di antaranya adalah kelompok kepentingan khusus, kampanye public relation, organisasi media itu sendiri, sumber-sumber pendapatan seperti iklan dan khalayak, institusi sosial lain, lingkungan ekonomi, dan teknologi, serta hubungan wartawan dengan narasumber, dan yang terakhir adalah tingkatan ideologi (Ideological Level).

Sebagai sebuah perspektif, ideologi akan mempengaruhi bagaimana sebuah persitiwa dilihat dan kemudian direpresntasikan dalam media.

2.3.3Gatekeeping Media

Menjaga gerbang, keseluruhan proses memilih dan menolak berita berdasarkan nilai beritanya disebut “menjaga gerbang (gate-keeping). “Peran penjaga gerbang ini dilakukan sebagian besar oleh para editor, termasuk mereka yang mengatur bagian-bagian partikular dari surat kabar itu. Di televisi, peran ini kadang-kadang dilakukan oleh para produser dan produser eksekutif. Para editor dan produser “membuka gerbang” bagi beberapa berita, “menutup gerbang” bagi berita yang lainnya. (Sardar & Van Loon, 2008: 97).

Istilah getekeeping media diperkenalkan oleh Kurt Lewin, dimana teori ini menyatakan bahwa dalam media massa, khususnya media massa cetak ada sebuah peran utama dalam meloloskan atau tidaknya sebuah informasi dari sumber pertama kepada publik atau khalayaknya (Cangara, 2000: 76). Dalam artian memerankan fungsi sebagai gatekeeping atau perantara antara sumber dan penerima. Peran itu terdiri atas :

1. Menerima, mencari informasi dari suatu sumber kepada penerima.

2. Menyeleksi dan menyaring informasi

3. Mengatur arus pesan dan memodifikasinya dalam komunikasi manusia

(41)

Konsep Kurt Lewin sendiri mengenai gatekeeping (Shoemaker, 1991: 6), menyebutkan bahwa informasi selalu mengalir sepanjang saluran-saluran tertentu yang memiliki “wilayah berpintu”, dimana pengambilan keputusan itu dilaksanakan secara pribadi oleh penjaga pintu, apakah informasi itu diizinkan untuk masuk atau tidak. Jadi, gatekeeping mengatur pesan dan dapat berfungsi memodifikasi pesan sehingga pesan yang semula tidak sama benar dengan pesan yang pada akhirnya diterima penerima. Gatekeeping memiliki kekuasaan untuk mengontrol pesan yang sangat besar dan mempengaruhi arus informasi tiap orang sesudahnya dari rangkaian arus informasi.

Dipandang dari jabatan struktural dalam perusahaan pers, posisi gatekeeping ada pada posisi redaktur, editor, sekretaris redaksi maupun pimpinan redaksi bahkan pemimpin perusahaan sekalipun. Di sini proses seleksi berita atau pengeditan dilakukan dengan proses mengungkapkan realitas sosial dengan ukuran benar atau salah menurut gatekeepers, sehingga terjadi sebuah proses pengurangan bahkan penambahan isu. Intinya pengungkapan realitas tersebut dilakukan dengan sudut pandang gatekeepers bersangkutan. Jika sebuah berita atau sebagian kecil fakta tidak diloloskan oleh gatekeepers, itu bisa diterjemahkan bahwa realitas sosial yang dikandung berita tersebut tidak merupakan realitas sosial yang diyakini benar oleh gatekeepersnya.

2.3.4 Analisis Framing

Pengkonstruksian berita yang dilakukan oleh media massa dapat ditelaah melalui berbagai metode salah satunya adalah analisis framing. Analisis framing digunakan untuk melihat bagaimana media membingkai sebuah peristiwa, tokoh, kelompok, dan lain sebagainya sebagai realitas sosialyang ada di masyarakat.

Pembingkaian yang dilakukan media tentu tidak lepas dari proses konstruksi, karenanya, pada setiap peristiwa yang diberitakan media tidak benar-benar sesuai dengan realita melainkan hasil dari berbagai proses pembentukan atau konstruksi.

Analisis framing ini juga tergolong baru dalam kelompok analisis isi media, framing juga mendapatkan banyak pengaruh dari teori-teori sosiologi dan psikologi dalam penerapannya. Sumbangan pemikir Peter L. Berger dan Erving

Gambar

Gambar  2.1:Ideological  influences  on  media  content  in  the  hierarchical  model
Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran (Sumber: Peneliti, 2019) Surat Kabar Harian Waspada

Referensi

Dokumen terkait

1. Aspek pengadaan bahan baku dan bahan tambahan produksi. Perusahaan dapat menambah jumlah dan variasi produk triplek yang didistribusikan untuk memenuhi permintaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan selebriti endorser terhadap citra merek L’oreal Total Repair 5 Shampoo di

Informasi lain yang akan coba digali untuk me- lengkapi penelitian adalah mengenai tingkat pengetahuan dari usaha mikro, kecil dan menengah tentang pajak, khususnya

Sampel pada penelitian ini atau bisa juga disebut informan adalah Bapak Andi Muhammad Yusuf Pratama selaku pemiliki bisnis Laundry Bar dan Ibu Lia sebagai salah satu karyawan

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menentukan kinetika adsorpsi tawas sintetik dari kaleng bekas terhadap zat warna Rhodamin B adalah penentuan massa tawas,

Gambar 4.2 Nilai rata-rata Pre-test kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Selain itu, untuk hasil belajar siswa dalam ranah afektif dan psikomotorik dapat dilihat pada Tabel 3 yang telah dipaparkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa

Seperti pembuktian terhadap sains, ilmu pengetahuan, dan penciptaan alam yang memiliki keterkaitannya dibalik semua itu tentu ada penciptanya, “Dialah Tuhan.”