• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesesuaian Tata Kelembagaan SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua

Bagian IV Analisis Kesesuaian SVLK dalam

4.2 Analisis Kesesuaian Tata Kelembagaan SVLK dengan Konteks Pengelolaan Hutan Papua

Tata kelembagaan SVLK dalam hal ini dapat diartikan sebagai susunan lembaga-lembaga dan aturan main yang mengatur hubungan antar lembaga dalam penyelenggaraan SVLK. Berdasar P38 jo. P68, beberapa lembaga yang terlibat antara lain adalah: Kementerian Kehutanan (cq. Dirjen BUK), Komite Akreditasi Nasional (KAN); Lembaga Penilai PHPL dan Lembaga VLK (LP PHPL dan LVLK), termasuk di dalamnya adalah Auditor, Pengambil Keputusan dan Tim Ad-Hoc Penanganan Keluhan dan Banding; Auditee (Pemegang Ijin dan Pemegah Hak Pengelolaan); dan Pemantau Independen (PI). Pengaturan mengenai pengertian, kewenangan, peran dan aturan main beberapa lembaga tersebut telah diatur dengan cukup memadai dalam Permenhut Nomor 38 Tahun 2009, Permenhut Nomor 68 Tahun 2011 dan lebih detail lagi dalam Perdirjen No. P.8/VI-BPPHH/2011.

Berikut adalah beberapa potensi permasalahan tata kelembagaan penyelenggara SVLK untuk diimplementasikan di Provinsi Papua.

a. Kementerian Kehutanan cq. BUK

Kementerian Kehutanan berdasar kedudukannya adalah pemilik atau pengembang SVLK. Dalam sebuah sistem sertifikasi yang bersifat

mandatory, Kementerian Kehutanan merupakan pihak yang memiliki

kewenangan memerintahkan atau mewajibkan setiap pemegang ijin untuk dinilai atau diverifikasi berdasar standar dan pedoman penilaian yang ditetapkan. Tujuan dari penilaian kinerja pengelolaan hutan adalah untuk mengetahui atau mendapatkan informasi apakah pemegang ijin telah memenuhi norma-norma pengelolaan hutan lestari yang ditetapkan sebagai kriteria dan indikator. Tujuan verifikasi legalitas kayu adalah untuk mengetahui apakah pemegang ijin dalam kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau proses produksinya telah menjalankan semua ketentuan-ketentuan legal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kementerian Kehutanan dapat menggunakan hasil penilaian/verifikasi sebagai informasi dalam pembinaan, perpanjangan ijin ataupun pencabutan ijin.

Berkaitan dengan implementasi SVLK di Provinsi Papua, bisa jadi tidak ada masalah terkait langsung dengan kebijakan ini. Kebijakan ini sebenarnya juga senada dengan Perdasus Papua Nomor 21 Tahun 2008 yang mewajibkan sertifikasi dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari di Papua. Seperti yang telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya, permasalahan justru terletak pada ketidaksesuaian sejumlah kebijakan Kementerian Kehutanan yang dipergunakan sebagai acuan dalam menentukan penilaian kriteria dan indikator dengan

Perdasus dan Peraturan Gubernur Papua. Sampai saat ini belum ada pernyataan atau sikap yang bisa dipergunakan sebagai acuan legal apakah Kementerian Kehutanan menerima atau menolak sejumlah peraturan dan kebijakan khusus Papua yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Apabila persoalan ini tidak segera dicarikan solusinya tentu akan berdampak pada ketidakpastian bagi pihak-pihak lain seperti LP PHPL dan LVLK, Pemegang Ijin dan Pemantau Independen.

Bagi LP PHPL dan LVLK dengan situasi yang berkembang saat ini pasti akan kesulitan dalam menentukan hasil penilaian/verifikasi. Pertanyaannya adalah peraturan atau kebijakan yang mana yang dipergunakan sebagai acuan hukum dalam menentukan norma penilaian suatu kriteria indikator. Apakah aturan nasional atau aturan khusus Papua. Begitu juga halnya dengan Pemegang Ijin, tentu akan menghadapi pertanyaan aturan hukum yang mana yang harus menjadi acuan dalam menjalankan usahanya. Sedangkan bagi Pemantau Independen kepastian hukum ini menjadi penting karena sebagai dasar dalam merumuskan laporan pemantauan baik yang berupa input bagi penilaian maupun berupa laporan keberatan.

b. Komite Akreditasi Nasional (KAN)

Berdasar kedudukan dan perannya dalam SVLK bisa jadi KAN merupakan pihak yang tidak terlalu memiliki permasalahan terkait dengan implementasi SVLK di Provinsi Papua. Permasalahan bagi KAN bersifat teknis yaitu bagaimana memantau atau mendapatkan informasi yang memadai terkait dengan kinerja LP PHPL dan LVLK dalam melakukan penilaian atau verifikasi di Provinsi Papua.

