• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penetapan Upah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015

ANALISIS KEBIJAKAN PENGUPAHAN DI INDONESIA DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO.78 TAHUN 2015

3.1 Penetapan Upah Dalam Kebijakan Pengupahan di Indonesia .1 Tentang Penetapan Upah Berdasarkan UUK No.13 Tahun 2013

3.1.2 Analisis Penetapan Upah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015

Kemudian di bulan oktober tahun 2015 muncul kebijakan baru terkait pengupahan yaitu peraturan pemerintah no.78 tahun 2015 yang menjadi acuan baru dalam penetapan upah minimum di Indonesia. Didalam peraturan ini ada perbedaan yang cukup signifikan dalam penetapan upah minimum, dimana dalam menetapkan upah tidak lagi mengacu pada pada nilai KHL yang ada disetiap daerah yang bersangkutan dengan mempertimbangkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marginal) akan tetapi sudah mengacu pada sebuah formula peneetapan upah seperti dalam pasal 44 ayat (2) PP No.78 Tahun 2015 .

Gambar 3.3 : Formula Penghitungan Upah Minimum

Upah minimum yang akan ditetapkan adalah upah minimum tahun berjalan ditambah dengan perkalian upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi tahun berjalan dan tingkat domestik bruto tahun berjalan. Artinya dalam hal ini ada sebuah rumusan yang ditetapkan oleh pemerintah secara nasional tanpa mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi (dalam hal ini produk domestik regional bruto), kondisi pasar kerja, dan usaha

yang tidak mampu diderah, yang secara kuantitas berbeda-beda. Dalam penetapan upah sesuai dengan PP no.78 tahun 2015 secara langsung pemerintah melakukan penyeragaman keseluruh daerah di Indonesia baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam penetapan upah minimum. Kemudian untuk peninjauan KHL dilakukan setiap 5 tahun sekali. Hal ini ditegaskan pada aturan turunan yang terdapat pada Permen No.21 tahun 2016 pada pasal 2 dan 3. Selanjutnya pada pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam penetapan upah minimum setiap tahun terdapat penyesuaian KHL. Penyesuaian KHL yang dimaksud adalah secara langsung terkoreksi melalui perkalian antara upah minimum berjalan dengan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dijelaskan pada ayat (2).

Jika dikaji lebih dalam formulasi penetapan upah minimum yang terdapat pada PP No.78 tahun 2015 memiliki pertentangan dengan konstitusi yang mengaturnya yaitu UU no.13 tahun 2003. Dimana dalam UU no.13 tahun 2003 dikatakan untuk melindungi buruh atau pekerja terhadap upahnya maka dilakukanlah survei terhadap KHL untuk pencapaian kehidupan layak bagi kemanusiaan dan juga pengupahan harus melindungi buruh/pekerja. Namun dalam peraturan pemerintah tentang pengupahan yang disahkan ini, pemerintah tidak memenuhi prinsip penghidupan yang layak bagi buruh dan tidak melindungi pekerja.

Dengan ditetapkannya peraturan pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang baru , formulasi upah kedepannya dihitung hanya sekedar angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah (BPS), dengan mengabaikan survey harga-harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang menjadi patokan Komponen Hidup Layak. Selain itu dengan adanya PP ini kewenangan dewan pengupahan dalam menentukan besaran upah juga diambil alih oleh BPS sesuai dengan Permen no.21 tahun 2016 pasal 7 ayat (2) dan (3).. Dalam ketentuan Pasal 45 dan Pasal 47 PP Pengupahan, kewenangan Dewan Pengupahan hanya-lah melakukan peninjauan kebutuhan hidup layak, dengan tetap berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang penetapan komponen dan jenisnya. Padahal seharusnya, Gubernur sebelum menetapkan besaran upah

minimum provinsi dan kabupaten/kota, memperhatikan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012.

