• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis: Kepengayoman, Kepedulian terhadap Dunia Sastra Dalam masyarakat kita sekarang ini, ada orang atau lembaga

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 141-158)

Herry Mardianto

7. Analisis: Kepengayoman, Kepedulian terhadap Dunia Sastra Dalam masyarakat kita sekarang ini, ada orang atau lembaga

yang menjadi pengayom kegiatan kesenian (sastra), kepengayoman tersebut antara lain berupa bantuan untuk penulisan, penerbitan, dan pemberian hadiah karya sastra. Pengertian pengayom adalah orang atau lembaga yang bertindak sebagai pendukung/pelindung (dalam pengertian luas) dalam menggiatkan olah kesastraan. Pengayom se- lalu mempunyai sikap positif terhadap kegiatan bersastra. Kondisi itu tercermin dari partisipasi dalam memberikan dukungan material terhadap kelangsungan kegiatan bersastra. Pengayom dalam kegiatan pengembangan (penerbitan) cerpen Indonesia di Yogyakarta mempu- nyai latar belakang orientasi berbeda-beda sehingga dukungan yang diberikan pun tidak sama. Situasi ini tercermin dalam tujuan peng- ayoman yang terbagi dalam tiga klasifikasi: (1) keinginan menerbitkan buku yang memuat karya cerpenis Yogyakarta, (2) menumbuhkan kreativitas dalam berkesastraan dengan mengadakan lomba penulisan cerita pendek, dan (3) menaruh perhatian kepada dua kegiatan terse- but, seperti yang dilakukan Taman Budaya, Panita Festival Kesenian

Yogyakarta, dan Dewan Kesenian Yogyakarta. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pengayom dapat berupa pemberian penghargaan atau memberikan ruang bagi perkembangan sastra (khususnya cerita pen- dek) di Yogyakarta.

Pada bulan Januari 1989, misalnya, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menyelenggarakan Lokakarya Penulisan Puisi dan Cerita Pen- dek. Lokakarya tersebut diadakan untuk meningkatkan keterampilan teknis dan memperluas wawasan para penulis dan calon penulis, khu- susnya di daerah Istimewa Yogyakarta. Narasumber terdiri atas Umar Kayam dan Ashadi Siregar (penulisan cerpen), Bakdi Sumanto dan Kuntowijoyo (penulisan puisi). Karya-karya pemenang lomba tersebut oleh TBY dipublikasikan sekaligus didokumentasikan dengan mener- bitkannya dalam antologi (Antologi Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen).Kehadiran antologi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk melihat seberapa jauh perkembangan seni sastra di Yogyakarta, khususnya untuk genre puisi dan cerita pendek, pada kurun waktu tertentu.Serangkaian kegiatan tersebut tentunya tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya kerja keras semua pihak, baik peserta, panitia, juri, dan instansi terkait.

Gagasan penerbitan antologi oleh TBY mendapat sambutan posi- tif dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebuda- yaan Provinsi DIY yang menyambut gembira dengan terbitkannya buku antologi tersebut. Setidaknya, dengan diterbitkannya buku Anto- logi Puisi dan Cerpen tersebut akan menambah koleksi atau bahan pus- taka di bidang seni sastra, khususnya puisi dan cerpen. Selain itu, masyarakat sastra memiliki dokumentasi dan sumber informasi me- ngenai kemajuan dan perkembangan puisi dan cerpen di DIY. Depar- temen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi DIY sebagai pengayom menyadari bahwa Yogyakarta sebagai kota budaya cukup potensial di bidang penulisan puisi dan cerpen sehingga perlu adanya usaha- usaha secara terus menerus dan berkesinambungan terhadap program pembinaan dan pengembangan seni sastra (puisi dan cerpen) melalui pembinaan terhadap para penulisnya guna lebih meningkatkan kuali- tas dan kuantitas para penulis. Penerbitan buku antologi ini besar arti dan manfaatnya bagi upaya memotivasi penulis dalam berkarya, meningkatkan kualitas para penulis guna menghasilkan karya puisi dan cerpen yang bermutu.

