• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROSIDING HASIL PENELITIAN BAHASA DAN SA"

Copied!
396
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

PROSIDING

SEMINAR (DISKUSI) ILMIAH

KELOMPOK PENELITI KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN DI LINGKUNGAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

TIM PENYUNTING

Pelindung:

Prof. Dr. Mashun, M.S.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengarah:

Dra. Yeyen Maryani, M.Hum.

Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Penanggung Jawab: Drs. Tirto Suwondo, M.Hum.

Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketua:

Yohanes Adhi Satiyoko, S.S., M.A.

Editor:

Dr. Ari Subagyo, M.Hum. Dr. Aprinus Salam, M.Hum. Y. Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Tarti Khusnul Khotimah, S.S.

Sekretaris: Ahmad Zamzuri, S.Pd.

Aji Prasetyo, S.S. Dini Citra Hayati, S.Pd.

Agung Tamtama Muslim Marsudi

Diterbitkan oleh: Balai Bahasa

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Alamat Sekretariat:

(6)

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan tugas dan fungsinya berusaha untuk meningkatkan mutu hasil penelitian di bidang keba-hasaan dan kesastraan. Usaha peningkatan mutu hasil penelitian itu antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan seminar atau diskusi ilmiah. Di dalam forum ilmiah itu niscaya mutu karya tulis akan me-ningkat karena peneliti diuji sekaligus dituntut pertanggungjawaban secara ilmiah baik menyangkut masalah teori maupun metodologi. Untuk itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mendorong para peneliti bahasa dan sastra agar senantiasa menegakkan tradisi ilmiah.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyambut baik kegiatan seminar (diskusi) ilmiah kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogya-karta. Kegiatan seminar ilmiah yang dilaksanakan pada 6—8 Oktober 2012 di Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta, dan diikuti oleh para peneliti dan pakar (ahli) kebahasaan dan kesastraan dari Balai Bahasa, Uni-versitas Gadjah Mada, UniUni-versitas Sanata Dharma, UniUni-versitas Islam Negeri, Universitas Ahmad Dahlan, dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta itu diharapkan dapat melahirkan karya-karya tulis ilmiah bermutu sekaligus memicu semangat para peneliti untuk lebih intens dan giat lagi melakukan penelitian kebahasaan dan kesastraan.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengucapkan teri-ma kasih kepada kepala Balai Bahasa Provinsi DIY, para peteri-makalah, dan seluruh peserta yang telah berperan aktif dalam seminar (diskusi) ilmiah tersebut. Karya-karya tulis ilmiah yang kemudian dibukukan

KATA PENGANTAR

(7)

dalam bentuk prosiding ini diharapkan dapat menambah pengetahu-an dpengetahu-an memperluas wawaspengetahu-an para peneliti bahasa dpengetahu-an sastra di ling-kungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa beserta seluruh UPT-nya. Sekali lagi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah bersedia bekerja sama mewujudkan kegiatan seminar ilmiah dan terbitnya buku prosiding ini.

Jakarta, 15 November 2012

Prof. Dr. Mahsun, M.S.

(8)

Seminar kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan pada 6—8 November 2012 di hotel Gowongan Inn, Yogyakarta, merupakan kegiatan pertemuan (forum) ilmiah para peneliti Balai Bahasa, Univer-sitas Ahmad Dahlan, UniverUniver-sitas Islam Negeri, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Universitas Sanata Dharma, dan Uni-versitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kegiatan ini bertujuan mengkaji berbagai permasalahan kebahasaan dan kesastraan yang berkembang dewasa ini khususnya di era globalisasi. Perkembangan dunia global telah memberikan efek yang besar bagi kemajuan kehidupan di segala sisi kehidupan. Budaya materialis dan kapitalis lebih mengemuka dibandingkan budaya spiritualis yang menjadi ciri khas dunia Timur. Perkembangan budaya materialis dan kapitalis itu tentu telah mene-barkan berbagai konsekuensi yang perlu disikapi secara arif dan bijaksana.

Sebagai salah satu UPT di lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa Provinsi DIY memiliki tanggung jawab untuk menyikapi ser-buan budaya “asing” tersebut. Salah satu sikap itu diwujudkan dalam bentuk kajian dan penelitian ilmiah terhadap permasalahan yang ter-jadi di bidang kebahasaan dan kesastraan. Karena itu, beragam masa-lah dibahas, di antaranya bagaimana penggunaan bahasa di lingkung-an remaja (generasi muda), bagaimlingkung-ana realitas praktik berbahasa di perguruan tinggi, sampai pada masalah kearifan lokal, revitalisasi nilai pendidikan kebangsaan, jati diri orang (masyarakat) tertentu, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan kehidupan sastra di Indonesia.

Seminar (diskusi) ilmiah kebahasaan dan kesastraan ini telah menghasilkan sejumlah paper yang dianggap mampu memberikan ilustrasi atau jawaban atas beragam tantangan kebahasaan dan kesas-traan yang perlu diperhatikan, disikapi, dan dicari jalan keluarnya

KATA PENGANTAR

(9)

demi pemertahanan jati diri bangsa di era global. Berbagai permasa-lahan yang dikemukakan dalam paper-paper itu dapat menjadi pelajar-an penting bagi kita. Oleh karena itu, penerbitpelajar-an buku prosiding ini patut direalisasikan sebagai salah satu usaha memberdayakan bahasa dan sastra di Indonesia. Mudah-mudahan semua ini memicu para peneliti di Indonesia untuk lebih intens lagi melihat berbagai fenome-na yang terjadi di sekitar (lingkungan kehidupan) kita.

Yogyakarta, 10 November 2012

(10)

DAFTAR ISI

Pengantar Kepala Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa ...v

Pengantar Kepala Balai Bahasa Provinsi DIY……….vii

Daftar Isi ...ix

Jadwal Kegiatan ...xi

Makalah Ilmiah Tipologi Sandi Sastra dalam Bahasa dan Sastra Jawa (Slamet Riyadi) ... 1

Bentuk-bentuk Tutur Tak Langsung dalam Bahasa Jawa: Memahami Kembali Nilai-nilai Kearifan Lokal (Edi Setiyanto) ... 19

Keberadaan Sastra dalam Majalah Gadjah Mada Tahun 1950—1960-an (Tirto Suwondo) ... 37

Wacana Karya Tulis Ilmiah Siswa SMA di Yogyakarta: Bagian-bagian dan Fungsinya (Wiwin Erni Siti Nurlina) ... 55

Pendidikan Kebangsaan “Taman Siswa” via Karya Sastra/Puisi (Dhanu Priyo Prabowo) ... 73

Topik dan Kesatuan Topik dalam Wacana Prosedural Resep Jamu Berbahasa Jawa (Herawati) ... 91

Berbagai Pengisi Komen dalam Kalimat Topik Paragraf Deskripsi Bahasa Jawa (Sri Nardiati) ...107

(11)

Ketidakefektifan Kalimat Bahasa Indonesia dalam Laporan Ilmiah Mahasiswa: Studi Kasus di Fakultas Pertanian Gadjah Mada

Tahun 2002—2006 (Widada Hs.) ... 145

Muatan Ideologi dalam Cerita Anak Usia Dini (Umar Sidik) ... 163

Khazanah Penerjemahan: Ragam Suara dalam Sastra-Parwa

(Tamam Ruji Harahap) ... 177

Semut Ireng Anak-anak Sapi: Sebuah Metafora Implisit

(Sri Haryatmo) ... 197

Dinamika Puisi Indonesia dalam Surat Kabar Minggu Pagi

(Siti Ajar Ismiyati) ... 209

Wong Jawa dalam Guritan “Serere Adhuh Lae” Karya Turiyo Ragilputro dan “Siter Gadhing” Karya Djaimin Kariyodimejo

(Yohanes Adhi Satiyoko) ... 231

Refleksi Kultural dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma (Ahmad Zamzuri) ... 249

Resepsi Transformatif Ayat-ayat Alquran dalam Akhbar Akhirat Fi Ahwal Al Qiyamah Karya Nuruddin Ar Raniri (Adib Sofia) ... 265

Penataan Urgensi Informasi pada Wacana dalam Majalah Anak (Tarti Khusnul Khotimah) ... 279

Kesalahan Pemaragrafan dalam Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia untuk SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta (Titik

Indiyastini) ... 295

Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Media Cerita Binatang dan Boneka Tangan (Siti Salamah) ... 311

Berbagai Ungkapan Bahasa Jawa yang Mengandung Kata Ati

(Edi Suwatno) ... 323

Catatan Editor ... 339

(12)

JADWAL KEGIATAN

DISKUSI ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

(13)
(14)

TIPOLOGI SANDI SASTRA

DALAM BAHASA DAN SASTRA JAWA

Slamet Riyadi

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Inti Sari

Sandi sastra ialah tulisan—berupa kata atau ungkapan, bukan nama—yang unsur-unsurnya dirahasiakan dalam suatu karangan, khususnya dalam puisi, yang dikemas mirib dengan sandi asma. Sebagaimana sandi asma, sandi sastra termasuk salah satu unsur seni yang merupakan hasil proses kreatif-imajinatif yang bersifat dinamis. Artinya, bentuk, teknik penu-lisan, dan gaya penciptaannya dalam karangan dari waktu ke waktu dapat mengalami perkembangan. Perkembangan itu tidak dapat terlepas dari karya-karya yang hadir sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutar-balikkan esensi) konvensi, sehingga dapat menimbulkan sebut-an mitos pengukuhsebut-an (bagi ysebut-ang menerusksebut-an) dsebut-an mitos pem-berontakan (bagi yang menyimpangi). Dalam kaitannya de-ngan pembahasan, rumusan teknik penulisan sandi asma da-lam beberapa buku teori sastra Jawa dapat dijadikan rujukan. Sementara itu, dalam pemilahan tipologi sandi sastra dapat digunakan istilah kebahasaan, misalnya istilah fonemik, sila-bik, dan morfemik. Berkenaan dengan pengumpulan data gunakan metode studi pustaka, sedangkan pengolahannya di-gunakan metode deskriptif dan penganalisisannya didi-gunakan metode analitik. Hasil pengkajiannya berupa sandi satra tipe: F(-onemik), S(-ilabik), M(-orfemik), S-M, dan F-S-M.