Dengan demikian, meskipun Dewan Pengupahan masih diberikan kewenangan memberikan usulan terhadap besaran upah minimum sektoral. Namun dalam hal penetapan besaran upah minimum, Dewan Pengupahan hanya

berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur,

Bupati/Walikota, atas peninjauan kebutuhan hidup layak yang ditinjau setiap 5 (lima) tahun sekali, sesuai Pasal 43 ayat (5) PP Pengupahan. Sehingga PP ini bertentangan dengan isi UU 13/2003, isi dalam PP tersebut tidak memiliki kesinkronan secara hirarkis peraturan perundang-undangan, dan formula rumus kenaikan upah minimum tidak didasari kondisi ekonomi obyektif di wilayah per wilayah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Ketua DPP GSBI yang menyatakan57 :

“Formulasi penetapan upah berdasarkan PP no.78 tahun 2015 secara konstitusi bertentangan dengan UU no.13 tahun 2013 karena upah tidak lagi dihitung berdasarkan KHL yang didalam UU no.13 tahun 2003 merupakan unsur pencapaian hidup layak pekerja. Akan tetapi hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan pelaksanaan survei KHL dilakukan 5 tahun sekali dengan menggunakan data dan informasi dari lembaga yang berwenang di bidang statistik sesuai dengan pasal 43 ayat (7). Kemudian klaim pemerintahan terhadap KHL yang sudah melekat pada Upah minimum dikali dengan tingkat inflasi berjalan berjalan tidak dapat menggambarkan komponen KHL pekerja. Karena KHL adalah komponen yang dibutuhkan pekerja dalam bentuk barang bukan kenaikan barang secara keseluruhan.

Dalam hal ini penetapan upah tidak lagi bersifat objektif karena tidak menghiraukan dengan keadaan disetiap daerah yang berbeda-beda. Dan kenaikan upah pertahun akan selalu diimbangi oleh kenaikan barang yang terus melonjak pertahun. Biasanya pertahun itu kenaikan harga barang sampai 3 kali ,sementara KHL nya disurvei hanya 5 tahun sekali. Hal ini

akan menjadi defisit bagi buruh dalam mendapatkan upahnya”.

57

Hasil wawancara dengan Ketua DPP GSBI Rudi HB Daman pada tanggal 25 Agustus 2016 pukul 15:00 Wib

Dari hasil wawancara diatas dapat kita pahami bahwa kenaikan upah buruh akan selalu terlewati oleh kenaikan harga barang yang lebih dari satu kali pertahun, jelas ini akan berdampak pada upah buruh yang akan tidak sesuai lagi dengan kenaikan harga barang. Begitu juga halnya yang dialami oleh beberapa serikat pekerja yang aktif diwilayah Provinsi yang juga melihat banyak celah yang terdapat dalam PP no.78 tahun 2015 khusunya tentang penetapan upah dan sanksi pelanggarannya yang tergolong ringan. Salah satunya adalah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia (SBSI) Sumatera Utara.

“PP Pengupahan merupakan kebijakan yang telah melanggar UUK No.13 Tahun 2003 , karena mekanisme penetapan upah tidak lagi didasarkan oleh pencapaian KHL yang diamanatkan UUK No.13 Tahun 2003 akan tetapi hanya berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan PP No.78 tahun 2015 membuka celah terhadap pelanggaran-pelanggaran tentang pembayaran upah dibawah ketentuan, karena sanksi pidana telah dihilangkan

untuk pengusaha dan hanya dikenakan sanksi administratif”58 .

Sementara pendapat dari pihak pemerintah daerah di Suamtera Utara yang diwakili oleh Ririn Bidasari SH, M.Hum selaku kepala seksi persyaratan kerja ,pengupahan, dan jaminan sosial dinas tenaga kerja Sumatera Utara menyatakan59:

“PP no.78 tahun 2015 adalah sebuah kebijakan yang sangat krusial karena

PP No.78 tahun 2015 adalah aturan yang pertama yang menggunakan teknik perhitungan upah minimum yang diatur pada pasal 44 ayat (2). Dan ini sebenarnya aturan yang secara langsung tidak memperhatikan kondisi objektif masing-masing wilayah. Dan dalam PP no.78 tahun 2015 pasal 59 ayat (2) tidak ada sanksi yang tegas bagi pengusaha jika terdapat pelanggaran upah contohnya bagi pengusaha yang tidak memberikan tunjangan hari raya dan menyusun skala upah , hanya sebatas sanksi administrasi yang sifatnya perdata. Sehingga ini berpotensi pada terjadinya

pelanggaran upah yang selama ini sudah banyak terjadi.”

