• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Struktur Sintaksis

5.1 Harian Waspada Membingkai Gaya Kepemimpinan Ashari-Yusuf

Media massa memiliki power dalam mempengaruhi opini publik, menggiring persepsi masyarakat demi tercapainya suatu tujuan yang direncanakan. Pembentukan image seseorang juga tak luput dari peran media massa dalam mengkonstruksi individu menjadi dikenal. Strategi itupula yang coba dikemas Harian Waspada dalamupaya mengkostruksi berita seputar gaya kepemimpinan calon Bupati Deliserdang Ashari-Yusuf pada Pilkada 2018.

Harian Waspada dalam frekuensi pemberitaan seputar Ashari-Yusuf sangat masif setiap harinya memberikan informasi seputar kegiatan yang dilakukan pasangan calon tersebut di setiap lokasinya. Harian Waspada dalam pengakuannya, hal itu merupakan sebuah bentuk informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat terkhusus para pendukungnya. Harian Waspada juga mempertimbangkan unsur news value dalam pemberitaan tentang Ashari-Yusuf, mengingat isu pilkada merupakan sebuah isu besar bagi media serta pesta demokrasi yang dinanti masyarakat.

Dari analisis peneliti, Waspada kerap menjadikan pasangan calon Ashari-Yusuf sebagai sumber infomasi. Pemilihan narasumber dengan latar belakang sebagai tokoh masyarakat dan pemuka agama, merupakan bentuk patron klien dalam upaya menguatkan sumber informasi dalam hal ini pasangan calon Ashari-Yusuf. Sementara itu, penulisan judul berita juga berkali-kali menampilkan nama Ashari-Yusuf, hal tersebut juga merupakan upaya menempatkan Ashari-Yusuf sebagai fokus utama pembaca. Unsur lainnya yang ditemukan, menunjukkan hampir semua teks berita kampanye yang disusun telah melengkapi unsur 5W+1H. Unsur 5W+1H merupakan hal dasar bagi wartawan dalam menyusun fakta. Temuan lain, banyaknya penonjolan istilah dan kalimat pengulangan seperti

“lanjutkan pembangunan” dan “bapak pembangunan” yang ditulis wartawan, menunjukan adanya tujuan tidak lain memberi efek dengan menggiring khalayak pada ingatan tertentu, yakni memberi citra positif pada Ashari-Yusuf.

Harian Waspada tampak fokus pada berita seputar Ashari-Yusuf, tanpa mempertimbangkan porsi berita kolom kosong hingga upaya dalam mendongkrak partisipasi publik untuk mencoblos. Hal yang sama dikatakan pengamat media sekaligus wartawan senior Amirul. Pada pernyataannya, Pilkada Deliserdang digambarkan senyap dari hingar bingar yang namanya pesta demokrasi. Hal itu juga tidak lepas karena hanya ada satu pasang calon saja yang maju. Media-media tidak tampak variatif dalam pemberitaan, sehingga menjadi monoton dan fokus pada calon tunggal.

Hanif, Judy dan Bambang dalam bukunya yang berjudul Kritis Meliput Pemilu (2008:4), menjelaskan media dituntut unutuk dapat merubah gaya jurnalisme tradisional dalam peliputan pemilu. Dalam proses pemilu, pemilih adalah subyek dan buka menjadi obyek. Atas dasar itu fokus media bukan pada apa yang dikatakan kandidat, melainkan pada para pemilih inginkan dan butuhkan. Media dalam hal ini para redaktur dan jurnalis, seharusnya merekam apa yang pemilih pikirkan, rasakan, inginkan dan butuhkan. Sekaligus apa yang kandidat atau partai pikirkan dan rencanakan untuk dapat memenuhinya. Dengan begitu dialog gagasan dimungkinkan. Jika hal itu terlaksanan dan dilakukan media, maka masuk satu langkah dalam meliput pemilu secara cerdas.

