• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat

Bagian IV Analisis Kesesuaian SVLK dalam

4.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua

4.1.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat

Standard Penilaian Kinerja PHL dan VLK yang berlaku saat ini memiliki kecenderungan hanya mengacu pada kebijakan pengelolaan hutan nasional. Berdasarkan analisis kesesuaian, jika kebijakan tersebut akan dilaksanakan di Provinsi Papua tentunya akan menimbulkan beberapa implikasi dan masalah yang serius. Permasalahan pokok yang menjadi temuan adalah tidak tersedianya standar penilaian dan/atau verifikasi yang mengakomodir model pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Papua yang dijamin legalitasnya oleh Perdasus.45 Saat ini SVLK hanya mengakomodir 3 model pengelolaan hutan oleh masyarakat yaitu HKm, HTR dan Hutan Desa. Pertanyaannya adalah standar penilaian dan verifikasi yang mana yang akan

45 Selengkapnya mengenai model-model pengelolaan hutan oleh masyarakat di Provinsi Papua telah dijelaskan pada Bagian III

dipergunakan untuk IUPHH-HTRMHA, IUPHHK-MHA, dan IUIPHHK Rakyat? Jelasnya mengenai perbandingan model ini dapat dilihat di Tabel 7 dan 8 pada Bagian III.

Apabila penyesuaian terhadap model pemanfaatan hutan di Papua tidak dilakukan, maka ke depan kita akan berhadapan pada masalah berikutnya yaitu ketidaksesuaian sejumlah kriteria, indikator dan verifier. Beberapa ketidaksesuaian kriteria dan indikator penilaian/verifikasi dengan kekhususan Papua ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 11

Analisis Kesesuaian SVLK pada

Hutan Negara yang Dikelola Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan

Kriteria Indikator Analisis Kesesuaian

Prinsip 1

Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan Kriteria 1.1 Areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi Indikator 1.1.1

Pemegang izin mampu menunjukkan keabsahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Secara normatif kriteria dan indikator ini bisa diimplementasikan pada pemanfaatan hutan IUIPHHK-MHA.

Ketidaksesuaian justru terletak pada referensi peraturan/ kebijakan yang berkaitan dengan kriteria ini. Sejumlah ketidak sesuaian tersebut antara lain:

1. Bila mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P.50/Menhut-II/2010 areal yang dapat dimohonkan adalah

Kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin/hak

Untuk IUPHHK-HTI dan RE diutamakan pada hutan produksi yang tidak produktif

Sedangkan menurut Pergub Papua 13 Tahun 2010 pasal 3 ayat 4, selain pada kawasan hutan produksi tetap, ada beberapa lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi areal IUPHHK-MHA yaitu Hutan produksi yang dapat dikonversi, Kawasan Budidaya Non Kehutanan/Areal

Penggunaan Lain dan

Termasuk pada areal telah dibebani perizinan usaha pemanfaatan hutan kayu. Khusus untuk pada areal yang telah dibebani izin hanya dapat dilakukan melalui pola

kerjasama/kemitraan

2. Ketidaksesuaian yang kedua adalah berkaitan dengan proses pencadangan/penunjukan lokasi. Dalam kebijakan nasional,

pencadangan/penunjukan areal dilakukan oleh Menteri. Sedangkan dalam kebijakan Otsus pencadangan diterbitkan oleh Gubernur dengan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua berdasar pada usulan

3. Ketidaksesuaian yang ketiga adalah dalam hal pemberian/penerbitan ijin. Menurut P.50/Menhut-II/2010 ijin diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan rekomendasi dari Gubernur. Sedangkan menurut Pergub 13 Tahun 2010 ijin IUPHHK-MHA diterbitkan oleh Gubernur Papua dengan

rekomendasi dari Bupati/Walikota dan

pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua.