Dari pemaparan diatas jelas dikatakan bahwa selain penetapan upah minimum sifatnya sangat krusial , juga sanksi yang dikenakan ketika terjadi

58

Hasil wawancara dengan Nicholas Sutrisman SH selaku ketua kordinator wilayah (Korwil) Serikat Buruh Sejahterah Indonesia (SBSI) Sumatera Utara pada tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul 15:00 Wib

59

Hasil wawancara dengan Ririn Bidasari SH, M.Hum kepala seksi persyaratan kerja, pengupahan, dan jaminan soanisial Dinas tenaga kerja dan transmigrasi Sumatera Utara pada tanggal 16 Agustus 2016 dikantor Disnaker Sumatera Utara pada pukul 11:20 Wib

pelanggaran upah bersifat perdata yang esensinya lebih ringan. Hal ini berbeda dengan UU no.13 tahun 2003 pasal 90 ayat (1) dan pasal 185 yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 400 juta. Hal ini jelas akan memberikan celah terhadap tindakan-tindakan pelanggaran upah. Disisi lain terdapat pandangan yang berbeda dari pemerintah pusat melalui Hanif Dhakiri sebagai Mentri tenaga kerja dan transmigrasi dalam rapat kerja bersama komisi 9 DPR RI pada tanggal 19 November pada pukul 11.45 Wib mengatakan60 :

“PP 78 merupakan mandat dari UU No.13 Tahun 2013 (UU 13). Kenaikan upah minimum harus berdasarkan tiga variabel, yaitu tunjangan hari raya (THR), produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. KHL dievaluasi tiap 5 tahun sekali, dimana pola konsumsi masyarakat berubah. Di lapangan, struktur skala upah belum berjalan dengan baik sehingga terus-menerus digenjot dan mengakibatkan perusahaan terus tertekan. Padahal, idealnya pengupahan harus mengacu pada struktur skala upah yang mempertimbangkan banyak hal, termasuk tingkat pendidikan. Sanksi dalam PP 78 akan lebih kuat, bisa berupa teguran tertulis, serta pemberhentian sebagian atau seluruh perusahaan.

Seharusnya sanksi dikembalikan ke pemerintah, bukan datang dari Kemenakertrans yang kewenangannya terbatas. Ada 28 provinsi yang menetapkan upah minimum, 13 di antarannya sudah menggunakan PP 78 dan sisanya belum. Terdapat 11.5% kenaikan upah bila daerah menggunakan PP 78. Sementara daerah yang belum mengenakan PP 78, tidak mengalami kenaikan upah yang tinggi. PP 78 ini diadakan untuk memastikan perlindungan semua pihak: pekerja, mereka yang belum bekerja, dan industri. Kenaikan upah yang tidak mempertimbangkan kekuatan industri akan mengakibatkan banyak industri yang gulung tikar. Sementara, upah buruh tidak bisa dijadikan standard nasional karena negara tidak akan mampu membayarnya”.

Dari pemaparan mentri tenaga kerja diatas dapat kita lihat secara langsung pemerintah membenarkan PP no.78 tahun 2015 adalah mekanisme penetapan upah yang paling ideal untuk memberikan keuntungan kepada buruh dan

60

“Pro Kontra PP No.78 Tahun 2015 dan Isu Ketenagakerjaan – Rapat Kerja Komisi 9 dengan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi” diakses dari : http://wikidpr.org/news/pro-kontra-pp-no-78-tahun-2015-dan-isu-ketenagakerjaan-rapat-kerja-komisi-9-dengan-menteri-ketenagakerjaan-dan-transmigrasi pad tanggal 27 Agustus 2016 pukul 04:00 Wib

pengusaha. Akan tetapi disisi lain pemerintah tidak melihat adanya ketimpangan yang terjadi akibat dari PP no.78 tahun 2015, yang pertama, yaitu tunjangan hari raya tidak berpengaruh besar terhadap upah buruh karena sifatnya adalah upah tahunan yang diberikan ketika ada hari besar keagamaan. Kedua,produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum mampu berdampak secara merata ke seluruh masyarakat khusunya pekerja. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi kumulatif Indonesia mencapai 5,04 % yang didominasi oleh pertumbuhan ekonomi makro seperti peningkatan harga non migas dipasar internasional, turunnya suku bunga dari 6,75 % menjadi 6,50%, meningkatnya penanaman modal asing sebesar 3,5 %, dan meningkatnya produksi mobil di Indonesia61. Sehingga tidak ideal menjadi tolak ukur penetapan upah karena pertumbuhan ekonomi makro hanya dinikmati oleh pengusaha besar asing dan pengusaha besar nasional. Ketiga, tentang potensi pelanggaran dalam penyusunan struktur skala upah dimana akan mempengaruhi besaran upah yang akan diterima pekerja sesuai dengan jabatan dan tingkat pendidikannya. Hal ini akan memberikan celah kepada pengusaha untuk melakukan pelanggaran terhadap kebijakan pengupahan karena sanksi yang termuat dalam PP no.78 tahun 2015 hanya sekedar sanksi adminstratif, berbeda dengan amanat UUK no.13tahun 2003 yang memberikan sanksi pidana dan sanksi administratif yang memberikan proteksi yang lebih kuat terhadap buruh/pekerja.