Kata kunci: sandi sastra, bahasa dan sastra Jawa, unsur seni, tipologi.

1. Pendahuluan

(15)

karangan)’. Sandi sastra juga disebut “sandi karsa”, “sandi ukara”, “sandi aksara”, atau termasuk “kridha sastra” (Riyadi, 2007:55). Sandi sastra selain terdapat dalam sastra Jawa, juga terdapat dalam sastra Indonesia. Sandi sastra dalam sastra Indonesia, misalnya terdapat dalam puisi “Ucapan Selamat bagi Peredaran Bintang Hindia” karya Al Fakir Asia, “Selamat Terbit Panji Pustaka Gunawan” karya Salman, dan “Satu Sya-wal” karya Mangaraja Tiangsa (lihat Suyatno dkk., 2000:31—32; 75— 78).

Sandi sastra yang dimaksud adalah tulisan—yang berupa kata atau ungkapan, yang bukan nama—yang unsur-unsurnya dirahasiakan dalam suatu karangan, khususnya dalam puisi, yang dikemas mirip dengan sandi asma. Oleh karena pengemasannya mirip dengan sandi asma, bentuk dan penulisan serta gaya penciptaan sandi sastra ada bermacam-macam sebagaimana sandi asma. Berdasarkan data yang diperoleh, bentuk sandi sastra ada yang bersifat silabik, morfemik, dan fonemik. Dari segi teknik penulisannya, unsur-unsur pembentuk sandi sastra ada yang diletakkan pada permulaan larik, tengah larik, akhir larik, permulaan dan akhir larik, serta permulaan larik pertama dan larik terakhir suatu bait. Penciptaan sandi sastra ada yang bergaya akros-tik, telesakros-tik, dan ada yang bergaya akrostik-telestik.

Pada hakikatnya, sandi sastra sudah diciptakan sejak masa Rang-gawarsita. Dari beberapa data dapat diketahui bahwa pada kala itu ada beberapa sandi sastra yang menyertai sandi asmanya, misalnya “Na-ya-ka Da-lem Wa-dya Ka-li-won...”, “ing Ke-dhung-kol Su-ra-kar-ta A-di-ning-rat”, “Ba-sa Ka-dha-ton”, dan “Ku-la” (Riyadi, 2007:56). Sementara itu, penciptaan sandi sastra yang lepas dari atau tidak menyertai sandi asma sudah dilakukan Mangkunagara IV. Dalam gubahannya (tiga bait) tembang Pangkur terdapat sandi sastra yang berbunyi “Nglu-lu-ri Pa-kar-ti Ja-wi, Nglun-tur Pi-wu-lang Lu-hur Ngru-wat Tin-dak Ang-ka-ra”. Sandi sastra itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini (Sontodipura, 2000:9).

(1) NLULUr tutur jroning rasa RInumpaka basa mbasih pakarti PAmote rasa ing kalbu

KARegem den-agema

TInulat samya amiyak wulang luhur JAmak anyimak ing tapak

(16)

NGLUNturken sih jroning karya TURut tembunge tembang kang sayekti PInesu amangun hayu

WUwus wosing pamawas

LANG langane anglangut ja nglangip ngayun LUkita rasa ing karsa

HURip bisa anguripi.

NGRUmpaka werdining Jawa WATak sinatriya sinartan mesthi TINilara tindak dudu

DAK dakannya amendhak

ANGudi ngupadi mring pakarti luhung KAlisa angga king kala

RAhayu kang amengkoni.

Dari data yang diperoleh-diantaranya ditampilkan sebagai con-toh tersebut-masalah yang timbul dapat diidentifikasi yang berkenaan dengan bentuk sandi sastra, teknik penulisan, dan gaya penampilan-nya. Bagaimana ketiga masalah itu sekaligus tercermin dalam tipolo-ginya? Dengan demikian, tujuan pengkajian ini ialah untuk mengha-silkan tipologi sandi sastra yang di dalamnya mencakupi (uraian) ben-tuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaannya.

2. Landasan Teori, Metode, dan Data

Dapat dikemukakan di sini bahwa teknik penulisan sandi sastra cenderung mengikuti teknik penulisan sandi asma. Sehubungan de-ngan itu, secara garis besar, rumusan teknik penulisan sandi asma dalam beberapa buku teori sastra Jawa dapat dijadikan rujukan dalam teknik penulisan sandi sastra (Riyadi, 2007:13).

(17)

Penerusan konvensi (tradisi) dapat disebut sebagai mitos pengukuh-an, sedangkan penyimpangan atau penolakan konvensi (tradisi) dapat disebut sebagai mitos pemberontakan (Nurgiyantoro, 2002:51—52). Kedua mitos itu wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi (Taeuw, 1983:12), mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan (Nurgiyantoro, 2002:52).

Selanjutnya, berkenaan dengan unsur-unsur pembentuk sandi sas-tra, teknik penulisannya tidak dapat terlepas dari perkembangan sistem tata tulis bahasa Jawa, dari aksara Jawa ke huruf Latin. Pada mulanya, unsur-unsur pembentuk sandi sastra berupa suku-suku kata atau silabe-silabe—karena aksara Jawa bersifat silabik—, kemudian ada yang beru-pa kata dan afiks atau morfem-morfem, baik yang menggunakan aksara Jawa maupun huruf Latin. Setelah sistem tata tulis menggunakan huruf Latin, unsur-unsur pembentuk sandi sastra kebanyakan berupa huruf-huruf atau fonem-fonem. Oleh karena itu, dalam pemilahan tipologi sandi sastra (butir 3) digunakan istilah, misalnya tipe F (-onemik) yang merujuk pada unsur-unsur pembentuk sandi sastra yang berupa huruf-huruf atau fonem-fonem, tipe S (-ilabik) yang merujuk pada unsur-unsur pembentuk sandi sastra yang berupa suku-suku kata atau silabe-silabe, dan tipe M (-orfemik) yang merujuk pada unsur-unsur pemben-tuk sandi sastra yang berupa kata-kata (dan afiks) atau morfem-morfem (bandingkan Riyadi, 2007:15—16).

Sementara itu, berkaitan dengan pengumpulan data digunakan metode studi pustaka. Teknik pelaksanaannya dengan menelusuri dan mengkaji buku, media masa cetak, manuskrip, dan dokumen lain di berbagai perpustakaan dan di tempat koleksi lainnya. Dengan me-tode dan teknik itu dapat diperoleh data sandi sastra dengan beraneka ragam bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaannya. Sesudah itu, dilakukan pengolahan data dengan metode deskriptif, dan peng-analisisannya dengan metode deskriptif-analitik. Pengolahan data dilakukan dengan teknik seleksi, identifikasi, dan klasifikasi, sedang-kan kegiatan selanjutnya ialah penganalisisan kompponen-komponen hasil pengolahan (kegiatan) sebelumnya. Misalnya, penganalisisan tipologi sandi sastra yang mencakupi bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaannya.

3. Tipologi Sandi Sastra

(18)

penciptaan-nya. Selanjutnya, berkenaan dengan unsur-unsur pembentuk sandi sastra yang selalu berkaitan dengan sistem kebahasan, maka pemi-lahan tipologi sandi sastra dapat dirinci menjadi beberapa tipe, yaitu (1) tipe F, (2) tipe S, (3) tipe M, (4) Tipe S-M, dan (5) tipe F-S-M, sebagai berikut.

3.1 Sandi Sastra Tipe F

Sandi sastra tipe F diciptakan setelah sistem tata tulis mengguna-kan huruf Latin. Sandi sastra tipe F dapat dibedamengguna-kan menjadi dua, yaitu (1) sandi sastra yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik dan (2) sandi sastra yang unsur-unsurnya terletak pada permu-laan kata atau suku kata.

1) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe F pada Permulaan Larik

Sandi sastra tipe F yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik, antara lain, terdapat dalam “Mahargya Hari Natal”, satu bait tembang Dhandhanggula, gubahan Ki Dwidjo (dalam Djaka Lodang, 744/XVI/1986:29), berbunyi “J-a-k-a L-o-dh-a-n-g”; dalam “Ti-Ji-Ti-Beh”, enam bait tembang Asmaradana, karya Ki Bardan Dwidjopoes-pito (dalam Mbangun Tuwuh, 61/10/1998:10—13), berbunyi “H-a-r-i K-e-s-e-t-i-a-k-a-w-a-n-a-n S-o-s-i-a-l N-a-s-i-o-n-a-l I-n-d-o-n-e-s-i-a”, dan dalam guritan “Mojokerto” karya Firman Kasdudi (dalam La-yang Wasiat, 2002:43), berbunyi “M-o-j-o-k-e-r-t-o”. Oleh karena unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik, kedua sandi sastra itu berga-ya akrostik. Berikut dikutipkan bait tembang Dhandhanggula tersebut.

(2) Jaka Lodhang nyugata memanis Angastuti pengetan sang kawentar Kaloka sajagad kabeh

Almasihi sang Kristus Lair natal sing kenya suci Ora lya king Dyang Maryam DHasar wyosanipun

Amung king mujijating Hyang Natal lair roh Allah makuwon mijil Gelar bleger manungsa.

2) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe F pada Permulaan Kata atau Suku Kata

(19)

mengandung ajaran Kejawen sebagai pedoman hidup. Di dalam pe-maknaan ajaran itu terdapat (unsur) abjad yang berupa konsonan sehingga membentuk sandi sastra “h-n-c-r-k-d-t-s-w-l-p-dh-j-y-ny-m-g-b-th-ng”, seperti dalam kutipan berikut (Wardhana, 1996:90).

