• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun kapasitas masyarakat adat untuk menerapkan pengelolaan hutan secara lestari disadari tidaklah mudah. Strategi yang telah diuraikan di

3.3 Potret Kesiapan IUPHHK-MHA Dalam Implementasi SVLK (5 Studi Kasus)40

3.3.1 Penyiapan Kelembagaan

Dalam membangun sebuah usaha, sudah seharusnya pengurus dan anggota dari unit pengelola IUPHHK-MHA menentukan arah langkah mereka untuk kurun waktu jangka panjang dan apa saja langkah untuk kurun waktu jangka pendek. Berkenan dengan hal ini, dalam membangun IUPHHK-MHA di Papua hendaknya diarahkan juga, baik oleh pendamping atau pihak pemerintah, agar dapat menentukan cita-cita mereka untuk jangka waktu tertentu.

Merupakan suatu prasyarat keharusan dari pemegang izin IUPHHK-MHA untuk menentukan apa visi mereka untuk jangka panjang, misalnya untuk 10 tahun atau 20 tahun, sesuai dengan masa izin konsesi mereka. Apa yang menjadi visi dari masing-masing pemegang IUPHHK-MHA ini kemudian dijabarkan menjadi misi. Dengan misi dari masing-masing pemegang izin IUPHHK kemudian dikonkritkan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan dalam jangka waktu pendek, misalnya kegiatan dilakukan

40 Potret kesiapan IUPHHPK-MHA ini diambil berdasarkan kunjungan lapangan tim assessment ke-lima lokasi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi studi kasus. Lima kasus tersebut adalah Jayapura (KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol), Yapen (KSU Yera Asai), Merauke (Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf) dan Nabire (KSU Nuwoa Baru).

per-tahun.

Berdasarkan pengalaman tinjauan lapangan yang dilakukan oleh tim peneliti, dari 5 unit IUPHHK-MHA yang dikunjungi, ternyata hanya beberapa IUPHHK-MHA saja yang telah memiliki visi dan misi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Jibogol misalnya, sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA di Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, telah memiliki Visi : “Nen

Abdekan Syaltan Handeb Naban” yang berarti “Bekerja bersama-sama

memanfaatkan alam secara lestari sampai ke anak cucu”. Sedangkan Misi yang diemban oleh KSU Jibogol adalah :

• Menjalankan koperasi sebagai wadah bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat adat

• Mengelola tanah ulayat sebagai sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat adat, yang akan dikelola secara hati-hati, bertanggungjawab dan terus menerus sebagai warisan untuk anak cucu.

• Menjaga kepastian pemanfaataan sumberdaya hutan sebagai hak ulayat masyarakat dan berperan nyata dalam pembangunan.

• Melaksanakan sistem pengelolaan hutan lestari dengan bimbingan pemerintah dan pihak lainnya.

Koperasi sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA dalam menterjemahkan visi dan misinya harus menyesuaikan bentuk kelembagaan dari IUPHHK-MHA yang dikelola. Hal ini diperlukan karena bentuk kelembagaan dan fungsi dari masing-masing posisi yang dibuat akan menjalankan aktivitas masing-masing untuk menjawab visi dan misi yang telah disepakati.

Dalam kunjungan lapangan yang dilakukan oleh tim peneliti ke KSU Lwagubin Srem di Kampung Beneik, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, tim menemukan bentuk kelembagaan yang cukup representatif dalam mendukung usaha masyarakat dalam usaha pengelolaan hasil hutan secara lestari. Bentuk kelembagaan yang dibuat disesuaikan dengan rencana kerja yang akan dikelola ke depan. Bahkan untuk setiap posisi yang yang dibuat dalam kelembagaan di bawah diuraikan juga apa saja yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari masing-masing posisi tersebut. Adapun bentuk kelembagaan dari KSU Lwagubin Srem tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 4

Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha Lwagubin Srem Kampung Beniek, Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura

Dalam penyiapan kelembagaan usaha

masyarakat adat sebagai pemegang izin IUPHHK-MHA aspek legalitas usaha sangatlah penting agar usaha yang sedang dibangun dan akan dijalankan oleh kelompok masyarakat adat ini dapat berjalan dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku. Dari hasil temuan dalam kunjungan lapangan yang dilakukan, hasil temuan yang diperoleh oleh tim peneliti di beberapa lokasi khususnya di Kabupaten Kepulauan Yapen, KSU Yera Asai, ternyata kelengkapan dokumen dalam memenuhi aspek legalitas usahanya belum selengkap beberapa kelompok masyarakat di kabupaten lain di Papua.

Masyarakat Kampung Asai difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dalam membentuk sebuah unit manajemen masyarakat berbadan hukum koperasi yang diberi nama Koperasi Serba Usaha (KSU) Yera Asai. Pada saat didirikan koperasi ini memiliki anggota sebanyak 35 orang. Pada tanggal 14 Oktober 2009 koperasi ini mendapat pengesahan pendirian dari Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Industri dan Perdagangan Kabupaten Yapen dengan nomor pengesahan 148/BH/XXXII-10/2009, dengan tujuan : (1) meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya; dan (2) menjadi gerakan ekonomi rakyat serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional. Oleh karena pendampingan dari Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan Dinas Kehutanan Kabupaten Yapen, maka Koperasi Yera Asai telah melengkapi beberapa dokumen

MANAJER UPHHK

Badan Pengawas Koperasi Badan Pembina

dan Pelindung Badan Pengurus

Pendamping Teknis Tata Usaha Bid. Keuangan (Akunting) Divisi Pemasaran & Pengawasan 1. Pemasaran Hasil 2. Pengawasan Mutu Divisi Pengembangan SDM 1. Pendidikan dan Pelatihan 2. Penelitian dan Pengembangan Divisi Produksi a. Kayu Bulat a.1. Mandor tebang a.1.1. Regu Tebang a.1.2. Regu Sarad a.1.3. Regu Angkut b. Industri b.1. Mandor Sawmill b.1.1. Operator Lucas Mill Divisi Pembinaan Hutan

Mandor Pembinaan Hutan 1. Regu Pesemaian 2. Regu Penanaman 3. Regu Pemeliharaan dan Perlindungan Hutan

Divisi Perencanaan

Mandor perencanaan 1. Regu Tata Batas dan Perpetaan 2. Regu Inventarisasi 3. Regu Pembukaan Wilayah Hutan RAPAT UMUM ANGGOTA

Bid. UMUM dan TUK

persyaratan pengajuan permohonan IUPHHK-MHA dan sekaligus IUIPHHK-MHA. Pada tanggal 28 Januari 2011, Koperasi mengirimkan surat permohonan IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA disertai dengan dokumen-dokumen pendukungnya seperti akte koperasi, surat keterangan dan persetujuan dari ketua lembaga adat dan lain sebagainya. Selanjutnya pada 19 Juli 2011, Gubernur Provinsi Papua menyetujui permohonan Koperasi Yera Asai dengan menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 92 tahun 2011 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) Kepada Koperasi Yera Asai. Pada hari yang sama juga diterbitkan Keputusan Gubernur Papua No 98 Tahun 2001 tentang Pemberian Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat Masyarakat Hukum Adat (IUIPHHKR-MHA) Kepada Koperasi Yera Asai.

