• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode dan Data Penelitian

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 196-200)

Tamam Ruji Harahap

5. Metode dan Data Penelitian

Penelitian kecil ini bukanlah suatu analisis yang spesifik dan rinci atas karya-karya sastra terjemahan; diperlukan upaya yang besar, lebih kuat, dan lebih terencana untuk kajian semacam itu. Lebih tepat me-

ngatakan bahwa kajian ini adalah suatu ikhtisar, yang mencoba meme- takan secara garis-garis besar khazanah penerjemahan dalam karya- karya sastra-parwa sebagai bentuk sastra terjemahan.

Di samping itu, makalah ini bukan pula sebuah kajian yang me- nelisik penerjemahan karya-karya itu sendiri (ini bukan sebuah studi kasus per kasus), tapi lebih berupa perbandingan analitik dan teoretik atas catatan-catatan dan komentar-komentar yang telah diberikan oleh para pakar terhadap sastra-parwa.

Dengan demikian, data material yang digunakan dalam peneli- tian ini adalah berbagai hasil penelitian para pakar sebagaimana di- muat dalam berbagai tulisan dan buku, antara lain Kalangwan (Zoet- mulder, 1983), Sanskrit in Indonesia (J.Gonda, 1973), dan Sadur (Cham- bert-Loir, 2009).

6. Pembahasan

Perubahan makna acapkali dikaitkan dengan perkembangan se- jarah (historicalevolution) (Gonda, 1973:499). Ini tidak perlu dibantah, sebab realitas kehidupan yang beragam dan kondisi kehidupan yang selalu berubah dalam dan seiring zaman, selalu membuka kemung- kinan perbedaan dalam mengkonsepsikan suatu realitas bermakna. Namun demukian, ada yang perlu ditambahkan. Perubahan makna tidak semata ditentukan oleh keadaan (sejarah alami) sui generis, de- ngan mengabaikan pengaruh-pengaruh (inter-)subjek (sejarah kul- tural) yang sesungguhnya punya peran determinatif dalam suatu per- ubahan makna. “Every speech-community learns from its neighbours,” kata Gonda (ibid:17). Sebab, lewat cara itu subjek-subjek individual tidak hanya menerima atau menolak, tetapi juga melakukan diferensiasi makna untuk mencerap unsur-unsur dari mana saja (asing). Hal yang sama tentunya berlaku juga dalam konteks sastra. Sastra sebagai suatu tindak tutur artistik-kreatif tidak lahir begitu saja.

Tiap karya sastra merupakan suatu penjelmaan baru, yang di da- lam unsur-unsur komposisinya jejak-jejak “asing/orang lain” (lantaran itu, beragam suara) dapat dilacak. Pada tataran tertentu, jejak-jejak itu mudah ditemukan, tetapi pada tataran yang di dalamnya suatu jejak sudah bercampur dan sudah mengalami pribumisasi (indigenisasi), kejelian khusus sangat diperlukan agar dapat mencium keberadaannya. 6.1 Bermula dari Parwa

Supomo mengutarakan, dalam “Men-Jawa-kan Mahabharata,” (Chambert-Loir, 2009:933-946). bahwa 14 Oktober 996 merupakan hari yang sangat penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah

penerjemahan karya asing di Indonesia (baca: Nusantara, penulis). Sebab, pada hari itulah untuk pertama kalinya berlangsung acara pem- bacaan Wirataparwa, sastra-parwa pertama yang dapat diselesaikan dalam suatu proyek penerjemahan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuna (lih. Supomo, dalam McGlynn, 2001:18-19). Bahkan, dikatakan, bahwa dalam kaitannya dengan terjemahan epos besar Sanskerta Mahabharata – dan bahkan di antara semua karya asing – ke dalam bahasa daerah mana pun di Indonesia, tanggal tersebut merupakan tanggal tertua yang dapat dicatat. Chambert-Loir (2009:933) mengata- kan bahwa kitab pertama adalah Adiparwa secara urutan isi, bukan Wirataparwa. Tapi, seperti yang dinyatakan oleh Raghuvira, karena Wi- rataparwa lebih populer dari parwa lainnya, acara pembacaan Ma- habharata dimulai dengan membaca Wirataparwa, bukan dengan Adi- parwa. Bahkan, terjemahan yang pertama kali dirampungkan sekali- pun adalah kitab Wirataparwa (lih. Supomo, dalam Chamber-Loir, 2009:933-945).