c. LP PHPL dan LVLK

Boleh dikatakan LP PHPL dan LVLK merupakan pihak yang memiliki peran sentral dalam SVLK karena proses penilaian dan kelulusan suatu unit managemen dalam penilaian atau verifikasi berada ditangannya. Terkait dengan implementasi SVLK di Papua beberapa potensi masalah yang akan terjadi antara lain:

• Dalam melakukan penilaian maupun dalam menentukan hasil penilaian LP PHPL dan LVLK harus mengacu pada begitu banyak peraturan dan kebijakan baik yang nasional maupun lokal. Terkait dengan hal ini masalah terjadi manakala LP PHPL dan LVLK tidak cukup mengetahui peraturan-peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah khususnya pemerintah Papua.

• Berkaitan dengan masalah di atas, bagi LP PHPL dan LVLK dan auditor yang sebagian besar berada di pulau Jawa akan mendapat kesulitan dalam mengakses dan mendapatkan informasi

kebijakan-kebijakan apa saja yang sudah diterbitkan oleh pemerintah Provinsi Papua.

• Ketika terdapat ketidaksesuai antara peraturan nasional dan lokal Papua seperti dalam situasi yang ada saat ini, LP PHPL dan LVLK akan kesulitan dalam menentukan kebijakan atau peraturan yang mana yang akan dijadikan acuan dalam penilaian atau verifikasi. • Saat ini KAN telah memberikan akreditasi kepada 12 LPPHPL dan 8

LVLK.47 Permasalahan dan pertanyaannya adalah apakah jumlah ini cukup memadai untuk melaksanakan SVLK pada seluruh pemegang ijin yang ada di Papua. Belum ada informasi yang pasti berapa orang jumlah auditor yang tersedia. Pertanyaan yang sama, apakah jumlah auditor yang ada saat ini juga telah memadai?

• Hampir seluruh LP PHPL dan LVLK beralamat di pulau Jawa khususnya Jakarta dan Bogor. Begitu juga halnya dengan auditor. Hal ini tentunya menjadikan hambatan bagi pemegang ijin di Papua yang akan melakukan penilaian atau verifikasi. Selain masalah biaya audit yang menjadi mahal, situasi ini juga menjadikan hambatan bagi LP PHPL dan LVLK dalam memberikan pengumuman atau informasi kepada publik terkait rencana dan hasil audit suatu unit manajemen. d. Pemegang Ijin

Permasalahan bagi pemegang ijin dapat terjadi pada saat sebelum audit atau saat penyiapan pemenuhan kriteria dan indikator. Permasalahan juga terjadi terkait proses audit. Berikut masalah yang dihadapi pemegang ijin:

• Seperti halnya yang dihadapi oleh LP PHPL dan LVLK, adanya dualisme peraturan atau kebijakan menyebabkan kebingungan pemegang ijin dalam menjalankan usahanya. Pemegang ijin dihadapi pada pertanyaan peraturan yang mana yang harus dipenuhi dalam menjalankan usahanya?

• Terkait dengan proses audit, keterbatasan LP PHPL dan LVLK yang ada saat ini menyebabkan biaya audit yang harus ditanggung menjadi mahal. Hal ini tentunya memberatkan auditee.

e. Pemantau Independen

Walaupun tidak terkait langsung dengan proses penilaian/verifikasi sesungguhnya pemantau independen mempunyai peran yang penting dalam sebuah sistem sertifikasi. Kehadiran pemantau independen dibutuhkan dalam menjaga kredibilitas SVLK. Berikut adalah permasalah pemantau independen dalam implementasi SVLK di Papua: • Saat ini SVLK belum banyak diketahui oleh publik atau masyarakat

Papua termasuk LSM atau pemerhati kehutanan. Hal ini

47 Lebih lengkapnya mengenai Lembaga Penilai PHPL dan Lembaga Verifikasi LK yang telah diakreditasi disajikan dalam Lampiran 5.

menyebabkan rendahnya partisipasi publik dalam SVLK sebagai pemantau independen. Dalam kondisi Papua dimana cukup banyak terdapat pemegang ijin pemanfaatan hasil hutan beroperasi semestinya terdapat pemantau independen dalam jumlah yang banyak pula.

• Seperti masalah pemantau independen di wilayah lain, pemantau independen Papua juga menghadapi masalah kesulitan dalam mendapatkan informasi terkait rencana audit, proses audit dan pengumuman hasil audit.

• Pemantau independen juga menghadapi masalah dalam dukungan pendanaan baik untuk kegiatan pemantauan maupun peningkatan kapasitas pemantauan.

4.3 Analisis Kesesuaian Terkait Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan