• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Manfaat Penelitian

2.3 Uraian Teoritis

2.3.2 Media Massa Sebagai Hasil Dari Konstruksi

Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckman ini mengalami kemandulan karena mereka luput dan tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. Burhan Bungin melalui bukunya yang berjudul Konstruksi Sosial Media Massa, Realitas Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik (2008: 15), telah mengoreksi pemikiran konstruksi sosial dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjektivasi dan internalisasi.

Substansi dari teori konstruksi media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga

membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Konstruksi media massa memiliki tahapan sebagai berikut, tahap menyiapkan materi konstruksi, tahap sebaran konstruksi, tahap pembentukan konstruksi, dan tahap konfirmasi.

Isi media menurut Alex Sobur (2009, 87), pada hakekatnya adalah hasil dari konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat mempresentasikan realitas, namun juga menentukan gambaran seperti apa yang akan dikemas oleh bahasa tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.

Palgunov mengatakan, sebuah berita kerap didefinisikan sebagai laporan dari sebuah kejadian oleh para ahli. Definisi tersebut membuat khalayak lupa, bahwa sebuah berita sebenarnya hasil dari konstruksi dan dibuat untuk memenuhi tujuan tertentu.

“News should not be merely concerned with reporting such and such for a fact or event, it must pursue a definite purpose. It should not simply report all fact and just any events” (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2012: 32)

Dengan adanya tujuan dari sebuah pembuatan berita, maka berita tidak lagi murni pelaporan apa yang ada di lapangan. Tujuan dari pembuatan berita tersebut secara umum dapat dilihat dari siapa pemilik media massa dan apa visi-misi pada media massa yang memuat berita tersebut (Tamburaka, 2012: 15).

Tidak semua berita dapat menarik perhatian khalayak. Pada zaman dulu berita dianggap sebagai sesuatu yang baru. Dengan demikian, semua berita akan menarik perhatian bila informasi yang dijadikan berita tersebut merupakan sesuatu yang baru (Mondry, 2008: 134). Tetapi kini kemenarikan berita dinilai dari beberapa hal yang disebut dengan nilai berita (news value). Secara umum berita dianggap bernilai jika berita tersebut memiliki nilai prominence, human interest, conflict/controversy, unusual, proximity. Nilai berita disebut sebagai prosedur standar peristiwa apa yang layak disebutkan kepada khalayak (Eriyanto,

2011: 123). Dengan kata lain, nilai berita merupakan konstruksi dari wartawan dan media massa.

Pendefinisian berita sebagai sebuah laporan dari suatu peristiwa membuat berita yang muncul di media massa manapun bisa dianggap oleh khalayak sebagai cerminan dari realitas yang ada (mirror of reality). Namun pandangan konstruksionis justru melihat bahwa;

“The importance of this early work on routines, in sum, rests largely on its contribution to a view of news as a construction of reality, rather than a mirror of that reality” (Becker & Vlad, 2009: 59).

Pendapat tersebut dikarenakan menurut pandangan konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media itu sendiri (Eriyanto, 2011: 29). Dengan demikian tidak mungkin suatu berita mencerminkan keadaan yang ada secara utuh, melainkan sudah terkontaminasi dari konstruksi medianya.

Berita yang dianggap ideal adalah berita yang bebas dari opini wartawan yang membuat berita. Pandangan konstruksionis menilai bahwa berita tidak lepas dari opini karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif (Eriyanto, 2011: 31). Wartawan dalam melihat sebuah fakta akan menafsirkan fakta tersebut berdasarkan pandangannya sendiri.

Pandangan wartawan dalam melihat sebuah fakta, dapat dipengaruhi oleh field of experiences yang dipengaruhi ideologi yang dianut wartawan. Teun A. Van Dijk menyatakan bahwa,

“ideologies control more specific groups attitudes and how personal mental models of journalism abaout news events control activities of news making, such as assignments, news gathering, interviews, news writing, editing and final make up” (Dijk, 2009: 195).

Pandangan tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan berita suatu peristiwa yang sama. Fenomena ini merupakan sebuah hal yang wajar karena adanya perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh wartawan dan media itu sendiri.

Shoemaker dan Reese (1996: 214) menjelaskan tentang faktor faktor yang dapat mempengaruhi isi dari suatu media. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor individu pekerja media (Individual level), faktor rutinitas media (Media Routines level), faktor organisasi media (Organization Level), faktor eksternal media (Extramedia Level) dan faktor ideologi (Ideological Level).

Ideological level Extramedia Level Organization Media Routines Journalist

Gambar 2.1:Ideological influences on media content in the hierarchical model.

(Shoemaker dan Reese, 1991: 223).

Faktor individu pekerja media, berhubungan dengan latar belakang profesional pekerja media, pengalaman, nilai yang dianut, keyakinan, dan latar belakang pendidikan. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada bagaimana sebuah berita ditulis. Selain itu, afiliasi politik juga cukup berpengaruh terhadap proses produksi berita. Rutinitas media (Media Routine Level) dan organisasi (Organization Level). Rutinitas media dan organisasi ini merujuk pada aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi media tersebut. Standart Operating Procedure (SOP) atau prosedur operasional standar dalam sebuah media akan mempengaruhi apakah suatu informasi dapat ditulis menjadi sebuah berita atau tidak.

Tingkatan selanjutnya adalah kekuasaan di luar media (Extra Media Level). Media tidak berada di dunia asing. Media adalah bagian dari totalitas sebuah sistem. Sistem politik dan media akan mempengaruhi bagaimana media menentukan peristiwa dan bagaimana peristiwa tersebut dihadirkan. Faktor-faktor ekstra yang mempengaruhi isi berita menurut Shoemaker dan Reese di antaranya adalah kelompok kepentingan khusus, kampanye public relation, organisasi media itu sendiri, sumber-sumber pendapatan seperti iklan dan khalayak, institusi sosial lain, lingkungan ekonomi, dan teknologi, serta hubungan wartawan dengan narasumber, dan yang terakhir adalah tingkatan ideologi (Ideological Level).

Sebagai sebuah perspektif, ideologi akan mempengaruhi bagaimana sebuah persitiwa dilihat dan kemudian direpresntasikan dalam media.