(3) Hingsun Nitahake Cipta Rasa Karsa Dumadine Tetesing Salira Wadi Laksana Panca Dhawuh Jagad Yekti Nyawiji Marmane Ganti Balia Thukul Ngakasa

Di samping itu, ada sandi sastra dengan penempatan unsur-unsurnya pada permulaan kata dan suku kata yang membentuk abjad seperti di atas. Sandi sastra itu juga terdapat dalam filsafat ha-na-ca-ra-ka hasil penafsiran Oenarto Timoer (1994:2), seperti dalam kutipan berikut ini.

(4) HaNaning Cipta Rasa Karsa Datan Salah Wahyaning Lampah PaDhang Jagade Yen Nyumurupana Marang Gambarane BaThara Ngaton

3.2 Sandi Sastra Tipe S

Sandi sastra tipe S jumlahnya cukup banyak dan teknik penem-patan unsur-unsurnya bervariasi. Teknik penempenem-patan unsur-unsur pembentuk sandi sastra tipe S itu dapat dibedakan menjadi enam, disajikan berikut ini.

1) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Bait

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan bait terdapat dalam “Pudyastawa dhumateng Radyapustaka Surakar-ta”, sembilan bait tembang Sinom, gubahanR.T. Ranggawarsita (da-lamNawa Windu Radya Pustaka, 1960:41), berbunyi “Ra-dya Pus-ta-ka Su-ra-Pus-ta-kar-ta”. Oleh Pus-ta-karena unsur-unsur pembentuk sandi sastra itu terletak pada setiap permulaan bait, dalam contoh berikut hanya dikutipkan larik-larik pertama setiap bait tersebut.

(5) RAras rining kang nagara (bait 1) ...

DYAdiniyaning pangarsa (bait 2) ...

PUSpitaning parepatan (bait 3) ...

(20)

KAcarita duk samana (bait 5) ...

SUka pirenaning driya (bait 6) ...

RAsikaning para warga (bait 7) ...

KARsaning risang Pangarsa (bait 8) ...

TAmat pamuji mring warga (bait 9)

2) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik atau baris, antara lain, terdapat dalam tafsiran filsafat ha-na-ca-ra-ka oleh Sri Mulyono (1978:84—85). Di dalam tafsiran itu, setiap larik atau baris diawali dengan abjad Jawa secara berurutan, dari ha hingga nga, seperti dikutipkan berikut ini.

(6) Hananira sajatine wahananing Hyang Nadyan ora kasat mata mesthi aNa Careming Hyang yekti tan cetha wineCa Rasakena rakete lan angganiRa

Kawruhana jiwa kongsi kurang weweKa Dadi sasar yen sira nora waspaDa Tamatna prabaning Hyang sung sasmiTa Sasmitane kang kongsi bisa karaSa Waspadakna wewadi kang sira gaWa Lalekna yen sira tumekeng laLis Pati sasar tan wurung manggiha paPa DHasar beda lan kang wus kalis ing goDHa Jangkane mung jenak jemjeming jiwa-raJa Yatnanana liyep luyuping pralaYa

NYata Sonya nyenyet labeting kadoNYan Madyeng alam parantunan aywa saMar Gayuhaning tanna liya mung sarwa arGa Bali murba misesa ing njero njaBa THathukule widadarya tebah nisTHa NGarah-arah ing rencana mardiniNGrat

(21)

3) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik Pertama dan Larik Terakhir Setiap Bait

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada permulaan larik pertama dan larik terakhir setiap bait, antara lain, terdapat dalam “Sandi Aksama”, enam bait puisi, karya Prawiromiardjo (dalam Djaja Baja, 36/XI/1957:11), berbunyi “Su-mang-ga-sa-mi A-pu-ra-i-nga-pu-ra”. Puisi itu digubah berkenaan dengan Hari Raya Fitri, seperti berikut.

(7) SUka sukur ing Hyang Suksma dene tumekeng ri mangkya kinarilan nguswa hawa MANGga sabakdaning pwasa.

GAti tumindaking pwasa ing dalem tri-dasa dina cegah boga saben rina SAnyata gung kang piguna.

MIkantuki jiwa raga udara linatih lapa dahaga tan nginum tirta Adhakan yen keneng coba.

PUguh panggih tyas santosa lumuh lemer milik donya meleng mligi ing panjangka RAhab mung mamrih tumeka

Ilang tabeting tyas murka katuwuhan asih tresna ngrumangsani titah ina NGAlami cela kuciwo.

PUpunton tekading driya mamrih sirneng sanggya dosa muhung ngajab pangaksama RAhayu sajagad raya.

4) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik

(22)

terdapat dalam “Mengeti para Warga Pangreh ingkang Sampun Ti-nimbalan ingkang Murbeng Gesang”, dua bait tembang Dhandhang-gula, karya Padmapuspita (dalam Nawa Windu Radya Pustaka, 1960:16), berbunyi “Ra-dya Pus-ta-ka Na-wa Win-du-nya ing Su-ra-kar-ta In-do-ne-si-a”; dalam “Dhawuh Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegara IV tumrap R.Ay. Hilmiyah Darmawan Pontjowolo”, dua bait tembang Sinom (dalam Mbangun Tuwuh, 40/8/1996:20), berbunyi “Ra-sa Ji-nar-wa ma-ring Rek-sa Rek-sa Ngga-wa Wer-di-ning Ra-sa”; dalam wirid “Wulang Weling Wening Dhawuh Dalem K.G.P.A.A. Mangku-nagara IV”, enam bait tembang Maskumambang-Pucung berselang-seling antarlarik (dalam Mbangung Tuwuh, 66/11/1998:27—29), berbu-nyi “Ku-wa-ga-nga Lu-hur La-ku, Ki-nan-ti Ra-sa ing A-sih, An-tep Man-tep ma-ring Ta-ta, Ta-be-ri Ngu-pa-di Ja-ti, Ja-ti-ne Jal-ma Sa-nya-ta, Ti-ni-tah Mang-ku ing Wa-jib” yang dikemas dalam tembang Kinanthi; dalam gubahan K.G.P.A.A. Mangkunagara IV yang telah dikutipkan terdahulu, yakni “Nglu-lu-ri Pa-kar-ti Ja-wi...” (lihat contoh 43 dalam Riyadi, 2007:62) dan dalam Babad Banyumas, berbunyi “San-di Ra-sa lan Is-mi” (lihat contoh 8 dalam Riyadi, 2007:62). Berikut disajikan contoh sandi sastra “Ra-dya Pus-ta-ka Sa-nga Win-du-nya ing Su-ra-kar-ta In-do-ne-si-a” dalam dua bait tembang Dhandhang-gula dan “Ra-sa Ji-nar-wa Ma-ring Rek-sa, Rek-sa Ngga-wa Wer-di-ning Ra-sa” dalam dua bait tembang Sinom.

(8) RAsaning reh sinawung memanis DYAna yoga tinrap ing wardaya PUSpanjali neng ciptane TAtananing panungku

KAtampia de Sang Hyang Widi SAdaya kang wus prapta NGAbyantareng Hyang Gung WINiwala kehing klesa

DUnungena neng papaning swarga adi NYAta nir ton slireng Hyang

(23)

NEtraning pra warga mangkya SInipatken mrih bangkit nepa palupi Anulad kang wus lena.

(9) RAga anon den samia SAmi sukeng nggladhi ilmi JInejer tut swara kepyak NARima warising wuri WAnda wiraga keksi MApan iramaning kawruh RINGgu ngrenggu ja samar REKsa rasa denjajagi

SAnti sedya weruha maring uripnya.

REKsa kebak marang rasa SAnepan tembung ing uni NGGAdhang piwulang tan nilar WAngun-winangun mring karti WERdi rasa akanti

DImen tata datan kliru NING sedya kang angrusak RAciking tama kaesthi

SAmurwat raga sagaduk maring rasa.

5) Unsur-Unsur Sandi Sastra Tipe S pada Akhir Larik

Sandi sastra tipe S yang unsur-unsurnya terletak pada akhir larik amat jarang. Dari data yang diperoleh, baru dapat ditemukan sebuah sandi sastra dengan teknik itu. Sandi sastra itu berbunyi “Ti-yang Pur-wa-san-tun”, terdapat dalam Jaka Lodhang karya K.R.T. Tanda-nagara. Sandi sastra itu tercantum pada bait terakhir tembang Puthugelut, dikutipkan berikut ini (lihat contoh 10).

(10) Prapteng kono jangkane wus tiTI Pama gancar waYANG

(24)

6) Unsur-unsur Sandi Sastra Tipe S pada Permulaan Larik dan Akhir Larik

Sandi sastra tipe S dengan penempatan unsur-unsurnya pada permulaan larik dan akhir larik dapat dipilah menjadi sandi sastra dengan (a) gaya akrostik-telestik, (b) pengulangan gaya akrostik-te-lestik, dan (c) gaya lumaksita.

(a) Sandi Sastra Tipe S dengan Gaya Akrostik-Telestik

Sandi sastra tipe S dengan gaya akrostik-telestik terdapat dalam dua bait puisi bebas atau guritan. Unsur-unsur pembentuk sandi sas-tra itu menciptakan abjad Jawa, ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga”, seperti berikut ini (lihat Hadisoetrisno, 1941:43).

(11) HAnaning titah wiwaHA NAra kinudang mrih iNA CAra cacat cikben murCA RAsa tama wus kasriRA KArep kliru jwa rineKA DAdi wong iku sembaDA TAlering urip tinaTA SAmobahing cipta raSA WAwasen ingkang kuciWA LA ya kuwi sing sok aLA

PAmaprase nganggo taPA

DHAwuhing Hyang neng jro dhaDHA JAwaben kanthi prasaJA

YA Allah ya Rasul priYA NYAmadi nyawa kang wigNYA MAnus kang bekti agaMA GAdhangan munggah suwarGA BAlik kang canggeh aroBA THAk-thakan mbeksiya nisTHA NGAlamat linalap siNGA

(25)

“Ra-jah Kalacakra” berbentuk lingkaran dapat dilihat pada lampiran, dan berikut ini disajikan transliterasinya (lihat contoh 12).

(12) HAmung nrima den aweNGA NAtas wedha dimen ceTHA CAtur tutur kang tumiBA RAhayu tibeng ing angGA KArana ing tata kraMA DArapon slamet ing doNYA TAtanya marang wong liYA SAlami mung ambeg dwiJA WAwaton atur tulaDHA LAbuh labet mara tePA

PAmujiku kang sapaLA

DHAsar tembunge wong tuWA JAlaran pangajab biSA

YAta yeku mrih sataTA NYAta urip den waspaDA MAnungsa akeh panerKA GAman kang lumaku doRA BAkale gampang kaweCA THArathakan mrih sampurNA NGApura trisna nemaHA

(b) Sandi Sastra Tipe S dengan Pengulangan Gaya Akrostik-Telestik Sandi sastra tipe S dengan pengulangan gaya akrostik-telestik, antara lain, diciptakan oleh Sukirno Mardiwiyoto. Dalam gubahannya yang diberi judul “Handhandhang Rasa”, dua bait tembang Dhan-dhanggula (dalam Mbangun Tuwuh, 47/9/1996:15), terdapat sandi sastra pada bait pertama berbunyi “Mrih Dha E-mut ing Ka-bu-daya-ni-ra” dan “Pi-na-es Trus mrih Ka-su-sra ing Rat” serta pada bait kedua berbunyi “Pi-na-es Trus mrih Ka-su-sra ing Rat” dan “Mrih Dha E-mut ing Ka-bu-dayan-ni-ra”, seperti dalam kutipan berikut.

(13) MRIH budaya Jawa rum tinamPI DHAdhak pra Mpu PLKJ paNA

Ebah mosiking pepaES MUTer jantra budi TRUS ING ugeran hesthi tanpa MRIH

(26)

DAYAning reh bau saSRA NIti sastra guna pakarti endahING

RAsa rum gandaning RAT.

PInaringaken tandha kartika MRIH NApak tilas wusnya winisuDHA

ESthi gumregah jangkahE TRUS maju tansah tuMUT MRIHatosaken budaya gehING

KAdhesek kang neneKA SUmusup lumeBU SRAna mbangun kabuDAYAn INGacaran program nagri edi peNI

RATing reh kukumiRA

Dengan gaya yang sama, Sukirno Mardiwiyoto juga menciptakan sandi sastra dalam sebelas pupuh tembang (Mijil, Maskumambang, Sinom, Gambuh, Kinanthi, Asmaradana, Durma, Dhandhanggula, Pangkur, Megatruh, dan Pucung), masing-masing tujuh bait. Tiga pu-puh tembang (Mijil, Maskumambang, dan Sinom) dimuat dalam Mba-ngun Tuwuh nomor 49/9/1997, sedangkan pupuh-pupuh yang lain di-muat secara bersambung dalam terbitan-terbitan berikutnya. Sebagai contoh, berikut ini dikutipkan sandi sastra yang terdapat dalam tujuh bait tembang Mijil. Satu bait tembang Mijil terdiri atas 6 larik (gatra).

(14) “Sir Nggo Weh Li-li-pur”; “Di-o-pen-ni Bi-yung” (bait 1) “Di-o-pen-ni Bi-yung”;”Di-sok-ke Sih-i-pun” (bait 2) “Di-sok-ke Sih-i-pun”;”Di-bo-reh-i Di-dus” (bait 3) “Di-bo-reh-i Di-dus”;”Di-mong Ben Ni-ni-ru” (bait 4) “Di-mong Ben Ni-ni-ru”;”Mrih Wong E-ring I-bu” (bait 5) “Mrih Wong E-ring I-bu”;”Ti-non E-di-ni-pun” (bait 6) “Ti-non E-di-ni-pun”;”Sir Nggo Weh Li-li-pur” (bait 7)

Sebagai catatan bahwa sandi sastra contoh (13) dapat digolong-kan ke dalam sandi sastra tipe S-M karena antar-unsur pembentuk sandi sastra itu ada yang bertipe M, yakni “ing”, “daya”, dan “rat” (lihat awal larik 5, 8, bait 1, larik 10, bait 2, larik 5).

(c) Sandi Sastra Tipe S dengan Gaya Pengulangan Lumaksita

(27)

bait kemudian diulang pada setiap permulaan larik dalam bait berikut-nya. Sandi sastra tipe S dengan gaya itu, antara lain, terdapat dalam karya Sukirno Mardiwiyoto yang diberi judul “Sinom Prasetya”, dua bait (dalam Mbangun Tuwuh, 51/9/1997:28). Sandi sastra pada bait per-tama berbunyi “Nga-ti-a-ti Nir Du-ka Cip-ta” dan “Sa-tri-ya-ning Nagri Gung Was-ki-tha” serta pada bait kedua berbunyi “Sa-tri-ya-ning Nagri Gung Was-ki-tha” dan “Ngab-di Nagri sing wus Mardika”. Untuk me-ngetahui secara jelas sandi sastra tersebut, berikut ini dikutipkan dua bait tembang Sinom karya Sukirno itu.

(15) NGAdhep Gusti Sang Maha-SA TInrapken ing siyang raTRI Atur puji nyuwun jaYA TInebihna memalaNING NIRbaya wong saNAGRI DUmadi rejeki aGUNG KAtentreman datan WAS CIPta karyane ngebeKI

TAta titi angentha ingkang ginanTHA

SAgung manggala lan paNGAB TRI pindhane ber ing buDI YAna yuwana mrih keNA NINGkatken kukuhing naGRI NAGRI kalis ing sing-SING

GUNGgunging panggodha kang WUS WASpada datan saMAR

KIwa tengen tangan mbuDI

THArik-tharik niti program kang jinangKA.

3.3 Sandi Sastra Tipe M

Sandi sastra tipe M, antara lain, terdapat dalam “Susuluh We-ning” karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV (dalam Mbangun Tuwuh, 46/9/1996:2—3). Unsur-unsur pembentuk sandi sastra tipe M itu terle-tak pada permulaan larik dalam empat bait tembang Gambuh, ber-bunyi “Jambuh-ing Kawula lan Gusti, Rinasa Rumangsa wus tanpa Karsa, Amung Ana kang Rinasa Nyata, Dadi Dumadi kang Ngerti Werdi”. Dengan demikian, sandi sastra itu bergaya akrostik. Empat bait tembang Gambuh itu dikutipkan berikut ini.

(28)

KAWULA kewala tan rasa kuwalik LANdhesing nalar tan melu GUSTI nyawiji dumados.

RINASA amung hayu

RUMANGSA ana netra tan ndulu

WUS kawengku wewengkone kang Ma Suci TANPA dunung bisa sinung

KARSA tan kinarsan yektos.

AMUNG hayu amengku ANA urip ingkang tanpa urub

KANG ngerti werdining urip kang sayekti RINASA resep anyusup

NYATA nyatiti ing raos.

DADI marsudi laku

DUMADI jalmi wijang ing ilmu KANG den-aji laku lampahing utami NGERTI warah tanpa wuruk WERDI wadi tan winados.

3.4 Sandi Sastra Tipe S-M

Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa sandi sastra contoh (13) dapat digolongkan ke dalam sandi sastra bertipe S-M. Unsur-unsur pembentuk sandi sastra yang bertipe M dalam contoh (13) itu adalah “ing”, “daya”, dan “rat”, sedangkan unsur-unsur lain-nya bertipe S.

Demikian pula, sandi sastra dalam contoh (15) dapat digolongkan ke dalam sandi sastra bertipe S-M karena salah satu unsurnya bersifat morfemik. Unsur yang bersifat morfemik itu adalah “nagri” (lihat akhir larik 5, bait 1, dan awal larik 5, bait 2, contoh 15).

3.5 Sandi Sastra Tipe F-S-M

(29)

(17) Bonggan kalamun KALAp lan kalimput adeging naradiPA. Singkirna lan singkirana parangmuka Kang arsa AMbabar BILahi.

4. Simpulan

Sandi sastra dalam bahasa dan sastra Jawa hadir mengiringi keha-diran sandi asma. Pencipta sandi asma yang pertama kali adalah R.Ng. Ranggawarsita, pujangga terakhir kerajaan Surakarta, sehingga ia disebut pelopor (penggunaan) sandi asma. Beberapa sandi asma sang Pujangga juga disertai sandi sastra (lihat halaman 1). Oleh karena itu, sang Pujangga juga dapat disebut sebagai pelopor (penggunaan) sandi sastra.

Dalam perkembangannya, sandi sastra juga terus hadir sebagai-mana kehadiran sandi asma, baik secara terpisah maupun secara ber-sama-sama (menyertai sandi asma). Tipologi sandi sastra (yang meli-puti bentuk, teknik penulisan, dan gaya penciptaan)-nya pun mirip benar dengan tipologi sandi asma. Tipologi sandi sastra terdiri atas (1) sandi sastra bertipe F(-onemik), (2) sandi sastra bertipe S(-ilabik), (3) sandi sastra bertipe M(-orfemik), (4) sandi sastra bertipe S-M, dan (5) sandi sastra bertipe F-S-M. Di antara tipe-tipe itu, sandi sastra ber-tipe S mempunyai berbagai keragaman.

Daftar Pustaka

Dwidjo, Ki. 1996. “Mahargya Hari Natal”. Dalam Djaka Lodang. Nomor 744. Tahun XVI. Yogyakarta.

Dwidjopuspito, Ki Bardan. 1998. “Ti-Ji-Ti-Beh”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 61. Tahun 10. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN

Hadisoetrisno, R. S. 1941. Serat Sastra Hendra Prawata. Malang: Boekhandel.

Jasawidagda, Ki dan Ki Hadiwidjana. 1954. Sasana Sastra. Jogjakarta: Dwidjaja.

Kasduki, Firman. 2002. “Mojokerto”. Dalam Layang Wasiat. Surabaya: Balai Bahasa.