Penerbitan antologi cerpen Islami 1411 H (Terompet Terbakar) me- rupakan sebuah upaya memilih atau merentang “benang merah” tra- disi bersyukur Jamaah Shalahuddin UGM. Penerbitan yang dilakukan pada tahun 1990 diselaraskan dengan getaran benang merah yang

telah dipilin kurang lebih selama dua tahun (lewat Hijrah—Antologi Puisi Islami, 1988). Benang merah yang direntangkan tersebut bermak- sud meluruskan pemahaman mengenai persepsi dan perilaku Islami di dalam proses kreativitas kesastraan, yaitu proses kreatif yang ma- nusiawi plus transedensi. Ini merupakan upaya guna menyelaraskan jalan pikiran dengan para cerpenis muslim. Itu sebabnya, dalam pu- blikasi, Sema Fakultas Sastra dan Jamaah Shalahuddin UGM sengaja mencatumkan topik bebas, meski dalam proposal ditentukan tema: nilai Islami sebagai sikap dasar kreativitas cerpenis muslim. Hal ini di- maksudkan agar cerpenis tidak merasa dibatasi, karya yang dihasilkan tidak hanya berkisar pada hal-hal yang mistis (kecuali cerpen “An- jing”, “Taktik”, dan “Kepala Kampung”).

Menurut Jamaah Shalahuddin, idealnya antologi cerpen Terompet Terbakar dapat dijadikan bahan dialog bagi proses kreatif para cerpenis dan tidak dimaksudkan sebagai satu “norma” cerpen-cerpen yang sa- kral. Minimal, tentu ada benang infra merah yang dimaksudkan cer- penis bisa sebagai pembebas dari anasir kegelapan dalam kesastraan.

Panitia Festival Kesenian Yogyakarta 1992 dan Penerbit Bentang memberikan kepengayoman dalam kehidupan sastra di Yogyakarta dengan menyadari bahwa kehidupan kesastraan selalu mengalami pasang naik dan surut. Ada kalanya terjadi semacam ledakan kreativi- tas seiring dengan produktivitas. Ada kalanya kreativitas masih terjaga tetapi produktivitas menurun, dan ada kalanya produktivitas meng- gebu tetapi kreativitas begitu kering. Alat untuk mengukur pasang naik dan surutnya kehidupan kesastraan bermacam-macam, dapat diukur lewat ramainya para sastrawan melempar isu-isu kesenian atau kebudayaan ke media massa atau diukur lewar event-event sastra dan penerbitan-penerbitan antologi puisi atau cerpen. Di Yogyakarta, sering para penyair atau cerpenis merasa seakan-akan atau sungguh-sungguh sedang terjadi gelombang pasang naik dalam kehidupan kesastraannya, tetapi sering pula mereka merasa seakan-akan dan sungguh-sungguh terjebak dalam kondisi surut. Dinamika seperti ini sering menggelisah- kan atau justru menantang; sebab apa pun yang terjadi toh mereka sen- diri yang harus berbuat mengubah keadaan, berbuat mengatasi masa- lah, dan berbuat untuk tidak menyerah. Penerbitan buku Ambang: An- tologi Puisi dan Cerpen merupakan wujud dari semangat tidak menyerah itu. Di sisi lain, penerbitan ini dimaksudkan untuk kepentingan apresiasi dan sosialisasi sastra, menjaga semangat berkarya dari sastrawan muda Yogyakarta. Apresiasi, sosialisasi sastra, dan semangat berkarya adalah sesuatu yang amat berharga dalam masyarakat kita.