Pemerintah juga meyakini dengan adanya PP no.78 tahun 2015 maka kegaduhan yang terjadi akibat upah dapat ditangani dan mampu memberikan kepastian upah dan jauh dari unsur politisasi. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan dilapangan, berdasarkan laporan CNN Indonesia terjadi gelombang demonstrasi besar mencapai 4 juta pekerja/buruh akibat PP no.78 Tahun 2015 yang semakin menjauhkan buruh/pekerja dari kebutuhan hidup rillnya. Sementara dalam rapat kerja antara mentri tenaga kerja dan transmigrasi dengan komisi 9

61

Estu Suryowati. “Pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2016 mencapai 5,18 %” diakses dari

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/08/05/103327626/pertumbuhan.ekonomi.kuartal.ii.2016.capai.5 .18.persen pada tanggal 3 Oktober 2016 pada pukul 23.43 Wib

DPR RI pada tanggal 18 April 2016 pukul 14:00 Wib, terdapat 6 Fraksi yang tidak setuju dengan PP No.78 tahun 2015 diantaranya Fraksi Golkar, PPP, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN dan merekomendasikan mengkaji dan mengevaluasi kembali PP No.78 Tahun 201562.

Kemudian dalam pelaksanaan PP no.78 tahun 2015 yang ditetapkan berdasarkan formulasi upah minimum, didapatkan besaran upah minimum provinsi rata-rata mengalami kenaikan sebesar 11,5% karena ketetapan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Surat mentri tenagakerjaan Republik Indonesia Nomor B.232/MEN/PHIJSK/2015 tanggal 23 oktober 2015 perihal penyampaian data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan produk domestik bruto tahun 2015. Dalam surat tersebut bahwa : tingkat inflasi nasional sebesar 6,83% dan pertumbuhan PDB sebesar 4,67%63. Hal ini terbukti dengan besaran upah minimum yang ada di 33 Provinsi di Indonesia tahun 2016 dengan rata-rata kenaikan sebesar 11,5%.

Tabel 3.2 : Daftar UMP tahun 201664

Nama Provinsi UMP 2016 UMP 2015 Kenaikan %

Jawa Barat 1.312.355 - 1.312.355 - NTT 1.425.000 1.250.000 175.000 14,00 NTB 1.482.950 1.330.000 152.950 11,50 Bengkulu 1.605.000 1.500.000 105.000 7,00 Sulawesi Tengah 1.670.000 1.500.000 170.000 11,33 Maluku Utara 1.681.266 1.577.617 103.649 6,57 Kalimantan Barat 1.739.400 1.560.000 179.400 11,50 Lampung 1.763.000 1.581.000 182.000 11,51 62 Loc cit,

63 Data dikutip dari Dinas tenagakerja dan transmigrasi Provinsi Sumatera Utara tentang Data perhitungan inflasi dan PDB tahun 2015 untuk penetapan UMP Sumut.

64

“Daftar UMP tahun 2016 dan persentase kenaikan upah di 31 Provinsi di Indonesia” diakses dari :

http://bisnis.liputan6.com/read/2409607/cek-daftar-lengkap-ump-2016-di-31-provinsi pada tanggal 16 Agustus pukul 23:14 wib

