• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv. caisin) di Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv. caisin) di Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan yang vital bagi Indonesia. Peran sektor pertanian bagi pembangunan perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung cukup signifikan seperti, menyerap tenaga kerja, sumber pendapatan bagi masyarakat, menyediakan bahan pangan dan bahan baku serta mendatangkan devisa bagi negara. Salah satu sub sektor dari sektor petanian yang telah menempati posisi penting sebagai sub sektor yang menghasilkan produk pertanian yang memiliki nilai komersial yang cukup tinggi, yakni sub sektor hortikultura.

Komoditas sub sektor hortikultura di Indonesia dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Kontribusi sub sektor hortikultura terhadap pendapatan nasional semakin meningkat ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dari total komoditas hortikultura dari tahun 2006 hingga tahun 2009 (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Komoditas Hortikultur Berdasarkan Harga Berlaku di Indonesia Tahun 2006-2009

No Komoditas

Nilai PDB (Dalam Milyar Rupiah) Pertumbuhan Rata-rata

(%)

2006 2007 2008 2009*

1 Buah-buahan 35.448 42.362 42.660 50.595 12,93

2 Sayuran 24.694 25.587 27.423 29.005 5,52

3 Tanaman hias 4.734 4.741 6.091 5.348 5,48

4 Biofarmaka 3.762 4.105 4.118 4.109 3,07

Total Hortikultura 68.639 76.795 80.292 89.057 9,12 Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

Tabel 1 menunjukkan adanya kecenderungan nilai PDB yang semakin meningkat dari setiap kelompok komoditas, termasuk peningkatan pada

1

(2)

komoditas sayuran dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,52 persen. Peningkatan nilai PDB tersebut menunjukkan bahwa komoditas sayuran memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia karena telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan nasional.

Sayuran merupakan komoditas hortikultura yang telah mampu berkontribusi bagi pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, seperti pemenuhan gizi masyarakat sebagai pelengkap makanan empat sehat lima sempurna, komoditas ini juga sangat potensial dan prospektif untuk diusahakan karena metode pembudidayaan cenderung mudah dan sederhana2. Kegiatan usahatani sayuran memiliki peranan yang besar dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat sebagai komoditas yang memiliki nilai komersial yang cukup tinggi.

Menurut Direktur Jenderal Hortikultura (2010), pada tahun 2007, konsumsi sayuran masyarakat Indonesia sebesar 40,90 kilogram per kapita per tahun meningkat pada tahun 2008 menjadi 41,32 kilogram per kapita per tahun. Kemudian pada tahun 2009 konsumsi sayuran semakin mengalami peningkatan hingga 43,5 kilogram per kapita per tahun. Nilai ini masih jauh dibawah standar konsumsi sayur yang direkomendasikan Food and Agriculture Organization (FAO), yaitu sebesar 73 kilogram per kapita per tahun, sedangkan standar kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kilogram per kapita per tahun3. Namun, peningkatan jumlah konsumsi dari tahun 2007 hingga tahun 2009 tersebut menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan kebutuhan sayuran sebagai pemenuhan gizi dan kesehatan.

Selain itu, nilai ekspor sayuran Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Kementerian Perdagangan, nilai ekspor sayuran pada bulan Mei tahun 2010 mengalami kenaikan dibandingkan periode yang sama pada tahun 2009. Pada bulan Mei 2009 nilai ekspor sayuran sebesar US$ 3.345.164 kemudian mengalami peningkatan pada bulan Mei 2010 mencapai nilai US$ 7.940.093, Selanjutnya dibandingkan realisasi ekspor pada bulan April 2010, ekspor pada

2

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2008. Kontribusi Komoditas Sayuran. http://agribisnis.deptan.go.id. [16 Maret 2011]

3

(3)

bulan Mei juga masih tinggi, tercatat ekspor pada bulan April senilai US$ 5.802.879. Selain itu, hingga tahun 2010 diketahui bahwa Indonesia berencana meningkatkan ekspor sayuran ke Singapura, mengingat bahwa kebutuhan Singapura terhadap sayuran sekitar 2.000-2.500 ton sayuran setiap hari, terutama kentang dan sayuran daun seperti kubis-kubisan dan sawi-sawian. Singapura membutuhkan pasokan sayuran dari Indonesia karena Singapura mulai melihat harga sayur dari negara ekportir lainnya seperti China akan naik4.

Singapura dan Indonesia telah membuat kontrak kesepakatan pasokan sayur dan buah antara Singapore Food Industry (SFI) PTE LTD dengan Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah-buahan Indonesia (AESBI) dalam rangka mendukung peningkatan produksi sayuran Indonesia. Untuk memenuhi pasokan ini maka kuantitas dan kualitas sayuran menjadi hal utama yang harus diperhatikan5. Meningkatnya kebutuhan sayuran di dalam negeri (domestik) maupun permintaan ekspor yang semakin tinggi merupakan faktor pendukung bagi peningkatan usaha budidaya sayuran di Indonesia.

Terdapat berbagai jenis sayuran yang dapat dibudidayakan di Indonesia. Hal ini ditinjau dari aspek klimatologis Indonesia sangat tepat untuk mengembangkan bisnis sayuran. Gambaran tentang komoditas sayuran di Indonesia dapat dilihat berdasarkan jumlah produksi sayuran pada tahun 2005 hingga tahun 2009 (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah produksi komoditas sayuran di Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2009 tidak stabil atau tidak menentu. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, dimana umumnya berkaitan dengan kegiatan produksi.

Diantara tanaman yang dapat dibudidayakan di Indonesia maka tanaman yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan dan mudah dibudidayakan adalah sawi. Sawi sebagai salah satu jenis sayuran daun yang memiliki nilai komersial yang cukup tinggi karena hingga saat ini komoditas sawi masih digemari masyarakat indonesia.

4

Indonesia akan Tingkatkan Ekspor Sayuran ke Singapura. 2010. http://www.mediaindonesia.com. [12 April 2011]

5

(4)

Tabel 2. Produksi Komoditas Sayuran di Indonesia Tahun 2005- 2009 (dalam ton)

No Komoditas 2005 2006 2007 2008 2009

1 Bawang Daun 501.437 571.268 479.924 547.743 549.365 2 Bawang Merah 732.610 794.931 802.810 853.615 965.164 3 Bawang Putih 20.733 21.050 17.312 12.339 15.419 4 Bayam 123.785 149.435 155.863 16.381 173.750 5 Bunga Kol 127.320 135.518 124.252 109.497 96.038 6 Buncis 283.649 269.532 266.790 266.551 290.993 7 Cabe 1.058.023 1.185.057 1.128.793 1.153.060 1.378.727 8 Cabe Besar 661.730 736.019 676.828 695.707 787.433 9 Cabe Rawit 396.293 449.038 451.965 457.353 591.294 10 Jamur 12.136 23.559 48.247 43.047 38.465 11 Kacang Merah 132.218 125.250 112.271 115. 817 110.051 12 Kacang Panjang 466.387 461.239 488.499 455.524 483.793 13 Kangkung 229.997 292.950 335.086 323.757 360.992 14 Kentang 1.009.619 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.176.304 15 Ketimun 552.891 598.890 581.205 540.122 583.139 16 Kol / Kubis 1.292.984 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.358.113 17 Labu Siam 180.029 212.697 254.056 394.386 321.023 18 Lobak 54.226 49.344 42.076 48.376 29.759 19 Melinjo 210.836 239.209 205.728 230.654 221.097 20 Petai 125.587 148.268 178.680 213.536 183.679 21 Sawi 548.453 590.400 564.912 565.636 562.838 22 Terung 333.328 358.095 390.846 427.166 451.564 23 Tomat 647.020 629.744 635.474 725.973 853.061 24 Wortel 440.001 391.371 350.170 367.111 358.014 Total 10.141.292 10.712.520 10.584.257 10.842.895 11.940.075 Sumber : Departemen Pertanian (2010)6

Komoditas sawi menjadi komoditas yang layak dikembangkan dan memiliki potensi usaha yang tinggi dengan melihat besarnya peluang ekspor, salah satunya ke Negara Singapura seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, dari sisi domestik, tingkat konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terhadap sawi-sawian mengalami pertumbuhan rata-rata yang positif dari tahun

6

(5)

2004 hingga tahun 2008, yaitu sebesar 2,78 persen, dibandingkan komoditi sayuran daun-daunan lainnya seperti bayam dan kangkung yang mengalami penurunan ratarata konsumsi, yaitu masingmasing sebesar 10,47 persen dan -3,16 persen (BPS Indonesia 2009).