Media juga dituntut dapat berperan aktif dalam mengembangkan partisipasi publik dalam pemilu, serta mendidik pemilih tentang bagaimana menggunakan hak-hak demokrasinya. Dalam klaimnya, KPU Deliserdang justru pada Pilkada serentak 2018 telah terjadi peningkatan partisipasi yakni sebesar 61% meski target yang ditetapkan KPU Sumut semula 78%. Hasil tersebut merupakan sebuah pencapaian yang signifikan bila dibandingkan pilkada para periode sebelumnya di Deliserdang yakni hanya 35%. Sebenarnya yang lebih menjadi koreksi KPU meningkatnya partisipasi masyarakat Deliserdang dalam Pemilihan Calon Bupati 2018 nyatanya masih belum sebanding dengan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suaranaya untuk Pemilhan Gubernur yang dilakaukan secara bersamaan. Dari data yang dihimpun dari KPU Sumut, total partisipasi masyarakat di Deliserdang menggunakan hak suaranya untuk pemilihan gubernur Sumut sebanyak 708.817 orang, sedangkan yang

menggunakan hak suaranya untuk pemilhan bupati Deliserdang hanya 654.431 orang. Tentunya dari hasil tingkat partisipasi masyarakat tersebut dapat disimpulkan ada selisih 54.386 orang, yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan calon Bupati Deliserdang yang secara bersamaan juga tengah dilangsungkan pemilihan calon Gubernur Sumut.

Dalam perannya pada pemilu, Harian Waspada telah berupaya melaksanakan kegiatan jurnalistik yang baik, dengan memberitakan perkembangan kampanye pemilu yang aktif. Informasi seputar pemilu hampir setiap harinya muncul pada halaman koran Harian Waspada. Halaman Pentas Pilkada yang diterbitkan Harian Waspada menjadi sebuah wadah informasi seputar pilkada serentak yang digelar di Sumatera Utara. Namun hanya saja informasi yang disajikan seputar Pilkada Deliserdang khususnya belum berimbang bila dibandingkan informasi seputar kolom kosong yang jadi tandingannya. Seyogiyanya peran media dalam pemilu juga dituntut untuk mampu menyediakan informasi yang menyangkut platform bagi partai politik dan kandidat sekaligus informasi terkait rekam jejaknya. Tidak sampai disitu peran media juga harus pada tahap meneliti dengan cermat proses pemilu, guna mengevaluasi apakah pemilu berlangsung fairness serta jujur.

Tentunya agar media dapat berperan maksimal dalam mendorong pemilu yang bebas jujur dan adil, tentu dibutuhkan jurnalis yang memiliki pemahaman yang cukup dalam hal kepemiluan, ketrampilan peliputan pemilu yang memadai, serta integritas yang tinggi. Media juga perlu memiliki perencanaan atau agenda yang jelas dalam peliputan pemilu. Fakta di lapangan masi banyak media menugaskan jurnalisnya untuk meliput pemilu tanpa bekal yang memadai.

Jurnalis senior Ross Howard pernah mengatakan, banyak jurnalis kerap kekurangan pelatihan ketika meliput pemilu. Media harus bertanggung jawab dengan memastikan bahwa jurnalis peliput pemilu telah mendapat pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Model pelatihan juga dapat dilakukan dengan internal kantor ataupun mengundang KPU sebagai penyelnggara pemilu.

Harian Waspada dalam praktiknya, mereka telah bekerja dengan dengan upaya menyusun perencanaan peliputan. Dalam meliput berita kampanye,

Waspada memiliki tiga tahapan pemberitaan. Pertama sebelum kampanye, kedua saat kampanye berlangsung dan ketiga pasca pilkada. Hal itu memang sudah program yang dirancang khusus oleh redaksi sebagai sebuah strategi pemberitaan.

Masing-masing Redaktur kemudian akan berkoordinasi kepada wartawan disetiap daerah. Redaktur juga akan membuat TOR (Term of Reference) liputan yang akan diteruskan kepada wartawannya. Salah satu produknya yakni halaman Pentas Pilkada, yang memuat berbagai pemberitaan pilkada serentak 2018 di Sumatera Utara. Upaya tersebut merupakan bagian dari strategi liputan, sebab pemilu mengandung banyak kisah yang membutuhkan biaya dan sumberdaya manusia yang besar.