Mangkunagara IV, K.G.P.A.A. 1996. “Sesuluh Wening”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 46. Tahun 9. Surakarta: Peguyuban Tridarma MN.

Mardiwiyoto, Sukirno. 1996. “Hadhandhang Rasa”. Dalam Mbangun Tuwuh, nomor 47. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN.

(30)

_______ “Sinom Prasetya”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 51. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN.

Mulyono, Sri. 1978. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Padmapuspita. 1960. “Amengeti para Warga Pangreh ingkang Sampun Tinimbalan dening Inkang Murbeng Gesang”. Dalam Nawawindu Radya Pustaka. Surakarta.

Prawiroamiardjo. 1957. “Sandi Aksara”. Dalam Djaja Baja. Nomor 36. Tahun XI. Surabaya.

Riffaterre, Michael. 1980. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co. Ltd.

Riyadi, Slamet. 1997. “Akrostik, Mesostik, dan Telestik”. Dalam Jawa. Volume I. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.

_______. 2007. Sandi Asma dari Ranggawarsita hingga Rangga Kalayuda. Yogyakarta: Surya Sarana Utama.

Ronggowarsito, R.T. 1960. “Pudyastawa dhumateng Radya Pustaka Surakarta”. Dalam Nawawindu Radya Pustaka. Surakarta. Sontodipuro, Widiyatmo (Pemimpin Redaksi). 2000. “Wejangan:

Anggitan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunagara IV”. Dalam Mbangun Tuwuh. Nomor 82. Surakarta: Paguyuban Tridarma MN. Suyatno, Suyono dkk. 2000. Antologi Puisi Indonesia Periode Awal.

Jakarta: Pusat Bahasa.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Timoer, Soenarto. 1994. “Mengkaji Makna Ha-na-ca-ra-ka, Menguak

Hakikat Sangkan Paraning Dumadi”. Makalah. Surabaya. Wardhana, Ki Wisnoe. 1996. “Sastra Jawa sebagai Sumber Pengenalan

(31)
(32)

BENTUK-BENTUK TUTUR TAK LANGSUNG

DALAM BAHASA JAWA: MEMAHAMI KEMBALI

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

Edi Setiyanto

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Inti Sari

Salah satu hal yang sering diprihatinkan generasi tua saat ini ialah perilaku generasi muda yang dianggap menyimpang dari nilai kearifan lokal. Pada masyarakat Jawa, lazim dicontohkan ialah ketakmampuan generasi muda untuk menggunakan krama sebagai bentuk hormat. Dalam hubungan itu, jarang diperbincangkan ketakakraban generasi muda dengan “bentuk tutur tak langsung”, seperti paribasan, tuturan tak literal, atau parikan ‘pantun Jawa’ yang juga berfungsi menyantunkan tu-turan. Oleh sebab itu, pembicaraan ini membahas bentuk-ben-tuk tutur tak langsung dalam bahasa Jawa. Kajian ini bersifat pragmatik. Teori yang digunakan ialah (1) teori implikatur dan (2) parameter pragmatik (Grice, 1975; Brown dan Levinson, 1978; lih. Wijana, 1996). Berdasarkan itu, berbahasa dipahami bukan semata peristiwa tekstual, melainkan juga peristiwa interaksional, yaitu bagaimana setiap peserta tutur menyikapi citra diri yang ditawarkan lawan tutur. Menyesuaikan dengan cara pandang itu, analisis bersifat situasional dengan memper-timbangkan aspek-aspek yang sifatnya nonkebahasaan. Kajian ini memanfaatkan data yang diambil dari sumber lisan mau-pun tulis. Berdasarkan kajian, pada bahasa Jawa ditemukan enam bentuk tutur tak langsung, yaitu (1) paribasan atau ung-kapan, (2) tindak tutur tak langsung, (3) tindak tutur tak literal, (4) wangsalan, (5) parikan, dan (6) nglulu. Kecuali bentuk nglulu, lima bentuk tutur tak langsung yang lain berfungsi memper-santun tuturan.

(33)

1. Pendahuluan

Salah satu hal yang sering diprihatinkan generasi tua saat ini ialah perilaku generasi muda yang dianggap menyimpang dari nilai kearifan lokal. Pada masyarakat Jawa, salah satu wujud penyimpang-an itu—seperti dipaparkpenyimpang-an dalam makalah salah satu pemenpenyimpang-ang Lomba Esai Remaja Tahun 2011, Balai Bahasa Yogyakarta, Mamlu Atul Karimah—ialah menghilangnya tradisi sapa dan salam dalam kehidupan sehari-hari. Contoh lain, yang justru lazim dikemukakan, ialah ketakmampuan generasi muda untuk menggunakan krama seba-gai bentuk hormat. Ketakmampuan itu, di antaranya, terlihat pada penggunaan kata mriksani ‘melihat’ yang ditujukan bagi diri penutur, seperti pada contoh berikut.

(1) Menawi mekaten, Pak; kula takmriksani papanipun rumiyin. Sasam-punipun, kula nembe wantun ngawis.

‘Jika begitu, Pak, saya melihat dulu tempatnya. Sesudahnya, baru saya berani menawar.’

Pada contoh (1), berdasarkan penggunaan sapaan Pak ‘Pak, Ba-pak’ dan bentuk krama yang lain, dapat diketahui bahwa O1 berstatus sosial lebih “rendah” daripada O2. Dengan demikian, kata-kata yang digunakan O1 seharusnya tak berunsur krama inggil. Penggunaan ben-tuk krama inggilmriksani ‘melihat’ seharusnya diganti bentuk krama ningali ‘melihat’.

Seperti halnya pengabaian terhadap sapa dan salam, pembicara-an mengenai merosotnya penerappembicara-an nilai-nilai kearifpembicara-an lokal dalam percakapan sehari-hari juga jarang dikaitkan dengan ketakakraban generasi muda terhadap penggunaan “tutur tak langsung”, seperti paribasan, tuturan tak literal, atau parikan ‘pantun Jawa’. Padahal, seperti disebutkan Brown dan Levinson (1978), untuk mewujudkan percakapan yang kooperatif, setiap peserta tutur harus dapat me-manfaatkan “parameter pragmatik” (yang tak selalu identik dengan krama) secara tepat. Oleh sebab itu, pembicaraan ini membahas bentuk-bentuk tutur tak langsung dalam bahasa Jawa.

(34)

(band. Grice, 1975; lih. Brown dan George Yule, 1996:31, 58—67). De-ngan demikian, tuturan seperti pada contoh (2) berikut dapat dipa-hami sebagai sekadar pemberitahuan waktu atau justru penanda mak-sud yang lain, yang sebenarnya lebih inti. Hal itu bergantung pada kebiasaan yang berlaku.

(2) A1: “Koran sing anyar neng ndi, Sung?pitakone Bapak. “Koran yang baru di mana, Sung?” tanya ayah.”

Jika jawaban berupa, “Teng ngarep, Pak. Teng meja tamu” ‘“Di depan, Pak. Di meja tamu”’, tuturan A1 dipahami sebagai tuturan tak ber-implikatur. Sebaliknya, jika jawaban berupa, “Sekedhap, kula pen-dhetaken, Pak”“Sebentar, saya ambilkan, Pak”, tuturan A1 dipahami sebagai tuturan tak langsung dengan implikatur berupa perintah untuk mencarikan koran terbaru.

Untuk teori kedua, dalam kaitan dengan parameter pragmatik, setiap peserta tutur akan memahami bahwa pertuturan bukanlah semata peristiwa tekstual, melainkan juga peristiwa interaksional. Oleh karena itu, setiap peserta tutur akan menyikapi citra diri yang ditawarkan lawan tutur. Dalam hubungan itu, sikap terbaik dapat diwujudkan dengan menempatkan citra mitra tutur sesuai dengan, misalnya, status atau topik interaksi melalui penggunan kata maupun laras yang tepat (band. Brown dan Levinson, 1978). Secara parameter pragmatik, tuturan (3) berikut tergolong baik jika ditujukan kepada teman dalam situasi yang wajar.

(3) “Wah, pas ra isa. Montore taknggo ngeterke anakku sekolah je.” “Wah, kebetulan tidak bisa. Motor kugunakan mengantarkan anak ke sekolah.”

Namun, tuturan yang sama tergolong tak baik jika ditujukan kepada teman dalam situasi untuk segera dapat mengantarkan seseorang ke rumah sakit. Pada situasi yang seperti itu, penutur dapat memilih tuturan seperti (4) berikut.

(4) “Wah, piye ya. Montore taknggo ngeterke anakku sekolah je.” “Wah, bagaimana ya. Motor kugunakan mengantarkan anak ke sekolah.”

(35)

As-pek-aspek itu, secara terperinci, meliputi butir-butir yang lazim dise-but situasi tutur (lih. Wijana, 1996:10—13).

Kajian ini memanfaatkan data yang diambil dari sumber lisan maupun tulis. Sumber lisan ialah tuturan yang terjadi di lingkungan penulis, termasuk tuturan penulis sejauh sudah diujikan ke penutur lain. Sumber tulis berupa majalah, novel, dan buku berbahasa Jawa, termasuk hasil-hasil penelitian yang relevan. Pada novel dan cerpen, data diambil dari bagian yang berupa dialog.

2. Macam Tuturan Tak Langsung dalam Bahasa Jawa

Menurut Grice (1975; lih. juga Setiyanto dkk., 2002:6—8), dalam peristiwa komunikasi, maksud sebuah tuturan dapat diwujudkan da-lam dua cara, yaitu “terlisankan” (said) dan “tersirat” (impicated). Pe-nyampaian secara tersirat terperinci ke dalam empat cara, yaitu (1) “konvensional” (conventionally), (2) “(tak konvensional) noncakapan” ((non-conventionally) non-conversationally), (3) “(cakapan) lazim” (( con-versationally) generally), dan (4) “((cakapan) khusus” ((conversationally) particularly). Dalam bentuk diagram, cara-cara pengungkapan itu da-pat digambarkan sebagai berikut.

meant-nn

said implicated

conventionally non-conventionally

non-conversationally conversationally

generally particularly

(36)

2.1 Bentuk Peribahasa

Peribahasa adalah satu ungkapan kebahasaan yang pendek, pa-dat dan berisi pernyataan, pendapat, atau satu kebenaran umum (Tri-yono dkk., 1988:3). Pengertian peribahasa itu mencakup pengertian bentuk-bentuk yang dalam bahasa Jawa disebut saloka, bebasan, paribasan, pepindhan, sanepa, dan isbat. Sebagai ungkapan yang padat, peribahasa dalam bahasa Jawa mencerminkan pemahaman maupun sikap manusia Jawa terhadap lingkungannya dan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Sebagai satu pegangan hidup, nilai-nilai itu lazimnya diungkapkan secara tidak langsung dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan.

(5) Kebentus ing tawang; kesandhung ing rata

‘Terbentur di langit, tersandung di tanah yang rata’ ‘Mendapat celaka karena sesuatu yang remeh’

(6) Kebo kaboten sungu ‘Kerbau terberati tanduk’

‘Sengsara karena pengeluaran yang melebihi pendapatan’

(7) Golek geni adedamar ‘Mencari api berpelita’

‘Mencari ilmu harus dengan berbekal ilmu’

(37)

2.2 Bentuk Tindak Tutur Tak Langsung

Tindak tutur tak langsung adalah tindak tutur dengan modus (penanda maksud) yang tidak sesuai dengan maksud yang sesung-guhnya. Jadi, penggunaan modus tak bersifat konvensional. Misalnya, modus tanya, tetapi dimaksudkan untuk memberi perintah (lihat. Setiyanto, 2006:62—65). Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa dalam bahasa Jawa ketakkonvensionalan penggunaan modus terjadi pada penggunaan modus berita dan tanya yang dimaksudkan untuk memberi perintah. Contoh untuk itu dapat dilihat pada tuturan berikut.

(8) A: “Mas, sesuk aku latihan nyanyi tekan bengi je, sambate adhiku wedok. B: “Ra sah kuwatir. Sesuk takpethuk! Jam 10 ta?”

‘A: “Mas, besok saya latihan nyanyi sampai malam,” keluh adikku perempuan.

B: “Jangan khawatir. Besok saya jemput! Jam 10 kan?”’

(9) A: “Iki wis meh jam wolu. Ngapa kok Bambang ro Yitna rung ketok?” B: “Ya wis, taksusule. Kowe ro liyane nunggu kene wae!”

‘A: “Ini sudah hampir jam delapan. Mengapa Bambang dan Yitna belum terlihat?”

B: “Ya sudah, saya susulnya. Kamu dan yang lain menunggu di sini saja!”’

Pada contoh (8) sifat ketaklangsungan terlihat pada penggunaan modus berita, tetapi dimaksudkan untuk memerintah. Adanya im-plikatur perintah, yaitu perintah agar A dijemput, dipahami oleh B. Pemahaman itu didasarkan pada pengetahuan bahwa anak perem-puan yang bepergian sendiri pada jam-jam itu akan dinilai tidak pantas. Sebaliknya, untuk contoh (8) sifat ketaklangsungan terlihat pada penggunaan modus tanya yang dimaksudkan untuk memberi perintah. Adanya implikatur perintah itu, yaitu agar Bambang dan Yitno dijemput, dipahami oleh B. Pemahaman itu, di antaranya, di-sebabkan dengan disebutkannya waktu yang sudah hampir menunjuk pukul 8.

2.3 Bentuk Tindak Tutur Tak Literal

(38)

(10) A1: “Ya, jelas wareg. Wong wit esuk wis ngomba-ngombe.”

B1: “Oalah Le, mbok mau ki ya jajan-jajan! Kana saiki mangan dhisik!” A2: “Lawuhe ya wis mateng ta, Mbok??

‘A1: “Ya, jelas kenyang. Sejak pagi sudah minum terus kok.” B1: “Ya ampun Nak, harusnya tadi singgah ke warung! Sana

sekarang makan dulu!”

A2: “Lauknya juga sudah ada kan, Mbok?”’

(11) A1: “Aja diombe lho wedange!

B1: “Wah, kepeneran. Pas ngelak-ngelake je. Nek ana, joge sisan!” A2: “Beres.”

‘A1: “Jangan diminum ya minumannya!”

B1: “Wah, kebetulan. Ini sedang haus-hausnya. Kalau ada, yang untuk nambah sekalian!”

A2: “Siap.”’

Pada (10) sifat ketaklangsungan terlihat pada penyebutan ngomba-ngombe ‘berulang minum’ sebagai penyebab wareg ‘kenyang’. Padahal, seperti diketahui, penyebab kenyang ialah makan, bukan minum. Bahwa A sebetulnya lapar terbukti dengan kesediaannya untuk segera makan melalui tuturan Lawuhe ya wis mateng ta, Mbok ‘Lauknya juga sudah ada kan, Mbok?’. Untuk (11) sifat ketaklang-sungan terlihat pada penggunaan bentuk larangan aja diombe ‘jangan diminum’ yang justru dimaksudkan untuk mempersilakan B minum. Bahwa bentuk larangan itu justru dimaksudkan untuk mempersilakan minum diperkuat dengan kesediaan A untuk menyiapkan tambahan minuman jika yang disuguhkan habis.

2.4 Bentuk Wangsalan

(39)

Bentuk Jawaban Kata lain Maksud

teka-teki teka-teki yang mirip wangsalan

Berdasarkan rumusan tersebut, proses pemahaman wangsalan njangan gori, njenang gula, dan njanur gunung dapat digambarkan sebagai berikut.

njangan gori nggudheg mbudheg

‘memasak nangka muda memasak nangka muda tidak mau mendengarkan’ ‘tidak mau mendengarkan, pura-pura tidak mendengar’

njenang gula ngglali nglali

‘memasak gula memasak gula pura-pura lupa’ ‘berpura-pura lupa’

janur gunung (janur)aren kadingaren ‘janur gunung (janur) nira tumben ‘ ‘tumben, tidak biasanya’

Pemakaian tiga wangsalan tersebut dapat lihat pada tuturan (12)— (14) berikut.

(12) “Dadi bocah kuwi, yen dikandhani mbok aja njangan gori!”

‘“Jadi anak itu, kalau dinasihati jangan berpura-pura tidak men-dengar!”’

(13) “Aja nganti njenang gula ya, Mas! Kabeh prasetyamu estu takantu-antu.”

‘“Jangan sampai berpura-pura lupa ya, Mas! Semua janjimu sung-guh kutunggu-tunggu.”’

(14) “Mangga, mangga, pinarak Ndara! Njanur gunung rawuhipun. Mugi sanes deduka ingkang badhe kula tampa,” gruwalan Pak Ranu mapak rawuhe bendarane.

‘“Silakan, silakan, Tuanku! Tidak biasanya, Tuan berkenan sing-gah. Semoga bukan amarah yang akan saya terima,” gugup Pak Ranu menerima kedatangan tuannya.’

(40)

(15) Roning mlinjo, sampun sayah nyuwun ngaso roning mlinjo so ngaso

sampun sayah nyuwun ngaso ‘Sudah lelah memohon istirahat.’

(16) Bebek rawa, yen uwis enggal mrenea bebek rawa mliwisuwis yen uwis enggal mrenea

‘Jika sudah, segeralah kemari.’

(17) Balung klapa, ethok-ethok ora priksa balung klapabathokethok-ethok ethok-ethok ora priksa

‘Pura-pura tidak tahu.’

Pada bentuk pengulangan pola tema-rema, wangsalan tersusun dari dua pola tema-rema. Pada pola pertama, unsur tema maupun rema berisi teka-teki. Pada pola kedua, unsur tema berupa “pengem-bangan” atas jawaban dari teka-teki tema pola pertama; unsur rema berupa pengembangan atas jawaban dari teka-teki rema pola pertama. Sebagai isi pola kedua, gabungan pengembangan atas dua jawaban itu berfungsi mengungkapkan makna ungkapan secara keseluruhan.

(18) Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra.

carang wreksa pang, tanpa patramatiurip Nora gampang, wong urip ing ngalam donya. ‘Tidak mudah, orang hidup di dunia.’

(19) Kroncong asta, pithing alit welut wana. kroncong astagelang, welut wana ula Ja sumelang, cah ayu sun lela-lela.

‘Jangan khawatir, hanya engkau selalu akan kurindu.’

(20) Wrangka dewa, dewa bagus lir Arjuna.

wrangka dewaNarada, dewa lir Arjuna Kamajaya Culing sabda, karyenak tyasing sasama.

‘Setiap sabda hendaknya menyenangkan semua orang.’

2.5 Bentuk Parikan

(41)

sama; selalu bervokal akhir secara berselang sama; dua penggalan pertama sebagai sampiran, dua penggalan terakhir sebagai isi. Bentuk parikan identik dengan bentuk pantun dalam bahasa Indonesia (band. Padmosoekotjo, 1960:16—19; Sublidinata, 1994:35—39). Pada bentuk parikan ciri ketaklangsungan tuturan terwujud melalui pengurutan informasi yang tidak menempatkan maksud tuturan (tujuan) pada posisi awal.

Contoh parikan dengan jumlah suku sama pada setiap penggalan, yaitu empat suku dapat dilihat pada data (21)—(23) berikut. Parikan jenis ini selalu memperlihatkan bunyi vokal akhir sama secara ber-selang.

(21) Wajik klethik, gula jawa. Luwih becik, sing prasaja. ‘Wajik kletik, gula jawa. Lebih baik, bersahaja.’

(22) Wadah lenga, gendhul kopi. Golek kanca, ngati-ati.

‘Tempat minyak, botol kopi. Cari teman, hati-hati.’

(23) Abang-abang, ora legi.

Mampang-mampang, jebul wedi. ‘Merah-merah, tidak manis. Merah padam, tidak berani.’

Contoh parikan dengan jumlah suku sama secara berselang dapat dilihat pada (24)— (26) berikut. Berbeda dengan parikan yang selalu berjumlah suku sama, pada yang berjumlah suku tidak sama vokal akhir setiap penggalan selalu sama.

(24) Kembang aren, sumebar tepining kalen. Aja dahwen, yen kowe kepengin kajen. ‘Bunga nira, di tepian parit.

Jangan cerewet, jika ingin dihormati.’

(25) Kembang mlathi, warna peni ngganda wangi. Watak putri, kudu gemi lan nastiti.

(42)

(26) Cengkir wungu, wungune ketiban daru. Watak guru, kudu sabar momot mengku.

‘Buah muda dari siwalan, ungunya ungu karena daru. Sudah sifat guru, harus sabar merengkuh dan mendidik.’

2.6 Bentuk Nglulu

Nglulu adalah bentuk tutur dengan tujuan untuk melarang, tetapi diwujudkan dalam bentuk perintah untuk melaksanakan. Secara lite-ral, bentuk nglulu mirip dengan tindak tutur tak literal. Keduanya menggunakan kata untuk maksud yang berkebalikan dengan makna kata-katanya. Perbedaan terlihat pada maksud pertuturan. Pada nglulu maksud pertuturan selalu untuk melarang. Perbedaan yang lain, nglu-lu selalu diakhiri dengan pernyataan mengenai bentuk kerugian jika perintah benar-benar dilaksanakan. Ciri lain, secara prosodi nglulu cenderung diucapkan dengan intonasi dan sikap marah atau tidak ikhlas.

Sepengetahuan penulis bentuk nglulu merupakan bentuk yang hanya ditemukan dalam bahasa Jawa. Selain itu, nglulu juga menjadi fenomena kebahasaan yang jarang (untuk tidak menyebut belum per-nah) dikaji. Berikut beberapa contoh bentuk nglulu.

(27) “Ya wis, kana mangkata! Ning, aku ra nanggung nek Bapak duka marga montore kokgawa!” ngendikane ibu marang kamasku sing pancen angel kandhan-kandhanane.

‘“Ya sudah, sana berangkatlah! Tapi, saya tak bertanggung jawab jika Bapak marah karena motornya kaubawa!” kata ibu kepada kakakku yang memang sulit dinasihati.’

(28) A1: “Njajana, kana royala mumpung bar oleh dhuwit! Mung, aja pisan-pisan sambat yen dhuwitmu cepet entek!”

B1: “Ora kok, Mas. Aku arep nggarap tugas. Dhuwite taksinggahke neng lemari!”

A2: “Tenan lho, ya!

B2: “Hayo tenan no, Mas. Aku wis kapok kok!

‘A1: “Makan-makanlah, sana berboros-boroslah kan kebetulan habis dapat uang! Hanya, jangan sekali-kali mengeluh jika uangmu segera habis!”

B1: “Tidak kok, Mas. Saya akan mengerjakan Tugas. Uangnya saya simpan di lemari!”

A2: “Kamu sungguh-sungguh kan?”

(43)

(29) A: “Panganen! Ayo, ndang entekna nek kowe tegel krungu Adhimu gero-gero merga ra keduman oleh-olehe Budhene!

B: “Ora, Bu. Aku mung siji meneh kok. Kae isih ana pitu.”

‘A: “Makanlah! Ayo, segera habiskan saja kalau kautega mende-ngar Adikmu meraung-raung karena tidak bisa ikut menik-mati oleh-oleh dari Budhe-nya!”

B: “Tidak Bu. Hanya satu lagi saja. Itu masih ada tujuh.”’

Pada tiga contoh terakhir, makna perintah terlihat pada bentuk kana mangkata ‘sana berangkatlah’ (contoh (27)); njajana, kana royala ‘makan-makanlah, sana berboros-boroslah’ (contoh (28)); dan pa-nganen! ... ndang entekna ‘makanlah! ... segera habiskan saja’ (contoh (29)). Secara ketatabahasaan, makna perintah itu ditandai dengan kata kana/ndang ‘sana/segeralah’ dan akhiran -a atau –en.

3. Tuturan Tak Langsung dalam Bahasa Jawa sebagai Bentuk Kearifan Lokal

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang sangat menjun-jung dua prinsip kebermasyarakatan, yaitu kerukunan dan kesopanan (Magniz Suseno, 1984:42; Gunarwan, 2003:42; dan lih. Nadar, 2009:130—dst.). Dengan prinsip kerukunan, orang Jawa akan selalu berusaha menghindari konflik demi tetap terjaganya keharmonisan. Dengan pandangan itu, bagi orang Jawa, keharmonisan adalah segala-galanya. Sebaliknya, dengan prinsip kesopanan, orang Jawa akan se-lalu berusaha menempatkan orang lain (termasuk yang baru saja dike-nal) setidaknya pada posisi yang setara dengan dirinya.

(44)

Secara umum, penggunaan krama sebagai pemelihara prinsip ke-rukunan dan kesopanan dalam masyarakat Jawa memang memadai. Namun, pada kasus tertentu, seperti pada (30) berikut yang ditujukan kepada pembantu, penggunaan bentuk krama justru akan dirasa tidak tepat.

(30) “Yem, kamar ngajeng punsapu riyin nggih.” ‘“Yem, kamar depan disapu dulu ya.”’

Tuturan (30) dirasa tidak mengenakkan karena pekerjaan mem-bersih-bersihkan memang sudah merupakan tugas O2 sebagai pem-bantu. Penggunaan krama pada kasus itu justru akan dipahami ejekan karena tidak sesuai dengan citra “muka” seorang pembantu. Tuturan itu akan lebih mengena jika dalam bentuk ngoko seperti pada (31) atau dalam bentuk tutur tak langsung seperti pada (32).

(31) “Yem, kamar ngarep disapu dhisik ya!” ‘“Yem, kamar depan disapu dulu ya!”’ (32) “Yem, kamar ngarep isih reged lho!

‘“Yem, kamar depan masih kotor lho!”’

Berdasarkan contoh (30), berikut coba dikaji mengenai kemung-kinan penggunaan enam bentuk tutur tak langsung sebagai bentuk lain dari kesantunan bahasa Jawa. Kajian ini memanfaatkan “para-meter pragmatik” sebagai alat ukur. Pengukuran dilakukan dengan melihat terancam tidaknya “muka”, baik muka positif maupun muka negatif, peserta tutur jika pertuturan menggunakan bentuk tutur tak langsung (lih. Wijana, 1966 dan Nadar, 2009:32—50). Penentuan teran-cam tidaknya muka peserta tutur memanfaatkan pada parameter yang diajukan Brown dan Levinson (1987 dan lih. Nadar, 2009:33—35). Ber-dasarkan pengukuran itu dapat diajukan dugaan sebagai berikut.

(45)

(31a)Bener kuwi, wajik klethik, gula jawa; luwih becik, sing prasaja. ‘Betul itu, wajik kletik, gula jawa; lebih baik, bersahaja.’

(31b) Bener kuwi, kowe ki prasaja wae. ‘Betul itu, kamu itu bersahaja sajalah.’

(32a) “Yen ngono, kowe ki kena diarani kebentus ing tawang, kesandhung ing rata.”

‘“Jika begitu, kamu dapat disebut mendapat celaka karena se-suatu yang remeh.”’

(32b) “Yen ngono, kowe ki kena diarani sembrono.” ‘“Jika begitu, kamu dapat disebut ceroboh.”’

Tuturan (31a) bermakna perintah. Namun, makna perintah itu terkaburkan karena disampaikan sebagai sebuah ketentuan sosial yang berlaku secara umum. Dengan demikian, pengungkapannya menjadi tidak bersifat mengancam muka negatif lawan tutur. Demikian juga dengan (32a). Contoh (32a) sebenarnya bermakna mempermalukan. Namun, karena pemahamannya tidak diperoleh secara serta merta, afeksinya pun menjadi terkaburkan. Dengan demikian, bentuk peng-ungkapan itu juga tidak bersifat mengancam muka positif mitra tutur. Berbeda dengan dua contoh tadi, contoh (31b) dan (32b) memang bersifat mengancam muka lawan tutur. Contoh (31b) mengancam muka negatif lawan tutur karena bermakna perintah. Contoh (32b) mengancam muka positif lawan tutur karena bermakna memperma-lukan lawan tutur.

Contoh tindak tutur tak langsung dan parikan, jika dibandingkan dengan bentuk tutur langsungnya, dapat dilihat pada data (33a/b) dan (34a/b) berikut.

(33a) A: “Printerku neng ndi ya? Aku taknganggo dhilit.” B: “Lagi takjilih, Mas. Dhilit engkas takulihke.

‘A: “Printer saya di mana ya? Saya ingin menggunakan sebentar.” B: “Baru saya pinjam, Mas. Sebentar saya kembalikan.”’

(33b) A: “Printerku ndang diulihke! Aku taknganggo dhilit.” B: “Lagi takjilih, Mas. Dhilit engkas takulihke.

‘A: “Segera kembalikan printer saya! Saya ingin menggunakan sebentar.”

(46)

(34a) “Dadi bocah kuwi, yen dikandhani mbok aja njangan gori!”

‘“Jadi anak itu, kalau dinasihati jangan berpura-pura tidak men-dengar!”’

(34b) “Dadi bocah kuwi, yen dikandhani mbok aja mbudheg!”

‘“Jadi anak itu, kalau dinasihati jangan berpura-pura tidak men-dengar!”’

Meskipun secara umum penggunaan peribahasa, tindak tutur tak langsung, wangsalan, dan parikan bersifat tidak mengancam muka lawan tutur; pada beberapa kasus ditemukan hal sebaliknya. Adanya makna ancaman itu terasakan karen pilihan kata dan nilai emotifnya yang memang bertujuan untuk menyangatkan. Contoh untuk itu dapat dilihat pada (35) dan (36) berikut.

(35) “Kerigna sakcindil abangmu! Ora bakal aku colong glanggang ting-gal playu.

‘“Kerahkan seluruh sanak saudaramu! Tidak akan saya melari-kan diri.”’

(36) “Heh, duwea tata krama. Elingana sapa sira, sapa ingsun!” ‘“Heh, punyalah sopan santun. Ingatlah saya yang berkuasa, se-dang kamu hanyalah orang biasa!”’

Secara kemaknaan tuturan (35) setidaknya bermakna tantangan. Oleh sebab itu, tuturan (35) bersifat mengancam muka negatif lawan tutur. Sebaliknya, contoh (36) secara kemaknaan bermakna penghina-an. Dengan demikian, tuturan (36) bersifat mengancam muka positif lawan tutur.

Dugaan kedua berkenaan dengan penggunaan bentuk tak literal. Penggunaan bentuk ini ada pada tataran peralihan. Bersifat mengan-cam muka atau tidak, hal itu setidaknya sangat dipengaruhi oleh akrab tidaknya hubungan di antara peserta tutur. Dengan kata lain, sejauh digunakan di antara peserta tutur yang sudah akrab, penggunaannya bersifat tidak mengancam. Contoh penggunaan tuturan tak literal pa-da dua kelompok partisipan yang berkebalikan pa-dapat dilihat papa-da (37a) dan (38b) berikut.

(47)

B1: “Biarkan saja. Jangan diambili dengan tongkat!” A1: “Kalau begitu, saya panjat saja.”’

(37b) A1: “Mas, peleme mateng-mateng lho!

B1: “Ben, nengke mawon, Pak. Ampun digetheli!” A2: “Apa aku kaya maling pelem, Mas?

‘A1: “Mas, mangganya masak-masak!”

B1: “Biarkan saja. Jangan diambili dengan tongkat!” A2: “Apa saya seperti pencuri mangga, Mas?”’

Penggunaan tutur tak literal pada (37a), yaitu di antara peserta tutur yang sudah akrab, tidak menimbulkan salah paham. Oleh sebab itu, penggunaannya tidak bersifat mengancam muka. Sebaliknya, pa-da (37b), yaitu di antara peserta tutur yang belum akrab, penggunaan-nya menimbulkan salah paham. Kesalahpahaman tecermin melalui bentuk tuturan A2 yang mencerminkan ketersinggungan. Bagi A (yang tidak akrab dengan B), tuturan B1 dapat dipahami sebagai se-buah penghinaan. Oleh sebab itu, penggunaan seperti pada (37b) ber-sifat mengancam muka: muka negatif jika dipahami sebagai peringatan; muka positif jika dipahami sebagai penghinaan.

Dugaan ketiga berkenaan dengan penggunaan bentuk nglulu. Penggunaan bentuk ini secara umum bersifat mengancam muka. Hal itu disebabkan oleh bentuk tuturan yang selalu perintah, selalu diikuti ancaman, dan mengungkapkan sikap ketaksetujuan. Berdasarkan sifat tuturan yang seperti itu, ancaman yang terjadi akan berupa ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif lawan tutur. Ancaman muka negatif berkenaan dengan maknanya yang selalu perintah di samping selalu bersifat mengancam. Ancaman terhadap muka positif berkenaan dengan maksud tuturan yang selalu berupa ketidaksetuju-an. Mungkin karena fakta itu, tuturan nglulu menjadi tuturan yang tidak produktif. Berikut satu contoh lain untuk bentuk nglulu.

(38) “Pecahi, pecahi kabeh wae! Sisan le ben ra duwe piring, ra duwe gelas. Le ra duwe apa-apa!”

‘“Pecahi, pecahi saja semuanya! Biarlah sekalian tidak punya piring, tidak punya gelas. Sekalian tidak punya apa-apa!”’

4. Penutup

(48)

tak langsung dengan berbagai variasi perwujudannya dapat dikatego-rikan sebagai strategi kesantunan yang lain. Berdasarkan kajian tadi, diketahui bahwa dalam bahasa Jawa dikenal enam bentuk tutur tak langsung, yaitu (1) peribahasa, (2) tindak tutur tak langsung, (3) tindak tutur tak literal, (4) wangsalan, (5) parikan, dan (6) nglulu. Sepengetahu-an penulis, bentuk wangsalan dan nglulu merupakan bentuk yang ha-nya ditemukan pada bahasa Jawa.

Jika dikaitkan dengan fungsi sebagai pengungkap nilai-nilai ke-arifan lokal, keenam bentuk tutur tak langsung itu memperlihatkan fungsi yang tak selalu sama. Bentuk peribahasa, tindak tutur tak lang-sung, tindak tutur tak literal, wangsalan, dan parikan mencerminkan bagaimana kearifan lokal mengelola sebuah pesan yang, secara para-meter pragmatik, bersifat mengancam muka menjadi santun, setidak-nya netral. Fungsi yang berbeda terdapat pada bentuk nglulu. Sebagai bentuk tutur dengan modus yang berupa imperatif, bentuk nglulu menghasilkan tutur yang tak santun. Oleh sebab itu, bentuk nglulu hanya digunakan oleh pemegang “kuasa” terhadap bawahan. Mi-salnya, orang tua kepada anaknya atau atasan kepada bawahan. Bentuk nglulu menggambarkan bagaimana orang Jawa mengekspresi-kan puncak emosinya secara verbal.

Adanya enam bentuk tutur tak langsung dalam bahasa Jawa me-ngukuhkan adanya anggapan bahwa masyarakat Jawa secara umum merupakan masyarakat yang mengedepankan keharmonisan (lih. Nadar, 2009:130). Bagi orang Jawa, bentuk-bentuk tutur tak langsung merupakan solusi ketika mereka harus mengungkapkan sesuatu yang secara kesantunan potensial melanggar muka. Dengan tutur tak lang-sung pengertian-pengertian yang secara maksud melanggar kesantun-an akkesantun-an “terbingkai”.

(49)

Daftar Pustaka

Brown, P. dan Stephen Levinson. 1978. Universal in Language Usage:Politeness pehenomena. Dalam E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Terj. I. Soetikno. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam Syntax and Semantics, Speech Act, 3. New York: Academic Press.

Gunarwan, Asim. 2003. “Realisasi Tindak Tutur Pengancam Muka di Kalangan Orang Jawa: Cermin Nilai Budaya?” dalam Sang Pembayun: The Steel Magnolia as a Frontier Woman. Semarang: Fakultas Sastra Undip.

Levinson, Stephen J. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.

Leech, G.N. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman. Magniz-Suseno, franz. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang

Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Padmosoekotjo, S. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jilid I dan II. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.

Setiyanto, Edi dkk. 2002. “Inferensi dalam Wacana Bahasa Jawa”. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Setiyanto, Edi. 2006. Pasangan Tutur dalam Wacana Dialog Bahasa Jawa. Yogyakarta: Jentera Intermedia.

________. 2012. “Ketaksantunan dalam Laman Berita Yahoo Indonesia: Studi Kasus pada Kolom Komentar”. Makalah pada Seminar Bahasa dan Sastra 2012 yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta,pada 12—13 September 2012. Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan

Pustaka Nusatama.

Triyono, Adi dkk. 1988. Peribahasa dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(50)

KEBERADAAN SASTRA

DALAM MAJALAH

GADJAH MADA

TAHUN

1950—1960-AN

Tirto Suwondo

Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Inti Sari

Artikel ini secara khusus mengkaji keberadaan sastra dalam majalah Gadjah Mada tahun 1950—1960-an. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra model Escarpit. Dari kajian sosiologis itu terbukti bahwa keberadaan karya sastra dalam Gadjah Mada memiliki kontribusi yang cukup besar bagi per-tumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogyakar-ta. Kontribusi itu terwujud melalui tampilnya berbagai karya sastra (puisi, cerpen, dan esai atau kritik) dalam rubrik seni dan budaya dalam setiap penerbitannya. Kenyataan demiki-an membuktikdemiki-an pula bahwa karya sastra dalam majalah Ga-djah Mada tidak dapat diabaikan dalam setiap pembicaraan (penyusunan) sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta.

Kata kunci: majalah Gadjah Mada, sosiologi sastra, kontribusi, sejarah sastra.

1. Latar Belakang

Gambar

TABEL 2. KLASIFIKASI TIPE BAGIAN ISI KTIS
Gambar bercerita dan komik di bawah ini memperlihatkan ideolgi
Tabel 1: Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa
Tabel 2: Profil kelas sebelum dan sesudah tindakan siklus I
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pembentukan garis-garis cevian pada segitiga sama sisi dilakukan dengan menggunakan titik singgung incircle terhadap sisi-sisi segitiga tersebut, dan menggunakan

Dengan metode deskripsi komparatif, penulis mencoba membandingkan konsep dan metode internalisasi Islam dalam kehidupan pada masa Rasulullah saw (MR) dan masa kini (MK).. Pada

Mekanisme Polda Jatim dalam penindakan terhadap kasus tindak pidana penipuan online cashback di Tokopedia cenderung sama dengan SOP penyidikan pada umumnya, namun untuk kasus

Secara garis besar, informasi yang terdapat pada Sistem Informasi Hidrologi-Daerah Aliran Sungai (SIH-DAS) yang nantinya akan dikembangkan ini terbagi atas

Lingkaran Dalam adalah Lingkaran yang dibuat didalam segitiga sedemikian sehingga sisi-sisi segitiga merupakan garis singgung pada. lingkaran (segitiga itu merupakan segitiga

1) Mampu melihat jauh kedepan yaitu selalu melakukan yang terbaik pada masa kini, sambil membayangkan masa depan yang lebih baik. Seorang wirausaha cenderung

Masyarakat yang ingin menanam cendana secara murni dinilai pola pikirannya sudah lebih maju, sudah mengarah pada nilai ekonomi di masa depan dan mereka sadar bahwa penanaman

Sementara itu, teknik kesepadanan lazim juga diterapkan pada seluruh jenis varian teknik penerjemahan dalam novel penerbit Qanita dengan total sama seperti