Selain itu, syarat lainnya yang sama pentingnya yang harus dimiliki oleh pemegang izin IUPHHK-MHA di Provinsi Papua agar koperasi masyarakat adat ini dapat menjadi badan usaha resmi yang dapat melakukan transaksi bisnis ke depan adalah NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan Tanda Daftar Perusahaan Koperasi (TDP-K). NPWP ini penting bagi masyarakat adat sebagai pengejawantahan dari pertanggungjawaban masyarakat adat terhadap negara dengan membayar pajak secara bertanggung jawab. Sedangkan TDP-K penting bila unit-unit koperasi sebagai pemegang IUPHHK-MHA akan melakukan transaksi bisnis, terutama kayu, dimasa yang akan datang, dokumen ini menjadi prasyarat dalam berbisnis. Selain itu dokumen SITU/SIUP yang diberikan oleh Bupati/Walikota juga menjadi prasyarat penting dalam melakukan bisnis. Sayangnya temuan lapangan menyatakan bahwa tidak seluruh IUPHHK-MHA memiliki keseluruhan dokumen-dokumen tersebut di atas.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas terutama berdasarkan hasil tinjauan lapangan ke beberapa kelompok masyarakat pengelola kayu di Papua, ada beberapa temuan tim peneliti bahwa pada kasus legalitas usaha pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat Papua dalam rangka Otonomi Khusus, terdapat beberapa tipe perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Izin kehutanan yang diberikan teridiri dari : a) Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat (HTR-MHA), b) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), c) Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakan, d) Tata cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, dan Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK). Semua jenis perizinan ini haruslah dikaji dengan baik agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi saling kontradiktif. Hal ini disebabkan karena visi utama dari pembangunan kehutanan di Papua, juga merupakan cita-cita yang sama dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan di Indonesia, yaitu pengelolaan hutan yang lestari sehingga masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar hutan menjadi sejahtera. Hendaknya semua jenis perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua harus berorientasikan kepada kelestarian produksi, sosial dan lingkungan.

Bila disimak pada berbagai jenis perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi maka yang berpeluang besar mendapat perhatian dalam

pengelolaan intensif adalah tipe izin IUPHHK-MHA. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tentang IUPHHK-MHA yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua (Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat, tanggal 18 November 2010) maka Gubernur telah mengeluarkan beberapa surat keputusan tentang pemberian izin IUPHHK-MHA kepada 5 (lima) koperasi di Papua. Adapun kelima koperasi yang menerima izin IUPHHK-MHA dari Gubernur papua adalah : a) Koperasi Serba Usaha (KSU) Lwagubiun Srem - Jayapura, b) KSU Yera Asai- Kepulauan Yapen, c) KSU Jibogol-Jayapura, d) KSU Mo Make Unaf-Merauke dan e) Kopermas Tetom Jaya – Sarmi.

Izin IUPHHK-MHA diberikan dalam paket kebijakan secara bersamaan dengan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat (IUIPHHKR). Hal ini merupakan hal-hal yang khusus hanya terjadi dan dilaksanakan di Papua. Dengan kebersahajaan orang asli Papua Pemerintah Daerah Papua memberikan sentuhan-sentuhan kebijakan yang bersifat afirmatif dalam mengantar masyarakat adat Papua untuk berpikir dan melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari di Indonesia khususnya di Papua dengan kondisi dan karakteristik yang khas atau khusus di Papua. Pemberian izin IUPHHK-MHA dan IUIPHHKR diberikan hanya kepada masyarakat adat Papua pemilik hak adat atas wilayah adat tersebut dan yang tinggal dikampungnya. Sehingga kepastian usaha mereka di atas teritori adat mereka sendiri. Kepemilikan tanah adat adat dalam kampung tersebut harus juga dilakukan pemetaaan partisipatif di wilayah tersebut untuk mendapat legitimasi dai marga pemilik hak adat dalam kampung yang wilayah kepemilikannya termasuk dalam rencana pengelolaan hutan lestari dalam kampung mereka.