Dalam peliputan pemilu, idealnya setiap media memiliki kode etik khusus untuk peliputan pemilu. Jurnalis maupun redaktur membutuhkan perhatian khusus pada soal etika dalam peliputan pemilu. Maklum dalam pemilu, jurnalis gampang sekali tergoda untuk “berselingkuh” dengan para politisi. Selain itu seorang jurnalis juga dituntut untuk mengembangkan pengetahuannya menyangkut strategi media dari partai-partai politik maupun kandidat calon. Hal tersebut penting agar jurnalis tidak terjebak menjadi seorang pelayan kampanye media partai maupun kandidat. Jurnalis diharuskan juga memiliki kapasitas untuk menjelaskan perilaku partai maupun kandidat kepada publik agar publik mengetahuinya.

Liputan yang baik dan inovatif amat penting dilakukan media. Media perlu bertitik tolak dari apa seseungguhnya yang menjadi kebutuhan pemilih. Pola pemberitaan yang meilputi kebutuhan untuk melaporkan apa yang partai dan kandidat katakan merupakan sebuah keharusan, tetapi tentu harus lebih banyak fokus pada apa yang pemilih ingingkan sebab itu yang harus diutamakan. Upaya itu untuk penyeimbangan, yang mungkin bisa jadi berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh kandidat. Meliput suara pemilih (voter voice reporting) bukan hanya tanggungjawab sosial, hal ini kemungkinan juga jauh lebih populer di mata publik.

Pengamat media dari Hong Kong Baptist University, Prof. Cherian George yang dikutip dari laman Jaring.id, menilai bahwa sistem demokrasi di Kawasan

Asia Tenggara sedang dalam kondisi kritis. Hal tersebut akan menjadi bencana bila media massa di masing-masing negara tidak mengambil peran. Utamanya dalam peliputan pemilihan umum. Cherian mengingatkan peran jurnalis dalam pesta demokrasi tidak sebatas mengabarkan hasil pemilihan umum, siapa menang dan siapa kalah seperti yang kerap diungkap wartawan olahraga. Cherian mengatakan jurnalis perlu menyibak latar belakang dan bertindak kritis terhadap seluruh kandidat. Intinya secara lebih luas laporan pemilu bisa berorientasi pada orang-orang dan menyampaikan kepada publik apa yang perlu mereka ketahui, bukan apa yang ingin disampaikan kandidat.

Dalam upaya menghasilkan laporan-laporan jurnalistik yang berkualitas, kebebasan dan perlindungan bagi para pekerja pers juga menjadi hal yang amat penting jadi perhatian. Sebab jurnalisme dan pemilu merupakan instrumen paling penting dalam demokrasi. Dalam sebuah riset yang dilakukan, Reporters Without Borders pada 2018 mencatat indeks kebebasan pers di Indonesia hanya bercokol di peringkat 124 dari 180 negara. Sementara Freedom House pada 2019 menyebut Indonesia masuk pada kategori kuning yang artinya tak terlalu bebas. Indeks itu tentunya menjadi sebuah keprihatinan, sebab kebebasan pers merupakan prasyaratbagi proses demokratisasi di Indonesia.

Faktor yang dianggap menjadi krikil kebebasan pers di Indonesia adalah adanya pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia mencatat sedikitnya telah terjadi 381 kasus UU ITE yang menjerat baik perorangan maupun institusi sepanjang 2011 sampai 2019. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian yang mana termuat dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Selain krikil kebebasan pers, kekerasan terhadap pekerja pers juga menjadi faktor yang juga menjadi perhatian. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 75 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang Mei 2017-2018, 24 diantaranya dilakukan oleh polisi. Wartawan mengalami intimidasi, pemukulan hingga perampasan alat kerja.