Penerbitan antologi Lukisan Matahari (1993) merupakan hasil kerja sama antara Harian Bernas Yogyakarta dan Penerbit Bentang. Pener- bitan antologi dilatarbelakangi oleh kesadaran redaktur Bernas akan arti penting karya sastra (cerita pendek) yang dimuat di koran. Sastra koran memiliki posisi dan makna strategis bagi keseluruhan perkem- bangan sastra Indonesia. Sastra koran yang hadir secara rutin dengan jangkauan pembaca relatif lebih luas menyebabkan sastra koran lebih mudah menjalin komunikasi dengan pembaca. Intensitas interaksi yang tinggi antara sastrawan (cerpenis) dan pembaca (lewat cerpen yang dimuat dalam Bernas), memberi kemungkinan terjalinnya ke- akraban antara cerpenis dan audience (pembaca). Dengan demikian, redaktur Harian Bernas Yogyakarta menyadari benar bahwa salah satu makna strategis sastra koran adalah mengurangi bahkan menghilang- kan kemungkinan terjadinya keterasingan karya sastra di tengah ma- syarakatnya. Di sisi lain, redaktur Harian Bernas Yogyakarta menya- dari bahwa keberadaan sastra Koran merupakan potensi yang mampu meramaikan pertumbuhan dunia kesastraan di Yogyakarta. Potensi untuk senantiasa “meramaikan” dunia sastra Yogyakarta adalah de- ngan menumbuhkan dan membuka peluang bagi siapa pun (termasuk cerpenis pemula) untuk mengasah bakat mereka dalam menulis cerita pendek sehingga dapat mencapai prestasi yang membanggakan. Hal ini tidak akan terwujud jika Harian Bernas Yogyakarta tidak menye- diakan rubrik sastra yang diasuh secara apresiatif dan bertanggung jawab. Dua hal terakhir ini setidaknya dibuktikan dengan penerbitan antologi Lukisan Matahari.

Alasan lain mengapa penerbitan ini dianggap penting oleh Ha- rian Bernas Yogyakarta karena sastra koran memiliki kelemahan akibat dari kehadirannya yang dianggap hanya “selintas”. Koran cenderung mengikuti irama jurnalistik yang “berlari” mengikuti dinamika per- kembangan masyarakat dan dunia, memiliki implikasi terciptanya masyarakat pembaca yang beranggapan bahwa usia koran hanya mampu bertahan sehari: hari ini terbit dan keesokan harinya sudah basi. Ketika karya sastra dikaitkan kehadirannya dengan koran, tidak urung juga terkena “hukum” seperti itu. Maksudnya, karya sastra (cerita pendek) yang dimuat di koran cenderung cepat dilupakan oleh pembacanya. Parahnya lagi, sastra koran jarang didokumentasikan dengan baik oleh pengarang maupun pembacanya. Mengingat begitu tingginya nilai positif sastra koran dan keterbatasan usia koran yang relatif pendek, redaktur Harian Bernas Yogyakarta berinisiatif me- ngumpulkan cerita pendek yang pernah dimuat di Harian Bernas. Pe- nerbit memiliki harapan dengan penerbitan antologi Lukisan Matahari,

paling tidak dapat mewakili kecenderungan tertentu dari sastrawan (cerpenis) Yogyakarta yang terlibat dalam sastra koran.

