• Tidak ada hasil yang ditemukan

Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang kerap diwarnai dengan ketegangan, saat ini Papua dinaungi oleh Otonomi Khusus yang secara legal dipayungi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dengan latar belakang kekhususan Papua tersebut, secara ‘teoritik’ dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Sudah tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan aturan lain, seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Berdasarkan assessment ini, maka diperoleh 3 (tiga) kesimpulan utama yaitu :

4. Pengakuan atas otonomi khusus Papua adalah keniscayaan. Tanpa ‘pengakuan’50 atas otonomi khusus, maka SVLK hanya akan menjadi instrumen penyingkiran peran masyarakat adat Papua dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan (atau disebut dengan legal

exclusion).51

5. SVLK akan menjadi instrumen tata kelola hutan yang baik (good forest

governance apabila terdapat kejelasan kewenangan antara UU 41/1999

dan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah.

6. Kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus akan dapat berperan optimal dalam mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat serta melestarikan sumberdaya alam Papua jika menerapkan prinsip afirmatif yang optimal.

Apabila ketiga hal di atas berhasil diatasi, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi, termasuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap implementasi SVLK apabila akan dilaksanakan di Provinsi Papua dan mengevaluasi efektif tidaknya kebijakan di daerah berdasarkan implementasinya selama ini. Tanpa itu, tujuan mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance) dalam kerangka mencapai pengelolaan hutan lestari akan jauh dari harapan. Bahkan

50 Pengakuan yang dimaksud di sini bukan sekedar diucapkan di bibir saja, namun sesungguhnya benar-benar menerima termasuk dengan segala konsekuensinya. Menerima UU Otonomi Khusus berikut dengan segala peraturan turunannya kemudian melakukan penyesuaian segala bentuk kebijakan aturan yang berlaku di tingkat Nasional dengan aturan lokal tersebut.

kebijakan ini hanya akan menjadi instrumen yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan terutama yang berbasis masyarakat adat di Provinsi Papua.

Secara lebih detail, kegiatan strategis yang diusulkan dilakukan di Papua dalam kerangka implementasi SVLK adalah sebagai berikut :52

Tabel 13

Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Sistem Kelembagaan53

No Identifikasi Masalah Pengembangan Kapasitas yang Dibutuhkan Pelaksana Permasalahan Mendasar

1. Tidak harmonisnya UU Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Turunannya dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Peraturan Turunannya (khususnya Perdasus Nomor 21 Tahun 2008)

Men-sinkronisasi kebijakan terkait melalui rangkaian kegiatan:

- Studi untuk memetakan ‘gap’ yang terjadi secara lebih detail - Rangkaian diskusi dan lobby

untuk menemukan ‘titik temu’ mengatasi gap

- Merumuskan penyesuaian khususnya terkait peraturan-peraturan teknis pengelolaan hutan yang menjadi turunan kebijakan terkait (legal drafting)

Sebagai catatan, seharusnya tidak perlu ada perdebatan yang panjang karena pada prinsipnya kebijakan tersebut sama-sama mengemban misi yang mulia yaitu melestarikan hutan dan memberdayakan masyarakat hukum adat.

Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN

Secara Khusus Terkait Konsep IUPHHK-MHA 2. Ketiadaan konsep

IUPHHK-MHA dan IUPHHK HTR-MHA sebagai salah satu model pengelolaan hutan,

Mengadopsi IUPHHK-MHA dan IUPHHK HTR-MHA sebagai salah satu model pengelolaan hutan khususnya di Papua, dalam kebijakan nasional. Proses

Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN

52 Usulan kegiatan strategis sebagai implikasi hasil analisis dalam stocktaking assessment ini menggunakan pendekatan kerangka kerja pengembangan kapasitas. Di sini pengembangan kapasitas didefinisikan sebagai : Capacity building as understood to the need for adjusting (1)

policies and regulations, (2) institutional reforms, (3) modification of work procedures and mechanism of coordination, (4) improvement of human resources, (5) skills and qualifications, (6) change of the value system and attitudes. Lihat GTZ- SfDM, Support for Decentralization Measures.

Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module C: Supplementary Information and References. SfDM Report 2005-4 (2005)

53 Termasuk di dalamnya pengembangan kerangka hukum dan kebijakan baru atau perubahan/harmonisasi hukum/kebijakan yang ada, sehingga memungkinkan berbagai pihak menjalankan perannya dan kebijakan terkait mencapai tujuannya

khususnya di Papua Sebagai catatan perbedaan nyata tampak dari konsep IUPHHK-MHA dan IUIPHHK HTR-MHA dengan konsep yang saat ini diakui dalam kebijakan nasional (lihat tabel 9 dan 10 pada Bagian III)

pengakuan ini ditempuh melalui rangkaian kegiatan diskusi dan lobby yang melibatkan

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua, serta pihak lain seperti Akademisi dan

Masyarakat Hukum Adat Pengakuan ini tentunya berimplikasi pada seluruh peraturan turun terkait dengan konsep IUPHHK-MHA dan IUIPHHK HTR-MHA, termasuk konsekuensi pengakuan alas hak yang komunal.

Secara Khusus Terkait SVLK 3. Kriteria dan Indikator

yang berlaku saat ini dalam SVLK tidak sesuai dengan konteks Papua. Sebagai catatan tidak memperdebatkan esensi sertifikasi, karena sudah ada kesesuaian seperti tercantum dalam Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 pasal 65 ayat 1 yang menyebutkan dalam rangka pengelolaan hutan lestari wajib dilakukan sertifikasi terhadap pemanfaatan hutan. Pernyataan normatif ini senada dengan kebijakan Kementerian Kehutanan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.38/Menhut-II/2009 jo P.68/Menhut-II/2011

Penyesuaian seperangkat Kriteria dan Indikator dengan konteks pengelolaan hutan Papua termasuk kebijakan dan

peraturan yang berlaku di Papua, ditempuh melalui :

- Rangkaian diskusi untuk membahas ketidaksesuaian Kriteria dan Indikator dalam konteks Papua (dengan bahan diskusi seperti tertulis pada Bagian IV laporan ini) - Merumuskan Kriteria dan

Indikator, termasuk menambahkan verifier (drafting) yang sesuai dengan konteks Papua termasuk kebijakan yang berlaku di Papua*

* Berdasarkan catatan dalam analisis kesesuaian di Bagian IV, PP 68/2011 dapat diterapkan bagi IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK-HTR, IUIPHHK, IUI dan TDI dengan memperhatikan berbagai kebijakan khusus daerah. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain tentang kebijakan tidak mengeluarkan kayu bulat ke luar Papua, kewajiban untuk membangun industri primer bagi IUPHHK-HA, atau kewajiban bagi IUPHHK-HA untuk kontrak karya pembelian bahan baku dengan Industri Primer yang ada di Papua. Dengan kata lain, konkritnya melalui penambahan satu prinsip baru yakni Prinsip Kesesuaian dengan Peraturan dan

Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN

kebijakan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah

Daerah/Kota dalam rangka menjalankan mandat Otonomi Khusus Papua ke dalam Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Negara yang Dikelola Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan.

Sementara untuk IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA atau IUPHTR-MHA seharusnya memiliki Kriteria dan Indikator PHPL dan SVLK khusus yang disesuaikan dengan karakter khusus berdasarkan perdasus dan peraturan turunannya.

4. Ketidaksesuaian

mekanisme yang berlaku dalam SVLK dengan konteks Papua, yang berimplikasi pada : - Pelanggaran prinsip

aksesibilitas dalam pengajuan keluhan pada sistem SVLK, karena tidak semua pihak, terutama yang buta aksara dan tak memiliki kartu identitas, memperoleh akses. - Tidak sampainya informasi kepada tujuan karena pemilihan media informasi yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi Papua

Penyesuaian mekanisme ini ditempuh melalui :

- Diskusi untuk membahas ketidaksesuaian yang termuat dalam SVLK dengan konteks Papua,