Pengelolaan hutan lestari di Papua telah bergaung dan telah mendapatkan tanggapan serius dari berbagai lapisan masyarakat adat namun dalam mengaktualisasikan program pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat adat di Papua saat ini masih berifat sporadis dan belum terarah dengan baik. Agar memadukan semua perencanaan dari setiap tahapan dalam rencana pengelolaan sampai dengan produksi maka Pemerintah Daerah Provinsi Papua c.q. Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua pada tanggal 18 Maret 2011 telah mengeluarkan Peraturan Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua Nomor: SK.522.1/1185 tentang Petunjuk Teknis Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat. Walau pun kebijakan ini telah dikeluarkan pada bulan November tahun 2011, namun kebijakan ini baru secara resmi di berikan kepada publik pada saat diadakannya Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua pada bulan April di Asmat, Papua. Sehingga bila diharapkan kebijakan ini menjadi panduan atau rujukan dalam menyusun rencana pengelolaan hutan dalam waktu dekat belum bisa berharap banyak karena kebijakan ini harus disosialisasikan lebih luas agar dapat diketahui dan dipahami dengan baik oleh segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan kehutanan lestari di Papua.

Distribusi pengetahuan dan informasi tentang syarat minimum yang harus dipunyai oleh sebuah badan usaha koperasi masyarakat agar dapat

mengelola hutan lestari secara legal masih belum merata, sebagai misal, apakah untuk memproduksi kayu secara legal dan dapat dipasarkan secara legal cukup dengan memiliki dokumen koperasi (badan hukum/akte koperasi saja, atau masih harus diusahakan untuk mendapatkan dokumen lain seperti SITU/SIUP, Tanda Daftar Perusahaan Koperasi , dan dokumen pendukung lainnya. Ternyata bahwa tidak cukup dengan hanya memiliki badan hukum koperasi. Potret keadaan ini terlihat jelas pada koperasi KSU Yera Asai, KSU Jibogol, KSU Mo Make Unaf dan KSU Nuowa Baru. Sedangkan untuk 2 (dua) koperasi KSU Lwagubin Srem dan Kopermas Tetom Jaya, sudah memiliki beberapa dokumen yang disebutkan di atas. Dari hasil rekaman komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat di wilayah kerja KSU Lwagubin Srem ternyata bahwa kelompok masyarakat ini masih menunggu dokumen kayu berupa Faktur Angkutan Kayu Olahan Rakyat (FAKOR) agar mereka dapat berproduksi dan dapat menjual hasil hutan kayu mereka dengan sah (legal).

Agar sistem yang dibangun dalam pengelolaan hutan lestari di Papua dapat berjalan dengan baik dan dapat dikelola secara mandiri oleh kelompok-kelompok masyarakat adat Papua melalui fasilitas perizinan yang ada, maka perlu dipikirkan tentang ketersediaan Ganis pada setiap pemegang IUPHHK-MHA. Karena belum seluruh pihak terkait memahami perannya dalam SVLK, kecuali pihak perusahaan IUPHHK, Industri Primer Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Koperasi yang bergerak di bidang pengolahan kayu, terutama mereka yang terlibat langsung dalam penatausahaan dan pengawas peredaran kayu (Ganis dan Wasganis). Mereka memahaminya karena dalam setiap pelatihan penyegaran Ganis dan Wasganis, perkembangan regulasi terbaru terkait dengan penatausahaan dan peredaran hasil hutan selalu disampaikan oleh instruktur.

Akan tetapi bagi pemegang IUPHHK-MHA, hal-hal mengenai ketersediaan Ganis maupun Wasganis belum menjadi prioritas dalam rencana-rencana jangka pendek mereka karena konsentrasi berpikir mereka adalah bagaimana memobilisasi tenaga kerja di kampung dan bagaimana mengorganisir modal kerja. Sehingga hal-hal mengenai ketersediaan ganis dan wasganis sering dipikirkan sepihak oleh pemerintah daerah, c.q. Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi saja. Kondisi ini harus serius dipikirkan juga oleh para pemegang izin IUPHHK-MHA karena dalam SVLK, kecukupan Ganis dan Wasganis juga menjadi salah satu item penilaian oleh para auditor.