• Tidak ada hasil yang ditemukan

SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

STOCKTAKING ASSESSMENT

SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI

KHUSUS PROVINSI PAPUA

5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat

Disusun Oleh :

Paramita Iswari

Edi Suprapto

Max J. Tokede

Lyndon B. Pangkali

(2)

Ringkasan Eksekutif

Dalam rangka mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (Good

Forestry Governance/GFG) menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)

Kementrian Kehutanan memberlakukan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (dalam assessment ini disingkat dengan sebutan SVLK). Kebijakan ini diterapkan pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang disempurnakan melalui P.68/Menhut-II/2011. Konsekuensinya adalah adanya kondisi yang mewajibkan setiap pemegang hak, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan, pemegang izin usaha pengolahan kayu lanjutan dan pedagang ekspor, untuk melaksanakan SVLK, termasuk di Provinsi Papua.

Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang kerap diwarnai dengan ketegangan, saat ini Papua dinaungi oleh Otonomi Khusus yang secara legal dipayungi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dengan latar belakang kekhususan Papua tersebut, secara ‘teoritik’ dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Sudah tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan aturan lain, seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Berdasarkan asumsi tersebut, assessment ini dilakukan dalam rangka menciptakan kondisi di mana sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu dapat bekerja dengan optimal di Papua, sehingga tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan. Untuk mendalami terutama terkait bagaimana masyarakat mengelola hutannya, assessment ini mengambil lima kasus industri kayu rakyat yaitu KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol di Jayapura, KSU Yera Asai di Yapen, Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf di Merauke dan KSU Nuwoa Baru di Nabire.

Dari assessment ini diperoleh 3 (tiga) kesimpulan utama yaitu :

1. Pengakuan atas otonomi khusus Papua adalah keniscayaan. Tanpa ‘pengakuan’ atas otonomi khusus, maka SVLK hanya akan menjadi instrumen penyingkiran peran masyarakat adat Papua dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan (atau disebut dengan legal

(3)

2. SVLK akan menjadi instrumen tata kelola hutan yang baik (good forest

governance apabila terdapat kejelasan kewenangan antara UU 41/1999

dan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah.

3. Kebijakan-kebijakan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus akan dapat berperan optimal dalam mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat serta melestarikan sumberdaya alam Papua jika menerapkan prinsip afirmatif yang optimal.

Apabila ketiga hal di atas berhasil diatasi, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi, termasuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap implementasi SVLK apabila akan dilaksanakan di Provinsi Papua dan mengevaluasi efektif tidaknya kebijakan di daerah berdasarkan implementasinya selama ini. Tanpa hal ini, tujuan mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance) dalam kerangka mencapai pengelolaan hutan lestari akan jauh dari harapan. Bahkan kebijakan-kebijakan ini hanya akan menjadi instrumen yang akan menghambat kemajuan pengelolaan hutan terutama yang berbasis masyarakat adat di Provinsi Papua.

Diharapkan usulan intervensi program yang dilakukan di Papua seperti yang menjadi hasil assessment ini, dapat menciptakan kondisi yang mendukung optimalnya implementasi sistem Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu demi tata kelola kehutanan yang baik (Good Forestry

Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari di

(4)

DAFTAR ISI

Bagian I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 7

1.2 Tujuan dan Keluaran 11

1.3 Metodologi 12

1.4 Sistematika Laporan 14

Bagian II Konteks Umum Kehutanan Papua

2.1 Luas dan Potensi Hutan Papua 16

2.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Dalam Konteks

Otonomi Khusus 20

2.3 Kelembagaan Kepengurusan Hutan Papua 28 2.4 Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan di Provinsi Papua 29

2.4.1 Perusahaan IUPHHK 29

2.4.2 Industri Primer Hasil Hutan Kayu 30

2.5 Tata Niaga Hasil Hutan Kayu 31

Bagian III Analisis Pemangku Kepentingan dan Problem Pengelolaan Hutan Lestari di Papua

3.1 Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Papua 33 3.1.1 Identifikasi Pemangku Kepentingan 34 3.1.2 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan 35 3.2 Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan dan Penerapan SVLK di

Papua 39

3.2.1 Permasalahan Terkait Harmonisasi Kebijakan 39 3.2.2 Permasalahan Terkait Kapasitas Organisasi dan Sumberdaya

Manusia 47

3.2.3 Permasalahan Lain Terkait Implementasi SVLK 50 3.3 Potret Kesiapan IUPHHK-MHA dalam Implementasi SVLK (5

Kasus) 53

3.3.1 Penyiapan Kelembagaan 53

3.3.2 Penataan Kawasan 58

3.3.3 Peran dan Dukungan Multipihak 62

3.3.4 Monitoring dan Evaluasi 66

Bagian IV Analisis Kesesuaian SVLK dalam Konteks Pengelolaan Hutan di Papua

4.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK dengan Konteks Pengelolaan

Hutan Papua 69

4.1.1 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Hukum Adat

69 4.1.2 Analisis Kesesuaian Standard SVLK Terkait Pengelolaan

(5)

Hutan dan Industri Hasil Hutan Kayu oleh Pihak Lain 77 4.2 Analisis Kesesuaian Tata Kelembagaan SVLK dengan Konteks

Pengelolaan Hutan Papua 79

4.3 Analisis Kesesuaian Terkait Pengajuan dan Penanganan Keluhan

dan Banding 82

Bagian V Usulan Kegiatan Strategis 85

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Alur Stocktaking Assessment Papua 13 Gambar 2 Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua

Berdasarkan Kelas Diameter 19

Gambar 3 Hubungan Antar Aktor yang Terlibat dalam Pengelolaan

Hutan di Papua 34

Gambar 4 Struktur Organisasi Koperasi Serba Usaha Lwagubin Srem

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Fungsi 17

Tabel 2 Luas Tutupan Hutan Papua 18

Tabel 3 Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua

Berdasarkan Kelas Diameter 18

Tabel 4 Potensi Hasil Hutan Non-Kayu 19

Tabel 5 Peran dan Fungsi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua Dalam Rangka Implementasi Perdasus dan

SVLK 37

Tabel 6 Karakter Khusus Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di

Provinsi Papua era Otonomi Khusus 40

Tabel 7 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HA/HTI/RE

dengan IUPHHK MHA 41

Tabel 8 Perbandingan Kebijakan Terkait IUPHHK HTR dengan

IUPHHK HTRMHA 42

Tabel 9 Perbandingan Kebijakan Terkait IUIPHHK dengan IUIPHHK

Rakyat 43

Tabel 10 Ketersediaan GANIS PHPL s/d Desember 2010 49 Tabel 11 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola

Pemegang Izin dan Pemegang Hak Pengelolaan 70 Tabel 12 Analisis Kesesuaian SVLK pada Hutan Negara yang Dikelola

Masyarakat (HTR, HKm, HD) 74

Tabel 13 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Sistem

Kelembagaan 86

Tabel 14 Kegiatan Pengembangan Kapasitas di Tingkat Organisasi

Kelembagaan 89

(8)

Bagian I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan tata-kelola kehutanan yang baik (Good

Forestry Governance/GFG) menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)

Kementrian Kehutanan memberlakukan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (umumnya dikenal dengan sebutan SVLK). Kebijakan ini diterapkan pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang disempurnakan melalui P.68/Menhut-II/2011 (untuk selanjutnya akan disingkat dengan P.38 jo P.68), dan beberapa aturan turunannya. Berbeda dari sistem sertifikasi yang bersifat sukarela (voluntary), kebijakan ini lahir utamanya sebagai bagian dari upaya perbaikan tata kelola internal (internal governance) kehutanan.