Antologi Guru Tarno: 20 Cerpen Pilihan Bernas (1994) merupakan kumpulan cerita pendek yang ke-2 diterbitkan oleh Harian Bernas Yog- yakarta. Antologi Guru Tarno berisi cerpen-cerpen asli dan terjemahan. Cerpen terjemahan merupakan “stok lama” pada awal penerbitan Bernas dengan manejemen baru. Suasana yang berbeda dengan de- ngan antologi pertama, Lukisan Matahari adalah tidak hadirnya cerpen- cerpen karya wartawan Bernas; meskipun dalam kurun waktu satu tahun, sesekali masih dijumpai cerpen wartawan Bernas di halaman budaya Bernas Minggu. Hal ini dilakukan Harian Bernas untuk menin- daklanjuti kritikan dari pembaca antologi Lukisan Matahari yang meng- kritisi “mestinya editor antologi tidak mengikutsertakan karya-karya mereka”. Kekhawatiran ini wajar mengedepan karena kemungkinan besar editor menjadi subjektif dalam menilai karya-karya yang lolos; meskipun tujuan penerbitan antologi pertama, Lukisan Matahari, ada- lah untuk mendokumentasikan dan sekaligus “lebih menggaungkan” cerpen-cerpen wartawan Bernas. Tentu ini bukan berarti cerpen yang dimuat “asal masuk” saja karena semua melewati tahap seleksi—seti- daknya seleksi redaktur Bernas Minggu. Ketika keputusan tidak me- muat cerpen wartawan Bernas ditetapkan, bukan berarti tidak ada per- soalan. Artinya ada pro dan kontra secara internal. Sebagian wartawan (yang juga penulis cerpen) Bernas “memahami” kritikan tersebut, mes- kipun di sisi yang lain ada yang tidak sependapat.

Kepedulian Harian Bernas menerbitkan antologi cerpen secara berkelanjutan berkaitan dengan komitmen akan memberikan porsi selayaknya bagi perkembangan karya sastra, khususnya cerpen. Tanpa harus diartikan menyombongkan diri, Bernas menyadari bahwa koran mampu memberikan kontribusi sekaligus komitmen besar terhadap perkembangan sastra di tanah air. Harapan para redaktur koran (ter- masuk Harian Bernas), penulis-penulis cerpen di Indonesia (lebih khu- sus lagi di Yogyakarta) senantiasa memberikan karya terbaik mereka di koran, di samping di majalah khusus sastra seperti Horison. Harapan ini menjadi masuk akal karena bagaimanapun juga pembaca media massa (koran) jauh lebih banyak dan luas dibandingkan dengan pem- baca media khusus (majalah sastra, misalnya).

Dengan penerbitan antologi Guru Tarno, Harian Bernas lebih me- mantapkan komitmen terhadap pengembangan dan perkembangan karya sastra berupa cerpen. Sebagai penerbit, Harian Bernas merasa tertantang untuk memiliki kompentensi yang semakin besar dan me- miliki konsistensi dalam mewujudkan terbitnya antologi cerpen dari

tahun ke tahun. Disadari oleh Harian Bernas, semakin berkualitas anto- logi cerpen yang diterbitkan (Guru Tarno), tentu tidak lepas dari sum- bangan cerpen dari para penulis di Bernas.

Yayasan Pustaka Nusatama dan Harian Bernas pada tahun 1995 bekerja sama menerbitkan Candramawa: Dua Puluh Cerita Pendek Pilihan Bernas. Penerbitan antologi ini merupakan upaya untuk tetap bergan- dengan tangan dengan para cerpenis di Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama dan Harian Bernas menyadari, hasil kerja ini bagai sebutir pasir di pantai sastra Indonesia nan luas. Tetapi inilah sumbangsih yang bisa diberikan. Tradisi menerbitkan antologi cerpen diusahakan bisa bertahan sampai sejauh mungkin. Antologi ini merupakan antologi ketiga dari cerpen yang dimuat di Harian Bernas edisi Minggu (No- vember 1994—Oktober 1995), berjudul Candramawa. Sebelumnya Ha- rian Bernas telah menerbitkan Lukisan Matahari (1993) dan Guru Tarno (1994).

