• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dan Signifikans

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 193-196)

Tamam Ruji Harahap

3. Tujuan dan Signifikans

Beranjak dari perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk (1) memperlihatkan bagaimana ragam suara dihadirkan dalam sastra-parwa melalui aktivtas penerjemahan (2) memperlihatkan peran pengarang dan status kepengarangannya dalam suatu proses pencip- taan sastra-parwa. Pemenuhan atas kedua tujuan ini dipandang pen- ting, terutama untuk memperkaya khazanah pengetahuan antarbu- daya yang terpatri dalam karya-karya sastra-parwa. Selain itu, capaian penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam kajian sastra dan kajian penerjemahan secara lebih spesifik.

4. Landasan Teori

4.1 Karya Sastra dan Sastra Terjemahan

Secara umum, karya sastra adalah suatu karya seni (works of art) yang tercipta dalam bentuk ekspresi verbal, lisan (oral) maupun tulis

(written). Secara harfiah, kata “sastra” sebenarnya berasal dari, atau serapan dari, istilah Sanskerta, “shastra” (śāstra), yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Dalam bahasa Indo- nesia kata ini lazim digunakan untuk mengacu pada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu (http://www.anneahira.com/definisi-sastra.htm,).

Dalam perkembangannya, sastra memiliki beragam pengertian yang luas sehingga studi sastra sendiri seolah kewalahan untuk mem- beri batasan tentang teks sastra yang secara luas dapat berterima (Se- gers, 1978:28, via Suwondo, 2011:18). Bahkan, antara teks sastra dan teks non-sastra tidak pernah ada garis pemisah yang tegas (ibid.19). Untuk kepentingan penelitian ini, karya sastra didefinisikan sebagai hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstraksi kehidupan, yang mediumnya adalah bahasa (ibid.6). Pengertian ini dipilih terutama karena cakupannya yang meliputi berbagai jenis atau genre karya sastra, termasuk di dalamnya sastra terjemahan (sastra bandingan). Menurut Sapardi Joko Damono (via Se- dyawati, dkk. 2001:411-413), sastra terjemahan merupakan hasil dari sebuah penghianatan kreatif. Dikatakan suatu penghianatan kreatif, sebab sastra terjemahan merupakan suatu karya yang diterjemahkan atau disadur dari satu bahasa (bahasa sumber) ke dalam bahasa lain- nya (bahasa sasaran).

4.2 Teori Penerjemahan

Chambert-Loir (2009:10) mengutarakan bahwa teori penerjemahan sudah berkembang selama lebih dari dua puluh abad, dan selama itu pula telah banyak teori penerjemahan lahir dan berkembang. Dalam kasus khazanah penerjemahan di Indonesia, para penerjemah secara garis besar terbagi pada dua aksis; pada satu sisi, penerjemah masa kini cenderung melakukan penerjemahan dengan berbasis pada “kese- padanan formil”, yakni pemindahan bentuk teks asli secara mekanis, dan pada sisi lain penerjemah masa lampau lebih berorientasi pada “kesepadanan dinamis”, yakni yang merombak teks sumber agar meng- hasilkan efek yang sama dalam bahasa sasaran. Jadi, jika yang pertama adalah jenis penerjemahan yang menggunakan perspektif linguistik tradisional, yaitu segalanya berurusan dengan persoalan linguistik murni, yang kedua berbasis pada perspektif kultural, yang menegaskan bahwa menerjemahkan teks berarti menerjemahkan kebudayaan (lih. Greenall, “Translation as Dialog”, dalam Duarte, et al. 2006:67-81).

Pada dasarnya, penerjemahan memiliki pengertian yang beragam dan luas; bahwa menerjemahkan tidak hanya sekadar memindahkan,

menggantikan, atau mengalihkan pesan dari satu teks ke teks lain (Hoed, 2006:23), tetapi, lebih jauh, “to read is to translate,” karena tidak ada dua orang yang punya pengalaman yang persis sama. Bahkan, “to understand is to translate” (George Steiner dalam After Babel), atau seba- gaimana Dominico Jervolino menyatakannya, “to speak is already to translate!” (Lih. Ricoeur, Paul. 2006). Berkaitan dengan pengertian-pe- ngertian itu, Emerson mengutip pandangan Bakhtin tentang teori penerjemahan, bahwa “to understand another person at any given moment... is to come to terms with meaning on the boundary between one’s own and another’s language: to translate” (lih. Pinti, Daniel J.”Dialogism, Hetero- glossia, and Late Medieval Translation, dalam Farrell, Thomas J. 1995:109- 121).

4.3 Dialogisme Bakhtinian: Heteroglosia

Menilik khazanah sastra terjemahan, ada baiknya menyimak definisi Roland Barthes yang menyatakan bahwa teks sastra merupakan suatu “jalinan kutipan-kutipan yang berasal dari pusat-pusat kebu- dayaan yang tak terkira banyaknya (1998:121, via Braginsky, 2009:59; lih. jg Suwondo, dalam Suwondo, T., 2011:16-29). Dengan ini, karya sastra sebagai sebuah teks bukanlah barisan kata-kata yang muncul begitu saja seperti Firman Ilahi, tetapi merupakan suatu ruang yang punya banyak dimensi, yang di dalamnya beraneka ragam “tulisan” tertatah, terpatri, berkontestasi, dan berpadu, tak satu pun yang orisinil (Barthes, 1977:146).

Dalam tulisannya, “The Problems of Discursive Genres,” Bakhtin menyatakan bahwa

These relations [between the discursive of the other and the dis- cursive of the I] are analogous to (but certainly not identical with) the relations between the exchanges of a dialogue” (1978:273, via Todorov, 1984:60).

Istilah “dialogis” menyiratkan suatu penekanan pada interaksi dan konteks, yakni pada bahasa yang digunakan dalam konteks situasional dan sosio-kultural, berinteraksi dengan orang lain (bahkan dengan diri sendiri) dan dengan lingkungan fisik serta sosial.

Dalam perspektif dialogisme Bakhtinian tersebut, bahasa (teks/ karya sastra) bukanlah suatu kode mati. Akan tetapi, bahasa dipan- dang sebagai “the living result of social, dialogic negotiative interaction going on in a cultural context” (lih. Greenall, dalam Duarte, et al. 2006:69; Todorov, 1984:60). Jika konsepsi ini berterima, benarlah Greenall yang merekonseptualisasi gagasan Bakhtin, bahwa teks sastra bersifat hete-

roglosia, atau poliponik. Grenall berpandangan bahwa aktivitas nego- siatif merupakan konsekuensi logis dari dialog (lih. Greenall, dalam Duarte, et al. 2006:70).

:kapan saja kita bernegosiasi dan lantara itu mencipta(-ulang) makna, kita senantiasa meninggalkan sebuah jejak pengaruh, sebuah jejak suara, dalam bentuk kata, dalam bentuk ekspresi atau teks yang muncul dari hasil sumbangsih kita. Ini berarti bahwa teks dan wacana menjadi koir suara-suara yang kita tinggalkan: suara-suara itu menjadi heteroglosis, atau polifonik

Ada beragam dan banyak suara (voices) dalam sebuah teks (kar- ya). Dalam khazanah penerjemahan, suara-suara itu berupa perpadu- an suara orisinil (teks sumber) dan suara penerjemah. Sebuah kata yang awalnya milik orang lain kemudian menjadi kepunyaan penerje- mah ketika penerjemah mempopulasikannya untuk tujuan tertentu, dengan aksen tertentu, dan ketika penerjemah mengaprosiasi kata- kata itu, menyadurnya ke dalam intensi semantis dan ekspresif ter- tentu. Dalam pengertian ini, tidak ada tuturan yang tak berelasi de- ngan tuturan lain (Todorov, 1984:60), dan inilah sifat heteroglosis dari suatu teks yang mengejawantah melalui dialog. Dengan ini, gagasan tentang dialogisme berorientasi pada konsepsi bahwa teks bersifat heteroglosia, multi-voicedness; yakni suatu konsep yang merangkai sebuah proses penciptaan makna dengan pemikiran sosial yang sudah ada sebelumnya dalam sebuah aktivitas yang negotiatif.

Dengan demikian, gagasan Bakhtin tentang dialogisme berkaitan erat dengan sifat suatu teks yang heteroglosia; yakni raznorecie (bahasa Rusia), yang diterjemahkan Todorov (1984) sebagai ‘heterology’ dan kemudian, secara umum, menuntun pada suatu penciptaan istilah baru, raznojazycie (heteroglosia), dan merujuk pada istilah yang ber- makna diversitas bahasa, ragam suara (multi-voices) (Todorov, 1984:56). Bagi Bakhtin, heterologi sangat wajar dalam masyarakat; sifat keragaman bahasa/suara muncul secara spontan sebagai akibat dari keragaman sosial (Todorov, 1984:57), yang realisasinya muncul pada tuturan (ekspresi berbahasa manusia individual) (bandingkan jg, Voloshinov, 1973:117).

Dalam dokumen PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA (Halaman 193-196)