Seiiring dengan itu, berkenaan dengan kepentingan internasional, terdapat upaya penegakan hukum, perdagangan dan tata kelola kehutanan (European Union-Forest Law Enforcement, Trade and Governance/EU-FLEGT), dimana upaya ini dimaksudkan untuk mendorong peran serta pemerintah dari negara baik produsen maupun konsumen, untuk melakukan pembaruan guna mencegah terjadinya kejahatan kehutanan dan masuknya kayu ilegal ke pasar Uni Eropa, melalui skema yang disebut dengan Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreements/VPA). Indonesia telah menandatangani VPA ini pada bulan Mei tahun 2011 lalu, dengan P.38 jo P.68 sebagai salah satu instrumennya. Diharapkan melalui kebijakan ini, kayu tidak hanya sekedar dapat terbukti legalitasnya, namun lebih jauh lagi bahwa unit usaha kehutanan dapat meningkatkan performanya untuk melakukan praktek - praktek pengelolaan hutan lestari.1

Namun, berdasarkan hasil serangkaian studi maupun pengalaman berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir, terdapat sejumlah tantangan dalam pencapaian tujuan sistem tersebut. Konsekuensi dari hal tersebut di atas adalah adanya kondisi yang mewajibkan bagi setiap pemegang hak, pemegang izin pemanfaatan hasil hutan, pemegang izin usaha pengolahan kayu lanjutan (bahkan termasuk industri rumah tangga/pengrajin), dan pedagang ekspor, untuk melaksanakan SVLK sebagai sistem penjaminan legalitas yang diakui secara internasional.

1 Berdasarkan butir Menimbang bagian D dalam P 38, disebutkan bahwa Standard Pedoman

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak ditetapkan dalam rangka menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), penerapan tata kelola kehutanan serta pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya.

(9)

SVLK Beserta Tantangan terkait Implementasinya

SVLK sebagaimana diatur dalam P.38 jo P.68, dan peraturan turunannya merupakan sistem sertifikasi yang bersifat wajib (mandatory). Dalam arti, penilaian suatu pemegang ijin merupakan permintaan atau persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini hasil penilaian dari pihak ketiga merupakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk pembinaan dan pengambilan keputusan perpanjangan maupun persetujuan ijin usaha pemegang ijin terkait.

Kelahiran SVLK ini disebut-sebut merupakan ‘jalan tengah’ yang ditempuh Kementerian Kehutanan, di tengah tuntutan green market yang memiliki prinsip, kriteria dan indikator yang masih sulit dapat dipenuhi oleh unit manajemen dan masih lemahnya sistem tata kelola (governance system) sektor kehutanan Indonesia. Sulitnya unit manajemen memenuhi prinsip, kriteria dan indikator dari sistem yang bersifat sukarela (voluntary) yang ada sebagian bersumber dari masih buruknya sistem tata kelola hutan (forest

governance system). Dengan SVLK yang bersifat wajib (mandatory) maka

pemerintah memiliki alat (tools) untuk memperbaki kinerja forest governance

system.2

Namun, dalam perjalanan implementasi SVLK, beberapa hasil studi3

maupun pengalaman4 dari berbagai pihak menemukan adanya sejumlah

tantangan. Secara umum, berdasarkan temuan studi yang dilakukan oleh Institut KARSA (2010), tantangan dikelompokkan menjadi: a. Terkait pada pemenuhan syarat penting, yang meliputi kebijakan, tata kelembagaan, kriteria dan indikator sampai kepada standard operational procedure (SOP) yang terkandung di dalam sistem; b. Terkait pada pemenuhan syarat cukup, meliputi kewenangan (authority), sosialisasi, ketrampilan individu (personal

skill), independen (independency), keterbukaan alur informasi dan

pembiayaan.

Keseluruhan tantangan tersebut jelas muncul akibat sejumlah ketidakjelasan pengaturan dan kesimpangsiuran pemahaman dari berbagai pihak terhadap SVLK. Dampaknya sebagian aturan mengalami kebuntuan sehingga implementasi SVLK menjadi tidak optimal.

Sebagai upaya untuk mengatasi tantangan di atas, telah dilakukan

2 Selengkapnya lihat Institut KARSA, 2010

3 Beberapa studi yang diacu diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Institut KARSA

terkait SVLK seperti “Studi Komparasi Model Kelembagaan Penyelesaian Keberatan di Indonesia dan Relevansinya dengan Pengembangan Mekanisme Penyelesaian Keberatan (Dispute Resolution Mechanism) dalam Konteks SVLK (Kasus : KOMNAS HAM, Ombudsman RI, PNPM dan BPN)” Maret 2010, “Kajian atas Kebijakan dan Perundang-Undangan sebagai Alas Legalitas dari Mekanisme Penyelesaian Keberatan dalam Konteks SVLK” Maret 2010, “Studi Membangun Model Kelembagaan Penyelesaian Keberatan Dalam Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK” Desember 2010, “Kajian Yuridis Kebijakan Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi LK, PKBH UGM – Institut KARSA” Juni 2011.

4 Lihat kumpulan tulisan mengenai pengalaman empiris Pemantauan Independen dan/atau

Pengajuan Serta Penyelesaian Keberatan di Regio Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua yang difasilitasi Institut KARSA, Juli 2011

(10)

revisi5 P.38/2009 yang melahirkan P.68/2011 beserta aturan turunannya.

Dalam aturan terbaru hasil revisi, telah dilakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa klausul dalam P.38 yang menimbulkan ketidakjelasan dan penafsiran beragam, kriteria dan indikator, pengayaan terhadap pedoman operasional, khususnya terkait penilaian, pemantauan serta pengajuan dan penanganan keluhan serta banding.

Misalnya terkait Kriteria dan Indikator, disebutkan bahwa bagian ini tidak dirumuskan dengan baik karena selain menimbulkan kerancuan di beberapa indikator, banyak hal belum tercakup menjadi indikator, verifiernya tidak jelas dan ketiadaan norma/nilai kematangan verifikasi. Namun hal ini telah diatasi dengan lahirnya Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 tentang Standard dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) sebagai revisi atas Kriteria dan Indikator sebelumnya.

Terkait dengan kelembagaan, ditemukan bahwa dengan pelibatan Komite Akreditasi Nasional (KAN) maka terdapat 3 (tiga) kecenderungan yang berbeda dari sistem terkait, yaitu : 1. Merupakan bagian dari pengaturan internal (internal governance); 2. Merupakan bagian dari sebuah gerakan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management movement); dan 3. Merupakan bagian dari sebuah rejim standarisasi internasional. Di mana masing-masing memiliki konsekuensinya tersendiri, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya dan berimplikasi pada sejumlah kontradiksi dan implementasi di lapangan yang problematik.

Sedangkan terkait mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding, juga ditemukan sejumlah tantangan di mana mekanisme terkait tidak dapat memenuhi sejumlah prinsip penyelesaian sengketa yaitu

Legitimate, Accessible, Predictable, Equitable, Rights-Compatible, dan Transparant.

Seiring dengan hal tersebut, mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding tidak dapat bekerja secara efektif, diukur dari 7 (tujuh) tolok ukur efektifitas sebuah mekanisme yaitu –Subject Clearity, Receiver, Filtering,

Processing, Decision Making, Acceptance, Post Resolution dan Feed Back.

Selain temuan studi yang dijabarkan di atas, pengalaman dari berbagai inisiatif yang perhatian terhadap isu ini, juga mendeskripsikan sejumlah tantangan yang ditemui di lapangan. Sebagai contoh pengalaman pendampingan persiapan hutan rakyat di Jawa Tengah menyebutkan bahwa kesulitan utama di lapangan dalam pemenuhan SVLK adalah terkait kelembagaan hutan rakyat (status badan hukum organisasi tidak jelas, belum memiliki aturan main organisasi), administrasi dari segala bentuk dokumen legalitas pengangkutan kayu dan penjualan yang sama sekali tidak baik,

5 Proses revisi P38/2009 tidaklah semudah membalik telapak tangan. Diawali dengan

membangun proses diskusi P38/2009 di berbagai pihak. Berbagai kajian dilakukan dari berbagai sudut pandang. Kemudian diikuti dengan sebuah konsultasi publik di regio Sumatera, Jawa-Bali-NTT-NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dan konsultasi nasional. Maka sebuah Tim yang diwakili berbagai pihak mencoba mengakomodir segala masukan sehingga kemudian lahir P68/2011 dan peraturan turunannya.