- Merumuskan klausul tambahan (drafting) terkait mekanisme yang sesuai dengan konteks Papua* * Berdasarkan analisis kesesuaian yang dilakukan pada Bagian IV, dirasakan perlunya mengajukan isu perwalian, yang dapat berlaku khusus di Papua untuk menjamin prinsip aksesibilitas pengaju keluhan dalam sistem. Selain itu perlunya menekankan

pentingnya pemilihan media radio untuk penyampaian informasi di Papua, sehingga sampai pada sasarannya

Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan DKN

Terkait Peraturan di Daerah 5. Tidak efektifnya

affirmative policy di tingkat

daerah seperti Perdasus No 21 dan 23 untuk diberlakukan sesuai dengan tujuannya* *Lebih lengkapnya mengenai hal ini

disinggung pada Bagian 2 dan 3 laporan ini

Perlunya monitoring dan evaluasi atas affirmative policy di tingkat daerah yang ada saat ini. Evaluasi ini ditempuh melalui

- Rangkaian diskusi untuk menemukan akar masalah dari tidak efektifnya kebijakan afirmatif terkait

- Merumuskan revisi (legal drafting) baik untuk kebijakan itu sendiri maupun peraturan pelaksananya

Dinas Kehutanan, DPRP, DPR, MRP,LSM, PT

6. Ketiadaan aturan yang

daerah terkait penataan

hasil hutan (legal drafting) mengenai : - Penataan areal kegiatan IUPHHK-MHA

- Jumlah minimal tenaga teknis (SK Dinas terkait) pada tiap IUPHHK-MHA, minimal 4 orang (cruser, pembuat LHP, penerbit SK SKB, penerbit faktur angkut kayu). - Spesifikasi kayu olahan

primer yang diperluas hingga

flooring dan ukuran khusus

lainnya. Sehubungan dengan nilai tambah dari produk yang dihasilkan, yang tidak terbatas hanya pada kayu gergajian kebutuhan lokal.

Penyusunan kebijakan mengenai PUHH pada bentuk-bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu dan ijin lain yang berlaku khusus di Papua (legal drafting)

BPKH dan BPPHP

7. Belum adanya pasar yang jelas untuk menampung hasil hutan kayu yang dikelolah oleh masyarakat melalui IUPHHK-MHA.

Melakukan serangkaian kegiatan yang terdiri dari :

- Pembangunan tempat penampungan, distribusi dan informasi pasar

- Melakukan kajian untuk analisis kebutuhan perkayuan kabupaten kota dan analisis pembangunan yang butuh kayu

- Menyusun kebijakan (SK Gubernur) yang mewajibkan seluruh kebutuhan kayu untuk pembangunan fasilitas umum dan sosial agar mengambil bahan baku dari IUPHHK-MHA (legal drafting)

Dinas Kehutanan dan Mitra Kerja, LSM

Tabel 14

Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Organisasi54

No Identifikasi Masalah Pengembangan Kapasitas yang Dibutuhkan Pelaksana Secara Khusus Terkait SVLK

1. Rendahnya pemahaman internal Dinas Kehutanan dan UPT terkait di

Sosialisasi mengenai SVLK kepada Dinas Kehutanan dan UPT terkait di Provinsi Papua

Lembaga yang telah memiliki akreditasi untuk melakukan

54 Termasuk di dalamnya perluasan struktur manajemen, proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam organisasi tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi yang berbeda dan sektor (publik, swasta dan masyarakat)

Provinsi Papua mengenai

SVLK Verifikasi SVLK (MFP), Expert dari

Kementrian Kehutanan. 2. Rendahnya pemahaman

instansi terkait lain atas SVLK

Sosialisasi mengenai SVLK kepada instansi terkait baik langsung maupun tidak langsung seperti kepolisian, bea cukai, eksekutif, legislatif, dll

Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua

3. Rendahnya pemahaman publik atau masyarakat Papua termasuk LSM atau pemerhati kehutanan atas SVLK

• Sosialisasi mengenai SVLK kepada publik atau masyarakat Papua termasuk LSM atau pemerhati kehutanan atas SVLK (masuk melalui kurikulum perguruan tinggi misalnya)

