• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun kapasitas masyarakat adat untuk menerapkan pengelolaan hutan secara lestari disadari tidaklah mudah. Strategi yang telah diuraikan di

3.3 Potret Kesiapan IUPHHK-MHA Dalam Implementasi SVLK (5 Studi Kasus)40

3.3.2 Penataan Kawasan

Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, penataan kawasan hutan perupakan tahapan proses yang sangat penting karena pada tahapan proses perencanaan dilakukan agar dapat diperoleh hasil yang optimum. Penataan kawasan hutan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan serta cara-cara menentukan pengaturan pemanfaatan serta pembinaan hutan agar diperoleh hasil hutan

secara optimum dan berkelanjutan atau lestari.41

Dari hasil penelusuran dokumen dan informasi dari beberapa kelompok masyarakat pemegang izin IUPHHK-MHA yang dikunjungi oleh tim peneliti, ternyata bahwa ada beberapa KSU pemegang izin IUPHHK-MHA yang telah memiliki kemajuan dalam kegiatan penataan kawasan hutan. Salah satu tahapan yang telah dilakukan oleh beberapa KSU diantaranya pemetaan partisipatif yang dilakukan pada kawasan hutan yang akan dikelola.

Pemetaan partisipatif merupakan salah satu syarat keharusan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat di era otsus. Kegiatan pemetaan partisipatif ini diantaranya telah dilakukan oleh KSU Lwagubin Srem, KSU Jibogol dan KSU Mo Make Unaf.

Pada areal yang telah dilakukan pemetaan partisipatif kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis kawasan hutan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF).42 Dengan menggunakan alat HCVF, maka pembuatan perencanaan kawasan hutan lestari dari IUPHHK-MHA akan jauh lebih mudah. Karena dengan pendekatan perencanaan kawasan berbasis HCVF, pengelola IUPHHK-MHA lebih mudah merencanakan areal efektif dalam ‘konsesi’nya yang dapat dikelola secara lestari setelah mengeluarkan areal hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Areal hutan yang memiliki nilai HCVF kemudian dibuatkan perencanaan untuk mengelola kawasan tersebut. Untuk areal efektif hutan yang dapat dikelola di atasnya dibuatkan perencanaan pengelolaan hutan lestari untuk kelola produksi, sedangkan pada areal hutan bernilai konservasi tinggi akan dibuatkan rencana kelola sosial dan lingkungan.

Dari hasil kajian yang dilakukan oleh tim pada pemegang izin IUPHHK-MHA, ternyata hanya 2 (dua) KSU yang telah melakukan analisis

41

Menurut Wanggai, F (p. 126, 2009), disebutkan bahwa pada dasarnya penataan kawasan hutan adalah satu kesatuan kegiatan yang terdiri atas penataan batas, inventarisasi hutan, pembagian hutan, pembukaan wilayah hutan serta pengukuran dan perpetaan. Adapun hasil yang diperoleh dari kegiatan penataan kawasan hutan dapat dicirikan sebagai berikut : a. Memiliki batas-batas luar dan batas-batas dalam yang jelas serta permanen; b. Terbagi ke dalam petak-petak dengan batas-batas yang permanen; c. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai berupa jalan-jalan angkutan, jembatan, tempat penimbunan kayu, kantor-kantor dan sarana lain yang diperlukan; d. Memiliki identitas, baik di lapangan maupun di dalam peta dan sifat-sifat atau keadaan dari setiap petak atau kesatuan pengelolaan terkecil lain yang dibuat; e. Seluruh batas, fasilitas dan sifat-sifat lain yang diperlukan dalam seluruh kesatuan pengusahaan hutan itu telah diukur dan dipetakan serta hasilnya disajikan dalam peta-peta yang diperlukan sebagai panduan dalam pelaksanaan kegiatan; f. Memiliki dokumen rencana penataan kesatuan pengusahaan hutan yang memuat uraian kegiatan-kegiatan, seperti penetapan batas-batas, penetapan luas dan batas-batas bagian serta penetapan jumlah, luas dan batas-batas petak yang terdapat dalam kesatuan pengusahaan hutan tersebut (Wanggai, F dalam Pedoman TPTI, 1989)

42HCVF merupakan prinsip ke-9 dari lembaga sertifikasi hutan Forest Stewardship Council (FSC). HCVF diperkenalkan pada tahun 1999 untuk menghindari perdebatan konservasi hutan atau perdebatan tentang metode pembalakan. Pada hakekatnya hutan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF) merupakan hakekat prinsip atau nilai-nilai konservasi tinggi atau yang disebut High Conservation Value’s (HCV’s).

HCVF, yaitu KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol. Sedangkan beberapa KSU lainnya belum melakukan analisis HCVF pada kawasan hutan kelola mereka.

Selain itu, masih terkait penataan kawasan, beberapa masalah seputar peta menjadi salah satu isu. Seperti diketahui bahwa perencanaan hutan yang akan dilaksanakan oleh pemegang izin IUPHHK-MHA dituangkan dalam peta areal kerja. Namun belum ada standar baku yang dapat digunakan oleh para pemegang izin IUPHHK-MHA dalam pembuatan peta, sehingga masing-masing pemegang Izin IUPHHK-MHA membuat petanya sendiri untuk dilampirkan pada SK Gubernur Papua untuk jenis perizinan IUPHHK-MHA. Namun sering skala peta yang dicantumkan tidak sesuai dengan skala peta saat pencetakan peta. Demikian halnya dengan standar penggunaan warna tidak konsisten karena ketiadaan referensi pemberian warna pada peta.

Berhubungan dengan peta areal kerja, dari hasil kajian yang dilakukan, ternyata tidak semua pemegang izin IUPHHK-MHA telah memiliki peta areal kerja. KSU Nuwoa Baru sampai dengan saat ini belum memiliki peta areal kerja. Padahal dari segi kekuatan yang dimiliki oleh KSU ini, dimana koperasi ini telah menerima 1 (satu) unit Portable Sawmill merek Lucas Mill dan hibah modal usaha dari pemerintah daerah c.q. Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, tetapi belum memiliki perizinan IUPHHK-MHA. Sebaliknya KSU Jibogol di Distrik Unurum Guay Kabupaten Jayapura, telah memiliki izin IUPHHK-MHA dan IUIPHHKR dimana peta areal kerja menjadi lampiran pada izin tersebut, namun tidak memperoleh peralatan

Portable Sawmill dan belum memiliki dana untuk modal usaha mereka dari

Pemerintah Daerah.

Dari informasi yang terekam dalam kajian yang dilakukan oleh tim, hanya KSU Lwagubin Srem yang telah menyusun RKU (Rencana Karya Umum) untuk rencana pengelolaan hutan selama 20 tahun. Akan tetapi dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua melalui Peraturan Gubernur yang ada, ternyata izin pengelolaan yang diberikan hanyalah selama 10 tahun dan akan diperpanjang kembali pada 10 tahun berikutnya. Berdasarkan kebijakan tersebut maka perlu ada kajian yang lebih intensif dan holistik untuk merekomendasikan sistem silvikultur untuk kasus IUPHHK-MHA.

Terkait penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) bagi setiap pengelola hutan lestari, yang menjadi syarat keharusan bagi pemegang IUPHHK-MHA untuk melakukan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP)43, dari hasil kajian lapangan, ternyata KSU Lwagubin Srem telah melakukan kegiatan ITSP tetapi baru pada sebagian petak tebangan tahunan sedangkan sebagian lainnya belum dilakukan karena kendala pendanaan.

43 Inventarisasi hutan untuk ITSP manggunakan Intensitas Sampling 100%. Hasil inventarisasi ini akan dipakai untuk melakukan perencanaan dan penyusunan detail RKT

Sebagai rangkaian kegiatan penataan kawasan, penataan batas merupakan satu hal penting lain. Penataan batas merupakan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mendapatkan areal kelola secara definitif di lapangan. Semua kegiatan pembalakan akan terjadi dalam areal definitif tersebut di lapangan. Dari hasil kajian yang dilakukan, ternyata hanya KSU Lwagubin Srem yuang telah melakukan kegiatan penataan batas. Akan tetapi kegiatan tata batas yang dilakukan belumlah maksimal karena keterbatasan pendanaan sehingga penataan batas ini baru dilakukan pada areal hutan yang direncanakan sebagai areal RKT. Kegiatan penataan batas dilakukan sebagai suatu rangkaian dalam Penataan Areal Kerja, dimana tim survey tata batas akan dilakukan dengan dukungan pendampingan teknis dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah X Papua. Tetapi pada proses penataan batas dan inventarisasi hutan yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK-MHA telah menggunakan Ganis pendamping yang berasal dari Dinas Kehutanan Kabupaten setempat tetapi juga Ganis yang berasal dari Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari, dan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari.

Dalam perencanaan kawasan hutan, rencana pembangunan jalan dalam areal kerja merupakan syarat mutlak dalam pengelolaan hutan. Semua proses pembalakan yang terjadi untuk mengeluarkan kayu, diperlukan kendaraan penyarad, dan pengangkut, sehingga diperlukan pembuatan jalan hutan. Hal ini biasa terjadi dalam perusahaan pemegang izin HPH/ IUPHHK-HA, dengan skala usaha yang besar. Tetapi dalam kebijakan khusus yang dikeluarkan melalui Peraturan Gubernur Papua, untuk jenis izin IUPHHK-MHA, tidak diperkenankan menggunakan peralatan berat. Sepintas lalu tampak bahwa kebijaan ini cukup baik karena dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang cukup berat di lapangan. Akan tetapi apabila diterapkan dalam waktu yang lama, tampaknya implementasi kebijakan ini kurang atau bahkan tidak efisien dan juga tidak manusiawi. Karena dengan jarak pikul yang jauh dan medan yang cukup sulit akan terasa sangat berat bagi para pemegang izin IUPHHK-MHA. Untuk tahap awal mungkin akan mudah bagi pemegang izin IUPHHK-MHA untuk mem-plot-kan rencana RKT-nya pada kawasan hutan yang terletak dekat dengan jalan umum. Tetapi akan semakin berat bila areal hutan yang menjadi rencana RKT-nya terletak semakin jauh dari fasilitas jalan umum. Sebagaimana diketahui bahwa kondisi topografi Papua yang sangat bervariasi mulai dari topografi yang datar hingga topografi yang berat dengan kondisi lapangan yang bergelombang berat (bergunung-gunung). Oleh sebab itu dalam beberapa tahun kedepan, setelah diberlakukannya izin IUPHHK-MHA ini, maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih komprehensif untuk memberikan solusi dalam rencana penggunaan jalan angkut dalam hutan kepada pemegang IUPHHK-MHA.