Menurut Badan Pusat Satistik Indonesia (2010), Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling banyak memberikan kontribusi dalam memproduksi sawi di Indonesia dibanding kepulauan lainnya. Dari total produksi sawi di Indonesia, yakni sebanyak 562.838 ton, Pulau Jawa telah berkontribusi sebanyak 314.382 ton atau sebesar 55,86 persen dari total produksi tersebut (Tabel 3).

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Sawi di Pulau Jawa Tahun 2009

No Provinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

1 Jawa Barat 13.485 201.233 14,92

2 Jawa Tengah 6.294 63.948 10,16

3 Jawa Timur 5.525 49.201 8,91

Total 25.304 314.382 33,99

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010 (Diolah)

Pulau Jawa terdiri dari tiga provinsi, yaitu provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa Jawa Barat menjadi provinsi yang memproduksi sayuran sawi dengan jumlah produksi dan luasan panen terbesar dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Jawa Barat menjadi sentra utama produksi sawi-sawian di Indonesia.

(6)

sesuai dengan syarat tumbuh caisin dimana caisin dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah gembur atau jenis latosol7.

Tabel 4. Produksi Komoditas Sawi di Jawa Barat Tahun 2009

No Kabupaten Produksi (kw)

1 Bogor 129.246

2 Sukabumi 208.310

3 Cianjur 275.081

4 Bandung 543.705

5 Garut 410.312

6 Tasikmalaya 38.010

7 Ciamis 4.466

8 Kuningan 33.642

9 Majalengka 76.805

10 Sumedang 17.853

11 Indramayu 6.801

12 Subang 10.514

13 Purwakarta 19.245

14 Karawang 16.678

15 Bekasi 74.158

16 Bandung Barat 56.354

Total 1.921.180

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (2010)

Terdapat 17 jenis sayuran yang dihasilkan oleh para petani di Kabupaten Bogor, salah satu diantaranya adalah komoditas sawi. Perkembangan komoditas sawi di Kabupaten Bogor dari tahun 2005 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 1.

7

(7)

8.65 9.57 8.23 10.18 8.75 9.61 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Pr od uk tiv ita s Produktiv itas (Ton/Ha)

Gambar 1. Perkembangan Produktivitas Komoditas Sawi di Kabupaten Bogor Tahun 2005-2010

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2010)

Gambar 1 menunjukkan produktivitas komoditas sawi dari tahun 2005 hingga tahun 2010 mengalami fluktuasi. Fluktuasi produktivitas merupakan indikasi risiko produksi. Fluktuasi produktivitas tersebut dapat disebabkan berbagai hal, antara lain, perlakuan petani pada kegiatan produksi, adanya serangan hama dan penyakit, serta cuaca yang tidak menentu. Untuk mencapai produktivitas yang tinggi, kualitas yang baik, dan kuantitas sesuai dengan lahan yang tersedia, hal ini tergantung dari kegiatan produksi yang dilakukan. Terjadinya fluktuasi produktivitas juga akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh petani, dimana pendapatan yang diperoleh akan berfluktuasi atau tidak menentu.

Terdapat beberapa jenis sawi yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia, yaitu sawi putih, sawi hijau, sawi huma, sawi caisin (sawi cina), sawi keriting, dan sawi monumen. Diantara enam jenis sawi tersebut, sawi yang saat ini banyak dipasarkan diberbagai pasar tradisional dan modern adalah sawi caisin. Caisin merupakan komoditas yang memiliki nilai komersial dan digemari masyarakat Indonesia diantara jenis sayuran daun lainnya8.

Berdasarkan penjelasan di atas maka penting untuk mengkaji tentang risiko produksi pada komoditas sawi agar produktivitas sawi dapat lebih stabil. Caisin merupakan jenis sawi yang diproduksi dan telah menjadi salah satu sumber pendapatan bagi petani sayuran yang tergabung menjadi anggota Kelompok Tani

8

(8)

Pondok Menteng. Kelompok Tani Pondok Menteng merupakan salah satu kelompok tani yang tergabung dalam satu wadah pengembangan usaha pertanian di Desa Citapen, yakni Gapoktan Rukun Tani. Desa Citapen merupakan salah satu desa di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor yang berpotensi dan mendukung dalam pengembangan basis pertanian khususnya komoditas sayuran.

1.2 Perumusan Masalah

Pada kegiatan usahatani caisin yang dilakukan oleh para petani di Desa Citapen yang merupakan anggota Kelompok Tani Pondok Menteng selalu dihadapkan pada risiko produksi. Indikasi adanya risiko produksi ditunjukkan oleh fluktuasi produktivitas yang diperoleh petani caisin pada beberapa periode atau musim tanam. Adanya risiko produksi menyebabkan produktivitas caisin yang dihasilkan menjadi tidak menentu. Perkembangan komoditas caisin di Desa Citapen dapat dilihat pada Tabel 5 yang merupakan hasil kegiatan program pengembangan usaha agribisnis hortikultura dari Tahun 2009 hingga Tahun 2011. Tabel 5. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Caisin di Kelompok Tani

Pondok Menteng Tahun 2009 Hingga Tahun 2011

No Periode Tanam Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) 1 Desember 2009 – Januari 2010 5 36,03 7,21

2 April 2010 - Mei 2010 5 23,30 4,66

3 Oktober 2010 - November 2010 5 19,25 3,85

4 Januari 2011 - Februari 2011 5 33,95 6,79

Sumber : Gapoktan Rukun Tani (2011)

(9)

hanya berkisar 3,8 – 7,2 Ton/Ha. Penyebab tidak tercapainya produktivitas potensial diantaranya dikarenakan adanya risiko produksi.

Sumber utama risiko yang umumnya dirasakan oleh petani, yaitu serangan hama dan penyakit serta ketidakpastian cuaca. Risiko produksi dan fluktuasi produktivitas dapat dijelaskan melalui perubahan cuaca yang tidak menentu dan tingginya serangan hama dan penyakit. Selain itu, sumber risiko produksi dan fluktuasi produktivitas yang terjadi juga dapat disebabkan oleh perlakuan petani terkait penggunaan input atau faktor-faktor produksi caisin. Dalam setiap kegiatan produksi suatu komoditas, termasuk komoditas caisin, penggunaan input seharusnya mempunyai standar jumlah yang dibutuhkan tanaman caisin dan penggunaan input yang tepat waktu. Umumnya, penggunaan suatu input yang berlebih akan menurunkan kualitas dan jumlah produksi yang pada akhirnya menimbulkan risiko produksi. Beberapa fakta di lapangan bahwa para petani caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng menggunakan beberapa input dengan jumlah yang berlebih (overdosis) dari jumlah yang seharusnya dibutuhkan tanaman caisin, seperti input pupuk dan obat (pestisida). Hal ini berkaitan dengan pola pikir para petani yang menganggap bahwa semakin banyak penggunaan input tersebut maka akan meningkatkan kualitas dan produktivitas tanaman caisin.

Adanya risiko produksi selain berpengaruh terhadap jumlah produksi juga akan berpengaruh pada pendapatan usahatani. Fluktuasi hasil produksi akan menyebabkan penerimaan berfluktuatif sehingga pendapatan usahatani yang akan diperoleh petani menjadi tidak menentu dan cenderung mengalami penurunan. Selain berkaitan dengan penerimaan, adanya risiko produksi juga berpengaruh pada keputusan petani dalam melakukan penanaman caisin pada kondisi risiko produksi, khususnya dalam memperhitungkan kebutuhan dan biaya usahatani.

(10)

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh faktor-faktor produksi terhadap risiko produksi yang dihadapi oleh petani caisin di Desa Citapen?

2. Bagaimana pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan usahatani caisin di Desa Citapen?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap risiko produksi yang dihadapi oleh petani caisin di Desa Citapen.

2. Menganalisis pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan usahatani caisin di Desa Citapen.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu :

1. Petani caisin, penelitian ini bermanfaat sebagai informasi mengenai pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan terhadap risiko produksi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk perencanaan pengambilan keputusan kegiatan produksi caisin agar para petani dapat lebih waspada dalam menghadapi risiko produksi dan dapat mengurangi kerugian yang dapat mempengaruhi pendapatan usahatani.

2. Penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diterima di perkuliahan terhadap permasalahan yang ada secara nyata. 3. Masyarakat umum, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana informasi dan

bahan referensi mengenai usaha produksi caisin, khususnya tentang penggunaan faktor-faktor produksi caisin.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(11)

Citapen. Faktor-faktor produksi yang diduga mempengaruhi risiko produksi caisin dan ditetapkan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat, pupuk daun, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor produksi lain seperti air, tidak digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini karena adanya kesulitan untuk penaksiran jumlah penggunaan air.

2. Penelitian ini dalam pengolahan data tidak membedakan beberapa hal seperti penggunaan benih yang didasarkan dari segi varietas dan petani responden yang menanam caisin dengan teknik monokultur maupun teknik polikultur (tumpangsari).

(12)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Komoditas Caisin (Brassica rapa cv. caisin)

Caisin (Brassica rapa cv. caisin) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam suku kubis-kubisan atau sawi-sawian (Brassicaceae/Cruciferae). Caisin dikenal oleh petani dengan sebutan sawi hijau yang sedang banyak dipasarkan dewasa ini. Caisin memiliki kemampuan adaptasi luas baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Di Pulau Jawa caisin ditanam di berbagai daerah dataran tinggi maupun rendah dan umumnya menggunakan benih produksi lokal (Widiyazid 1998).

Menurut Widiyazid (1998) dalam budidaya caisin, varietas benih yang akan ditanam perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu (1) benih harus sesuai dengan permintaan pasar, (2) daya tumbuh benih tinggi atau masa berlaku benih pada label belum habis, dan (3) kebutuhan benih per hektar adalah 1,0-2,0 kilogram. Pada umumnya petani Indonesia menanam benih produksi lokal dengan jumlah produksi sebanyak ± 10 ton per hektar dengan umur panen ± 40 hari. Namun, untuk varietas benih impor seperti, Tosakan (Thailand) mampu menghasilkan produksi yang lebih tinggi, yaitu sebanyak ± 25 ton per hektar dengan rasa lebih enak dan lunak serta dengan umur panen 30-35 hari.

Menurut Wahyudi (2010), penggunaan berbagai jenis pupuk pada tahap persemaian benih dan pengolahan lahan, yaitu pupuk kandang, pupuk Urea, pupuk SP-36 dan pupuk KCL, sedangkan pada saat pemeliharaan diberi pupuk Urea dan dan pupuk KCL. Hal ini berbeda menurut Widiyazid (1998), dimana budidaya caisin diketahui hanya menggunakan pupuk kandang/kompos saat persiapan lahan dan penanaman, sedangkan saat pemeliharaan hanya menggunakan pupuk Urea. Namun menurut keduanya bahwa penggunaan pupuk tersebut disesuaikan dengan jenis dan keadaan tanahnya. Sedangkan untuk penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan.

(13)

Menurut Gopur (2009) penggunaan benih dan pestisida padat tidak berpengaruh nyata terhadap produksi caisin. Adanya peningkatan penggunaan faktor produksi benih dan pestisida padat justru akan menurunkan produksi caisin. Hal ini dikarenakan penggunaan kedua input tersebut sudah over dosis sehingga dalam penggunaan kedua input ini belum efisien. Sedangkan peningkatan penggunaan pupuk kimia, pupuk kandang, pestisida cair dan tenaga kerja akan meningkatkan produksi caisin. Sementara itu, penggunaan pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi caisin. Kedua penggunaan faktor produksi ini masih kurang sehingga sangat mempengaruhi turunnya produksi caisin. Mengenai efisiensi, baik penggunaan pupuk kimia, pupuk kandang, pestisida cair, dan tenaga kerja ternyata tidak efisien. Penggunaan faktor-faktor produksi tersebut harus ditingkatkan untuk memperoleh produksi caisin yang optimal.

Mengenai penggunaan pupuk kimia menunjukkan hasil yang serupa dengan penelitian Handoyo (2010) yang meneliti tentang pengaruh penggunaan pupuk NPK terhadap tanaman caisin. Penggunaan pupuk NPK dengan dosis yang berbeda-beda pada beberapa tanaman contoh menunjukkan bahwa aplikasi pemupukan NPK tidak berpengaruh nyata terhadap tanaman caisin, seperti pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, warna daun, indeks luas daun, bobot basah, dan akar serta bobot panen umbian. Penggunaan dosis pupuk kimia sebanyak 22,5 kilogram per hektar akan menghasilkan panen tertinggi, yaitu 7,26 ton per hektar. Sedangkan, dosis optimum pupuk NPK yang harus diberikan berdasarkan hasil panen adalah sebanyak 46,75 kilogram per hektar, sedangkan dosis optimum yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi berdasarkan perhitungan B/C Ratio adalah sebanyak 28,125 kilogram per hektar dan dosis minimum pada B/C

ratio 1 atau saat Break Event Point (BEP) adalah sebanyak 3,559kg/ha.

(14)

kimia. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian Abdurohim (2008) yang menyebutkan bahwa penggunaan pupuk kompos menghasilkan produksi tanaman caisin yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan pupuk NPK. Pertumbuhan dan produksi caisin pada pemberian pupuk kompos nyata lebih baik daripada pemberian pupuk NPK. Selanjutnya, berdasarkan kadar hara tanah diketahui bahwa tanaman caisin yg diberi perlakuan pupuk NPK masih mengalami defisiensi kadar P dan K pada tanah. Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi petani dalam penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia agar menghasilkan produksi yang optimal.

2.2 Analisis Risiko dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komoditas Pertanian

Risiko produksi adalah kejadian penurunan hasil produksi yang ditunjukkan dengan adanya fluktuasi produksi atau produktivitas dan terjadinya penurunan pendapatan, dimana kejadian penurunan tersebut dapat diperhitungkan. Risiko produksi yang terjadi pada komoditas sayuran disebabkan oleh beberapa sumber risiko, yaitu adanya serangan hama dan penyakit serta perubahan cuaca dan iklim yang sulit diprediksi. Selain itu, risiko produksi pada komoditas sayuran juga dapat terjadi dikarenakan kegagalan penggunaan teknologi dalam penanaman pada lahan terbuka dan greenhouse (Tarigan 2009 dan Sembiring 2010).

Risiko produksi dapat diperhitungkan melalui dua alat perhitungan. Untuk mengetahui tingkat risiko produksi dengan menggunakan nilai penerimaan atau pendapatan usaha umumnya menggunakan perhitungan variance, standard deviation, dan coefficient variation. Sedangkan untuk mengetahui risiko produksi

yang dilihat berdasarkan penggunaan input atau faktor-faktor produksi umumnya menggunakan model risiko fungsi produksi Just dan Pope, dimana alat ukur risiko yang digunakan, yaitu variance error produksi yang diperoleh dari penggunaan model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH).

(15)

Sembiring (2010) bahwa sayuran yang memiliki tingkat risiko produksi tinggi adalah komoditas brokoli. Hal ini juga disebabkan karena brokoli sangat rentan terhadap penyakit. Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu komoditas caisin, menurut Sembiring (2010) bahwa tanaman caisin memiliki risiko produksi yang lebih rendah dibanding sayuran lainnya, seperti brokoli, sawi putih, dan tomat.

Dalam pengusahaan komoditas yang sama, yaitu brokoli menunjukkan tingkat risiko produksi yang dihasilkan berbeda pada masing-masing perusahaan. Hal ini disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kegiatan produksi yang diterapkan perusahaan berbeda-beda, mulai dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman, perawatan, hingga panen. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan penggunaan lahan penanaman, dimana penanaman sayuran pada penelitian Sembiring (2010) dilakukan dalam green house. Penggunaan green house dapat mengurangi risiko produksi khususnya bagi jenis sayuran daun-daunan seperti caisin yang rentan terhadap hujan dan genangan air, karena penggunaan green house dapat mengatur suhu, kelembaban, tekanan udara, dan menahan hujan yang

terus menerus mengguyur. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2009), yaitu penanaman hanya pada lahan terbuka, dimana bayam hijau merupakan komoditas dengan risiko produksi tertinggi karena rentan terhadap penyakit yang disebabkan turunnya hujan. Perbedaan kegiatan produksi tersebut akan mempengaruhi bagaimana tingkat risiko produksi yang terjadi pada masing-masing komoditas.

Terkait dengan perhitungan risiko produksi berdasarkan penggunaan faktor-faktor produksi dan penggunaan model risiko fungsi produksi Just dan Pope, menurut Koundouri dan Nauges (2005) dalam estimasi fungsi produksi, mengabaikan adanya risiko dapat menyebabkan estimasi tidak efisien. Terutama dibidang pertanian, variabilitas dalam hasil tidak hanya dijelaskan oleh faktor di luar kendali petani seperti harga input dan output, tetapi juga oleh faktor yang terkendali, seperti tingkat input (Just dan Pope 1978, diacu dalam Fufa dan Hassan 2003).

(16)

menunjukkan bahwa dalam hubungannya antara pengambilan keputusan input dan risiko produksi ternyata penggunaan pestisida dalam produksi sebagai pengurang risiko (risk reducing factors), sedangkan faktor lain sebagai faktor yang menyebabkan risiko (risk inducing factors) dalam produksi. Berbeda halnya menurut Hutabarat (1985) yang diacu dalam Fariyanti (2008) bahwa input benih, pupuk nitrogen, pupuk pospor, lahan, dan insektisida merupakan faktor yang menyebabkan risiko produksi (risk inducing factors). Sedangkan input tenaga kerja manusia dan ternak merupakan faktor pengurang risiko produksi (risk reducing factors).

Pada kegiatan produksi tanaman pangan, seperti jagung dan sorgum, menurut Fufa dan Hassan (2003) bahwa faktor produksi yang mempengaruhi variasi (variance) hasil produksi adalah luasan lahan, benih, tenaga kerja manusia, tenaga kerja hewan (sapi), pupuk dan waktu tanam. Penggunaan benih unggul, luasan lahan, tenaga kerja manusia, tenaga kerja hewan, dan waktu tanam menjadi faktor paling penting yang mempengaruhi tingkat hasil rata-rata (mean) tanaman pangan yang tumbuh di daerah Hararghe Timur Oromiya, dimana peningkatan luas lahan menunjukkan dampak yang besar pada hasil rata-rata tanaman pangan. Mengenai benih, karakteristik varietas tanaman yang tumbuh di daerah tersebut cenderung terlambat matang, sehingga memberikan efek negatif pada hasil produksi. Oleh karena itu, pertanian dan penyuluhan harus fokus pada pengembangan varietas tanaman yang tidak hanya memberikan tingkat hasil tinggi tetapi juga hasil yang stabil. Kemudian alasan utama terjadinya penurunan stabilitas hasil panen terkait dengan tingkat penggunaan pupuk yang tinggi, tidak sesuai dengan yang waktu dan metode yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan tingginya tingkat variasi ouput. Penggunaan tenaga kerja sapi ternyata mengurangi efek bagi sebagian besar tanaman pangan. Dengan demikian, pencapaian tingkat hasil tanaman yang stabil diproduksi di daerah tersebut membutuhkan peningkatan akses petani terhadap sapi.

(17)

rata-rata dan variasi hasil produksi gandum. Dalam kegiatan produksi gandum, tenaga kerja manusia, tenaga kerja lembu, penggunaan benih dan pupuk mempengaruhi rata-rata dari hasil gandum. Untuk input benih, jika penggunaan benih ditingkatkan maka akan meningkatkan rata-rata hasil gandum. Oleh karena itu, penggunaan varietas baru akan meningkatkan hasil. Hal ini sama dengan hasil penelitian Fufa dan Hassan (2003), dimana dibutuhkan pengembangan varietas tanaman untuk memberikan tingkat hasil tinggi dan juga hasil yang stabil. Untuk input lembu, jika penggunaan lembu ditingkatkan maka akan menurunkan

rata-rata hasil gandum atau penurunan marjinal pada hasil gandum. Sedangkan untuk variasi hasil gandum, pada produksi gandum menunjukkan bahwa benih dan pupuk meningkatkan risiko produksi (yang konsisten dengan temuan Just and pope, 1979) dan menimbulkan variasi hasil gandum. Untuk penggunaan tenaga kerja mempengaruhi variasi hasil gandum, dimana jika penggunaan tenaga kerja ditingkatkan maka akan meningkatkan variasi hasil gandum. Sedangkan untuk lembu terdapat hasil yang berbeda dengan penelitian Fufa dan Hassan (2003), dimana pada penelitian ini penggunaan lembu dapat meningkatkan risiko.

Pada kegiatan usahatani komoditas sayuran, seperti kentang dan kubis, menurut Fariyanti et.al. (2007) faktor-faktor produksi yang akan mempengaruhi rata-rata hasil produksi dan variasi hasil produksi, yaitu luas lahan garapan, benih, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida, dan tenaga kerja. Analisis mengenai risiko produksi untuk komoditas tersebut menggunakan model GARCH (1,1), dimana hasil model tersebut diketahui persamaan fungsi produksi dan variance error produksi. Pada komoditas kentang, pupuk TSP dan KCL memiliki

(18)

merupakan faktor yang menimbulkan risiko produksi. Berbeda halnya pada komoditas kubis, penggunaan lahan dan pestisida menjadi faktor yang menimbulkan risiko produksi, sedangkan penggunaan benih, pupuk urea, pupuk NPK, dan tenaga kerja menjadi faktor pengurang risiko produksi. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa pada komoditas yang berbeda, faktor-faktor yang dapat menyebabkan risiko produksi pun berbeda-beda. Namun, untuk kedua komoditas, parameter error kuadrat produksi periode (musim) sebelumnya dan variance error produksi periode (musim) sebelumnya bertanda positif artinya semakin tinggi risiko produksi pada musim sebelumnya, maka semakin tinggi risiko produksi pada musim berikutnya.

(19)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Teori Risiko Produksi

Dalam teori risiko produksi terlebih dahulu dijelaskan mengenai dasar teori produksi. Menurut Lipsey et al. (1995) produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output. Hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan disebut sebagai fungsi produksi. Keputusan dalam kegiatan proses produksi terbagi dalam tiga kategori, yaitu jangka pendek, jangka panjang, dan jangka sangat panjang. Jangka pendek dicirikan dengan semua inputnya adalah tetap, sementara jangka panjang semua input variabel. Input tetap adalah input yang tidak berubah atau tidak dapat

ditambah, dinamakan sebagai faktor tetap. Sedangkan input variabel adalah input yang dapat berubah dalam jangka waktu tertentu, dinamakan sebagai faktor variabel.

Fungsi produksi terdiri dari produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan produk marjinal (MP). Produk total adalah jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Produk total akan berubah menurut banyak sedikitnya faktor variabel yang digunakan. Produk rata-rata adalah produk total dibagi jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya. Sementara produk marjinal atau produk fisik marjinal adalah perubahan dalam produk total sebagai akibat satu unit tambahan penggunaan variabel (Lipsey et al. 1995)

Dalam kaitannya antara produk marjinal dan proses produksi, seorang produsen dapat menambah hasil produksi dengan menambah semua input produksi atau menambah satu atau beberapa input produksi. Penambahan input produksi mengikuti hukum The law of diminishing marginal returns yang merupakan dasar dalam ekonomi produksi. The law of diminishing marginal returns terjadi jika jumlah input variabel ditambah penggunaannya, maka output

yang dihasilkan meningkat, tapi setelah mencapai satu titik tertentu penambahan output semakin lama semakin berkurang (Debertin 1986).

(20)

produksi menerangkan hubungan teknis yang menstransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas (Debertin 1986).

Dalam suatu proses produksi khususnya usahatani tidak pernah terlepas dari risiko produksi termasuk dalam penggunaan input yang ada di dalam fungsi produksi. Menurut Debertin (1986) risiko adalah suatu kejadian yang kemungkinan muncul dan menyebabkan fluktuasi hasil dimana kemungkinan/probabilitas hasil yang diterima dapat diestimasi. Sedangkan apabila pelaku usaha tidak memiliki data yang bisa dikembangkan untuk menyusun distribusi probabilitas maka akan muncul suatu kejadian yang disebut ketidakpastian (uncertainty). Tidak jauh berbeda menurut Robison dan Barry (1987) risiko adalah peluang terjadinya suatu kejadian yang dapat diukur oleh pengambil keputusan dan pada umumnya pengambil keputusan mengalami suatu kerugian. Risiko erat kaitannya dengan ketidakpastian, tetapi kedua hal tersebut memiliki makna berbeda. Ketidakpastian (uncertainty) adalah peluang suatu kejadian yang tidak dapat diukur oleh pengambil keputusan. Adanya ketidakpastian dapat menimbulkan risiko.

Menurut Ellis (1993), risiko dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang dihubungkan dengan kejadian dari suatu peristiwa yang mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan. Sedangkan ketidakpastian mengacu pada situasi dimana tidak memungkinkan untuk mengetahui probabilitas kejadian dari suatu peristiwa. Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dalam melihat mengenai peluang dengan risiko. Pada kegiatan produksi usahatani, risiko merupakan peluang terjadinya suatu peristiwa yang menghasilkan pendapatan di atas atau di bawah rata-rata dari pendapatan yang diharapkan dalam serangkaian musim panen.

(21)

Keterangan :

TVP1 = Total value product in ’good’ years TVP2 = Total value product in ’bad’ years E(TVP) = Expected total value product

Gambar 2. Hubungan Keputusan Penggunaan Input dan Variasi Pendapatan Sumber : Ellis (1993)

Variasi pendapatan dipengaruhi oleh keputusan pengalokasian salah satu sumberdaya yang digunakan untuk produksi. Bentuk kurva dalam fungsi produksi tersebut mencerminkan dampak dari kondisi yang baik dan buruk terhadap respon output untuk berbagai tingkat penggunaan input. Total Value Product (TVP)

menggambarkan penerimaan yang didapat dari hasil produksi. Kondisi TVP yang diperlihatkan berbeda-beda yang terdiri dari tiga kondisi, yaitu TVP pada penggunaan sejumlah input saat kondisi baik (TVP1), pada kondisi yang diharapkan (E(TVP)), dan pada kondisi buruk (TVP2). Penambahan kurva Total Cost (TC) bertujuan untuk memperlihatkan biaya pembelian input yang

meningkat. Terdapat tiga alternatif penggunaan input yang ditunjukkan oleh X1, X2, XE yang terkait risiko :

1. Input yang digunakan sebanyak X1. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1 terjadi dimana pada saat tersebut dalam kondisi yang baik, maka keuntungan terbesar yaitu sebesar ab akan diperoleh. Di sisi lain, jika TVP2 terjadi maka

c

f

a

g

d h b

e i

j

TVP1

E(TVP)

TC

TVP2

0 X2 XE X1 Input X

(22)

kerugian sebesar bj akan dialami petani. Dalam kondisi ini berarti seorang petani memilih berani terhadap risiko (risk-taking).

2. Input yang digunakan sebanyak X2. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1 terjadi maka keuntungan sebesar ce akan diperoleh dan jika TVP2 terjadi maka petani tidak akan mengalami kerugian dan tetap mendapatkan keuntungan yang kecil sebesar de. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut petani masih mampu membayar biaya pembelian input tersebut (TVP > TC). Dalam kondisi ini berarti seorang petani memilih takut terhadap risiko (risk-averse).

3. Input yang digunakan sebanyak XE. Nilai E(TVP) yang diperoleh merupakan hasil rata-rata pendapatan pada kondisi baik dan buruk. Hal ini menunjukkan jika kondisi TVP1 terjadi maka keuntungan sebesar fh akan diperoleh, tetapi bukan merupakan kemungkinan keuntungan terbesar. Di sisi lain, jika TVP2 terjadi maka kerugian sebesar hi akan dialami petani dan bukan merupakan kemungkinan kerugian terkecil. Dalam kondisi ini berarti seorang petani memilih netral terhadap risiko (risk-neutral).

Dalam penentuan risiko produksi terdapat beberapa model yang menyangkut risiko, salah satunya adalah penentuan input yang optimal pada kondisi risiko dalam fungsi produksi. Robison dan Barry (1987) menyebutkan ada satu model yang dikembangkan untuk menganalisis dampak risiko terkait produksi dari penggunaan tingkat input terhadap output, yaitu model risiko fungsi produksi Just dan Pope. Dalam fungsi produksi Just dan Pope melibatkan masuknya kesalahan istilah (error) ke dalam fungsi produksi untuk menggambarkan pengaruh faktor tak terkendali seperti cuaca, inefisiensi teknis, dan lainnya dalam produksi. Kemudian, masuknya kesalahan istilah (error) ke dalam fungsi produksi akan menunjukkan variabilitas bahwa dalam output (hasil) juga dijelaskan oleh faktor endogen dan tingkat input yang digunakan.

Model risiko fungsi produksi Just dan Pope terdiri dari fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan fungsi produksi variance (variance production function). Kedua fungsi tersebut dipengaruhi oleh penggunaan input

(23)

inducing). Secara matematis, persamaan model risiko fungsi produksi Just dan

Pope dapat ditulis sebagai berikut (Robison dan Barry 1987) : q = f(x) + h(x)ε

dimana :

q = Hasil produksi yang dihasilkan (output) f(x) = Fungsi produksi rata-rata

h(x) = Fungsi varian (fungsi risiko)

x = Input atau faktor-faktor produksi yang digunakan ε = error term atau distribusi ε~(0,σ2e)

Menurut Just dan Pope pada penggunaan input produksi sebagai pengurang risiko (risk reducing factors), misalnya penggunaan sistim irigasi, penggunaan pestisida, biaya yang dikeluarkan untuk memprediksi kondisi pasar yang akan datang, menyewa jasa konsultan profesional dan pemakaian peralatan/mesin baru merupakan beberapa cara atau faktor dalam merespon adanya risiko yang dihadapi oleh pelaku produksi. Sedangkan faktor lain seperti benih dan pupuk sebagai faktor yang menyebabkan risiko (risk inducing factors) dalam produksi (Robison dan Barry 1987). Pestisida sebagai faktor pengurang risiko dapat diilustrasikan bahwa ketika tidak terdapat hama pada tanaman maka hasil produksi akan normal, sedangkan ketika terdapat hama pada tanaman kemudian diberikan pestisida maka hasil produksi akan normal. Berdasarkan dua kondisi tersebut menunjukkan tidak adanya gap atau penyimpangan untuk pembanding yang sama. Artinya, tidak ada variasi hasil produksi, sehingga bukan merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko. Risiko yang dihadapi petani akan berpengaruh pada pemilihan jenis input yang digunakan. Jika petani bersifat risk averter, maka input yang menyebabkan variasi hasil akan dihindari oleh

petani dan petani akan memilih input lain yang diperkirakan tidak menimbulkan variasi hasil yang besar. Variasi hasil akan berakibat pada variasi pendapatan petani.

(24)

produksi tersebut, yaitu model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) (Verbeek 2000). Model GARCH secara khusus di

desain untuk model variance yang mana variance sebagai variabel dependent merupakan fungsi dari variabel dependent periode sebelumnya atau variabel independent atau eksogenus. Secara umum model GARCH dapat dirumuskan sebagai berikut (Verbeek 2000) :

e Y

Yt t j

p j q j j t j j t j t 1 1 2 2 2

Model GARCH yang umumnya digunakan adalah model GARCH (1,1) yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Verbeek 2000) :

1 2 1 2 2 t t t dimana : t

2 = variance error pada periode t 1

2

t = error kuadrat periode sebelumnya

1 2

t = variance error pada periode sebelumnya

,

, = parameter estimasi

Model GARCH (1,1) mempunyai arti bahwa variance error pada periode t ( 2t)

ditentukan oleh error kuadrat periode sebelumnya ( 2t 1) dan variance error

pada periode sebelumnya ( 2t 1). Variance error menunjukkan variance dari

produksi. Model GARCH (1,1) dapat menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE) untuk estimasi parameter.

3.2 Teori Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan

Lipsey et.al. (1995) mendefinisikan biaya total (TC atau total cost) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (TFC atau total fixed cost) dan biaya variabel total (TVC atau total variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang

(25)

biaya variabel adalah biaya produksi yang bervariasi dengan tingkat output yang dihasilkan oleh petani. Contoh biaya variabel termasuk biaya yang terkait dengan pembelian input seperti bibit, pupuk, herbisida, insektisida, dan sebagainya. Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani disaat sedang atau tidak berproduksi. Contoh biaya tetap termasuk pembayaran untuk pembelian tanah dan penyusutan mesin pertanian, bangunan, dan peralatan.

Secara matematis biaya total (TC) dapat dirumuskan sebagai berikut (Lipsey et.al. 1995) :

TC = TFC + TVC dimana :

TC = Total cost atau biaya total (Rp)

TFC = Total fixed cost atau biaya tetap total (Rp) TVC = Total variable cost atau biaya variabel total (Rp)

Hubungan antara besarnya biaya produksi dengan tingkat produksi disebut dengan fungsi biaya. Grafik fungsi biaya dapat dilihat pada Gambar 3.

Keterangan :

TC = Total cost atau biaya total (Rp)

TFC = Total fixed cost atau biaya tetap total (Rp) TVC = Total variable cost atau biaya variabel total (Rp) Q = Quantity atau hasil produksi (satuan)

Gambar 3. Kurva Biaya Total Sumber : Lipsey et.al. (1995)

TC

Q 0

TVC TC

(26)

Bentuk kurva TFC adalah horizontal karena nilainya tidak berubah berapapun banyaknya barang yang diproduksi. Sedangkan TVC bermula dari titik nol dan semakin lama semakin bertambah tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa ketika tidak ada produksi TVC = 0, dan semakin besar produksi maka semakin besar nilai biaya variabel total (TVC). Kurva TC adalah hasil dari penjumlahan kurva TFC dan TVC. Oleh karena itu, kurva TC bermula dari pangkal TFC dan apabila ditarik garis tegak di antara TVC dan TC panjang garis itu adalah sama dengan jarak diantara TFC dengan sumbu datar.

Selanjutnya, menurut Debertin (1986) total penerimaan merupakan nilai produk total yang diterima petani atau pengusaha, dimana penerimaan diperoleh dari jumlah total produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual atau harga pasar yang konstan. Secara matematis, total penerimaan atau total pendapatan (total revenue) dapat dirumuskan sebagai berikut (Debertin 1986) :

TR = p x y dimana :

TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp) p = Harga pasar (Rp)

y = Hasil produksi (satuan)

Total penerimaan atau total pendapatan yang dikurangi dengan biaya total yang dikeluarkan disebut sebagai pendapatan bersih atau keuntungan (profit) yang diterima petani atau pengusaha. Pendapatan bersih atau keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut (Debertin 1986) :

π

= TR – TC dimana :

π

= Pendapatan bersih/keuntungan (Rp) TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp) TC = Biaya total (Rp)
(27)

Keterangan :

CR = Cost dan revenue atau biaya dan pendapatan (Rp) TR = Total pendapatan/penerimaan (Rp)

TC = Biaya total (Rp)

Q = Quantity atau hasil produksi (satuan) BEP = Break event point atau titik impas

Gambar 4. Hubungan Biaya Total dan Hasil Penjualan Total Sumber : Lipsey et.al. (1995)

Gambar 4 menunjukkan bahwa kurva TR diasumsikan berada di atas kurva TC. Hal ini menggambarkan bahwa usaha tersebut mengalami keuntungan. Perpotongan antara titik TR dan titik TC pada tingkat produksi statu komoditas merupakan titik impas atau Break Event Point (BEP), dimana produksi tidak mengalami keuntungan atau kerugian. Bila TR > TC (output yang dihasilkan lebih besar dari BEP) maka statu usaha dikatakan menguntungkan dan bila TR< TC maka usaha tersebut mengalami kerugian.

3.3 Kerangka Pemikiran Operasional

Perkembangan produktivitas hasil kegiatan usahatani caisin yang dilakukan para petani di Desa Citapen yang merupakan anggota Kelompok Tani Pondok Menteng mengalami fluktuasi atau hasil yang tidak menentu. Fluktuasi produktivitas merupakan indikasi risiko produksi, dimana risiko yang terjadi ini berkaitan dengan kegiatan produksi yang dilakukan para petani. Terjadinya fluktuasi produktivitas dan risiko produksi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu faktor yang tidak terkendali maupun faktor yang terkendali.

TC TR

BEP CR

(28)

Faktor yang tidak terkendali merupakan sumber utama risiko produksi yang umumnya terjadi pada usahatani caisin, yaitu serangan hama dan penyakit serta ketidakpastian cuaca. Ketidakpastian cuaca seperti perubahan antara kondisi hujan dan panas yang tidak menentu akan mempengaruhi pertumbuhan komoditas caisin. Selain itu, cuaca yang tidak menentu juga akan berpengaruh pada meningkatnya populasi hama dan tingkat kerentanan tanaman terhadap penyakit. Sementara itu, risiko produksi yang disebabkan oleh faktor yang terkendali, yaitu berdasarkan penggunaan input atau faktor-faktor produksi dalam menghasilkan output atau hasil produksi. Hasil produksi sangat tergantung dengan bagaimana

input atau faktor-faktor produksi yang digunakan. Penggunaan input dalam

jumlah dan waktu yang tidak tepat umumnya akan menurunkan hasil produksi. Risiko produksi yang terjadi dapat diperhitungkan melalui penggunaan input atau faktor-faktor produksi yang merupakan faktor yang terkendali. Faktor-faktor produksi yang digunakan, yaitu benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pupuk daun, pestisida cair, pestisida padat, dan tenaga kerja.

Penggunaan input dalam kegiatan produksi caisin akan dipengaruhi oleh harga input, sehingga besarnya kecilnya input yang digunakan akan berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan petani. Semakin besar biaya yang dikeluarkan petani maka pendapatan usahatani akan berkurang atau menurun. Sementara itu, besar kecilnya pendapatan usahatani caisin juga dipengaruhi oleh harga jual output dipasaran, semakin tinggi harga output maka pendapatan usahatani caisin

akan semakin besar. Fluktuasi produktivitas dan risiko produksi yang terjadi pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan usahatani, dimana pendapatan usahatani umumnya menjadi tidak menentu seiring dengan jumlah produksi yang berfluktuatif.

Untuk itu perlu dilakukan analisis risiko produksi dan analisis pendapatan usahatani atas kondisi yang terjadi di lapangan terkait dengan adanya risiko produksi. Analisis risiko produksi dilakukan dengan menggunakan model GARCH (1,1) sehingga akan diketahui faktor yang bersifat pengurang risiko (risk reducing factor) atau faktor yang bersifat peningkat risiko (risk inducing factor).

(29)

kondisi risiko produksi maka digunakan analisis pendapatan usahatani. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Produksi Caisin (Brassica rapa cv. caisin) di Desa Citapen Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor

Penggunaan Faktor-faktor Produksi (Faktor Terkendali) :

1. Benih

2. Pupuk kandang 3. Kapur

4. Pupuk urea 5. Pestisida cair 6. Pestisida padat 7. Pupuk daun 8. Tenaga kerja Risiko Produksi Caisin

Sumber Risiko Produksi (Faktor Tidak

Terkendali) : 1. Hama dan

Penyakit 2. Ketidakpastian

cuaca

Terjadinya Fluktuasi Produktivitas Caisin di Kelompok Tani Pondok Menteng

Kegiatan Usahtani Caisin yang Dilakukan Para Petani di Kelompok Tani Pondok Menteng

Pendapatan Usahatani Caisin

(30)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011. Penetapan Kecamatan Ciawi sebagai daerah penelitian karena kecamatan tersebut memiliki visi berbasis pertanian yang ditujukan sebagai penopang utama peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka memperkuat pembangunan berbasis perdesaan9. Selain itu, berdasarkan data UPT Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, dan Kehutanan (PTTPHPK) VII Wilayah Ciawi, diantara tiga wilayah kerjanya, yaitu Kecamatan Ciawi, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Cisarua, kecamatan yang memiliki lahan sawah dan lahan tegalan terluas adalah Kecamatan Ciawi dengan luas total 1.634 Hektar, sedangkan Kecamatan Megamendung seluas 1.193 Hektar dan Kecamatan Cisarua seluas 952 Hektar.

Pemilihan lokasi Desa Citapen sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yang didasarkan pada pertimbangan lokasi tersebut merupakan salah satu desa di Kecamatan Ciawi yang mendominasi usaha dibidang hortikultura khususnya sayuran dibanding 12 desa lainnya, dimana komoditas caisin termasuk komoditas unggulan dan salah satu komoditas yang selalu diproduksi setiap waktu. Desa citapen merupakan desa kedua tertinggi dengan jumlah petani hortikultura dan tanaman pangan sebanyak 535 orang. Salah satu jenis sayuran yang banyak diproduksi petani di Desa Citapen adalah caisin dengan luasan panen tertinggi, yakni seluas 21 hektar. Selain itu, kegiatan pertanian di Desa Citapen termasuk kegiatan yang telah maju dan berjalan secara teratur karena didukung oleh lembaga Gapoktan Rukun Tani sebagai wadah pengembangan pertanian yang sudah dikenal maju dan terus berkembang hingga saat ini.

4.2 Data dan Instrumentasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancar a langsung

9

(31)

dengan responden yang dipilih, yaitu petani caisin di Poktan Pondok Menteng dan juga pihak yang berkepentingan di Poktan Pondok Menteng serta Gapoktan Rukun Tani. Untuk responden petani, wawancara dilakukan dengan panduan kuesioner (daftar pertanyaan) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Adapun daftar pertanyaan yang dipersiapkan antara lain mengenai identitas dan karakteristik petani, seperti nama, umur, pendidikan, dan gambaran umum usahatani yang, gambaran umum kegiatan usahatani caisin dari berbagai tahap kegiatan budidaya hingga penggunaan input atau faktor-faktor produksi dalam memproduksi caisin, jumlah produksi caisin, dan pertanyaan lainnya yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian.

Data mengenai penggunaan input atau faktor-faktor produksi dan data output atau hasil produksi yang diambil adalah data dari dua musim tanam pada

tahun 2010/2011, yaitu musim kemarau tahun 2010 dan musim hujan tahun 2011. Data yang digunakan adalah data panel, yaitu yang pertama data cross section selama satu periode tanam, yaitu petani yang menanam caisin pada musim hujan antara bulan Januari hingga April 2011, sedangkan data time series merupakan data deret waktu tanam antara musim kemarau dan musim hujan.

Data sekunder diperoleh dari instansi dan dinas terkait, seperti Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Gapoktan Rukun Tani, Kelompok Tani Pondok Menteng, Perpustakaan LSI Institut Pertanian Bogor, Perpustakaan Pertanian Kota Bogor, penelitian terdahulu (skripsi), buku, literatur internet, dan berbagai sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

4.3 Metode Penentuan Sampel

(32)

Pemilihan Poktan Pondok Menteng dilakukan dengan menggunakan sampel tidak acak (nonrandom sampling), yaitu teknik purposive karena Poktan Pondok Menteng dianggap sebagai tempat yang paling cocok untuk tempat penelitian. Selain itu, Poktan Pondok Menteng dipilih karena memiliki jumlah anggota terbanyak dibandingkan dengan Poktan lainnya. Anggota Poktan Pondok Menteng sebanyak 104 anggota dari total 232 anggota, sedangkan sisanya sebanyak 128 anggota tersebar di enam poktan lainnya yang bertani di bidang sayuran, ternak, dan juga usaha dagang. Sebanyak 50 persen dari 104 anggota tersebut merupakan petani sayur-sayuran dan tanaman pangan, sehingga akan mudah mendapatkan responden petani sayuran.

Responden dalam penelitian yang akan digunakan adalah para petani yang mengusahakan caisin di Poktan Pondok Menteng. Pengambilan sampel dilakukan dengan sampel tidak acak (nonrandom sampling), yaitu teknik purposive karena adanya keterbatasan kondisi di lapangan sehingga penulis dengan dibantu pembimbing lapang memilih responden yang mempunyai waktu dan dapat mudah untuk diwawancarai atau berinteraksi. Pemilihan responden tersebut merupakan pihak yang dianggap paling baik dalam memberikan informasi dan dapat menjelaskan mengenai usahatani caisin. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 35 orang untuk memenuhi aturan umum secara statistik yaitu ≥ 30 orang karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti.

4.4 Metode Pengumpulan Data

(33)

4.5 Metode Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui pendekatan deskriptif untuk melihat keragaan dan gambaran usahatani caisin di daerah penelitian dan untuk mendukung data kuantitatif. Sementara itu, data mengenai input dan output usahatani caisin dianalisis secara kuantitatif dengan model GARCH (1,1) yang dilakukan dengan bantuan alat aplikasi, yakni Eviews 6. Sedangkan, analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan bantuan alat aplikasi komputer, yakni Microsoft Excel.

4.5.1 Model GARCH (1,1)

Pengukuran risiko produksi dalam penelitian ini menggunakan nilai variance error produksi. Salah satu model yang digunakan untuk mengetahui

variance error tersebut adalah model GARCH (1,1). Risiko produksi diperoleh

dengan melakukan pendugaan terhadap fungsi produksi dan fungsi variance error produksi. Adapun fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural (Ln).

Produktivitas caisin dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi, yaitu benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida padat, pestisida cair, pupuk daun, dan tenaga kerja. Sedangkan variance error produktivitas caisin dipengaruhi oleh error kuadrat dan variance error produktivitas musim sebelumnya, benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida padat, pestisida cair, pupuk daun, dan tenaga kerja. Penelitian ini menggunakan data cross section, yaitu petani responden dan data time series, yaitu periode waktu dua musim tanam atau dengan kata lain kedua data ini disebut sebagai data panel. Model GARCH digunakan karena adanya variasi baik diantara musim tanam maupun diantara petani responden. Adapun persamaan fungsi produksi dan fungsi variance error produksi adalah sebagai berikut :

LnYit = β0 + β1LnX1it + β2LnX2it + β3LnX3it + β4LnX4it + β5LnX5it + β6LnX6it + β 7LnX7it + β8LnX8it + ε

(34)

Tanda dan besaran parameter yang diharapkan berdasarkan teori Just dan Pope adalah sebagai berikut (Robison dan Barry 1987) :

β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8, θ1, θ2, θ3, θ4, θ5, θ6, θ9, θ10 > 0 ; θ7, θ8 < 0 dimana :

Y = Produktivitas caisin (kg/ha)

X1 = Jumlah benih per periode tanam (kg/ha)

X2 = Jumlah pupuk kandang per periode tanam (kg/ha) X3 = Jumlah kapur per periode tanam (kg/ha)

X4 = Jumlah pupuk urea per periode tanam (kg/ha) X5 = Jumlah pestisida cair per periode tanam (liter/ha) X6 = Jumlah pestisida padat per periode tanam (kg/ha) X7 = Jumlah pupuk daun per periode tanam (kg/ha) X8 = Jumlah tenaga kerja per periode tanam (HOK/ha) σ2

y = Variance error produktivitas caisin

ε = Error

t = Musim (1=musim kemarau, 2=musim hujan) i = Petani Responden (i = 1, 2, 3, ..., 35) β0, θ0 = Intercept

β1,β2,…,β8 = Koefisien parameter dugaan X1, X2,...,X8 θ3,θ4,…,θ10 = Koefisien parameter dugaan X1, X2,...,X8

4.5.2 Pengujian Hipotesa

Pengujian hipotesa yang dilakukan adalah untuk melihat sifat kebaikan dan tingkat kesesuaian model dalam memprediksi variabel dependent maka dilakukan evaluasi model dugaan. Evaluasi model dugaan yang dilakukan, yaitu koefisien determinasi (R2) dan uji signifikansi model dugaan.

a. Koefisien determinasi (R2)

(35)

Σ(Ŷ - Ῡ)2 R2 =

Σ(Y - Ῡ)2 dimana :

Σ(Ŷ - Ῡ)2 = Jumlah kuadrat regresi (SSregression) Σ(Y - Ῡ)2 = Jumlah kuadrat total (SStotal) b. Uji signifikansi model dugaan

Pemeriksaan akurasi model dugaan, disamping menggunakan ukuran deskriptif melalui tersebut, juga dibutuhkan pemeriksaan melalui inferensia statistika, yakni melalui uji signifikansi model dugaan. Uji signifikansi model dugaan dilakukan untuk mengetahui apakah faktor-faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas caisin. 1) Pengujian untuk fungsi produksi rata-rata

Hipotesis :

H0 : βi = 0 ; i = 1,2,3,4,…,8 H1 : salah satu dari βada ≠ 0

2) Pengujian untuk fungsi produksi variance Hipotesis :

H0 : θi = 0 ; i = 3,4,5,…,10 H1 : salah satu dari θada ≠ 0

Untuk pengujian kedua fungsi produksi diatas maka uji statistik yang digunakan adalah uji F (Gujarati 1993) :

) ( ) 1 (

) 1 (

2 2

k n R

k R hitung

F

dimana :

R2 = Koefisien determinasi

k = Jumlah variabel (termasuk intercept) n = Jumlah responden

Kriteria uji :

(36)

Apabila tidak menggunakan tabel, maka dapat dilihat dari nilai P, dengan kriteria sebagai berikut :

P < , maka tolak H0 P > , maka terima H0

4.5.3 Analisis Pendapatan Usahatani Caisin

1) Penerimaan Usahatani Caisin

Analisis penerimaan dapat dihitung dari perkalian antara jumlah total hasil produksi dan harga jual per satuan caisin. Analisis penerimaan usahatani merupakan penerimaan petani sebelum dikurangi biaya-biaya usahatani. Analisis penerimaan terdiri dari analisis penerimaan tunai, penerimaan tidak tunai (yang diperhitungkan), dan penerimaan total. Penerimaan tunai usahatani diperoleh dari nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan penerimaan tidak tunai adalah produk hasil usahatani yang tidak dijual secara tunai, melainkan digunakan untuk konsumsi sendiri. Penerimaan total adalah penjumlahan antara penerimaan tunai dengan penerimaan tidak tunai.

2) Biaya Usahatani Caisin

Biaya total dalam usahatani caisin terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, seperti biaya sarana-sarana produksi yang digunakan untuk usahatani caisin, sedangkan biaya yang diperhitungkan adalah untuk menghitung berapa besarnya pendapatan kerja petani dan modal. Komponen biaya tunai seperti, benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat, pupuk daun, dan tenaga kerja luar keluarga, sedangkan komponen biaya diperhitungkan seperti, sewa lahan milik sendiri (ha), sewa lahan bagi hasil dan penggarap, dan penyusutan peralatan. Komponen-komponen perhitungan biaya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. 3) Pendapatan Usahatani Caisin

(37)

pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dengan biaya tunai. Sementara itu, pendapatan atas biaya total adalah selisih antara penerimaan total dengan biaya total.

[image:37.595.112.511.275.542.2]

Analisis pendapatan usahatani caisin perlu dilakukan oleh petani responden untuk mengetahui seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari usahatani caisin dan mengetahui keuntungan dari kegiatan usahatani yang diusahakan. Secara rinci, komponen pendapatan usahatani caisin dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komponen Pendapatan Usahatani Caisin

No Keterangan Componen

A Penerimaan tunai Harga x Hasil panen yang dijual (Kg) B Penerimaan yang

diperhitungkan

Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (Kg)

C Total Penerimaan A + B

D Biaya tunai a. Biaya sarana produksi : benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pestisida cair, pestisida padat, pupuk daun. b. Biaya tenaga kerja luar keluarga

(TKLK) c. Pajak

E Biaya yang diperhitungkan a. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK)

b. Penyusutan peralatan c. Lahan milik sendiri (sewa)

F Total Biaya D + E

G Pendapatan atas biaya tunai A – D H Pendapatan atas biaya total C – F

(38)

Nb – Ns Biaya Penyusutan =

n dimana :

Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Nilai sisa (Rp)

n = Umur ekonomis (tahun) 4.5.4 Hipotesis

1. Hipotesis fungsi produksi rata-rata

Hipotesis yang digunakan sebagai dasar pertimbangan adalah bahwa semua faktor produksi berpengaruh positif terhadap rata-rata hasil produksi caisin. Adapun penjelasan hipotesis tersebut adalah :

a. Benih (X1)

β1 > 0 artinya semakin banyak benih yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

b. Pupuk kandang (X2)

β2 > 0 artinya semakin banyak pupuk kandang yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat..

c. Kapur (X3)

β3 > 0 artinya semakin banyak kapur yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

d. Pupuk urea (X4)

β4 > 0 artinya semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

e. Pestisida cair (X5)

β5 > 0 artinya semakin banyak pestisida cair yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

f. Pestisida padat (X6)

β6 > 0 artinya semakin banyak pestisida padat yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

g. Pupuk daun (X7)

(39)

h. Tenaga kerja (X8)

β8 > 0 artinya semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi maka produktivitas caisin semakin meningkat.

2. Hipotesis fungsi produksi variance

Hipotesis yang digunakan sebagai dasar pertimbangan adalah bahwa tidak semua faktor produksi berpengaruh positif terhadap variasi hasil produksi caisin. Sesuai tanda dan besaran parameter yang diharapkan didasarkan pada teori Just dan Pope (Robison dan Barry 1987). Adapun penjelasan hipotesis tersebut adalah :

a. Benih (X1)

θ3 > 0 artinya semakin banyak benih yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga benih sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).

b. Pupuk kandang (X2)

θ4 > 0 artinya semakin banyak pupuk kandang yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga pupuk kandang sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).

c. Kapur (X3)

θ5 > 0 artinya semakin banyak kapur yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga kapur sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors).

d. Pupuk urea (X4)

θ6 > 0 artinya semakin banyak pupuk urea yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga pupuk urea sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors). e. Pestisida cair (X5)

(40)

f. Pestisida padat (X6)

θ8 < 0 artinya semakin banyak pestisida padat yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin menurun, sehingga pestisida padat sebagai faktor pengurang risiko (risk reducing factors).

g. Pupuk daun (X7)

θ9 > 0 artinya semakin banyak pupuk daun yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga pupuk daun sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors). h. Tenaga kerja (X8)

θ10 > 0 artinya semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi maka variasi produktivitas caisin semakin meningkat, sehingga tenaga kerja sebagai faktor yang menimbulkan risiko (risk inducing factors). 4.6 Definisi Operasional

1. Produktivitas (Y) adalah jumlah total panen caisin segar yang diukur dalam satuan kilogram per periode tanam per hektar.

2. Benih (X1) adalah jumlah benih caisin yang digunakan untuk memproduksi caisin yang diukur dalam satuan kilogram per periode tanam.

3. Pupuk kandang (X2) adalah jumlah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang digunakan dalam persiapan lahan yang berguna untuk untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi pada tanah. Pupuk kandang digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam.

4. Kapur (X3) adalah jumlah kapur yang digunakan dalam persiapan lahan yang berguna untuk menaikkan pH tanah agar lebih subur dan gembur. Kapur digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam.

5. Pupuk urea (X4) adalah jumlah pupuk kimia yang digunakan dalam persiapan lahan dan pemeliharaan yang dibutuhkan pada pertumbuhan awal tanaman untuk mengembalikan unsur hara Nitrogen. Pupuk kimia ini digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam.

(41)

7. Pestisida padat (X6) adalah jumlah obat yang berjenis fungisida dan insektisida yang berbentuk padat (bubuk) untuk mencegah hama dan penyakit tanaman caisin yang digunakan dalam satuan kilogram per periode tanam. 8. Pupuk daun (X7) adalah jumlah pupuk yang berbentuk padat (bubuk) yang

digunakan untuk menambah dan menyegarkan warna hijau daun caisin serta berfungsi sebagai vitamin yang baik bagi pertumbuahn caisin yang di ukur dalam satuan kilogram per periode tanam.

9. Tenaga kerja (X8) adalah jumlah orang yang digunakan dalam proses budidaya caisin, mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan, yang diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK) per periode tanam.

10. Biaya total adalah jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, yang meliputi biaya tunai dan biaya yang duperhitungkan dan diukur dalam satuan rupiah (Rp).

11. Biaya tunai adalah besaran nilai uang tunai yang dikeluarkan petani dan diukur dalam satuan rupiah (Rp).

12. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya faktor produksi milik sendiri yang digunakan dalam usahatani. Biaya ini tidak dibayarkan secara tunai hanya tetap diperhitungkan dalam analisis pendapatan usahatani untuk melihat pendapatan petani bila faktor produksi milik sendiri tersebut dibayar dan biaya ini dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp).

13. Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan karena adanya penyusutan alat-alat pertanian yang dihitung dengan metode garis lurus dan diperoleh dari nilai pembelian dibagi umur ekonomis peralatan dan dihitung dalam satuan rupiah (Rp).

14. Harga produk adalah harga jual rata-rata caisin yang diterima petani dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).

15. Harga input adalah harga rata-rata dari setiap faktor produksi yang digunakan petani. Input-input tersebut antara lain, benih, pupuk kandang, kapur, pupuk urea, pupuk daun, pestisida padat (Rp/kg) dan pestisida cair (Rp/liter).

(42)

17. Penerimaan yang diperhitungkan adalah nilai produksi caisin yang digunakan petani responden tetapi tidak dijual dikalikan dengan harga jual caisin dan dihitung dalam satuan rupiah (Rp).

18. Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya tunai usahatani caisin dalam satuan rupiah (Rp).

(43)

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Desa Citapen

5.1.

Gambar

Tabel 2.  Produksi Komoditas Sayuran di Indonesia Tahun 2005- 2009 (dalam ton)
Tabel 4.  Produksi Komoditas Sawi di Jawa Barat Tahun 2009
Gambar 2.  Hubungan Keputusan Penggunaan Input dan Variasi Pendapatan
Gambar 3. Kurva Biaya Total
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian biaya tersebut, maka biaya yang paling tinggi dalam usahatani cabai merah keriting di Desa Citapen adalah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap produksi usahatani padi pada Kelompok Tani Patemon II adalah luas lahan (X1), benih (X2), pupuk (X3), obat-obat (X4), dan

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Gunistiyo (2009) , “ Identifikasi Faktor-Faktor Utama yang Berpengaruh Pada Efisiensi Usahatani Bawang Merah Di Desa Sisalem Kecamatan Wanasari

Bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan faktor luas lahan, bibit, pupuk, tenaga kerja, obat-obatan dan pengalaman petani terhadap hasil produksi usahatani

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani jagung, serta untuk menentukan kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi

Mengetahui masalah multikolinearitas yang terjadi pada data analisis penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani jagung.. Mengetahui masalah heterokedastis yang terjadi pada

Penggunaan faktor produksi pada usahatani cabai merah masih didasarkan pada minat dan pengalaman para petani cabai merah, penggunaan bibit, pupuk organic dan anorganik,

Sehubungan dengan hal tersebut, faktor-faktor produksi yang dialokasikan petani dalam usahatani kangkung di wilayah kecamatan Dolo Kabupaten Donggala pada