Yayasan Untuk Indonesia (YUI) menerbitkan antologi Parta Kra- ma (1997) dalam rangka menandai masa pensiun Umar Kayam. Pe- nerbitan ini berangkat dari pemikiran bahwa Umar Kayam merupakan salah seorang budayawan terpenting di Indonesia. Mengingat keter- libatannya menerjuni dunia budaya secara paripurna selaku pelaku, pemikir, pengamat sekaligus penggiat, ia merambah dunia birokrat, akademisi, pers, berbagai bentuk lembaga budaya maupun sebagai orang bebas merdeka, sebagaimana ditekuninya hampir selama satu dasawarsa terakhir. Namun apakah Umar Kayam dapat digolongkan sebagai sastrawan penting? Pertanyaan ini dapat dipastikan akan meng- undang beberapa kontroversi, karena ia bukanlah sastrawan yang produktif dalam konteks kuantitas. Sekalipun fakta menunjukkan bahwa setiap kali karya sastranya muncul selalu menjadi fenomena. Bukan saja selalu menggugah karena ke-”baruan”-nya sebagai sebuah ide cerita, gaya penulisan maupun pesan yang ingin disampaikan, namun sekaligus menjadi wacana penting yang menggambarkan kontekstualisasi fenomena yang terjadi pada saat karya tersebut “di- lahirkan”. Tema ketidakberdayaan “wong cilik” terhadap kekuasaan yang menjadi terlalu besar dan semakin sulit untuk dijangkau, menjadi tema yang diminati Umar Kayam.

Antologi Parta Krama hadir untuk menandai masuknya Umar

Kayam ke dalam masa pensiun di usia 65 sebagai seorang guru besar di UGM, sekaligus diharapkan menandai kembalinya gairah kehi- dupan kreativitas independen di bidang budaya dalam gairah ke- akraban dan kegembiraan di Yogyakarta khususnya, maupun Indone-

sia pada umumnya; tentunya dengan tetap mengedepankan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Yayasan Cempaka Kencana semula kurang begitu yakin apakah upaya penerbitan antologi Gerbong (1998) benar-benar bisa terwujud. Pasalnya, Yayasan Cempaka Kencana sangat menyadari keterbatasan dalam hal peta pergaulan kesusastraan Yogyakarta khususnya, dan Indonesia umumnya. Meskipun demikian, dengan segala keterbatasan itu justru melecut dan memacu Yayasan Cempaka Kencana untuk berbuat sesuatu, yang kelak (barangkali) akan memiliki arti dan mem- beri arti bagi dunia kesusastraan Indonesia. Bagi Yayasan Cempaka Kencana, sastra merupakan wilayah yang merupakan sebuah “mis- teri”. Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun, terus saja “lahir dan hidup” sejumlah sastra- wan (penyair dan cerpenis, juga novelis). Sepertinya tidak ada rumus “berhenti” bagi pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan. Pa- dahal kita semua tahu, sastra merupakan wilayah yang sangat “ke- ring” dari apa yang dinamakan “materi”. Ada sindiran yang sangat “menggetirkan” (tapi mungkin ada benarnya juga) bahwa bersiap- siaplah hidup melarat seandainya telah memilih dan menentukan wilayah kesusastraan sebagai tempat persemaian kreativitas sekaligus tempat menggantungkan kehidupan. Dua kondisi yang kontradiksi itulah yang pada akhirnya memunculkan kemisteriusan di wilayah sastra. Problem yang selama ini menyelimuti wilayah sastra bisa dikatakan sangat kompleks: dari mulai persoalan proses kreatif, upaya sosialisasi dan dokumentasi, sampai pada penyikapan jalur kekuasaan yang terkesan membelenggu aktivitas kreatif sastrawan. Problem yang kompleks tersebut tentunya menjadi salah satu penghambat, kenapa generasi terkini dalam kesusastraan Indonesia tidak mampu (belum mampu) menorehkan catatan emas, seperti layaknya yang telah diper- buat sastrawan-sastrawan Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66. Sepertinya ada pilinan benang yang terputus dalam sejarah dan perkembangan sastra Indonesia.