Ada sembilan dokumen yang masih tersisa dari delapan belas Asta- dasaparwa Mahabharata ini; yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udayogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa, Prastha- nikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Menurut Zoetmulder (1983:112), naskah parwa kedua (Sabhaparwa) sudah tidak ada lagi sehingga yang tersisa sekarang hanya delapan parwa. Fakta penerjemahan parwa- parwa ini bukan bermaksud menafikan bahwa masa sebelumnya wi- racerita Mahabharata atau Ramayana belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia, sebab sejak masa itu, dan masa sebelumnya pun, peradaban Sanskerta telah tersebar di Nusantara. Saat proses penerjemahan epos Mahabharata sekalipun, kala itu wiracerita Ramayana, dengan berbagai versinya, telah banyak ditulis secara anonim. Dikatakan “anonim” karena tak satu pun catatan sejarah yang memberi petunjuk tentang siapa pengarang-pengarang wiracerita ini (lih. Zoetmulder, 1983; Poerbatjaraka, 1957). Memang, tidak dapat disangkal bahwa jauh sebelum Mahabharata diterjemahkan, kisah epos Ramayana sudah banyak ditulis dalam bentuk kakawin. Fakta ini dipertegas oleh Pigeaud (1967:116), menyatakan bahwa “the development of Old Javanese epic poetry began with the Ramayana kakawin.”

Pengaruh sastra-parwa dan kakawin sebagai semaian satra terje- mahan begitu kuat sehingga karya-karya itu tidak hanya memperkaya kosakata linguistik Jawa Kuno, tetapi menjadi pemicu lahirnya karya- karya sastra berikutnya. Menurut Supomo, pentingnya sastra-parwa terjemahan itu terhadap perkembangan kesusastraan Jawa Kuna, dan kebudayaan Jawa pada umumnya, terbukti jelas pada kenyataan bah-

wa sastra-sastra terjemahan itu kemudian menjadi sumber utama bagi penulisan kakawin dan cerita-cerita wayang (Pigeaud, 1967:117; Gonda, 1973; Zoetmulder, 1983:10-20).

Bagi Zoetmulder (1983:101-102), “Men-Jawa-kan Byasamata” mengimplikasikan makna yang lebih luas: yakni, mengalihkan karya yang terkandung dalam batin Byasa ke dalam bahasa Jawa yang jelas. Dengan kata lain, para penulis sastra-parwa melakukan Jawanisasi buah pikiran Byasa. Dapat dibayangkan, tujuan Jawanisasi itu dapat dicapai lewat berbagai jalan. Penulis misalnya dapat mencoba meng- adakan suatu terjemahan, entah harfiah entah dengan kebebasan yang dianggap sesuai. Jadi, tidak mengherankan bahwa sastra-parwa ba- nyak melakukan kutipan dari teks aslinya (bahasa Sanskerta). Menurut Gonda (1974:21, via Zoetmulder, 1983:104), kutipan-kutipan itu sering dipakai sedemikian rupa sehingga kita dapat menduga bahwa fungsinya ialah sebagai semacam patokan untuk mempertahankan hubungan dengan teks asli, sehingga mudah sekali dicari kembali dari bagian mana versi Jawa Kuna diambil.

Berdasarkan pemikiran Bakhtinian, kutipan-kutipan tersebut me- negaskan terjadinya dialog antara pengarang (teks Sanskerta) dengan penerjemah (teks Kawa Kuna). “A translation is at once in the voice of the original and in the voice of the translator” (Daniel J. Pinti, 1995:113, via Greenall, dalam Duarte et al. 2006:70). Jadi, sastra-parwa dapat dikategorikan sebagai “half someone else’s” (Bakhtin 1981: 293).

Salah satu contoh kutipan tersebut berupa kata-kata yang diucap- kan oleh salah seorang tokoh dalam cerita. Misalnya bertepatan de-

ngan swayambara Dropadi, Karna menyapa Arjuna yang menyamar

sebagai seorang brahmin, sebagai berikut: “Kas twam yathaksatra dha- nurdharajnah (siapakah engkau yang mau mengukur kepandaianmu dengan kepandaianku? Adakah kamu penjelmaan dari Seni Memanah sendiri, atau Wisnu dalam bentuk seorang brahmin?...; padahal seha- rusnya teks terjemahan Sanskerta itu berbunyi “Siapakah kamu yang mirip dengan ksatriya yang pandai memanah?). Dari perspektif dialogisme, fakta tekstual dalam bentuk ‘pengutipan dalam sastra- parwa’ analogis dengan utterance within utterance; yakni suatu kutipan yang dianggap pengarang-penerjemah sebagai tuturan yang meru- pakan kepunyaan orang lain. Suatu kutipan tuturan aslinya sangat bebas (totally independent), konstruksinya rampung, dan sebenarnya berada di luar konteks yang ada. Nah, dari eksistensi yang bebas itulah kutipan-kutipan dibawa masuk ke dalam konteks sastra-parwa (Vo- loshinov, 1973:116). Dengan demikian, kutipan-kutipan yang terdapat pada sastra-parwa secara eksplisit memperlihatkan heteroglosia

(multi-voiced), yang di dalamnya terpatri, jalin-menjalin, dan berke- lindan antara suara pengarang-penerjemah dengan suara Bhatti-kavya. 6.2 Heteroglosia Sastra-Parwa

Di dalam novel terinjeksi heteroglosia sosial, demikian pula da- lam sastra-parwa. Dengan kata lain, dalam karya sastra, kecuali puisi yang cenderung bersifat monologis, jejak-jejak setidaknya dua suara bisa dilacak. Dalam konteks ini, sebagaimana telah diutarakan di atas, jika mencermati sastra-parwa, ragam suara juga dapat dilacak, yakni suara pengarang-penerjemah Jawa Kuna dan suara penulis versi Sanskerta.

Ada ragam suara dalam sastra-parwa. Dalam khazanah pener- jemahan, suara-suara itu ada yang suara orisinil dari teks sumber dan suara penerjemah (lih. Greenall, dalam Duarte, et al. 2006:70); atau mengikuti istilah Bakhtin sendiri, “the word in language is half someone else’s (1981:293). Pada tataran dengan eksistensi kutipan yang eksplisit seperti dalam sastra-parwa, mengidentifikasi suara-suara tidaklah ter- lalu sulit, tetapi pada tataran di mana antara satu suara dengan suara yang lain sudah bercampur tanpa kode yang distingtif, perlu kejelian tertentu untuk melacak heteroglosia tersebut. Pelacakan yang dila- kukan oleh Gonda (1973:194-195) menyimpulkan secara tepat, “Penga- rang atau para pengarang parwa sembari selalu taat pada model India- nya, lebih cenderung untuk memadatkan cerita dengan kata-kata me- reka sendiri. Meraka mengikuti alur utama teks Sanskerta, sambil membuang rincian-rincian yang dianggap tidak penting. Kadang-ka- dang sloka atau bagian-bagian sloka yang dianggap menarik dikutip langsung dari bahasa Sanskerta. Lebih tepat, kutipan-kutipan tersebut dituturkan kembali dalam bahasa Jawa Kuna sambil menggunakan istilah-istilah dari teks aslinya yang seolah-olah digarisbawahi.”

Dengan cara penyajian seperti itu ragam suara dari suatu karya masih tidak terlalu rumit untuk diidentifikasi. Heteroglosia adalah suatu pluralitas bahasa sastrawi yang di dalamnya tampak kehadiran teks-teks atau nama-nama asing baik secara sosial, regional, maupun sejarah. Heteroglosia menyiratkan suatu aktivitas negosiasi, lantaran itu dialogis, dan dengan cara dialogis inilah berlangsung sebuah pen- ciptaan-ulang makna.

a) Dialog Penerjemah: Penerjemah vs. Teks Sumber

Sastra-parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama. Zoetmulder (1983:114) memberikan kesimpulan ini berdasarkan kajian komparatif yang dilakukan terhadap bahasa-bahasa sastra-parwa.

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 196-200)