• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Analisis Risiko dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komoditas Pertanian

Risiko produksi adalah kejadian penurunan hasil produksi yang ditunjukkan dengan adanya fluktuasi produksi atau produktivitas dan terjadinya penurunan pendapatan, dimana kejadian penurunan tersebut dapat diperhitungkan. Risiko produksi yang terjadi pada komoditas sayuran disebabkan oleh beberapa sumber risiko, yaitu adanya serangan hama dan penyakit serta perubahan cuaca dan iklim yang sulit diprediksi. Selain itu, risiko produksi pada komoditas sayuran juga dapat terjadi dikarenakan kegagalan penggunaan teknologi dalam penanaman pada lahan terbuka dan greenhouse (Tarigan 2009 dan Sembiring 2010).

Risiko produksi dapat diperhitungkan melalui dua alat perhitungan. Untuk mengetahui tingkat risiko produksi dengan menggunakan nilai penerimaan atau pendapatan usaha umumnya menggunakan perhitungan variance, standard deviation, dan coefficient variation. Sedangkan untuk mengetahui risiko produksi yang dilihat berdasarkan penggunaan input atau faktor-faktor produksi umumnya menggunakan model risiko fungsi produksi Just dan Pope, dimana alat ukur risiko yang digunakan, yaitu variance error produksi yang diperoleh dari penggunaan model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH).

Masing-masing komoditas sayuran memiliki tingkat risiko produksi yang berbeda-beda. Menurut Tarigan (2009) dari berbagai jenis sayuran, komoditas yang memiliki tingkat risiko tertinggi adalah bayam hijau dibanding sayuran lainnya, yaitu brokoli, tomat, dan cabai keriting. Hal ini dikarenakan bayam hijau sangat rentan terhadap penyakit terutama pada musim hujan. Berbeda menurut

Sembiring (2010) bahwa sayuran yang memiliki tingkat risiko produksi tinggi adalah komoditas brokoli. Hal ini juga disebabkan karena brokoli sangat rentan terhadap penyakit. Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu komoditas caisin, menurut Sembiring (2010) bahwa tanaman caisin memiliki risiko produksi yang lebih rendah dibanding sayuran lainnya, seperti brokoli, sawi putih, dan tomat.

Dalam pengusahaan komoditas yang sama, yaitu brokoli menunjukkan tingkat risiko produksi yang dihasilkan berbeda pada masing-masing perusahaan. Hal ini disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kegiatan produksi yang diterapkan perusahaan berbeda-beda, mulai dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman, perawatan, hingga panen. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan penggunaan lahan penanaman, dimana penanaman sayuran pada penelitian Sembiring (2010) dilakukan dalam green house. Penggunaan green house dapat mengurangi risiko produksi khususnya bagi jenis sayuran daun-daunan seperti caisin yang rentan terhadap hujan dan genangan air, karena penggunaan green house dapat mengatur suhu, kelembaban, tekanan udara, dan menahan hujan yang terus menerus mengguyur. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2009), yaitu penanaman hanya pada lahan terbuka, dimana bayam hijau merupakan komoditas dengan risiko produksi tertinggi karena rentan terhadap penyakit yang disebabkan turunnya hujan. Perbedaan kegiatan produksi tersebut akan mempengaruhi bagaimana tingkat risiko produksi yang terjadi pada masing- masing komoditas.

Terkait dengan perhitungan risiko produksi berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi dan penggunaan model risiko fungsi produksi Just dan Pope, menurut Koundouri dan Nauges (2005) dalam estimasi fungsi produksi, mengabaikan adanya risiko dapat menyebabkan estimasi tidak efisien. Terutama dibidang pertanian, variabilitas dalam hasil tidak hanya dijelaskan oleh faktor di luar kendali petani seperti harga input dan output, tetapi juga oleh faktor yang terkendali, seperti tingkat input (Just dan Pope 1978, diacu dalam Fufa dan Hassan 2003).

Penggunaan setiap input mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap produksi. Menurut Robison dan Barry (1987) beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam hubungannya antara pengambilan keputusan input dan risiko produksi ternyata penggunaan pestisida dalam produksi sebagai pengurang risiko (risk reducing factors), sedangkan faktor lain sebagai faktor yang menyebabkan risiko (risk inducing factors) dalam produksi. Berbeda halnya menurut Hutabarat (1985) yang diacu dalam Fariyanti (2008) bahwa input benih, pupuk nitrogen, pupuk pospor, lahan, dan insektisida merupakan faktor yang menyebabkan risiko produksi (risk inducing factors). Sedangkan input tenaga kerja manusia dan ternak merupakan faktor pengurang risiko produksi (risk reducing factors).

Pada kegiatan produksi tanaman pangan, seperti jagung dan sorgum, menurut Fufa dan Hassan (2003) bahwa faktor produksi yang mempengaruhi variasi (variance) hasil produksi adalah luasan lahan, benih, tenaga kerja manusia, tenaga kerja hewan (sapi), pupuk dan waktu tanam. Penggunaan benih unggul, luasan lahan, tenaga kerja manusia, tenaga kerja hewan, dan waktu tanam menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi tingkat hasil rata-rata (mean) tanaman pangan yang tumbuh di daerah Hararghe Timur Oromiya, dimana peningkatan luas lahan menunjukkan dampak yang besar pada hasil rata-rata tanaman pangan. Mengenai benih, karakteristik varietas tanaman yang tumbuh di daerah tersebut cenderung terlambat matang, sehingga memberikan efek negatif pada hasil produksi. Oleh karena itu, pertanian dan penyuluhan harus fokus pada pengembangan varietas tanaman yang tidak hanya memberikan tingkat hasil tinggi tetapi juga hasil yang stabil. Kemudian alasan utama terjadinya penurunan stabilitas hasil panen terkait dengan tingkat penggunaan pupuk yang tinggi, tidak sesuai dengan yang waktu dan metode yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan tingginya tingkat variasi ouput. Penggunaan tenaga kerja sapi ternyata mengurangi efek bagi sebagian besar tanaman pangan. Dengan demikian, pencapaian tingkat hasil tanaman yang stabil diproduksi di daerah tersebut membutuhkan peningkatan akses petani terhadap sapi.

Sedangkan menurut Falco et al. (2006) risiko produksi pada komoditas gandum yang dilihat dari penggunaan faktor-faktor produksi (input) menunjukkan pengaruh yang berbeda dari hasil penelitian menurut Fufa dan Hassan (2003) dimana faktor produksi luasan lahan dan waktu tanam akan mempengaruhi rata-

rata dan variasi hasil produksi gandum. Dalam kegiatan produksi gandum, tenaga kerja manusia, tenaga kerja lembu, penggunaan benih dan pupuk mempengaruhi rata-rata dari hasil gandum. Untuk input benih, jika penggunaan benih ditingkatkan maka akan meningkatkan rata-rata hasil gandum. Oleh karena itu, penggunaan varietas baru akan meningkatkan hasil. Hal ini sama dengan hasil penelitian Fufa dan Hassan (2003), dimana dibutuhkan pengembangan varietas tanaman untuk memberikan tingkat hasil tinggi dan juga hasil yang stabil. Untuk input lembu, jika penggunaan lembu ditingkatkan maka akan menurunkan rata- rata hasil gandum atau penurunan marjinal pada hasil gandum. Sedangkan untuk variasi hasil gandum, pada produksi gandum menunjukkan bahwa benih dan pupuk meningkatkan risiko produksi (yang konsisten dengan temuan Just and pope, 1979) dan menimbulkan variasi hasil gandum. Untuk penggunaan tenaga kerja mempengaruhi variasi hasil gandum, dimana jika penggunaan tenaga kerja ditingkatkan maka akan meningkatkan variasi hasil gandum. Sedangkan untuk lembu terdapat hasil yang berbeda dengan penelitian Fufa dan Hassan (2003), dimana pada penelitian ini penggunaan lembu dapat meningkatkan risiko.

Pada kegiatan usahatani komoditas sayuran, seperti kentang dan kubis, menurut Fariyanti et.al. (2007) faktor-faktor produksi yang akan mempengaruhi rata-rata hasil produksi dan variasi hasil produksi, yaitu luas lahan garapan, benih, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida, dan tenaga kerja. Analisis mengenai risiko produksi untuk komoditas tersebut menggunakan model GARCH (1,1), dimana hasil model tersebut diketahui persamaan fungsi produksi dan variance error produksi. Pada komoditas kentang, pupuk TSP dan KCL memiliki tanda negatif pada fungsi produksi, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kedua pupuk tersebut dalam jumlah besar yang dilakukan rumah tangga petani responden dikarenakan tingkat kesuburan lahan yang semakin menurun sehingga penggunaan pupuk semakin meningkat dalam jumlah yang besar. Sedangkan pada komoditas kubis, benih bertanda negatif yang menunjukkan bahwa penggunaan benih kubis telah melebihi standar normal, sehingga akan menurunkan rata-rata hasil produksi. Berdasarkan persamaan variance error produksi, pada komoditas kentang penggunaan benih, luas garapan, dan pestisida merupakan faktor yang dapat mengurangi risiko produksi, sedangkan pupuk urea, TSP, dan KCL

merupakan faktor yang menimbulkan risiko produksi. Berbeda halnya pada komoditas kubis, penggunaan lahan dan pestisida menjadi faktor yang menimbulkan risiko produksi, sedangkan penggunaan benih, pupuk urea, pupuk NPK, dan tenaga kerja menjadi faktor pengurang risiko produksi. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa pada komoditas yang berbeda, faktor- faktor yang dapat menyebabkan risiko produksi pun berbeda-beda. Namun, untuk kedua komoditas, parameter error kuadrat produksi periode (musim) sebelumnya dan variance error produksi periode (musim) sebelumnya bertanda positif artinya semakin tinggi risiko produksi pada musim sebelumnya, maka semakin tinggi risiko produksi pada musim berikutnya.

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu. Persamaannya alat analisis yang digunakan pada penelitian ini sama dengan alat analisis yang digunakan pada penelitian Fariyanti et.al. (2007), yakni menganalisis risiko produksi berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi dengan menggunakan variance error produksi sebagai alat ukur risiko. Analisis risiko produksi tersebut dengan menggunakan model risiko fungsi produksi Just dan Pope, dimana nilai variance error produksi tersebut diperoleh melalui model GARCH (1,1). Selain itu, terdapat persamaan variabel atau faktor-faktor produksi yang dianalisis, diantaranya benih, pupuk urea, pestisida, dan tenaga kerja. Sedangkan perbedaannya, meskipun sama-sama menganalisis mengenai risiko produksi, alat analisis yang digunakan Tarigan (2009) dan Sembiring (2010), yakni variance, standard deviation, dan coefficient variation. Hal ini disebabkan kedua penelitian tersebut ingin mengetahui tingkat risiko produksi berdasarkan nilai penerimaan atau pendapatan. Dalam penentuan variabel atau faktor-faktor produksi terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Hal ini dikarenakan dalam penentuan faktor produksi tersebut disesuaikan dengan keputusan faktor apa saja yang paling mempengaruhi produksi masing-masing komoditas. Selain itu, komoditas yang dianalisis mengenai risiko produksi berdasarkan faktor-faktor produksi dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, dimana pada penelitian ini menganlisis mengenai risiko produksi pada komoditas caisin.