Menyadari akan keterbatasan sastra, maka sudah sewajarnya jika insan-insan yang bergelut di wilayah kesusastraan (termasuk Yayasan Cempaka Kencana ) harus berani menentukan sekaligus mengambil sikap. Yayasan Cempaka Kencana menyadari bahwa perkembangan sastra seperti “bergantung” kepada media massa. Sastrawan harus bersedia berkompetisi untuk mensosialisasikan karya-karya lewat rubrik “Sastra Budaya” di berbagai media massa. Kompetisi karya- karya yang dihasilkan oleh para sastrawan di media massa, bukanlah pekerjaan yang ringan. Bila dibayangkan, rubrik “Sastra Budaya” di

media massa tersedia hanya sekali dalam seminggu, maka bisa di- maklumi kalau ada “olok-olok” bahwa hari Minggu merupakan hari- nya para sastrawan. Ini berkaitan dengan kenyataan, puisi dan cerpen umumnya dimuat pada edisi hari minggu. Menghadapi ketatnya kom- petisi karya di media massa, ada sejumlah kemungkinan yang bisa me- nimpa sastrawan. Pertama, ia akan semakin matang dan berkualitas karena tempaan kompetisi. Penyair dan cerpenis yang memiliki loyalitas dan totalitas di wilayah sastra, tentunya tidak akan mudah “menyerah” menghadapi berbagai situasi yang menyulitkan sehubungan dengan upaya sosialisasi karya di media massa. Dan memang, hanya cerpenis dan penyair yang bernapas panjang saja yang akan mampu bertahan berkarya di dalam situasi macam apapun. Kemungkinan kedua, penulis akan patah di tengah jalan karena tidak siap dan tidak kuat menghadapi kompetisi sosialisasi karya di media massa: karena tak kunjung tiba “keberuntungan” (tak pernah berkesempatan dimuat karyanya di media massa), maka penulis pun kerap memutuskan untuk “undur diri” dari panggung kompetisi kesusastraan.

Dalam jagad kesusastraan, sosialisasi karya tidaklah semata-mata hanya di media massa. Tidak dapat disangkal, sosialisasi karya sastra di media massa bisa pula berfungsi sebagai dokumentasi (pada dasar- nya dokumentasi sastra lebih bertumpu pada teks). Untuk itulah para cerpenis dan penyair berusaha medokumentasikan sejumlah karyanya dalam bentuk lain, tidak hanya dalam pemuatan di media massa saja; dan buku antologi merupakan salah satu fenomena yang kembali menggejala akhir-akhir ini. Dulu, pada zaman Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru, sosialisasi dan dokumentasi dalam bentuk buku antologi merupakan hal yang sangat “lumrah”, tetapi pada dekade tahun 1980-an hingga sekarang, sosialisasi dan doku- mentasi karya sastra lebih bertumpu pada pemuatan di media massa. Sampa-sampai lahir istilah “sastra koran”. Memang, membuat anto- logi cerpen atau puisi (komunal atau tunggal) sekarang ini bukanlah merupakan pekerjaan ringan. Ada sejumlah kendala yang selalu menghadang para cerpenis dan penyair saat hendak merealisasi ke- inginan membuat buku antologi, mulai dari kelayakan “jam terbang”, kuantitas, kualitas, dan dana.

Sekarang ini, bagi cerpenis atau penyair, membuat buku antologi tidak ubahnya sebagai “pertarungan” yang sangat melelahkan. Bah- kan, baru sekedar “keinginan” membuat antologi saja, orang menye- butnya “bermimpi”. Padahal, impian hampir setiap cerpenis dan pe- nyair dalam wilayah kesusastraan adalah memiliki antologi tunggal atas sejumlah karyanya. Hal ini tidak lain karena antologi merupakan

