• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai Pengganti (Switching Value)

D. Payback Period (PP)

7.1 Analisis Kelayakan Finansial Skenario 1 (Adanya Bantuan

7.1.5 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value)

Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan nilai pengganti (switching value) yang ditentukan dengan uji coba sehingga menghasilkan nilai NPV yang mendekati nol, IRR mendekati discount rate, dan net B/C sama dengan satu. Analisis nilai pengganti (switching value) ini dilakukan karena selama kegiatan usaha pengolahan jambu biji Gapoktan KUAT berjalan, belum pernah mengalami perubahan-perubahan yang menimbulkan masalah dan kendala berarti. Hal ini menyebabkan dilakukan nilai pengganti (switching value) terhadap beberapa variabel yang memiliki pengaruh besar terhadap kelayakan usaha pengolahan jambu biji dengan mencari tingkat minimum dari variabel tersebut yang membuat usaha masih layak untuk dijalankan. Variabel yang dibahas dalam analisis ini adalah variabel yang dianggap signifikan mempengaruhi usaha. Variabel tersebut meliputi jumlah produksi puree dan sari buah, biaya bahan baku jambu biji, dan tingkat harga output puree dan sari buah.

Dengan analisis ini akan dicari jumlah minimum puree dan sari buah yang diproduksi, biaya bahan baku maksimum, dan tingkat harga penjualan minimum yang dapat ditolerir sehingga usaha yang dilakukan masih layak untuk dijalankan. Hasil analisis switching value untuk skenario I dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario I Unit Usaha

Pengolahan Jambu Biji Gapoktan KUAT

Variabel Nilai Switching Value

Volume Produksi Puree dan Sari Buah Jambu Biji

Turun maksimal sebesar

22,2666040506 persen

Biaya bahan baku (jambu biji) Naik maksimal sebesar 38,854570793 persen

Harga Jual Puree dan Sari Buah Jambu Biji

Turun maksimal sebesar

22,2666040506 persen

Berdasarkan hasil analisis switching value dapat dilihat bahwa batas maksimal perubahan terhadap penurunan volume produksi, kenaikan biaya bahan baku jambu biji, dan penurunan harga jual pada skenario I adalah sebesar 22,2666040506 persen; 38,854570793 persen; dan 22,2666040506 persen.

96 Apabila perubahan yang terjadi melebihi batas tersebut maka usaha pengolahan jambu biji ini menjadi tidak layak untuk dijalankan.

Analisis untuk variabel volume produksi puree dan sari buah jambu biji menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan volume produksi melebihi 22,2666040506 persen tiap tahunnya, maka proyek menjadi tidak layak diusahakan. Hal ini berarti batas minimum jumlah puree dan sari buah yang harus diproduksi pada tahun ke-1 adalah sebesar 4.446 botol dan 49.788 cup, tahun ke-2 dan ke-3 sebesar 6.791 botol dan 76.396 cup, tahun ke-4 dan ke-5 sebesar 13.582 botol dan 152.793 cup, tahun ke-6 dan ke-7 sebesar 27.163 botol dan 305.586 cup, serta sebesar 40.745 botol dan 458.378 cup untuk tahun berikutnya. Rincian analisis switching value terhadap penurunan volume produksi puree dan sari buah jambu biji dapat dilihat pada Lampiran 7.

Dilihat dari variabel bahan baku jambu biji, proyek menjadi tidak layak untuk dijalankan apabila harga jambu biji pada musim panen raya, panen biasa dan saat langka masing-masing naik melebihi 38,854570793 persen. Hal ini berarti batas maksimum harga jambu biji yang masih dapat ditolerir adalah sebesar Rp 2.777,09 pada panen raya (bulan Januari hingga Maret); Rp 5.554,18 pada penen biasa (bulan April hingga Juli); dan Rp 8.331,27 pada saat langka (bulan Agustus hingga Desember). Rincian analisis switching value terhadap kenaikan biaya bahan baku jambu biji dapat dilihat pada Lampiran 8.

Sedangkan berdasarkan variabel harga jual puree dan sari buah jambu biji, dapat diketahui bahwa proyek menjadi tidak layak jika terjadi penurunan harga jual baik puree maupun sari buah sebesar 22,2666040506 persen. Harga minimum yang masih dapat ditolerir adalah Rp 6.218,67 untuk puree per botolnya dan Rp 777,33 untuk sari buah per cup. Rincian analisis switching value terhadap penurunan harga jual puree dan sari buah jambu biji dapat dilihat pada Lampiran 9.

Berdasarkan analisis switching value terhadap skenaio I dapat dilihat bahwa tingkat kelayakan usaha pengolahan ini lebih sensitif terhadap perubahan volume produksi dan harga jual puree dan sari buah jambu biji dibandingkan dengan perubahan harga jambu biji yang dapat dilihat dari nilai presentase perubahan yang dapat mengubah tingkat kelayakan usaha pengolahan ini. Hal ini

97

menyebabkan perusahaan harus mampu mempertahankan pasar yang telah dikuasai sehingga produksi yang dilakukan tidak mengalami penurunan. Selain itu produk yang dihasilkan perlu memiliki diferensiasi produk yang membedakan dengan produk lain yang sejenis baik dari segi kualitas maupun kemasan sehingga dengan harga yang stabil tidak membuat konsumen beralih kepada produk lain yang sejenis maupun produk substitusinya.

7.2 Analisis Kelayakan Finansial Skenario 2 (tidak Adanya Bantuan Pemerintah)

Analisis kelayakan finansial pada skenario 2 ini dibuat untuk usaha pengolahan yang menggunakan modal sendiri dalam penyediaan biaya investasi.

7.2.1 Arus Penerimaan (Inflow)

Arus penerimaan pada analisis finansial untuk skenario II hanya terdiri dari tiga komponen yaitu pendapatan penjualan, pinjaman, dan nilai sisa. Untuk nilai dari tiap komponen penerimaan pada skenario II ini adalah sama dengan nilai yang terdapat pada skenario I. Pada skenario ini diasumsikan bahwa seluruh barang-barang investasi seperti bangunan, mesin-mesin pengolahan, dan peralatan pendukung lainnya diperoleh dari modal sendiri, sedangkan untuk lahan menggunakan asumsi sewa.

7.2.2 Arus Pengeluaran (Outflow)

Arus pengeluaran pada analisis finansial untuk skenario II ini sama hal nya dengan arus pengeluaran pada skenario I yang terdiri dari biaya investasi, biaya operasional, pajak, dan pembayaran pinjaman. Untuk rincian biaya dan nilai yang dikeluarkan usaha pengolahan jambu biji pada skenario II sama dengan rincian biaya pada skenario I.

7.2.3 Analisis Rugi Laba

Analisis rugi laba yang dilakukan untuk skenario II tidak terdapat perbedaan dengan analisis rugi laba pada skenario I. Hal ini dikarenakan komponen rugi laba yang terdiri dari pendapatan penjualan, biaya operasional, dan pajak penghasilan yang digunakan adalah sama. Untuk rincian proyeksi analisis rugi laba tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

98

7.2.4 Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial pada skenario II dilihat dari kriteria NPV, IRR, Net B/C, dan Payback Period. Hasil analisis finansial untuk skenario II dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Hasil Analisis Finansial pada Skenario II Unit Usaha Pengolahan

Jambu Biji Gapoktan KUAT

Kriteria Investasi Nilai

Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR)

Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C) Payback Period (PBP)

Rp 434.181.938,32 45 % 4,20 5,02

Berdasarkan hasil analisis finansial di atas dapat dilihat bahwa usaha pengolahan jambu biji pada skenario II ini memperoleh NPV lebih besar dari nol yaitu sebesar Rp 434.181.938,32. Nilai NPV ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan jambu biji ini akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 434.181.938,32 selama umur proyek yaitu 10 tahun terhadap tingkat diskon (discount rate) yang berlaku. Hal ini berarti usaha pengolahan ini layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria NPV.

IRR yang diperoleh dari analisis finansial skenario II adalah sebesar 45 persen dimana IRR tersebut lebih besar dari discount factor (rate) yang berlaku yaitu 11 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan tingkat pengembalian internal proyek sebesar 45 persen. Dengan demikian berdasarkan kriteria IRR, maka usaha ini layak dan menguntungkan untuk dijalankan.

Kriteria lain yang dianalisis adalah Net B/C, dimana pada skenario II ini diperoleh nilai Net B/C lebih besar dari satu yaitu sebesar 4,20. Nilai Net B/C sama dengan 4,20 menunjukkan setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan selama umur proyek menghasilkan Rp 4,20 satuan manfaat bersih. Nilai Net B/C yang diperoleh lebih besar dari satu, sehingga usaha pengolahan jambu biji ini layak untuk dilaksanakan.

Payback Period yang diperoleh adalah sebesar 5,02. Hal ini berarti usaha

99 investasi selama 5 tahun 7 hari. Perhitungan cash flow untuk analisis kelayakan finansial pada skenario II dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 10.

7.2.5 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value)

Analisis switching value pada skenario II menggunakan tiga variabel yaitu jumlah produksi puree dan sari buah, biaya bahan baku jambu biji, dan tingkat harga output puree dan sari buah. Hasil analisis switching value untuk skenario II dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario II Unit Usaha

Pengolahan Jambu Biji Gapoktan KUAT

Variabel Nilai Switching Value

Volume Produksi Puree dan Sari Buah Jambu Biji

Turun maksimal sebesar

16,379227744 persen

Biaya bahan baku (jambu biji) Naik maksimal sebesar 21,230039276 persen

Harga Jual Puree dan Sari Buah Jambu Biji

Turun maksimal sebesar

16,379227744 persen

Berdasarkan hasil analisis switching value dapat dilihat bahwa batas maksimal perubahan terhadap penurunan volume produksi, kenaikan biaya bahan baku jambu biji, dan penurunan harga jual adalah sebesar 16,379227744 persen, 21,230039276 persen, dan 16,379227744 persen. Apabila perubahan yang terjadi melebihi batas tersebut maka usaha pengolahan jambu biji ini menjadi tidak layak untuk dijalankan.

Analisis untuk variabel volume produksi puree dan sari buah jambu biji menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan volume produksi melebihi 16,379227744 persen tiap tahunnya, maka proyek menjadi tidak layak diusahakan. Hal ini berarti batas minimum jumlah puree dan sari buah yang harus diproduksi pada tahun ke-1 adalah sebesar 4.783 botol dan 53.559 cup, tahun ke-2 dan ke-3 sebesar 7.305 botol dan 82.182 cup, tahun ke-4 dan ke-5 sebesar 14.610 botol dan 164.365 cup, tahun ke-6 dan ke-7 sebesar 29.220 botol dan 328.730 cup, serta sebesar 43.830 botol dan 493.095 cup untuk tahun berikutnya. Rincian

100 analisis switching value terhadap penurunan volume produksi puree dan sari buah jambu biji dapat dilihat pada Lampiran 11.

Dilihat dari variabel bahan baku jambu biji, proyek menjadi tidak layak untuk dijalankan apabila harga jambu biji pada musim panen raya, panen biasa dan saat langka masing-masing naik melebihi 21,230039276 persen. Hal ini berarti batas maksimum harga jambu biji yang masih dapat ditolerir adalah sebesar Rp 2.424,60 pada panen raya (bulan Januari hingga Maret), Rp 4.849,20 pada penen biasa (bulan April hingga Juli) dan Rp 7.273,80 pada saat langka (bulan Agustus hingga Desember). Rincian analisis switching value terhadap kenaikan biaya bahan baku jambu biji dapat dilihat pada Lampiran 12.

Sedangkan berdasarkan variabel harga jual puree dan sari buah jambu biji, dapat diketahui bahwa proyek menjadi tidak layak jika terjadi penurunan harga jual baik puree maupun sari buah sebesar 16,379227744 persen. Harga minimum yang masih dapat ditolerir adalah Rp 6.689,66 untuk puree per botolnya dan Rp 836,21 untuk sari buah per cup. Rincian analisis switching value terhadap penurunan harga jual puree dan sari buah jambu biji dapat dilihat pada Lampiran 13.

Berdasarkan analisis switching value terhadap skenario II dapat dilihat bahwa tingkat kelayakan usaha pengolahan ini lebih sensitif terhadap perubahan volume produksi dan harga jual puree dan sari buah jambu biji dibandingkan dengan perubahan harga jambu biji. Hal ini dapat dilihat dari nilai persentase perubahan yang dapat mengubah tingkat kelayakan usaha pengolahan ini. Seperti halnya pada scenario I maka usaha pengolahan jambu biji harus mampu mempertahankan pasar yang telah dikuasai dan meningkatkan kualitas produk seeiring dengan munculnya pesaing sehingga baik jumlah produksi yang dilakukan maupun harga jual tidak mengalami penurunan.