Dinas Kehutananan dan Akademisi, LSM

4. Kurikulum pelatihan SVLK yang tidak sesuai dengan konteks Papua

Membangun kurikulum pelatihan SVLK (baik untuk auditor, pemegang ijin termasuk IUPHHK-MHA, pemantau independen, dll) yang sesuai dengan koteks Papua

Dinas Kehutanan Provinsi Kabupaten/kota, BP2HP, Pemerhati Kehutanan, LSM, Koperasi, Praktisi Kehutanan. Tokoh masyarakat adat. 5. Adanya gap pengetahuan

dari auditor atas konteks Papua

Memasukkan konteks khusus Papua ke dalam kurikum pelatihan untuk auditor, sehingga proses dan hasil penilaian/verifikasi dapat lebih optimal, yang dilakukan melalui - Penyediaan info kit (drafting) terkait konteks Papua untuk digunakan sebagai bahan ajar dalam pelatihan

- Lobby kepada lembaga-lembaga penyelenggara pelatihan SVLK untuk memasukkan konteks khusus Papua dalam kurikulum pelatihannya. Dinas Kehutanan Provinsi Papua, BP2HP, LSM, Akademisi 6. Masalah biaya implementasi SVLK terutama bagi industri menengah dan kecil yang memiliki modal usaha terbatas

- Mendorong tumbuhnya LPPHPL dan LVLK di Papua - Memperbanyak auditor di

tingkat daerah khususnya Papua dengan

menyelenggarakan pelatihan untuk auditor di Papua - Mengupayakan fasilitasi dana

pemerintah melalui dinas atau instansi terkait melalui kredit program

- Dukungan biaya dari pemerintah untuk SVLK, termasuk untuk PNBP-PSDH/DR

Dinas Kehutananan dan Akademisi, LSM

Permasalahan Umum Lainnya 7. Penataan dan

Pemancangan batas Luar Kawasan IUPHHK-MHA untuk kepastian hukum Kawasan

Penataan dan Pemancangan batas kawasan :

- Pemetaan batas kawasan hutan masyarakat hukum adat secara partisipatif - Pengukuhan hasil pemetaan

oleh kepala-kepala suku yang menguasai dan memiliki serta berbatasan dengan lahan hutan ybs.

- Pemberian tanda pal batas (dapat menggunakan tumbuhan yang bernilai ekonomis dan yang berumur panjang, seperti pinang) Pengukuhan atau pengesahan :

- Pengesahan hasil oleh pejabat publik sebagai dasar

dokumen

kepemilikan/penguasaan lahan

Mengupayakan dukungan biaya dari pemerintah untuk tata batas, inventarisasi dan pemetaan

Dinas Kehutanan Provinsi Kabupaten/kota, BP2HP, Pemerhati Kehutanan, LSM, Koperasi, Praktisi Kehutanan. Tokoh masyarakat adat.

8. Produksi dan Peredaran

Kayu - Pembangunan tempat penampungan, distribusi dan informasi pasar

- Melakukan analisis kebutuhan perkayuan kabupaten kota dan analisis pembangunan yang butuh kayu

Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten/kota. 9. Pengendalian dan Pengamanan Peredaran Hasil Hutan

- Membangun dialog lintas sektor, masyarakat adat dan

stakeholder terkait dalam

rangka penertiban,

pengendalian peredaran hasil hutan (pos-pos pengamanan) - Membangun SOP bersama

dengan punishment yang jelas bagi yang melanggar.

Dinas Kehutanan, TNI, POLRI, Masyarakat Adat, LSM, Akademisi. Praktisi Hukum. 10. Ketidakjelasan status

IUPHHK yang tidak aktif Kajian hukum untuk IUPHHK yang sudah tidak aktif Gubernur, Bupati, BIPD, Dinas Kehutanan, Kementrian Kehutanan. 11. Ketiadaan kelembagaan untuk menjembatani komunikasi antar

stakeholder kehutanan dan

meredam potensi konflik di kawasan hutan

Fasilitasi terbentuknya Dewan Kehutanan Papua

Dinas Kehutanan, LSM, Praktisi Kehutanan, Masyarakat Adat.

Tabel 15

Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Individu55

No Identifikasi Masalah Pengembangan Kapasitas yang Dibutuhkan Pelaksana 1. Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat terkait dengan usaha pengelolaan hutan dan kemampuan manajerial koperasi

- Peningkatan kapasitas terkait kelembagaan (bagaimana mengelola sebuah koperasi, misalnya)

- Pendampingan intensif dan berkesinambungan untuk Kopermas/KSU dalam mengelola IUPHHK-MHA - Magang dan studi banding ke

lokasi lain yang telah memiliki SVLK LSM, DinHut, Dinperindagkop, Balai Latihan Kehutanan, Perusahaan (mitrakerja) (Prioritas) 2. Minimnya Tenaga Teknis (Ganis) dan Pengawas Tenaga Teknis (Wasganis) Pengesah LHP serta Tenaga Teknis (Pembuat LHP) di Kabupaten Kota

- Pendidikan dan Pelatihan untuk menjadi Ganis maupun Wasganis BP2HP XVII Papua, PT, BPK (Prioritas) 3. Minimnya tenaga pendamping untuk IUPHHK-MHA

- Pelatihan tenaga pendamping untuk IUPHHK-MHA

- Magang dan studi banding ke wilayah lain yang memiliki pengalaman pendampingan

DinPerindagkop, PT, BPKH, LSM, DinHut (Prioritas)

4. Rendahnya kuantitas dan peran Pemantau Independen di Papua dalam melakukan pemantauan terkait SVLK

- Pelatihan terkait sistem, investigasi, pengelolaan informasi, dll

- Pertemuan-pertemuan konsolidasi dengan jaringan pemantau independen baik dengan Papua Barat maupun di wilayah lain di Indonesia

LSM, BP2HP Wil XVII, DinHut, PT, DinPerindagkop 5. Minimnya (ketiadaan?) auditor yang berbasis di Papua - Memperbanyak auditor di tingkat daerah khususnya Papua dengan

menyelenggarakan pelatihan untuk auditor di Papua

Lembaga auditor terakreditasi, Badan Diklat Kehutanan

Berdasarkan diskusi FGD II pada tanggal 24-25 Mei 2012 yang diikuti para pemangku kepentingan berikut adalah beberapa kegiatan yang menjadi prioritas dan mendesak untuk dilakukan:

1. Sosialisasi yang lebih intensif kepada para pihak (Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, pelaku industri,

55 Termasuk di dalamnya serangkaian proses untuk melengkapi individu dengan keterampilan pemahaman, dan akses terhadap informasi, pengetahuan dan pelatihan yang memungkinkan mereka untuk bekerja efektif.

masyarakat hukum adat, pemegang IUIPHHK skala produksi dibawah 6000 m3, LSM, dan instansi lain)

2. Pemerintah Provinsi Papua membangun komunikasi intensif dengan Kementerian Kehutanan agar kebijakan khusus kehutanan Papua dapat diterima dan disahkan oleh Kementerian Kehutanan sebagai model pengelolaan hutan yang berlaku khusus di Papua, seperti yang terungkap sebagai masalah mendasar di tingkat kebijakan

3. Memasukkan kekhususan Papua dalam kriteria dan indikator SVLK atau setidaknya mensosialisasikan kebijakan-kebijakan khusus tersebut kepada LPVI.

4. Peningkatan kapasitas bagi masyarakat hukum ada pemegang IUPHHK-MHA dalam hal kelembagaan (bagaimana mengelola sebuah koperasi), pemahaman dan implementasi SVLK. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan melalui pelatihan, magang dan studi banding.

5. Pelatihan bagi IUIPHHK skala produksi dibawah 6000 m3 pertahun mengenai SVLK

6. Pelatihan tenaga teknis (GANIS) untuk mendukung implementasi SVLK. Tenaga teknis yang dimaksud adalah tenaga teknis terkait dengan penatausahaan hasil hutan.

7. Pendampingan intensif dan berkesinambungan bagi masyarakat hukum adat pemegang IUPHHK-MHA

Diharapkan usulan intervensi program yang sebaiknya dilakukan di Papua, seperti dijabarkan di atas, dapat menciptakan kondisi yang mendukung optimalnya implementasi sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu demi tata kelola kehutanan yang baik (Good Forestry

Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari di

Lampiran 1 Tabel L1-1

Beberapa Peraturan Perundangan dan Kebijakan Dalam Pengelolaan Hutan yang Mencerminkan Semangat Desentralisasi

No Kebijakan Keterangan

1. Kepmen No.05.1/Kpts/II tahun 2000 tentang Kriteria dan Standarisasi Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Alam Produksi.

Gubernur dan Bupati/Walikota diberi wewenang dalam proses pemberian perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dalam bentuk IUPHHK. Bupati/Walikota mempunyai kewenangan untuk memberikan perijinan IUPHHK sepanjang areal hutan produksi yang akan diusahakan masih dalam satu kabupaten atau kota yang menjadi wilayah kerjanya.

2. Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

Pemberian hak pengusahaan hutan dalam bentuk IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman menjadi kewenangan Menteri Kehutanan berdasarkan Rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur.

3. Kepmen 541/kpts/II tahun 2002 tentang Pencabutan Kepmen No.05.1/Kpts/II/2000

Menyelesaikan konflik akibat Kepmen sebelumnya dan

memperbaiki kinerja SDM kehutanan. 4. Kepmenhut No.32/Kpts/II tahun

2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman Melalui Penawaran dan Pelelangan

Untuk memperoleh IUPHHK tidak dapat lagi diberikan melalui mekanisme permohonan, namun harus melalui mekanisme penawaran dalam pelelangan

5. Permenhut No.P.05/Menhut -II tahun 2004 Jo. Permenhut No.P.10/Menhut- II/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Melalui Penawaran Dalam Pelelangan

Memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan melalui IUPHHK dan untuk mendapatkan penawar

profesional dan berkualitas serta memiliki komitmen tinggi dalam pemanfaatan hutan secara lestari 6. PP.No.6 tahun 2007 jo. PP.No.3

tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, yang mengganti PP.No.34 tahun 2002

Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah.

Mengatur pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melibatkan stakeholders di daerah secara partisipatif.

Mengatur pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sebagaimana melalui hutan desa, hutan

kemasyarakatan dan kemitraan. 8. PP. No.38 tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Urusan kehutanan menjadi urusan pilihan bagi pemerintah daerah. Dalam lampiran PP. tersebut dibuat suatu matrik pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan

Lampiran 2

Tabel L2-1

Perusahaan IUPHHK-HA di Provinsi Papua 2012 SK IUPHHK

No Perusahaan Nomor Tanggal Luas AAC (M3) Ket

A. Kabupaten Asmat

1 PT Rimba Megah Lestari 303/Kpts-II/96 18/6/1996 250.000 Aktif 2 PT Kayu Pusaka Bumi

Makmur

70/Kpts-II/96 28/2/1996 171.100 76.000 stagnasi 2002

Jumlah A 421.100 76.000

B. Kabupaten Bovendigul

1 PT Bade Makmur Orissa 57/Kpts-II/93 2/9/1993 462.600 198.000 Aktif 2. PT Tunas Sawaerna SK 101/Menhut

II/2009 12/2/2009 214.935 Aktif

3. PT Digul Daya Sakti 1 614/Kpts-II/95 15/11/95 102.200 152.670 Belum operasi 4 PT Digul Daya Sakti 2 614/Kpts-II/95 15/11/95 244.800 52.930 Stagnasi

2002 5 PT Dharmali Mahkota

Timber

248/Kpts-II/94 6/7/1994 156.800 Stagnasi

6 PT Tunggal Yudhi Unit II 489/Kpts-II/55 14/9/95 203.600 102.881 Stagnasi 2002 Jumlah B 1.384.935 506.481 C. Kabupaten Keerom 1 PT. Hanurata Uni Jayapura 228/Kpts-II/91 29/4/91 188.500 135.000 Aktif 2 PT Risana Indah Forest

Industri

18/Kpts-II/99 10/1/1990 197.000 146.230 Stagnasi 3 PT Tunggal Yudhi Unit I 489/Kpts-II/55 14/9/95 69.400 50.384 Stagnasi

2003

4 PT Batasan 342/Kpts-II/97 1/2/1997 106.643 52.155 Aktif

Jumlah C 561.543 383.769

D. Kabupaten Merauke 1 PT. Damai Setia Tama

Timber

948/Kpts-II/91 30/1/91 305.000 96.400 Aktif 2 PT Artika Optima Inti

Unit IV

660/Kpts-II/95 30/11/95 110.700 58.694 Stagnasi 2000 3 PT Mukti Artha Yoga SK

57/Menhut-II/2007 22/2/2007 151.690 Aktif

Jumlah D 567.390 155.094

E. Kabupaten Mimika

1 PT Diadyani Timber SK

292/Menhut-II/09 18/05/09 205.160 Aktif

2 PT Alas Tirta Kencana 649/Kpts-II/95 30/11/95 87.500 22.599 Aktif

Jumlah E 292.660 22.599

F. Kabupaten Nabire

1 PT Jati Dharma Indah 69/Kpts-II/97 31/1/97 207.410 69.848 Aktif

Jumlah F 207.410 69.848

G. Kabupaten Mamberamo Raya 1 PT Mamberamo Alas

Mandiri

1071/Kpts-II/92 9/11/1992 677.310 303.574 Aktif

Jumlah G 677.310 303.574

H. Kabupaten Sarmi

1 PT Bina Balantak Utama 40/Kpts-II/91 16/1/1991 325.300 146.230 Aktif 2 PT Mondialindo Setya

Pratama

SK

466/Menhu-II/06 9/19/2006 94.500 69.029 Aktif 3 PT Salaki Mandiri SK 396/Menhut- 17/7/2006 79.130 61.197 Aktif

Sejahtera II/06 4 PT Wapoga Mutiara

Timber II

744/Kpts-II/90 13/12/90 196.900 75.148 Aktif 5 PT Sumber Mitra Jaya SK

555/Menhut-II/06 22/2/2006 52.150 56.115 Belum operasi Jumlah H 747.990 407.719 I. Kabupaten Waropen 1 PT Wapoga Mutiara Timer III 169/Kpts-II/97 25/3/97 407.350 225.416 Stagnasi 2 PT Irmasulindo Unit I 05/Kpts-II/2001 11/1/2001 174.540 125.330 Stagnasi

Jumlah I 581.890 225.416

Total 5.442.218 2.275.830

Tabel L2-2

Data IUPHHK Hutan Tanaman Provinsi Papua tahun 2012

SK IUPHHK-HT Luas

No Nama Perusahaan

Nomor Tanggal (ha) Keterangan

1 PT. Selaras Inti Semesta SK.18/Menhut-II/2009 22-Jan-09 169,400.00 IUPHHK-HTI 2 PT. Merauke Rayon Jaya 251/Menhut-II/2008 1-Jul-08 206,800.00 IUPHHK-HTI 3 KSU Nafa Aroa Indah

(Nabire) 49 Tahun 2011 1-Apr-11 300.00 IUPHHK-HTR

4 KSU AIWI (Nabire) 45 Tahun 2011 28-Mar-11 16,292.35 IUPHHK-HTR 5 KSU Rondai Baru

Mandiri (Nabire) 13 Tahun 2011 10-Feb-11 300.00 IUPHHK-HTR

Tabel L2-3

Data IUIPHHK Kapasitas >6000 m3 di Provinsi Papua

No Nama Izin Jenis

Industri Lokasi Kapasitas Ket