salah satu bukti atas proses kreatif, kuantitatif, dan kualitas yang dalam kurun waktu tertentu telah dilewati. Tetapi pada kenyataannya, baik cerpenis maupun penyair senantiasa “tidak berdaya” ketika harus meghadapi kenyataan bahwa membuat buku antologi perlu dana yang cukup besar. Kenyataan itulah yang membuat cerpenis dan penyair terlalu sering “bermimpi” jika suatu ketika bisa memiliki antologi atas sejumlah karyanya. Menyadari akan hal itu, tanpa bermaksud menjadi “dewa penolong”, Yayasan Cempaka Kencana berkeinginan “mem- bantu” para cerpenis dan penyair mengubah mimpi-mimpi itu men- jadi kenyataan. Penerbitan Antologi Cerpen dan Puisi Indonesia Modern: Gerbong diharapkan bisa menjadi pintu keterlibatan dengan para sas- trawan. Komitmen Yayasan Cempaka Kencana jelas, berusaha peduli terhadap insan-insan kesusastraan yang memiliki loyalitas dan to- talitas. Jika kemudian Yayasan Cempaka Kencana berkeinginan me- ngumpulkan sejumlah cerpenis dan penyair, itu pun bukan atas dasar “gagah-gagahan”. Keinginan Yayasan Cempaka Kencana adalah membuat satu dokumentasi sastra yang barangkali kelak punya arti dan manfaat bagi arah dan perkembangan sastra Indonesia.

Yayasan Cempaka Kencana memberi titel “Gerbong” sebagai judul antologi, bukannya tidak mempunyai maksud tertentu. Harapan Yayasan Cempaka Kencana , dengan “menyatukan” cerpenis dan penyair dari berbagai daerah di Indonesia nantinya akan membentuk satu kekuatan tersendiri. Ibarat kereta, cerpenis dan penyair yang ada dalam antologi ini tetap masih membutuhkan lokomotif penarik. Ini artinya, antologi cerpen dan puisi Gerbong hanya merupakan salah satu bagian dari dinamika kesusastraan Indonesia menjelang abad ke-21. Yayasan Cempaka Kencana mempunyai keyakinan bahwa pada saatnya sastra akan menempati posisi “istimewa” dalam masyarakat. Setidaknya sastra akan menjadi tempat pembicaraan keseimbangan jiwa sehubungan kian kompleksnya hidup di era modernisasi dan globalisasi. Yayasan Cempaka Kencana berkeyakinan bahwa hati nu- rani dan kemuliaan jiwa merupakan nilai lebih karya sastra jika diban- dingkan dengan “wilayah” lain, misalnya wilayah politik.

Bagi Yayasan Untuk Indonesia (YUI), menerbitkan cerpen-cerpen karya Agus Noor dalam antologi Memorabilia (1999) dilatarbelakangi kenyataan bahwa dalam jagad kepenulisan di Yogyakarta, Agus Noor merupakan sosok yang cukup menonjol di antara penulis-penulis mu- da lainnya. Sosok penulis cerpen ini mulai mencuat ke permukaan ketika dikukuhkan sebagai “Cerpenis Terbaik Festival Kesenian Yog- yakarta Tahun 1992”. Sebagai seniman yang tumbuh pada masa Orde Baru, Agus Noor, mau tidak mau, harus akrab dengan media massa.

Hanya media massa yang memungkinkan bakat kepenulisannya da- lam menulis cerita pendek tersalurkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa karya-karya Agus Noor kemudian mengalir deras—baik dalam media massa lokal maupun nasional. Sebagaimana sastrawan-sastrawan mu- da lainnya, Agus Noor sebagai cerpenis tumbuh dalam suatu genre sastra koran, maka fakta-fakta sosial politik selalu mendapatkan tem- pat yang baik dan dominan— gaya kepenulisan Agus Noor tidak luput dari isu-isu sosial aktual yang diramu ke dalam bentuk cerita. Unsur- unsur sosial dan politik tampak menonjol dalam gaya kepenulisan Agus Noor. Namun, Agus Noor tidak cukup puas dengan gaya penu- lisan seperti itu, maka ia mengembangkan gaya kepenulisan yang dalam jagad seni rupa disebut sebagai surealisme. Karya-karya cer-

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 141-158)