• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 50-57)

Tirto Suwondo

1. Latar Belakang

Yogyakarta adalah kota yang biasa disebut sebagai kota pelajar, kota pendidikan, kota budaya, dan kota (daerah) tujuan wisata. Se- bagai kota pendidikan dan kota budaya, sangat wajar jika di kota Yog- yakarta banyak terbit media massa cetak, di antaranya berupa majalah (mingguan, dua mingguan, dan bulanan). Di antara majalah-majalah itu bahkan ada yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu Pusara (1933) dan Pesat (Maret 1945). Sementara itu, yang terbit pada masa kemerdekaan ialah Api Merdika (November 1945), Arena (April 1946), Minggu Pagi (April 1948), Budaya (1949), Gadjah Mada (April 1950), Basis (Agustus 1950), Pelopor (1950), Medan Sastera (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954), Media (Agustus 1954), Dar- ma Bakti (1961), dan Suara Muhammadiyah. Akan tetapi, di antara sekian

banyak majalah tersebut, yang masih bertahan hidup hingga sekarang hanya majalah Basis, Suara Muhammadiyah, dan mingguan Minggu Pagi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di dalam majalah-maja- lah tersebut muncul rubrik-rubrik seni dan budaya yang di dalamnya banyak dimuat karya sastra (puisi, cerpen) di samping kritik sastra dan kritik seni budaya pada umumnya. Hal demikian mengindikasikan bahwa kehidupan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta hingga tahun 1960-an didukung oleh kehadiran karya sastra dalam majalah-majalah tersebut. Di samping itu, hal tersebut juga disebabkan pada masa awal pertumbuhan hingga masa awal Orde Baru tradisi penerbitan karya sastra dalam bentuk buku belum tumbuh.

Bertolak dari kenyataan di atas, artikel ini secara khusus hendak mengkaji keberadaan sastra dalam salah satu di antara sekian banyak majalah yang terbit di Yogyakarta, yakni karya sastra dalam majalah Gadjah Mada. Pemilihan objek kajian hanya karya sastra dalam majalah Gadjah Mada bukan berarti bahwa karya sastra dalam majalah lainnya tidak penting, melainkan karena majalah tersebut paling intens dalam menghadirkan karya sastra dibanding majalah-majalah lainnya. In- tensitas kehadiran itulah yang diduga menjadi bukti bahwa karya sastra dalam majalah Gadjah Mada memiliki kontribusi (peran) yang berarti bagi pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1950— 1960-an. Kajian terhadap karya sastra dalam majalah tersebut dirasa sangat penting karena hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bagi penulisan (penyusunan) sejarah Indonesia di Yogyakarta.

2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan paparan latar belakang di atas, masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini dirumuskan seperti berikut. Bagaimana- kah keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950—1960- an? Tercakup pula di dalam masalah itu ialah bagaimana keberadaan majalah Gadjah Mada di tengah pertumbuhan dan perkembangan sas- tra Indonesia pada masa tersebut.

3. Pendekatan dan Metode

Seperti telah dikatakan bahwa masalah yang dibahas dalam kaji- an (artikel) ini adalah keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950—1960-an, di samping keberadaan majalah di tengah per- tumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Oleh karena itu, pendekatan atau teori yang digunakan sebagai pegangan untuk membahas masalah tersebut adalah sosiologi sastra, khususnya yang telah dirumuskan secara konsepsional oleh Robert Escarpit

(2008). Escarpit (2008:3) menyatakan bahwa penulis (pengarang), buku (karya), dan pembaca (publik) merupakan fakta sastra yang masing- masing menjadi bagian dari suatu sirkuit. Pada titik sirkuit tertentu, penulis (individu pengarang) menimbulkan masalah interpretasi psi- kologis, moral, dan filsafat. Pada titik sirkuit yang lain, buku (karya) menimbulkan masalah estetika, gaya, bahasa, dan teknik. Sementara, pada titik sirkuit tertentu yang lain, pembaca (kolektivitas, publik) menimbulkan masalah dari segi historis, politik, sosial, dan ekonomi. Semua masalah itu, menurut Escarpit (2008:3), adalah juga merupakan fakta sastra sehingga —di dalam konsep sosiologi sastra— ada banyak cara untuk membahas fakta-fakta tersebut.

Salah satu fakta sastra dalam konteks hubungan antara penulis, karya, dan pembaca adalah masalah sirkuit distribusi (Escarpit, 2008:67—111). Salah satu di antara sirkuit distribusi itu ialah lembaga penerbitan (di antaranya majalah) yang bertugas mempublikasikan karya sastra. Agar dapat eksis menjadi suatu hasil ciptaan, karya sastra harus memisahkan diri dari penciptanya dan menjalani nasib hidup- nya sendiri di hadapan publik. Di sinilah peran penerbitan yang seolah sama dengan peran bidan bagi kelahiran bayi. Bidan memang bukan merupakan sumber kehidupan, bukan pula memberikan sebagian dari badannya, tetapi tanpa bidan suatu bayi (karya) yang telah dibuahi dan disempurnakan dengan kreasi tertentu tidak akan dapat eksis. Pendek kata, eksistensi atau keberadaan suatu karya (sastra) sangat ditentukan oleh lembaga penerbitan karena lembaga itu berperan se- bagai penasihat, pengarah, dan penentu hidup dan matinya (Escarpit, 2008:68—69).

Demikian salah satu sisi konsep sosiologi sastra yang digunakan sebagai pegangan untuk membahas masalah keberadaan sastra sekali- gus keberadaan majalah Gadjah Mada tahun 1950—1960-an. Dalam batas-batas tertentu konsep ini tidak berbeda dengan sisi tertentu pen- dekatan ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1989:79—81), tidak berbeda pula dengan sisi tertentu pendekatan sistem produksi sastra (Lauren- son dan Swingewood, 1972:13—19; Damono, 1993:8; Faruk, 1994:3), dan tidak bertentangan dengan sisi tertentu pendekatan sistem pener- bitan (dan pengayom) dalam konteks makro sastra (Tanaka, 1976:8— 11). Sesuai dengan arah kajian yang menggunakan paradigma sosio- logi sastra, pengumpulan data antara lain dilakukan dengan metode observasi dan dokumen (Sugiyono, 2012:241). Sementara itu, analisis data dalam penelitian (kajian) kualitatif ini dilakukan dengan metode survei dan atau deskriptif (Nasir, 1985:64—65). Dengan berpegang pada pendekatan dan metode tersebut, bahasan tentang keberadaan

sastra di dalam —sekaligus keberadaan— majalah Gadjah Mada tampak seperti pada paparan berikut. Akan tetapi, sebelum dibahas tentang keberadaan sastra, terlebih dahulu dibahas tentang keberadaan majalah. 4. Keberadaan Majalah Gadjah Mada

Majalah Gadjah Mada adalah majalah yang diusahakan oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan dikeluarkan oleh Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta. Latar belakang penerbitan majalah yang “berhaluan pengetahuan umum” dan berukuran 18,5 x 26 cm tersebut adalah sebagai berikut. Pada tanggal 11 Januari 1950 Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengada- kan sebuah pertemuan atau sidang. Di dalam sidang yang dihadiri oleh para pengurus senat mahasiswa dari berbagai fakultas tersebut antara lain diputuskan suatu sikap atau pendirian tertentu. Sikap atau pendirian itu berbunyi sebagai berikut (Gadjah Mada, Thn. I, No. 1, April 1950).

SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA  Sebagai kelanjutan dari kehendak rakyat untuk memper-

tahankan dan menyempurnakan Negara Republik Indo- nesia sebagai pendorong perjuangan kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia.

Sebagai pusat kebudayaan yang turut menentukan keja- yaan bangsa.

 Sebagai pusat pendidikan tenaga-tenaga ahli yang sangat diperlukan bagi pembangunan negara.

 Maka telah menjadi keyakinan yang teguh dari kami, mahasiswa-mahasiswa pada Universitas Gadjah Mada.  Untuk turut serta menyumbangkan segala tenaga dan

pikiran dan turut bertanggung jawab penuh atas penyem- purnaan bentuk dan isi Universitas Gadjah Mada.

Bertolak dari sikap (pendirian) para senat mahasiswa itulah majalah Gadjah Mada terbit. Akan tetapi, walaupun sikap dan pendirian itu diputuskan dalam sidang pada bulan Januari 1950, majalah tersebut ternyata tidak langsung dapat terbit pada bulan berikutnya (Februari 1950), tetapi baru terbit tiga bulan kemudian (April 1950).

Dengan dan atau melalui majalah Gadjah Mada para mahasiswa Universitas Gadjah Mada memiliki tujuan sebagai berikut. Tujuan yang kemudian dituangkan di dalam kata pengantar redaksi pada terbitan pertama majalah Gadjah Mada tersebut berbunyi demikian.

 Kami hendak mendekatkan, menyatukan hidup dan dunia Universitas Gadjah Mada ini dengan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Kami hendak meluaskan hubungan kami dalam arti kebudayaan yang luas dengan dunia mahasiswa di seluruh dunia, khususnya di dunia Timur.

Dengan dilandasi oleh tujuan itu pula pada akhirnya majalah Gadjah Mada dapat hadir secara eksis hingga tahun 1968 (selama kurang lebih 18 tahun). Sesuai dengan slogannya yang berbunyi “berhaluan penge- tahuan umum”, majalah Gadjah Mada hadir sebagai majalah umum —meskipun diterbitkan oleh dan di lingkungan (terbatas) kampus UGM— yang berisi berbagai hal yang berkaitan dengan masalah poli- tik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk di dalamnya sastra), pendi- dikan, bahkan olah raga, dan sebagainya.

Seperti diketahui bahwa sejak awal penerbitannya alamat redaksi majalah Gadjah Mada berpindah-pindah. Pada awal terbitannya Gadjah Mada berkantor redaksi di Jalan Margo Kridanggo 20, Yogyakarta. Beberapa bulan kemudian, kantor redaksi pindah ke Jalan Serayu 9, kemudian pindah lagi ke Lempuyangwangi 34, dan terakhir di Jalan Merapi 16, Yogyakarta. Sementara itu, sesuai dengan keadaan di sebuah perguruan tinggi yang selalu terjadi pergantian mahasiswa (ada yang masuk dan ada yang keluar/lulus), susunan nama-nama yang bertindak sebagai redaksi pun berganti-ganti pula. Pada tahun- tahun awal penerbitannya, nama-nama yang menduduki posisi itu ialah: Moh. Kamal (pemimpin umum), Suwandi, Abd. Azis, Sulistio (staf redaksi), Zakaria, Soefaat, Soeradio, Nazir Alwi, Justam S. (sidang pengarang), Amir Alamsjah (sekretaris redaksi), dan Koentjoro (pena- sihat teknis). Sementara itu, ketika majalah ini berkantor redaksi di Jalan Serayu 9, susunan redaksinya ialah Moh. Kamal (pemimpin umum), Abd. Azis, Sulistio, Sutijono (penyelenggara), Amir Alamsjah, Nizar (sekretaris redaksi), Subantardjo, Suwandi, Sadli, Herusubeno, Zakaria, Nazir Alwi, Mutijar, Subagijo Hadinoto, Anas Ma’ruf, Kun- tjoro, dll. (sidang pengarang). Pada waktu majalah itu berkantor di Lempuyangwangi 34, Yogyakarta, selain nama-nama tersebut, muncul nama-nama baru, yaitu Moh. Suroto, Rd. Ps. Soewondo (pembantu di Nederland), Karno Barkah, Surjo, Sudiono (pembantu di Amerika), dan S.R. Hendrawan (perwakilan di Jakarta).

Ketika majalah tersebut (Gadjah Mada, No. 7, Oktober 1957) ber- alamat redaksi di Jalan Merapi 16, Yogyakarta, susunan redaksinya adalah Mr. Soelistijo, Uhum Siah Lubis, Abd. Aziz, Moedojo, Sutijono

Darsosentono, A.T. Birowo, Koesnadi, Ir. Suwarno (dewan penye- lenggara), Moh. Kamal, Suwandi, Sudikno, Soebantardjo, Pamudji Rahardjo, Slamet Moeljono, Soekardjo, Soetji Hartini, H. Santoso, Su- mali, Darmawan Adi, Bintarto, Zakaria, Abdullah Hadi, Umar Kayam, dan Djalinus Sjah (sidang pengarang). Pada tahun 1960-an redaktur majalah ini antara lain adalah Koesnadi Hardjasoemantri, Soewarno, A.T. Birawa, Bintarto, Monang M. Sitindjak, Soebagio Sastrowardojo, W.S. Rendra, Soejono Hadi, Budi Darma, dan Subadhi. Perubahan atau pergantian redaktur tersebut membawa dampak pada perubahan kebijakan sehingga penampilan majalah Gadjah Mada mengalami per- ubahan baik dari sisi ukuran maupun tampilan sampul-(cover)-nya. Beberapa contoh sampul memperlihatkan bahwa majalah Gadjah Mada mengalami perubahan ukuran dari yang semula besar (18,5 x 26 cm) menjadi lebih kecil (15 x 21 cm). Meski ukuran mengalami perubahan, yang tampak konsisten ditampilkan di cover majalah tersebut adalah gambar patung kepala Patih Gadjah Mada yang di sebelah kirinya berdiri tegak sebuah gapura. Selain itu, sebagai upaya untuk menarik perhatian pembaca, pihak pengelola juga melakukan pengubahan jenis huruf (font) dan desain sampul. Semua itu dilakukan tentu berhu- bungan erat dengan kebijakan pengelola atau redaksi dalam upaya meningkatkan “pasar”.

Meskipun diterbitkan oleh sebuah perguruan tinggi, yaitu Uni- versitas Gadjah Mada, majalah Gadjah Mada ternyata tidak begitu saja diterbitkan dan kemudian dibagikan secara gratis kepada pembaca yang berminat, tetapi dijual bebas kepada masyarakat umum (saat itu harga per eksemplar Rp1,50 untuk pembeli dalam kota dan Rp2,00 untuk pembeli luar kota). Hal ini dilakukan karena dana (untuk biaya cetak, untuk membayar honorarium penulis, dll.) yang berasal dari para donatur (pihak UGM, bahkan juga dari Sri Sultan Hamengku Buwana IX) sangat terbatas, sementara sebagai suatu majalah bulanan, setiap bulan majalah tersebut harus terus terbit. Itulah sebabnya, untuk menjaga kontinyuitas penerbitan majalah Gadjah Mada, selain men- jualnya kepada masyarakat, pihak pengelola majalah yang dicetak dengan kertas koran itu juga berusaha menjual saham seharga Rp100,00, Rp200,00, dan Rp500,00 per lembar. Bahkan, majalah yang pada awal tahun 1950-an bertiras 3000 hingga 5000 eksemplar dan sasaran pembacanya kelas menengah dan atas tersebut juga membuka ruang untuk menjaring iklan. Lagipula, untuk memperluas “pasar”, majalah tersebut juga membuka agen-agen di berbagai kota di Indo- nesia (Bojonegoro, Banyuwangi, Madiun, Solo, Tegal, Semarang, Te- manggung, Medan, Banjarmasin, Balikpapan, Manado), di samping

terus meningkatkan jumlah pelanggan dan mengadakan sayembara. Berkat berbagai upaya itulah majalah Gadjah Mada dapat terbit secara rutin (bulanan) hingga mencapai umur 18 tahun (pada 1968). Tidak diketahui dengan jelas mengapa pada tahun tersebut Gadjah Mada menghentikan penerbitannya. Akan tetapi, ditilik dari aspek sosial- politik saat itu, dapat diduga bahwa kematian majalah tersebut akibat terjadinya peristiwa G-30-S PKI yang berlanjut pada pergantian ke- kuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Perlu dicatat bahwa di samping terbit majalah Gadjah Mada, di lingkungan Universitas Gadjah Mada terbit juga majalah Gama. Baik majalah Gadjah Mada maupun Gama sama-sama dikelola oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, tetapi orientasinya sedikit berbeda. Kalau majalah Gadjah Mada ditujukan kepada masyarakat (pembaca) umum, majalah Gama yang beralamat redaksi di Sitihinggil, Tromolpos 48, Yogyakarta lebih ditujukan kepada masyarakat kampus (meskipun dibaca juga oleh masyarakat umum). Tidak diketahui se- cara jelas pula mengapa pada saat yang hampir bersamaan Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menerbitkan dua majalah sekaligus. Dikatakan pada saat hampir bersamaan karena majalah Gadjah Mada terbit pertama pada April 1950 (tahun 1950 dicatat sebagai Tahun Pertama penerbitan), sedangkan majalah Gama terbit pertama pada Desember 1950 (tahun 1951 dicatat sebagai Tahun Pertama penerbitan).

Seperti diketahui bahwa majalah Gama, majalah yang berukuran besar (sekitar 17 x 25 cm) tersebut, merupakan media komunikasi intrakampus (gema intrauniversiter). Dengan label “gema intrauni- versiter” itu majalah tersebut dimaksudkan sebagai alat komunikasi bagi kalangan intelektual kampus, baik tenaga pengajar, karyawan, maupun mahasiswa. Oleh karena itu, berita, esai, dan atau tulisan- tulisan yang disajikan di dalamnya cenderung menggambarkan ak- tivitas kampus, walaupun tidak jarang tulisan mengenai persoalan sosial, politik, ekonomi, seni-budaya, dan sejenisnya muncul. Seba- gaimana diketahui pula, majalah Gama dikelola oleh orang-orang yang pada akhirnya tumbuh dan eksis menjadi intelektual terkenal atau bahkan menjadi sastrawan yang memiliki nama besar. Seperti halnya para pengelola majalah Gadjah Mada yang belakangan dikenal sebagai orang-orang “ternama” di bidang sosial budaya atau ilmu humaniora (Kusnadi Harjasumantri, Wiratmo Sukito, Sadli, Slamet Mulyono, Umar Kayam, Anas Ma’ruf, Iwan Simatupang, Teuku Jacob, dan seba- gainya), para pengelola majalah Gama pun belakangan dikenal sebagai

“orang-orang besar dan ternama”. Dapat disebutkan, misalnya Naza- ruddin Lubis, Muhardi Atmosentono, P. Guritno, dan Budi Darma.

Seperti halnya majalah Gadjah Mada, majalah Gama juga dijual secara bebas kepada masyarakat umum (harga eceran per eksemplar Rp1,50). Hal demikian menandai bahwa hidup matinya majalah yang berketebalan kurang lebih 50 halaman dan dicetak dengan kertas ko- ran itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu, untuk memper- tahankan kelangsungan hidup dirinya sendiri, majalah Gama juga membuka ruang untuk menjaring iklan. Bahkan, untuk menghimpun pembaca sebanyak-banyaknya, majalah itu juga mencoba meningkat- kan jumlah pelanggan di samping mengiklankan diri di berbagai me- dia massa lain. Demikian selintas gambaran umum mengenai majalah Gadjah Mada dan Gama. Yang menarik untuk dicatat ialah bahwa ke- dua majalah yang sama-sama diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa Uni- versitas Gadjah Mada tersebut memberikan ruang yang cukup luas bagi hadirnya karya sastra (puisi, cerpen, dan esai/kritik sastra). De- ngan demikian, dapat diasumsikan bahwa keberadaan karya sastra dalam kedua majalah tersebut telah memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan seni-sastra Indonesia di Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan mengenai hal tersebut.

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 50-57)