• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun kapasitas masyarakat adat untuk menerapkan pengelolaan hutan secara lestari disadari tidaklah mudah. Strategi yang telah diuraikan di

3.2 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hutan dan Penerapan SVLK di Papua

3.2.3 Permasalahan Lain Terkait Implementasi SVLK

a. Ketidaksesuaian Sistem Dengan Kondisi Papua Terkait Penatausahaan dan Peredaran Hasil Hutan Kayu untuk Masyarakat Pengelola IKR/IUPHHK-MHA

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penataan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara, Penatausahaan Hasil Hutan didefinisikan sebagai kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian,

pengangkutan/ peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Penataan hasil hutan ini merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilaksanakan dalam memenuhi aspek legalitas dari proses alir kayu dari hutan sampai ke konsumen. Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan di bidang kehutanan, sehingga penatausahaan hasil hutan berjalan dengan tertib dan lancar, agar kelestarian hutan, pendapatan negara, pendapatan masyarakat adat dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Ruang lingkup penatausahaan hasil hutan meliputi obyek dari semua jenis hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, hasil hutan bukan kayu, hasil hutan olahan yang berasal dari perizinan sah pada hutan negara.

Dalam kaitan dengan proses sertifikasi legalitas kayu maka semua prosedur/proses yang terdapat dalam tahapan-tahapan penatausahaan hasil hutan harus diikuti. Setiap tahapan dalam prosedur penatausahaan hasil hutan selalu diikuti oleh dokumen-dokumen legalitas kayunya. Suatu produk kayu dikatakan legal atau sah bila telah melalui berbagai tahapan dalam penatausahaan hasil hutannya. Dengan kata lain dalam SVLK, syarat-syarat kelengkapan administrasi sangatlah penting sebagai dokumen legal dari suatu unit manajemen. Sehingga tingkat kesiapan dari suatu unit manajemen/unit kelola sangat menentukan.

Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan Otsus terdapat kegiatan-kegiatan atau usaha afirmasi yang dilakukan agar terjadi keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua dalam segala tahapan pembangunan. Demikian halnya dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua, salah satu bentuk afirmasi adalah memberikan perlindungan terhadap orang asli Papua dalam melindungi usaha pengelolaan hutan mereka agar dapat dikelola secara lestari. Bentuk perlindungan yang dilakukan kepada masyarakat adat Papua dalam usaha IIUPHHK-MHA, dimana sistem pengelolaan hutan lestari pada hutan mereka harus tetap dijaga agar tidak ada intervensi dari para investor yang langsung masuk ke dalam hutan dan membeli kayu di dalam hutan (areal konsesi).39

Pada tingkat kesiapan masyarakat adat dalam menyambut kebijakan khusus dalam pengelolaan hutan lestari di Papua dengan skema SVLK, prosedurnya harus disesuaikan berdasarkan pertimbangan kondisi lokal di Papua dalam Otsus. Sebagai contoh, perlu penyederhanaan prosedural penatausahaan hasil hutan pada unit manajemen IUPHHK-MHA karena pemegang izin ini adalah masyarakat adat Papua yang

39Karena berdasarkan pengalaman masa lalu dengan Kopermas , para investor masuk jauh sampai kedalam hutan dan membeli kayu yang masih dalam keadaan berdiri (standing stock) dan memprosesnya sesuka mereka. Hal ini perlu dihidari dan tidak diulang untuk waktu sekarang. Kayu yang dihasilkan oleh IUPHHK-MHA haruslah berasal dari sumber kayu yang legal dan dikelola dalam suatu unit manajemen yang baik

tinggal di kampung. Keberadaan mereka di kampung dengan tingkat aksesibilitas yang kurang baik dan tingkat pendidikan yang belum terlalu baik, akan sangat mempengaruhi kualitas dan kinerja dari kelompok masyarakat adat tersebut dalam melaksanakan semua kegiatan dalam rantai prosedur penatausahaan hasil hutan. Karena bila memperhatikan syarat-syarat yang harus ada menjadi keharusan dalam prosedur penatausahaan hasil hutan maka sepertinya hanya dapat dilaksanakan oleh suatu unit manajemen yang sudah mapan dan padat modal.

Selain itu, skala luasan kawasan dan orientasi bisnis dari IUPHHK-MHA adalah hanya sampai pada produk kayu setengah jadi atau kayu olahan di dalam areal konsesinya. Sehingga rantai peredaran kayu atau kegiatan penatausahaan kayunya lebih pendek bila dibandingkan dengan mata rantai peredaran hasil hutan yang dilaksanakan oleh IUPHHK HA. Salah satu faktor penting yang menentukan mata rantai prosedur penatausahaan hasil hutan kayu adalah kecukupan modal usaha, sementara masyarakat adat tidak memiliki modal/kapital finansial yang cukup sehingga input peralatan yang digunakan adalah yang sesuai dengan kemampuan seperti mudah dalam hal pengoperasian dan perawatan alat.

b. Minimnya Pemahaman Terkait SVLK dan Kurangnya Pendampingan untuk Masyarakat

Saat ini informasi tentang SVLK belumlah banyak diketahui oleh masyarakat adat di hampir seluruh tanah Papua, hanya sebagian kecil dari kelompok masyarakat yang telah mendengar dan bahkan mengetahui SVLK ini. Hal ini dikarenakan isu SVLK sendiri tergolong masih baru, walaupun proses dalam mempersiapkan sistem sertifikasinya juga telah digulirkan sejak beberapa tahun lalu. Dalam hubungannya dengan program pengelolaan hutan berkelanjutan di tanah Papua dimana telah diwajibkan kepada semua badan usaha/unit manajemen pengelolaan hutan lestari wajib memiliki SVLK agar produknya dapat dipasarkan baik dalam pasar lokal, pasar antar pulau dan bahkan pasar internasional.

Kebijakan pengelolaan hutan lestari di Provinsi Papua, terutama bagi masyarakat adat Papua, tergolong masih baru sehingga perhatian kepada SVLK juga belumlah menjadi prioritas. Karena yang saat ini menjadi prioritas bagi kelompok masyarakat adat dengan IUPHHK-MHAnya adalah membangun sistem pengelolaan hutan lestarinya dan pengorganisasian masyarakat adat.

Sementara ketersediaan pendamping atau fasilitator yang bekerja dengan masyarakat di kampung terkait implementasi SVLK sangatlah minim, sehingga perlu mendapat pelatihan atau kursus yang intensif sebagai fasilitator dalam melakukan pendampingan.

c. Kendala Biaya dan Peningkatan Kapasitas Terkait Implementasi SVLK Bagi Industri Menengah dan Kecil yang Memiliki Modal Usaha Terbatas.

Membangun suatu unit manajemen pengelolaan hutan yang berorientasi kepada pengelolaan hutan lestari membutuhkan tingkat pendampingan yang intensif dimana semua tahapan dan prosedur pengelolaan hutan lestari harus dibangun sejak unit manajemen IUPHHK-MHA dibentuk. Hal ini sangat penting agar sistem pengelolaan hutannya terbangun sehingga juga akan membangun etos kerja dan tingkat kesadaran dari para pengelola IUPHHK-MHA.

Selain itu perlu dipikirkan ke depan bagaimana perihal pembiayaan dalam proses SVLK yang bersifat mandatory ini untuk industri menengah dan kecil yang memiliki modal usaha terbatas.

3.3 Potret Kesiapan IUPHHK-MHA Dalam Implementasi SVLK (5 Studi