Sejumlah ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dengan lokal Papua seperti tersebut diatas

menimbulkan ketidakjelasan verifier. Sebagai contoh apakah ijin IUPHHK-MHA yang diterbitkan oleh Gubernur Papua dapat dikatakan memenuhi syarat keabsahan? Ketidakpastian hukum ini membingungkan berbagai pihak seperti auditor maupun unit manajemen

Prinsip 2

Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang Sah Kriteria 2.1. Pemegang izin memiliki rencana penebangan pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang Indikator 2.1.1 RKUPHHK/RPKH dan RKT disahkan oleh pejabat yang berwenang

Ada kesamaan antara kebijakan nasional dan lokal Papua dimana keduanya sama-sama mewajibkan para pemegang ijin untuk memiliki rencana penebangan yang tertuang dalam RKU ataupun RKT dan disahkan oleh petugas yang berwenang. Ketidaksesuaiannya terletak pada pejabat yang berwenang untuk mensahkan RKU dan RKT. Menurut Pergub 13 Tahun 2010, pasal 6: RKU IUPHHK-MHA disahkan oleh Kepala Dinas Provinsi dan RKT disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Sedangkan Menurut Permenhut 56 Tahun 2009, RKU disetujui oleh Menteri Kehutanan sedangkan RKT disetujui oleh Kepala Dinas Provinsi.

Indikator 2.2.1. Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku

Untuk indikator 2.2.1 analisisnya sama dengan indikator 2.1.1 Kriteria 2.2. Adanya rencana kerja yang sah Indikator 2.2.2

Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan

Indikator ini dapat diimplementasikan di Papua. Pasal 5 Pergub 13 Tahun 2010 menyebutkan salah satu kelengkapan administrasi dalam pengajuan IUPHHK adalah daftar peralatan kerja yang dipergunakan. Kemudian dalam pasal 13, penebangan pohon dilakukan secara manual dengan alat berupa kapak, gergaji tangan atau gergaji rantai tanpa peralatan berat. Mengenai ijin alat berat ini diatur secara khusus dalam Pergub 19 Tahun 2010.

Ketidaksesuaian terkait dengan perizinan

penggunaan alat terletak pada referensi peraturan yang dipergunakan. Jika mengacu pada Permenhut No: P.54/Menhut-II/2007, Permohonan Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan diajukan

oleh pemohon kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam Pergub Papua No 19 Tahun 2010 ijin diajukan pemohon kepada Gubunur cq. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan kepada Kepala Balai.

Prinsip 3:

Keabsahan Perdagangan atau Pemindahtanganan Kayu Bulat Indikator 3.1.1

Seluruh kayu bulat yang ditebang/dipanen atau dimanfaatkan telah di LHPkan.

Indikator 3.1.2 Seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan

Indikator 3.1.3

Pembuktian asal usul kayu bulat dari pemegang IUPHHK-HA/IUPHHK-HTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan Kriteria 3.1 Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK antara ke Industri Primer Hasil Hutan (IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik dan dokumen yang sah Indikator 3.1.4

Pemegang izin mampu membuktikan adanya catatan angkutan kayu ke luar TPK

Kriteria dan seluruh indikator yang ada sesuai dengan Pergub 13 Tahun 2010 khususnya pasal bagian keenam (penatausahaan hasil hutan) yang terdiri dari pasal 15 – 22.

Pada pasal 15 Pergub Tahun 2010 disebutkan bahwa penatausahaan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian tidak ada persoalan berkaitan dengan indikator ini.

Potensi persoalan ke depan terkait implementasi adalah menyangkut ketersediaan sumber daya manusia terkait dengan PUHH baik pada pemegang IUPHHK-MHA ataupun pada dinas kehutanan. Tenaga yang harus disiapkan meliput tenaga pengukuran dan penguji hasil hutan, pembuat LHP, pejabat pengesah LHP, petugas penerbit FAKO dll. Kriteria 3.2 Pemegang izin telah melunasi kewajiban pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu Indikator 3.2.1 Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR dan atau PSDH

Kriteria dan indikator ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Pergub 13 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa penyetoran iuran kehutanan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian tidak ada persoalan berkaitan dengan indikator ini.

Indikator 3.3.1 Pemegang izin yang mengirim kayu bulat antar pulau memiliki pengakuan sebagai pedagang kayu antar pulau terdaftar Kriteria 3.3 Pengangkutan dan perdagangan antar pulau Indikator 3.3.2

Pengangkutan kayu bulat yang menggunakan kapal harus kapal yang

berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah

Kriteria dan indikator ini tidak relevan karena berdasar Pergub 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu, yang

menyebutkan seluruh produksi kayu bulat wajib diolah di wilayah Provinsi Papua. Setiap pemegang IUPHHK/IPK wajib memiliki industri primer pengolahan hasil hutan kayu di wilayah provinsi papua dan atau bekerjasama dengan pemegang ijin industri primer yang ada di Provinsi Papua. Berkaitan dengan IUPHHK-MHA, setiap kayu bulat yang ditebang langsung diolah di dalam areal kerja IUPHHK. Dengan demikian pemegang IUPHHK wajib memiliki IUIPHHK yang diterbitkan oleh Gubernur.

Peraturan ini tidak sesuai dengan P.35/Menhut-II/2008 mengatur bahwa pemberian IUIPHHK di

dalam area IUPHHK apabila IUPHHK tersebut telah memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara mandatory dengan peringkat baik dan sangat baik dan atau

memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara voluntary.

Prinsip 4:

Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang Terkait dengan Penebangan Indikator 4.1.1

Pemegang izin telah memiliki Dokumen

AMDAL/DPPL/UKL-UPL meliputi Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Kelola

Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disahkan sesuai peraturan yang berlaku meliputi seluruh areal kerjanya.

Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup kegiatan kehutanan dengan luas dibawah 5000 ha tidak wajib Amdal. Dengan demikian ini tidak relevan. Kriteria 4.1 Pemegang izin telah memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)/ Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (DPPL)/ Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) & melaksanakan kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen lingkungan tersebut Indikator 4.1.2

Pemegang izin memiliki laporan pelaksanaan RKL dan RPL yang

menunjukkan penerapan tindakan untuk mengatasi dampak lingkungan dan menyediakan manfaat sosial.

Prinsip 5

Pemenuhan terhadap Peraturan Ketenagakerjaan Kriteria 5.1 Pemenuhan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) Indikator 5.1.1 Prosedur dan

implementasi K3 Kriteria dan indikator ini mungkin untuk dipenuhi

Indikator 5.2.1

Kebebasan berserikat bagi pekerja

Indikator 5.2.2

Adanya kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan Kriteria 5.2 Pemenuhan hak-hak tenaga kerja Indikator 5.2.3 Perusahaan tidak mempekerjakan anak di bawah umur

Kriteria dan indikator ini mungkin untuk dipenuhi karena tidak ada pertentangan dengan kekhususan Papua. Yang dibutuhkan adalah pendampingan.

Tabel 12

Analisis Kesesuaian SVLK pada

Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat (HTR, HKm, HD)

Kriteria Indikator Analisis Kesesuaian

Prinsip 1

Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan Kriteria 1. Areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi Indikator 1.1 Pemegang izin mampu menunjukkan keabsahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Kriteria dan indikator ini secara normatif dapat diimplementasikan di Papua.

Ketidaksesuaian terletak pada referensi peraturan yang dipergunakan untuk menentukan kelulusan verifier. Pada kebijakan nasional IUPHHK HTR menggunakan

Permenhut 23 tahun 2007 jo. Permenhut No: P.5/Menhut-II/2008

Dalam kebijakan nasional HTR dapat dilaksanakan pada areal kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain yang letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan. Sedangkan dalam kebijakan lokal Papua berdasar pada Pergub Papua no 11 tahun 2010 pasal 5, areal HTRMHA meliputi tanah hak ulayat yang merupakan lahan kritis dan/atau tidak produktif, baik yang berada di dalam kawasan hutan produksi atau kawasan budidaya non kehutanan dan tidak dibebani izin/hak lain dan letaknya diutamakan dekat dengan lokasi industri hasil hutan.

Ketidaksesuaian kedua terletak pada proses pencadangan areal untuk kegiatan HTR. Dalam Pergub 11 Tahun 2010 pencadangan areal HTR-MHA merupakan kewenangan Gubernur sedangkan dalam Permenhut 23 Tahun 2007 hal ini merupakan kewenangan Menteri Kehutanan.

Ketidaksesuaian yang ketiga adalah dalam menentukan subyek yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK HTR. Dalam kebijakan nasional pemohon IUPHHK HTR adalah perorangan dan koperasi. Sedangkan dalam kebijakan lokal Papua, IUPHH HTRMHA dapat diberikan pada

Kelompok tani atau koperasi atau badan usaha yang dibentuk oleh pemilik hak ulayat yang telah

memperoleh pengesahan dari lembaga adat, kepala kampung dan diketahui oleh kepala distrik

Kelompok tani/koperasi/badan usaha yang dibentuk masyarakat suku lain selain pemilik hak ulayat yang diberi izin oleh pemilik hak ulayat dan disahkan oleh lembaga adat, ketua kampung dan diketahui oleh kepala distrik

Kesamaan kedua peraturan tersebut terletak pada

pemberian ijin, dimana kedua peraturan ini menyebutkan bahwa keputusan penerbitan IUPHHK HTR adalah kewenangan Bupati/Walikota.

Prinsip 2

Memenuhi Sistem dan Prosedur Penebangan yang Sah Kriteria 2.1 Pemegang izin memiliki rencana penebangan pada areal tebangan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang Indikator 2.1.1 RKUPHHK/RPKH dan RKT disahkan oleh pejabat yang berwenang

Kriteria ini sesuai dengan Pergub Papua no 11 tahun 2010 pasal 11 yang mewajibkan pemegang IUPHHK-HTRMHA memiliki rencana umum dan rencana operasional.

Penggunaan istilah tersebut sedikit berbeda dengan istilah dalam HTR versi Kementerian Kehutanan yang

menggunakan istilah RKU PHHKHTR dan RKTU PHHKHTR. RKUPHHK HTR dan RKTUPHHK HTR disetujui oleh pejabat yang berwenang dalam kehutanan di kabupaten/kota. Sedangkan IUPHHK HTRMHA, Rencana umum disahkan oleh Bupati/Walikota dan Rencana Operasional disahkan oleh Dinas Kehutanan.

Untuk verifier 2 yaitu peta areal yang tidak boleh ditebang pada RKT berkesesuaian dengan Pergub 11 Tahun 2010 yang melarang pemegang ijin untuk menebang tegakan alam dan hanya boleh menebang tanaman hasil kegiatan penanaman.

Indikator 2.2.1 Pemegang izin mempunyai rencana kerja yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku

Sama dengan atas Kriteria 2.2 Adanya rencana kerja yang sah Indikator 2.2.2 Seluruh peralatan kerja yang dipergunakan dalam kegiatan pemanenan telah memiliki izin penggunaan peralatan dan dapat dibuktikan kesesuaian fisik di lapangan (tidak berlaku bagi pemegang hak pengelolaan)

Dalam Pergub tidak diatur mengenai penggunaan alat kerja. Mengenai ijin alat berat ini diatur secara khusus dalam Pergub 19 Tahun 2010. Dengan demikian indikator ini relevan dengan situasi Papua

Indikator 2.3.1 Seluruh kayu bulat yang

ditebang/dipanen atau dimanfaatkan telah di LHPkan. Indikator 2.3.2 seluruh kayu yang diangkut keluar areal izin

dilindungi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan Kriteria 2.3 Pemegang Ijin menjamin bahwa semua kayu yang diangkut dari Tempat Penimbunan Kayu (TPK) hutan ke TPK Antara dan dari TPK antara ke Industri Primer hasil hutan Indikator 2.3.3 Pembuktian asal usul kayu bulat