Maluku 1.775.000 1.650.000 125.000 7,58 Banten 1.784.000 1.600.000 184.000 11,50 Sumatera Barat 1.800.725 1.615.000 185.725 11,50 Bali 1.807.600 1.621.172 186.428 11,50 Sumatera Utara 1.811.875 1.625.000 186.875 11,50 Sulawesi Tenggara 1.850.000 1.652.000 198.000 11,99 Sulawesi Barat 1.864.000 1.655.500 208.500 12,59 Gorontalo 1.875.000 1.600.000 275.000 17,19 Jambi 1.906.650 1.710.000 196.650 11,50 Kalimantan Tengah 2.057.550 1.896.367 161.183 8,50 Kalimantan Selatan 2.085.050 1.870.000 215.050 11,50 Riau 2.095.000 1.878.000 217.000 11,55 Aceh 2.118.500 1.900.000 218.500 11,50 Kalimantan Timur 2.161.253 2.026.126 135.127 6,67 Kalimantan Utara 2.175.340 2.026.126 149.214 7,36 Kepulauan Riau 2.178.710 1.954.000 224.710 11,50 Sumatera Selatan 2.206.000 1.974.346 231.654 11,73 Papua Barat 2.237.000 2.015.000 222.000 11,02 Sulawesi Selatan 2.250.000 2.000.000 250.000 12,50 Bangka Belitung 2.341.500 2.100.000 241.500 11,50 Sulawesi Utara 2.400.000 2.150.000 250.000 11,63 Papua 2.435.000 2.193.000 242.000 11,04 DKI Jakarta 3.100.000 2.700.000 400.000 14,81

UMP 2016 paling besar diduduki oleh DKI Jakarta. UMP DKI Jakarta Tahun 2016 ditetapkan dengan Pergub No 230 Tahun 2015 dengan nilai UMP sebesar Rp 3.100.000 dan persentase kenaikan sebesar 14,81 % hal ini dikarenakan dalam penetapan upah minimum Pemprov DKI tahun 2016 masih menggunakan teknik penetapan upah berdasarkan Permenaker no.13 tahun 2012. Sementara kenaikan upah secara nasional di tahun 2016 dengan rata-rata 11,5 %

akan memunculkan persoalan terhadap penyesuaian harga bahan pokok dan lonjakannya di setiap daerah. Ketika kenaikan upah tahunan relatif stabil, pertanyaannya, apakah pemerintah mampu mengendalikan harga barang? Faktanya selama beberapa tahun terakhir kenaikan upah selalu diimbangi kenaikan harga barang dan pemerintah tidak mampu menanganinya. Selanjutnya ketika terjadi kenaikan harga barang yang berbeda-beda disetiap daerah, apakah relevan dengan formulasi peentapan upah minimum berdasarkan PP no.78 tahun 2015? Yang esensi dari formulai itu adalah penyeragaman upah minimum secara nasional. Contohnya akan berbeda biaya hidup di daerah industri seperti DKI yang daerah Industri dengan daerah perkebunan seperti Kalimantan, Riau,Sulawesi yang harga bahan pokoknya jauh lebih mahal dibandingkan dengan daerah yang ada di Jogjakarta dan Sumatera Utara yang biaya hidupnya lebih rendah. Hal ini dibuktikan dalam kenaikan upah minimum di tahun 2014 sebelum berlakunya PP No.78 tahun 2015. Yang masih menyesuaikan pada UU no.13 tahun 2003 dengan aturan pelaksana Permenaker No.13 tahun 2012 dimana kenaikan upah didaerah industri dan perkebunan mengalami kenaikan upah yang lebih tinggi dengan rata-rata 20-30%.

Kemudian didalam Permenaker no.21 tahun 2016 tentang komponen hidup layak sebagai aturan pelaksana PP no.78 tahun 2015 yang menggantikan Permenaker no.13 tahun 2013 , tidak ada penjelasan mengenai pertambahan KHL, yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) dan (2) hanya pertambahan nilai KHL. Artinya melihat kenaikan nilai KHL hanya berdasarkan kenaikan harga barang bukan berdasarkan pertambahan komponen hidup buruh yang selalu berkembang dari tahun ketahun. Disini kita lihat bahwa Permenaker no.21 tahun 2016 hanya menyesuaikan upah buruh dengan kenaikan harga barang. Implikasinya adalah seberapa besar pun kenaikan upah buruh akan selalu terampas dengan harga barang. Contohnya beras IR 64 10 kg tahun 2015 seharga Rp 105.000 , jika lima tahun lagi terjadi kenaikan upah yang hanya untuk menyesuaikan dengan

kenaikan harga beras IR 64, maka esensinya sama saja upah naik karena harga barang naik bukan karena penambahan terhadap komponen hidup layak buruh.

3.2 Keterlibatan Buruh Dalam Penetapan Upah Berdasarkan PP No.78