(11)

pembiayaan yang masih belum mandiri sampai kepada keterbatasan pemahaman pemilik hutan hak tentang sertifikasi dan tata kelola kehutanan.6

Berdasarkan tantangan tersebut, maka beberapa organisasi non pemerintah (Ornop) pendamping hutan rakyat memfokuskan pada kerja-kerja pendampingan dalam persiapan menuju SVLK. Selain itu peningkatan kapasitas baik untuk pelaku industri maupun pendamping secara terus-menerus diselenggarakan .

Konteks Otonomi Khusus Papua

Papua sebagai provinsi terluas di Indonesia yang 85,05%-nya adalah hutan, memiliki kondisi spesifik yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia, baik tatanan adat-istiadatnya, karakteristik ekologis-nya bahkan latar belakang politiknya. Dilatarbelakangi dengan sejarah politik yang penuh warna dan kerap diwarnai dengan ketegangan-ketegangan politik, maka pada tahun 2001 sebagai penawaran tertinggi dalam mengatasi ketegangan politik tersebut, Pemerintah memberikan status Otonomi Khusus (selanjutnya akan disingkat dengan otsus) bagi Provinsi Papua.

Secara legal otsus ini dinaungi melalui payung Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Satu poin penting dari UU ini adalah adanya klausul yang memberikan penghargaan dan pengakuan atas hak masyarakat adat dan masyarakat hukum adat (selanjutnya akan disingkat dengan MHA) di Papua.

Berdasarkan UU Otsus tersebut, Gubernur Provinsi Papua diwajibkan menyusun sejumlah Peraturan Daerah Khusus (selanjutnya disebut Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Bahkan kemudian lahir beberapa Perdasus yang menjadi tonggak pengakuan hak masyarakat adat, yakni Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Ditambah lagi dengan adanya Keputusan Bersama Gubernur Papua dan Papua Barat yang telah melarang ekspor kayu bulat (zero log) pada 19 Desember 2008 dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah di Tanah Papua, khususnya bagi masyarakat adat Papua.

Dengan latar belakang kekhususan situasi Papua tersebut,7 secara

‘teoritik’ dapat diasumsikan bahwa tidak seluruh kebijakan nasional maupun peraturan turunannya dapat berlaku begitu saja. Dengan situasi ini, tentu dalam praktek memerlukan penyesuaian dengan berbagai kebijakan dan

6 Presentasi ARuPA mengenai pengalaman pendampingan hutan rakyat dalam acara

“Sosialisasi SVLK Menuju Implementasi FLEGT VPA dan Perdagangan Global Produk Kayu Legal Indonesia Bagi Pelaku Usaha Industri Kayu Kecil-Menengah dan Asosiasi se-Jawa Tengah”, di Surakarta 19-20 Januari 2012.

7 Berdasarkan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Otsus di Papua

bersifat Lex Specialis dan hanya berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat beserta dengan segala kewenangan yang telah diberikan oleh Pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

(12)

peraturan lain, dalam hal ini khususnya UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan No 38 Tahun 1999 jo. No 68 Tahun 2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.

Membaca kedua hal di atas (tantangan dalam implementasi SVLK serta kondisi spesifik Papua), ditambah lagi dengan berbagai permasalahan umum8 yang mewarnai pengelolaan sektor kehutanan maka lahirlah

beberapa pertanyaan seperti : Permasalahan apa saja yang menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Papua saat ini? Kebijakan-kebijakan khusus apa yang muncul sebagai akibat pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua yang perlu diperhatikan dalam penerapan SVLK cq. P38 jo. P68? Apa implikasi kebijakan-kebijakan khusus itu terhadap Kriteria dan Indikator, sistem kelembagaan, dan mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding sebagaimana telah diatur dalam P38/2009 Jo. P 68/2011 dan kebijakan-kebijakan lain yang menyertainya? Sejauh mana kesiapan para pihak, termasuk pelaku industri hasil hutan kayu dari kalangan masyarakat hukum adat di Papua dalam menerapkan SVLK di masa yang akan datang? Kegiatan-kegiatan strategis apa saja yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SVLK di Papua?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka sebuah upaya berupa stocktaking assessment9 dilakukan oleh Multistakeholder

Forestry Programme II (MFP II). Upaya ini sekaligus akan menjadi bahan masukan untuk persiapan program MFP III di Papua. Diharapkan, melalui

assessment ini maka tujuan pencapaian pengelolaan hutan lestari di Papua

khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat maju selangkah lagi. 1.2 Tujuan dan Keluaran

Outcome dari program ini adalah menciptakan kondisi di mana sistem

Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu dapat bekerja dengan optimal di Papua, sehingga tata-kelola kehutanan yang baik (Good Forestry

Governance) dalam rangka mencapai sistem pengelolaan hutan lestari dapat

diwujudkan.

Berdasarkan outcome, maka tujuan dari program ini adalah :

8 Permasalahan umum yang terkait dengan tata kelola kehutanan, diantaranya: tarik menarik

wewenang antara pusat dan daerah, tidak sinkronnya substansi kebijakan dan peraturan turunannya antar sektor maupun antara pusat dan daerah, masalah terkait ketidaksiapan kelembagaan dan sumberdaya manusia, dan lain sebagainya. Selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Bagian 2 dan 3 laporan ini.

9 Stocktaking adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan terkait kegiatan ekonomi, yaitu physical verification of the quantities and condition of items held in an inventory, as a basis for accurate inventory audit and valuation (selengkapnya lihat www.businessdictionary.com). Dalam kegiatan ini, stocktaking assessment dimaknai sebagai assessment untuk memberikan gambaran informasi terkini yang dimaksudkan untuk memahami permasalahan, mengangkat kisah sukses berdasarkan praktek di lapangan untuk perbaikan ke depan.

(13)

1. Memberikan informasi terkini terkait permasalahan yang menonjol dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Papua.

2. Menelaah implikasi kebijakan-kebijakan khusus yang muncul sebagai akibat pemberlakuan otsus di Papua dikaitkan dengan SVLK (meliputi Kriteria dan Indikator, Sistem Kelembagaan, dan Mekanisme Pengajuan dan Penanganan Keluhan dan Banding).

3. Menggambarkan kesiapan para pihak, termasuk pelaku industri hasil hutan kayu dari kalangan masyarakat hukum adat di Papua dalam implementasi SVLK di masa yang akan datang.

4. Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan strategis yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SVLK di Papua.

Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, maka output yang akan dicapai adalah rekomendasi intervensi program yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi MFP III ke depan

1.3 Metodologi

Alur yang akan dilakukan dalam stoctaking assessment ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Stocktaking assessment diawali dengan melakukan telaah terhadap

berbagai hal terkait kehutanan di Papua, seperti situasi dan kondisi terkini kehutanan Papua, kebijakan terkait kehutanan baik kebijakan nasional dikaitkan dengan lokal, kelembagaan kepengurusan hutan di Papua serta tata niaga kayu termasuk di dalamnya mengenai sumber bahan baku dan produknya. Selain itu juga digambarkan potret pengelolaan hutan dan industri kayu yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat. Bahan yang digunakan untuk bagian ini adalah data sekunder berupa berbagai hasil studi, data-data statistik, informasi dari media massa, dan lain sebagainya. Berdasarkan penelaahan tersebut, dirumuskan pernyataan masalah (problem

statement) awal terkait tujuan assessment. Hasil tahap awal ini akan menjadi

Laporan Draft 0.

Kemudian tahap selanjutnya akan diselenggarakan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) I yang dihadiri pihak-pihak kunci terkait. Dalam proses FGD ini akan dipetakan permasalahan yang dihadapi para pihak dalam rangka implementasi SVLK dan kemudian dirumuskan berbagai upaya pemecahannya beserta dukungan yang dibutuhkan. Hasil FGD ini akan menyempurnakan problem statement yang dihasilkan dalam proses sebelumnya. Hasil dari tahap ini akan menjadi Laporan Draft 1

(14)

Gambar 1

Alur Stoctaking Assessment Kehutanan Papua

Tahap berikutnya akan dilakukan pengumpulan data primer dengan instrumen wawancara, FGD di kampung untuk masyarakat serta observasi lapangan. Wawancara untuk memperdalam laporan akan dilakukan kepada berbagai pihak terkait, seperti Dinas Kehutanan (baik Provinsi maupun Kabupaten), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP,) organisasi masyarakat hukum adat, akademisi dan organisasi masyarakat sipil.

Kemudian kunjungan lapangan akan dilakukan ke-lima lokasi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi

Mengumpulkan dan Menganalisa Konteks Kehutanan Papua berdasarkan Data Sekunder Problem Statement

Focus Group Discussion I Pemetaan Masalah Dari Perspektif Key Stakeholders

berikut dengan Usulan Pemecahannya

Pengumpulan Data Primer : - Interview

- FGD dengan kelompok masy - Observasi lapangan Draft Nol Laporan :

- Pendahuluan

- Konteks Kehutanan Papua o Situasi dan Kondisi Terkini o Kebijakan (Nasional vs Lokal) o Kelembagaan

o Tata Niaga Kayu - Potret Industri Kehutanan

Masyarakat Hukum Adat

Draft 1 Laporan : - Pendahuluan

- Konteks Kehutanan Papua - Potret Industri Kehutanan

Masyarakat Hukum Adat - Analisis Para Pihak

Draft 2 Laporan : - Pendahuluan

- Konteks Kehutanan Papua - Potret Industri Kehutanan

Masyarakat Hukum Adat - Analisis Para Pihak - Analisis Kesesuaian - Analisis Kesesuaian - Rekomendasi

Focus Group Discussion II

Presentasi Hasil Studi untuk Mendapatkan Masukan guna

Penyempurnaan Laporan

(15)

studi kasus di awal studi. Dengan berbagai pertimbangan seperti representasi lokasi, model pengelolaan serta perijinannya maka di awal ditentukan lima industri kayu rakyat yang akan disajikan sebagai kasus dalam assessment ini. Lima kasus tersebut adalah Distrik Unurum Guay (KSU Lwagubin Srem dan KSU Jibogol), Yapen (KSU Yera Asai), Merauke (Kelompok Pengelolaan Hasil Hutan Mo Make Unaf) dan Nabire (KSU Nuwoa Baru).

Keseluruhan data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan menjadi bahan utama dalam menyempurnakan isi laporan sebelumnya yang hanya bersumber dari data sekunder dan hasil FGD. Kemudian akan dilakukan juga analisis kesesuaian yang mecari kesesuaian antara kekhususan situasi Papua dengan sistem yang terdiri dari kriteria dan indikator, kelembagaan serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding. Keseluruhan analisis ini kemudian akan melahirkan kegiatan-kegiatan strategis yang akan menjadi program yang diusulkan di Papua. Hasil dari tahap ini akan menjadi Laporan Draft 2.

Hasil dari assessment ini kemudian dikonsultasikan dalam diskusi terbatas (FGD 2) untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak. Dan masukan dari diskusi terbatas tersebut menjadi bahan utama dalam menghasilkan laporan final.

1.4 Sistematika Laporan

Laporan assessment ini terdiri dari 5 (lima) bagian. Bagian I, Pendahuluan, memuat uraian tentang latar belakang kerangka pikir perlunya

stocktaking assessment, tujuan dan keluaran yang hendak dicapai, metodologi,

serta uraian sistematika laporan. Dijelaskan pula bahwa stocktaking assessment ini merupakan upaya MFP II untuk mendapatkan bahan masukan bagi pelaksanaan program MFP III maupun program institusi lain yang terkait sektor kehutanan.

Bagian II berisi potret terkini situasi dan kondisi kehutanan Papua. Di dalamnya termuat informasi mengenai luasan dan potensi hutan, kebijakan kehutanan di Papua, kelembagaan kepengurusan hutan di Papua, pemanfaatan hutan dan industri kehutanan serta tata niaga kayu termasuk di dalamnya sumber bahan baku dan produknya.

Selanjutnya Bagian III mendeskripsikan hasil pemetaan pemangku kepentingan kunci (key stakeholder) beserta dengan peran dan kepentingannya. Juga diuraikan mengenai permasalahan umum yang merupakan hasil keluaran FGD 1. Dalam bagian ini juga digambarkan potret dan permasalahan dari industri kayu yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat pada lima lokasi.

Kemudian pada bagian IV, dideskripsikan hasil analisis kesesuaian SVLK dalam konteks pengelolaan hutan di Papua. Analisis dilakukan pada tiga bagian penting dalam sistem yaitu, Kriteria dan Indikator, kelembagaan serta mekanisme pengajuan dan penanganan keluhan dan banding. Dalam analisis

(16)

ini diuraikan hal-hal apa saja dari ketiga hal tersebut yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan kekhususan Papua.

Pada bagian akhir (bagian V), disajikan kesimpulan dan sejumlah usulan kegiatan strategis yang sebaiknya dilakukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung implementasi SVLK di Papua untuk mencapai tata-kelola kehutanan yang baik dan pengelolaan hutan lestari.

(17)

Bagian II

KONTEKS UMUM KEHUTANAN PAPUA

Provinsi Papua (selanjutnya disebut Papua) dengan luas wilayah 31.903.605 hektar atau mencapai 2.5 kali luas pulau Jawa merupakan provinsi terluas di Indonesia.10 Papua merupakan provinsi yang terletak di paling

timur wilayah Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New Guinea. Secara administratif pemerintahan, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota. Sejak dulu Papua dihuni oleh beragam suku bangsa. Setidaknya tercatat 264 macam bahasa yang mencirikan suku bangsa dan dan adat istiadatnya.11 Pada tahun 2009, provinsi ini memiliki

jumlah penduduk sebanyak 2.851.999 jiwa (hasil Sensus Penduduk Provinsi Papua 2010).12

2.1 Luas dan Potensi Hutan Papua

Luas tutupan hutan Papua selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Akan tetapi perubahan tersebut bukan ke arah positif melain ke arah pengurangan tutupan hutan. Di seluruh wilayah Indonesia, pengurangan luas tutupan hutan bukan hal baru. Berdasar hasil analisis Forest Watch Indonesia luas tutupan hutan di seluruh wilayah Indonesia telah dimulai sejak masa pra-pertanian. Hingga pada tahun 1950 pembukaan hutan dilakukan untuk kepentingan membuka lahan pertanian terutama untuk budidaya padi. Berdasar peta yang diterbitkan oleh pemerintah pada tahun 1950, 84% luas daratan Indonesia atau sekitar 145 juta hektar tertutup hutan primer dan sekunder. Khusus untuk Irian Jaya pada masa itu luas hutannya adalah 40.700.000 ha dari 41 juta ha luas wilayah daratan.

Setelah tahun 1950, luas hutan tersebut terus mengalami penyusutan Tercatat sejak tahun 1970 pengurangan luas hutan mengalami percepatan akibat penebangan hutan secara komersial. Menurut hasil survei yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk pengembangan program transmigrasi, tutupan hutan pada tahun 1985 turun menjadi 119 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan sebesar 27 persen dari luas kawasan hutan pada tahun 1950. Antara tahun 1970-an dan 1990-an, laju deforestasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta ha (Sunderlin dan

10 Buku Statistik Indonesia Tahun 2011, Badan Pusat Statistik. Sebelum tahun 2001 provinsi

ini bernama Irian Jaya. Sebelum terjadi pemekaran, wilayah Irian Jaya meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat sekarang yang luasnya hampir mencapai 3.5 kali luas Pulau Jawa.

11Max J. Tokede, 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua: Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari

12 Buku Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Papua., BPS Provinsi Papua. Sedangkan Buku

Statisitik Indonesia 2011 melaporkan penduduk Papua pada tahun 2010 adalah sebesar 2.833.381 jiwa.

(18)

Resosudarmo, 1996). Melalui kegiatan pemetaan tutupan hutan pada tahun 1999, pemerintah Indonesia menyimpulkan bahwa bahwa laju deforestasi rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7 juta ha. Laju deforestasi terberat terjadi di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Dalam periode yang sama, hutan di Irian Jaya mengalami pengurangan sebesar 5% yaitu dari 34.958.300 hektar menjadi 33.160.231 hektar.13 Berdasar

SK No. 891/Kpts-II/99 luas kawasan hutan dan perairan Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sebesar 42.224.840 ha yang meliputi 40.546.360 ha kawasan hutan dan 1.678.480 ha perairan. Dari kedua data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 1999 luas tutupan hutan Papua dan Papua Barat adalah 81% dari luas kawasan hutan.

Pada saat era desentralisasi dan pemberlakukan Otonomi Khusus, nama provinsi Irian Jaya diganti dengan nama Papua. Selanjutnya terjadi pemekaran wilayah provinsi yang membagi Papua menjadi dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berdasar hasil pendataan BPKH Wilayah X Jayapura, luas kawasan hutan dan perairan yang masuk wilayah Papua setelah proses pemekaran adalah seluas 30.930.643 hektar.14

Pada tahun 2011 setelah dilakukan pemutakhiran data dan rekomendasi yang dibuat oleh Tim Terpadu yang dibentuk oleh Kementerian Kehutanan melalui surat keputusan menteri (Kepmenhut No. SK.598/Menhut-VII/2010 Tanggal 21 Oktober 2010) dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua 2011 – 2031, luas kawasan hutan di Provinsi Papua adalah 30.916.637 Ha, dengan pembagian fungsi sebagai berikut:

Tabel 1

Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Fungsi

No Fungsi Hutan Luas Prosentase

1 Hutan Lindung (HL) 8,133,488 24,82 %

2 Hutan Produksi (HP) 4,783,076 14,59 %

3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 5,984,244 18,26 %

4 Hutan Produksi Konversi (HPK) 4,242,432 12,94 %

5 Kawasan Konservasi (KSA/KPA) 7,773,397 23,72 %

6 Kawasan Hutan 30,916,637 94,33%

7 APL 1,306,386 3,99%

8 Tubuh Air 551,290 1,68 %

9 Bukan Kawasan Hutan 1,857,676 5,67 %

TOTAL KAWASAN 32,774,313 100 %

Sumber : Tim Terpadu, 2011

Pengurangan luas tutupan hutan terus berlanjut pada era desentralisasi dan pemberlakukan Otonomi Khusus. Berdasar buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010, luas tutupan hutan Provinsi Papua adalah seluas 25.306.505 hektar dari 30.930.643 hektar luas kawasan hutan dan perairan. Hampir 6.5 juta hektar kawasan hutan di Papua saat ini tidak

13 Potret Keadaan Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001

hal.8- 11

14 Buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura Tahun 2010 hal 14 – 15. Dalam penyusunan

(19)

berupa hutan. Berikut adalah tabel penutupan lahan hutan Papua yang dikutip dari Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura Tahun 2010.

Tabel 2

Luas Tutupan Hutan Papua

Penutupan Hutan Luas tutupan hutan

Hutan Primer 15,518,919.61

Hutan Sekunder 3,279,206.03

Hutan Rawa Primer 4,626,353.33

Hutan Rawa Sekunder 629,302.03

Hutan Mangrove Primer 1,177,992.07

Hutan Mangrove Sekunder 71,085.77

Hutan Tanaman 3,646.16

Jumlah 25,306,505.00

Sumber : Buku Statistik BPPHP Wilayah XVII Jayapura 2010

Jika dibandingkan dengan data yang dirilis oleh BPKH X Jayapura tahun 2007, pengurangan luas tutupan hutan paling luas justru terjadi pada kategori hutan primer dimana pada tahun tersebut tercatat luas hutan primer di Papua adalah 20.971.610 hektar.15 Beberapa kegiatan yang teridentifikasi

sebagai penyebab perubahan luas tutupan hutan antara lain kegiatan HPH, kebakaran, perluasan areal pertanian/perkebunan dan perluasan areal pemukiman serta transmigrasi.

Hutan Papua memiliki potensi yang besar, baik berupa potensi hasil hutan kayu, non kayu maupun jasa lingkungan. Di dalam hutan Papua terdapat banyak jenis kayu komersial, menurut Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007 setidaknya terdapat 16 jenis komersial yaitu Bintangur, Bipa, Dahu, Gia, Hopea, Kelat, Kenari, Ketapang, Lancat, Merbau, Mersawa, Nyatoh, Piak, Resek dan jenis lain-lain. Potensi tegakan per hektar pada hutan produksi di Papua berdasar kelas diameter dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3

Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter

Kelas Diameter (cm) 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 60 up

N/ha 141.32 33.94 17.12 9.62 4.35 4.22

V/ha (m3) 9.128 8.386 13.059 12.344 9.734 14.874

Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007

(20)

Gambar 2

Potensi Tegakan per-Hektar Pada Hutan Produksi di Papua Berdasarkan Kelas Diameter

Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007

Menurut buku Neraca Sumber Daya Hutan Papua tahun 2009, potensi kayu komersial pada kawasan hutan produksi di Papua adalah sebesar 229,37 juta m3 dengan rincian:

• Hutan Produksi Terbatas : 22,31 juta m3 (9,73%) • Hutan Produksi : 106,40 juta m3 (46,39%) • HP yang dapat dikonversi : 100,66 juta m3 (43,88%)

Dari sekian banyak jenis komersial yang terdapat pada hutan produksi di Papua jenis merbau dan meranti merupakan jenis paling dominan. Khusus untuk jenis merbau, Dinas Kehutanan Papua menyebutkan potensi jenis kayu tersebut yang berdiameter 50 up adalah sebesar 16,87 m3/ha16.

Selain memiliki potensi kayu17, hutan Papua juga memiliki potensi hasil

hutan non kayu yang melimpah. Beberapa hasil hutan non kayu yang teridentifikasi antara lain gambir, masohi, lawang, rotan, bakau, sagu, nipah, buah merah dan lain sebagainya.

Tabel 4

Potensi Hasil Hutan Non-Kayu

Jenis Komoditas Potensi Satuan

Gambir 17,67 juta kg Masohi 35,33 juta kg Rotan 2,14 miliar kg Bakau 65 juta m3 Sagu 496,09 juta kg Nipah 51,90 juta m3

Kulit lawang tidak ada data -

Buah merah 11,53 juta buah

Sumber: Buku Neraca Sumber Daya Hutan Papua 2009

16 Statistik Dinas Kehutanan Papua 2007

17 Selengkapnya mengenai pemanfaatan hasil hutan kayu di Papua dapat dilihat pada Sub

(21)

2.2 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Dalam Konteks Otonomi Khusus

Kebijakan pengelolaan hutan Papua sebelum era desentralisasi (otonomi daerah) tidak berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Kebijakan pengelolaan pada masa itu bersifat sentralistik. Dalam rejim yang sentralistik tersebut peran dan kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam pengelolaan hutan sangat terbatas. Pengaturan peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan pada masa itu berpangkal pada sejumlah undang-undang seperti UU Nomor 5 tahun 1967 Tentang Undang Undang Pokok Kehutanan dan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Undang Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).18 Peran Pemerintah Daerah Tingkat

II pun hanya terbatas hanya pada pemanfaatan hutan untuk kepentingan non-komersial, seperti penghijauan, konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan rakyat atau hutan milik, dan pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan, apabila mengacu pada Keputusan Menteri No. 86/Kpts-II tahun 1994

Pada era pengusahaan hutan ini, jumlah unit dan luas konsesi HPH di Papua selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada periode 1983 – 1997 setidaknya terdapat 67 unit HPH dan 7 unit industri terpadu beroperasi di Papua. Beberapa ciri dari pola sentralistik kebijakan pengelolaan hutan pada masa itu antara lain terjadinya konglomerasi dalam pemanfaatan hutan, dimana Papua hanya dijadikan sebagai penyedia bahan baku industri skala besar dan padat modal, sementara pendapatan dan penerimaan sektor kehutanan dikuasai oleh pemerintah pusat. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah kebijakan yang terbit cenderung tidak berpihak kepada keterwakilan kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Masyarakat tidak terlibat sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan hutan dan termarginalkan. Konglomerasi dalam pemberian izin konsesi HPH cenderung tidak transparan, koruptif dan kolutif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan hutan pada era sebelum otonomi khusus belum memenuhi prinsip-prinsip good forest governance.

Runtuhnya kekuasaan Soeharto pada pertengahan 2008 merupakan titik tolak mulainya era reformasi. Dalam era reformasi ini segala kebijakan merupakan antitesis kebijakan pada era sebelumnya. Begitu juga dalam pengelolaan hutan berubah dari yang bersifat sentralistik ke arah desentralisasi.

Desentralisasi sektor kehutanan telah merubah kebijakan pengelolaan hutan dari state based forest management ke community based forest management

18 Undang-undang No.5 tahun 1967 memberikan landasan yang sangat luas kepada

pemerintah mulai dari penentuan kawasan, pembagian areal tebang, sampai penyetoran kewajiban pengusaha kepada pemerintah. Sedangkan dua undang-undang lain yang lebih popular dengan sebutan undang-undang penanaman modal memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memberikan izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada pihak swasta yang hanya cukup melalui pengajuan permohonan kepada menteri.

(22)

dan dari timber management ke arah ecosystem based forest management. Perubahan kebijakan ini berawal diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang UU Nomor 32 Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (sekarang UU Nomor 33 Tahun 2004). Khusus bagi Papua, pelaksanaan otonomi daerah juga diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Di sektor kehutanan perubahan yang paling menonjol adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan UU No.5 tahun 1967. Terjadi pro-kontra mewarnai pemberlakuan undang-undang baru tersebut. Sebagian kalangan beranggapan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan semangat desentralisasi karena memperkuat kewenangan pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dalam pengurusan hutan. Pemberian kewenangan ’setengah hati’ ini diantaranya dapat dilihat dalam Pasal 66 berikut ini:

1. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.

2. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Namun demikian UU Nomor 41 tahun 1999 memberikan pengakuan terhadap hak-hak MHA dalam pengelolaan hutan.19 Seperti tercantum dalam

Pasal 67 ayat 1:

Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Dan Pasal 67 ayat 2:

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Setidaknya dari sana, UU ini telah memberikan peluang bagi masyarakat adat

19 Walaupun bagi sebagian pihak pengakuan ini masih bersifat setengah hati, bahkan

cenderung klausul ini menafikkan esensi apa yang disebut dengan masyarakat hukum adat, terbukti dari permohonan Judicial Review atas UU 41/1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke Mahkamah Konstitusi dikarenakan anggapan bahwa undang-undang ini bertentangan dengan pasal 18B UUD 1945 mengenai pengakuan atas masyarakat adat.

(23)

untuk mengelola hutan Negara yang berstatus hutan adat.20.

Selain itu terdapat beberapa peraturan perundangan maupun kebijakan lain yang dirancang untuk memperkuat desentralisasi dalam pengelolaan hutan.21 Akan tetapi harus diakui bahwa sebagian kebijakan tersebut pada

akhirnya justru melemahkan otonomi daerah. Sehingga yang muncul adalah tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi

Tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi juga terjadi dalam kebijakan pemberian IUPHHK. Semangat otonomi daerah memunculkan keinginan daerah untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan. Hal ini ditanggapi dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 051/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standarisasi Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Alam Produksi. Berdasarkan keputusan ini, Gubernur dan Bupati/Walikota diberi wewenang dalam proses pemberian perijinan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dalam bentuk IUPHHK. Akan tetapi sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka pemberian IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman menjadi kewenangan Menteri Kehutanan berdasarkan Rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Konsekuensi diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002, maka diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 541/Kpts-II/2002 yang mencabut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 051/Kpts-II/2000.

Dalam konteks Papua, semangat desentralisasi di Papua disambut dengan terbitnya Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor 522.1/1401 tanggal 04 Agustus 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan HPHH Masyarakat Hukum Adat. Penerbitan surat keputusan ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi dan Surat Keputusan Dirjen PH Nomor 199/Kpts/VI-SET/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi. Kebijakan yang diambil oleh Dinas Kehutanan inilah yang menjadi dasar oleh masyarakat adat untuk mengajukan IPK-MA melalui wadah KOPERMAS.

Pada Tahun 2002 dalam rangka menjalankan amanah otonomi khusus, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor KEP.522/1648 tanggal 22

20 Selengkapnya dapat dibaca pada Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru

Indunesia oleh Wollemberg dan Kartodihardjo dalam Buku Kemana harus Melangkah? “Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2003.

21 Selengkapnya mengenai beberapa peraturan perundangan dan kebijakan dalam

pengelolaan hutan yang mencerminkan semangat desentralisasi disajikan dalam tabel pada Lampiran 1

(24)

Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat/Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat. Penerbitan SK ini mengacu pada Surat Edaran Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat. Akan tetapi pada tahun 2003, melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 112/VI-PHA/2003 Menteri Kehutanan meminta penangguhan pemberlakukan IPK-MA. Dan sejak akhir tahun 2004, Dinas Kehutanan Provinsi Papua menyatakan bahwa IPK-MA tidak beroperasi lagi. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.07/Menhut-II/2005, pengelolaan hutan masyarakat adat melalui IPK-MA KOPERMAS dihentikan seluruhnya. 22

Kemudian terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan sebagai pengganti PP Nomor 34 tahun 2002. Diharapkan melalui PP pengganti ini, konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, konflik kepentingan antara pengusaha dengan masyarakat adat dapat teratasi. Khususnya bagi pengelolaan hutan alam produksi, dengan lahirnya PP ini diharapkan paradigma pengelolaan hutan berbasis sumberdaya dan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat dapat terimplementasikan secara efektif menuju pencapaian tujuan pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan.

Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur pula kewenangan pemberian izin industri primer hasil hutan. Khusus untuk izin usaha industri penggergajian kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 meter kubik per tahun dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi. Peluang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan industri kayu rakyat dalam kerangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan di sektor Kehutanan23. Untuk itu pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHH). Berdasarkan peraturan ini Gubernur dan atau Bupati/Walikota diberi kewenangan untuk memberikan izin IUIPHHK sampai dengan kapasitas 2.000-6.000 meter kubik per-tahun dan skala industri kecil yang memiliki tenaga kerja kurang dari 50 orang. Dengan alas kewenangan ini, pemerintah daerah Papua mengembangkan dan memberdayakan masyarakat melalui IUPHHK-MHA dan IUIPHHK-MHA untuk hutan adatnya.

Dampak dari ‘ketegangan’ terkait pemberian kewenangan pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pengelolaan hutan, khususnya di Papua, menghasilkan konflik kewenangan yang berkepanjangan dan konflik terkait akses masyarakat adat dalam mengelola hutan adatnya yang akhirnya hanya menuai kemiskinan di atas kekayaan hutannya sendiri. Dengan kata lain, ketegangan ini menjadi hambatan bagi pemerintah daerah untuk

22 Lebih jelasnya mengenai hal ini dijelaskan pada Boks tentang Kasus IPK-MHA di Provinsi

Papua pada Bagian III Sub Bagian 3.21

23 Salah satu landasan legitimasi yang digunakan oleh Tokede, et.all. 2007. Dalam

(25)

mewujudkan tanggung jawabnya dalam memberikan pengakuan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat di wilayahnya.

Dinamika perubahan kebijakan pengelolaan hutan di provinsi Papua terus berlanjut. Setelah penangguhan IPK-MA dan pencabutan kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam penerbitan IUPHHK pada tanggal 22 Desember 2008 sesuai mandat UU No 21 tahun 2001, pasal 38 yaitu :

1. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.

2. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.

Maka pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua24 yang didukung juga dengan keberadaan

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.25

Kebijakan baru kehutanan di Papua ini menjadi tonggak sejarah baru dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua ke depan. Gubernur Papua Barnabas Suebu menyatakan bahwa :

24 Beberapa pertimbangan penerbitan Perdasus tersebut antara lain: a. Pengelolaan hutan di

Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya MHA Papua dan belum memperkuat fiskal pemerintah di Provinsi Papua; b. Hutan di Provinsi Papua wajib dimanfaatkan secara bijaksana bagi kesejahteraan umat manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang; c. Dengan diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak MHA Papua atas sumber daya alam termasuk sumber daya hutan

25 Sayangnya Perdasus Nomor 23 Tahun 2008, substansinya sama sekali tidak mengatur

hak-hak MHA atas kawasan hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya, termasuk sistem penguasaan dan kepemilikan serta hak-hak pengelolaannya. Perdasus ini lebih banyak mengatur hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat dan sistem pengalihan hak atas tanah baik tanah komunal maupun tanah milik. Seharusnya dalam perdasus inilah prinsip afirmatif secara optimal berperan dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat Papua dituangkan. Hak ulayat MHA adalah masalah/beban (sebagai penyebab penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan, dan peningkatan konflik) ketimbang ‘modal budaya’ yang dapat dikembangkan menjadi modal pokok masyarakat adat Papua dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Niat baik ‘pengakuan’ hak ulayat masyarakat yang tertuang dalam perdasus No. 23 tahun 2008 bisa bermuara pada ‘penihilan’ yang akan mengarah pada ‘pengakuan negatif’. Lebih lanjut mengenai hal ini dapat diperiksa pada “Catatan atas perdasus Nomor 23 tahun 2008 tetang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan masyarakat Hukum Adat Tanah” oleh R. Yando Zakaria, KARSA, Yogyakarta.

(26)

“Papua mempunyai aturan kebijakan pengelolaan hutan di Papua, dimana kepemilikan hutan yang selama ini dikuasai oleh negara maka saat ini kepemilikan itu dikembalikan kepada masyarakat adat Papua dan pengaturannya yang lestari akan dilaksanakan bersama pemerintah daerah” 26

Permasalahan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi MHA Papua menjadi salah satu isu yang dominan dalam perdasus ini. Hal ini tampak sekali dalam tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan yang diatur dalam perdasus tersebut adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan MHA Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya. Dalam pasal 4 dari perdasus ini juga disebutkan bahwa Peraturan Daerah Khusus ini mengatur tentang keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Beberapa klausul yang mengatur mengenai hal tersebut antara lain:

Dalam Pasal 5 menyebutkan :

Masyarakat hukum adat di Provinsi Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adatnya masing-masing

Pasal 9 juga mendukung dengan klausul :

Dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain, masyarakat hukum ada berhak

o mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan

informasi kehutanan;

o memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pemanfaatan

hutan

o memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan

tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan hutan

o memperoleh manfaat sosial dan ekonomi

o menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan Pasal 11 perihal pemberian perlindungan, sebagai berikut :

1. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan

2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

membentuk dan melaksanakan peraturan dan kebijakan yang berpihak dan memberdayakan masyarakat hukum adat untuk mencapai kemandirian.

Pasal 32, ayat 2 :

Masyarakat hukum adat berhak memanfaatkan kawasan hutan dan hasil hutan

Pasal 31 :

Pemanfaatan hutan oleh MHA dalam bentuk kegiatan usaha dapat dilaksanakan pada semua kawasan hutan sesuai jenis perizinan pada fungsi kawasan hutan

(27)

Dan Pasal 34 :

Untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan berorientasi secara komersial, masyarakat hukum adat dapat membentuk badan usaha

Selain itu, dalam Perdasus diatur pelarangan peredaran kayu bulat ke luar Papua, seperti yang dinyatakan oleh Gubernur Papua:

“ ...kalau dulu Papua adalah provinsi bahan baku karena hanya menyiapkan bahan baku untuk industri pengolahan kayu di Jawa,, maka sekarang dan ke depan sudah tidak lagi. Semua produk kayu log harus diolah di Papua untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum diperdagangkan antar pulau atau diekspor ke luar Papua” 27

Hal tersebut diatur dalam Pasal 52 pada ayat 1 dan 2 :

1. Kayu bulat dan hasil hutan lainnya wajib di olah di Provinsi Papua

untuk optimalisasi Industri Kehutanan, meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, menambah peluang usaha, meningkatkan pengetahuan dan teknologi

2. Untuk menjamin keseimbangan ketersediaan bahan baku dan kapasitas industri, maka dibuat zona-zona industri perkayuan disesuaikan dengan daya dukung hutan.

Pemerintah Provinsi Papua juga telah mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan Perdasus melalui Peraturan Gubernur. Salah satunya adalah Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu, yang isinya sebagai berikut :

Pada Pasal 2 ayat 1 dan 2 :

1. Setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK wajib di olah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua,

2. IUPHHK/IPK wajib memiliki industri primer pengolahan hasil hutan kayu di Provinsi Papua dan atau bekerjasama dengan pemegang industri primer hasil hutan kayu di Provinsi Papua.

Pada Pasal 3 ayat 1 dan 2 :

1. Peredaran hasil hutan kayu ke luar Provinsi papua hanya diperkenankan

bagi hasil hutan kayu olahan. Kebijakan ini diperjelas lagi dalam Peraturan Gubernbur Nomor 12 Tahun 2010 Bab II Tentang Peredaran hasil Hutan

2. Setiap produksi kayu bulat yang berasal dari IUPHHK/IPK wajib di olah seluruhnya di wilayah Provinsi Papua.

Berdasarkan hal tersebut, diharapkan kebijakan baru ini akan membuka ruang untuk peningkatan lapangan kerja, peningkatan nilai pajak daerah, meningkatkan keterampilan dan keahlian masyarakat adat Papua, yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Papua ke arah yang lebih sejahtera.

Berbagai peraturan pelaksanaan dari Perdasus Nomor 21 Tahun 2008

(28)

pun disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Peraturan Gubernur, yang terdiri dari :

• Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Hutan Tanaman Rakyat Masyarakat Hukum Adat;

• Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2010 tentang Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kayu

• Peraturan Gubernur Nomor: 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA)28

• Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakkan

• Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Cara Industri Primer Hasil Hutan kayu Rakyat

• Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat

• Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

• Peraturan Gubernur Nomor 18 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Provinsi Papua

• Peraturan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemberian izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan.

Keseluruhan peraturan di atas dilahirkan atas amanat Otonomi Khusus maupun oleh peraturan nasional. Memperhatikan kondisi terkini dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua, berbagai regulasi dan kebijakan pusat terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Provinsi Papua belum sepenuhnya mengakomodir kekhususan sebagaiman yang diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001. Tarik ulur kewenangan perizinan antara pusat dan daerah telah menjadikan pemerintah daerah belum dapat menjalankan tanggung jawabnya untuk memberdayakan dan meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan pada era pasca desentralisasi dan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Lebih lanjut mengenai kesesuaian kebijakan nasional dengan kebijakan atas amanat otonomi khusus Papua ini dapat dilihat pada Bab 4.

28 Masyarakat adat diberi kesempatan untuk memperoleh IUPHHK-MHA dengan luasan

2000 ha sampai 5000 ha dengan syarat potensi jenis komersial minimal 20 m3/ha dengan limit diameter tebang >40 cm untuk hutan rawa dan >50 cm untuk hutan kering. IUPHHK-MHA diizinkan mengolah langsung kayu bulat di dalam hutan dengan menggunakan Portabel Sawmill setelah mendapat ijin Usaha Industri Penggergajian Kayu untuk skala produksi< 2000 m3/tahun dan 2000-6000m3/tahun. Peraturan Gubernur Nomor : 15 Tahun 2010 tentang tatacara Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat telah mengakomodir izin untuk industri kayu rakyat ini dengan masa waktu izinh 10 tahun sama dengan IUPHHK-MHA terutama yang memasok bahan baku dari usaha sendiri. Jenis produk yang diusahakan adalah sortimen gergajian, moulding dan flooring dan dapat dipasarkan secara lokal, regional dan ekspor.

(29)

2.3 Kelembagaan Kepengurusan Hutan Papua

Pada awal tahun 1960an, kepengurusan hutan Papua berada dibawah Dinas Perekonomian Rakyat Sub Dinas Kehutanan. Kondisi ini terus bertahan hingga tahun 1974 pada saat terbentuk Dinas Kehutanan. Selanjutnya pada masa-masa awal pengusahaan hutan Papua yaitu pada tahun 1983 Kanwil Kehutanan sebagai representasi pemerintah pusat dibentuk. Lembaga ini terus bertahan hingga tahun 1997, kemudian dilikuidasi dan diintegrasikan dengan Dinas Kehutanan. Pada tahun 2008, Dinas Kehutanan Provinsi mengalami perubahan nomenklatur, yang disesuaikan dengan penambahan tanggung jawab untuk turut bertanggung jawab atas kawasan konservasi di Papua. Perubahan nomenklatur dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua menjadi Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi serta pada saat bersamaan kebijakan pembentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (selanjutnya akan disingkat dengan KPH) diimplementasikan.

Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK. 481/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Provinsi Papua, di Provinsi Papua telah ditetapkan 56 unit KPH yang terdiri atas 31 unit KPHP dan 25 unit KPHL dan KPHK dengan luasan keseluruhan 18.180.201 hektar atau 58,49% dari luas kawasan hutan di Provinsi Papua. Menurut Kepala Dinas Kehutanan dan Provinsi Papua, pada tahun 2012 ini seluruh hutan berada di wilayah Provinsi Papua sudah akan teregistrasi dalam wilayah KPH dan telah ditetapkan Unit KPH Model di Provinsi Papua.

Berdasarkan Strategi Umum Pembangunan Kehutanan di Provinsi Papua, bahwa kepengurusan hutan diselenggarakan dan diintegrasikan dengan kelembagaan KPH. Pembentukan KPH di Provinsi Papua, bukan semata-mata menjalankan kebijakan pemerintah pusat melainkan sekaligus sebagai bentuk implementasi Perdasus tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Pembentukan KPH di wilayah Provinsi Papua merupakan amanat otonomi khusus. Pengaturan mengenai KPH, di dalam Perdasus 21 tahun 2008 dapat dijumpai pada Bab IV yang meliputi pasal 17 sampai dengan pasal 20. Dalam pasal 17 ayat (1) secara eksplisit disebutkan:

Pelayanan pemerintah terdepan dan terdekat kepada masyarakat hukum adat dan pengguna hutan lainnya dilakukan melalui KPH.

Hal tersebut adalah karena dalam unit-unit HPH dapat dialokasikan areal kelola bagi masyarakat hukum adat yang wilayahnya berada dalam unit KPH bersangkutan. Pada sisi lain, dengan model KPH pengorganisasian kawasan dalam unit-unit managemen tingkat tapak lebih pasti dan disesuaikan dengan fungsi dan tujuan pengelolaanya. Dinamika kelembagaan pengelolaan hutan di Papua ini diupayakan untuk mewujudkan tata kelola kehutanan yang lebih baik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.

Sedangkan khusus kelembagaan pengelolaan hutan dalam kawasan hutan produksi, selengkapnya akan disajikan dalam sub bab berikut.

(30)

2.4 Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan di Provinsi Papua

Kegiatan pemanfaatan hutan meliputi kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Kawasan hutan Produksi Papua yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)

2.4.1 Perusahaan IUPHHK.

Berdasarkan data BPPHP, di Provinsi Papua hingga Februari 2012 terdapat 26 unit IUPHHK-HA dengan luas areal konsesi 5.442.218 ha. Jumlah ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun 2007 yang berjumlah 34 unit dengan luas hutan 6 .391.679 hektar (daftar lengkap perusahaan IUPHHK-HA yang terdaftar di Provinsi Papua keadaan hingga Februari 2012 disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-1). Dari 26 unit IUPHHK-HA yang terdaftar tersebut yang aktif hanya 15 unit , dan yang tidak aktif (stagnasi) 9 unit. Sementara yang belum beroperasi sejumlah 2 unit. Jumlah unit IUPHHK-HA terbesar berada di Kabupaten Bovendigul sebanyak 6 unit dengan luas 1.384.935 ha sedangkan pemegang terluas adalah PT Memberamo Alas Mandiri di Kabupaten Memberamo dengan luas areal hutan 677.310 hektar.

Selain IUPHHK-HA, terdapat pula IUPHHK-HT, terdiri atas 2 IUPHHK-HTI seluas 376. 200 ha dan 3 Unit IUPHHK- HTR dengan luas 16.892,35 ha. Dari 2 unit IUPHHK-HTI yang ada kedua-duanya telah memperoleh SK Definitif begitu pula halnya dengan 3 unit IUPHHK-HTR.29

Berdasar SK 71/Menhut-II/2009 di Kabupaten Biak Numfor terdapat 3.185 ha areal pencadangan untuk IUPHHK-HTR dan berdasar SK 278/Menhut-II/2009 di kabupaten Nabire areal pencadangan untuk IUPHHK-HTR seluas 26.165 hektar30 (data selengkapnya dari IUPHHK-HT di Provinsi Papua

disajikan pada Lampiran 2, Tabel L2-2).

Di samping ke dua jenis IUPHHK tersebut terdapat pula Izin Pemanfaatkan Kayu (IPK) hasil land clearing areal hutan konversi untuk menjadi areal non kehutanan. Jenis izin ini berjumlah 6 unit dengan luasan areal 9.419 ha. Khusus untuk tiga unit IUPHHK-HTR di Kabupaten Nabire, sekalipun telah memperoleh izin areal dari Menteri Kehutanan, namun hingga saat ini belum beroperasi (berproduksi). Alasannya adalah bahwa pemilik izin dalam hal ini Koperasi MHA tidak memiliki modal usaha dan belum ada mitra kerja yang akan berkolaborasi dengan masyarakat sebagai ‘bapak angkat’ yang dapat membantu baik dalam bentuk modal usaha

29 Sumber: Laporan Kinerja BPPHP XVII Bulan Februari 2012 (www.bpphp17.web.id) 30 Sumber: Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan, Dirjen Planologi Kehutanan 2009

Referensi

Dokumen terkait

Sinonim (mutarodif) beberapa kata tidak dibuat atau terbentuk pada satu waktu dan juga tidak disatu lingkungan, karena bisa jadi salah satu dari kedua lafa yang

Sesuai dengan penelitian yaitu mengenai hubungan antara resolusi konflik dan kesiapan menikah pada emerging adult, maka karakteristik subjek yang akan digunakan pada penelitian ini

Norma sosial (social norms) merupakan pedoman yang menjadi arah bagi perilaku dan tindakan seseorang atau masyarakat agar sesuai dengan aturan-aturan yang telah

Kajian ini menjangkakan bahawa dunia sosial yang menjadi latar belakang kepada pembentukan komuniti sub-budaya cosplay Jepun di Malaysia terdiri daripada globalisasi,

Abstrak: Berdasarkan data hasil evaluasi belajar siswa tentang lembaga-lembaga Negara dapat diidentifikasi bahwa siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 15 Raja Ampat

5 Pelatihan yang akan diberikan untuk ibu-ibu muda jalanan yang diberi nama pelatihan “great mom great children” dengan beberapa sesi yaitu Sesi 1: Mengenali tahap

Jenis penilitian ini menggunakan penelitian deskriftif kualitatif.Menurut (Saryono 2010: 1), kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

Dari tabel di atas PT TITAN SARANA NIAGA komputer client memiliki software yang umum digunakan dalam setiap perusahaan..