Pergub 11 Tahun 2010 tidak mengatur secara detail bagaimana PUHH untuk kayu hasil kegiatan HTR MHA. Hanya disebutkan bahwa pemegang ijin berhak

mendapatkan pelayanan hasil hutan sesuai dengan ketentuan

dari pemegang IUPHHK- HA/IUPHHK-HTI/RE/ Pemegang hak pengelolaan (IPHH)/pasar mempunyai identitas fisik dan dokumen yang sah Indikator 2.3.4 Pemegang izin mampu membuktikan adanya catatan angkutan kayu ke luar TPK Kriteria 2.4 Pemegang izin telah melunasi kewajiban pungutan pemerintah yang terkait dengan kayu Indikator 2.4.1 Pemegang izin menunjukkan bukti pelunasan DR dan atau PSDH

Kriteria dan indikator ini sesuai dengan ketentuan pasal 23 Pergub 13 Tahun 2010.

Prinsip 3:

Pemenuhan Aspek Lingkungan dan Sosial yang Terkait Dengan Penebangan Indikator 3.1.1 Pemegang izin telah memiliki dokumen lingkungan yang telah disahkan sesuai peraturan yang berlaku meliputi seluruh areal kerjanya

Berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup kegiatan kehutanan dengan luas dibawah 5000 ha tidak wajib Amdal. Dengan demikian ini tidak relevan.

Kriteria 3.1 Pemegang izin telah memiliki dokumen lingkungan sesuai peraturan yang berlaku Indikator 3.1.2 Pemegang izin memiliki laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan

Sementara itu, hasil analisis kesesuaian SVLK pada Pemegang IUIPHHK, IUI/dan DI menunjukkan bahwa secara substansial kebijakan Provinsi Papua mengenai hal tersebut telah sesuai dengan kebijakan nasional. Pergub Papua Nomor 15 Tahun 2010 tentang IUIPHHK Rakyat merupakan kebijakan khusus Papua untuk mengatur perijinan industri primer dengan kapasitas produksi di bawah 6000 m3. Tidak banyak ditemukan ketidaksesuaian antara kebijakan nasional, karena dalam Permenhut No : P.35/Menhut-II/2008 pada pasal 3 disebutkan bahwa permohonan IUIPHHK kapasitas produksi s/d 6.000 m3 per-tahun disampaikan kepada Gubernur.

Perbedaan kecil antara kedua kebijakan tersebut adalah berkaitan dengan kewenangan pemberian ijin IUIPHHK. Dalam Permenhut Nomor 35 Tahun 2008 disebutkan bahwa IUIPHHK diterbitkan oleh Gubernur. Untuk

industri dengan kapasitas produksi dibawah 2000 m3 per-tahun penerbitan IUIPHHK dapat dilimpahkan pada Bupati/Walikota. Dalam Pergub Papua Nomor 15 Tahun 2010, pada pasal 13 ayat 3 disebutkan Gubernur/Bupati/ Walikota dapat melimpahkan kewenangan pemberian IUIPHHK Rakyat kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

Berdasar pada beberapa ketidaksesuaian seperti yang disebutkan di atas apabila SVLK khususnya untuk hutan atau industri hasil hutan kayu yang dikelola oleh rakyat akan dilaksanakan di Provinsi Papua harus ada sejumlah penyesuaian. Tanpa ada penyesuaian-penyesuaian, SVLK bukanlah alat untuk mewujudkan good forest governance tetapi justru merupakan alat (tools) yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Papua. Apabila dalam proses VLK hanya mengacu pada kebijakan nasional maka dapat dipastikan tidak akan ada IUPHHK-MHA yang memperoleh sertifikat.

4.1.2 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan