• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELENGGARAAN IBADAH HAJ

C. Asas dan Tujuan Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haj

hukum.45

1) t iap-t iap badan pemerint ahan t idak boleh menyalah-gunakan kekuasaan (misbruik van macht ) unt uk t uj uan lain;

Selanj ut nya dij elaskan bahwa Hukum Administ rasi Negara memiliki t iga prinsip ket ent uan hukum yang berlaku, yait u:

2) set iap anggot a warganegara t idak boleh menghalang-halangi, mengganggu at au merint angi t indakan-t indakan t iap badan pemerint ahan dengan menyalahgunakan fungsinya/ j aminan- j aminan yang ada padanya;

3) masing-masing badan pemerint ahan dalam menj alankan fungsinya t idak dibenarkan saling melanggar kedaulat an badan pemerint ahan lainnya.46

Pelanggaran t erhadap prinsip pert ama di at as disebut det ournement de pouvoir. Jika yang dilanggar prinsip yang kedua, maka pelanggaran it u dinamakan abus d’ assurances. Sedangkan pelanggaran t erhadap prinsip ket iga umumnya dikenal sebagai usurpat ie kekuasaan.

47

C. Asas dan Tujuan Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Konsideran menimbang huruf a dari Undang-undang No. 17/ 1999 menyat akan: ’ Bahwa Negara Republik Indonesia menj amin kemerdekaan warga negaranya unt uk beribadah menurut agamanya masing-masing.’ Dari konsideran ini dapat dipahami bahwa undang-undang t ent ang

45

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hal. 36.

46

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hal. 24.

47

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hal. 24.

penyelenggaraan ibadah haj i merupakan wuj ud dari j aminan at as kemerdekaan warga negara Republik Indonesia unt uk beribadah menurut agamanya masing-masing, sebagaimana dit ent ukan dan dij amin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Namun demikian, dalam undang-undang ini t idak ada ket ent uan yang mewaj ibkan seseorang yang menurut aj aran Islam waj ib melaksanakan ibadah haj i unt uk melaksanakan ibadah haj i. Dengan demikian, undang- undang ini t idak memaksakan berlakunya Syari’ at Islam mengenai haj i, meskipun hanya t erbat as pada warga negara yang beragama Islam. Dengan kat a lain undang-undang ini semat a-mat a mengat ur t ent ang masalah t eknis administ rat if haj i.

Pada konsideran menimbang huruf c dinyat akan:

Bahwa upaya penyempurnaan sist em dan manaj emen penyel enggaraan ibadah haj i perl u t erus dit ingkat kan agar pel aksanaan ibadah haj i berj al an aman, t ert ib, dan l ancar sesuai dengan t unt ut an agama.

Pernyat aan ini menegaskan bahwa t uj uan Undang-undang No. 17/ 1999, bahkan semua at uran dan kebij akan t ent ang penyelenggaraan ibadah haj i, dit uj ukan agar pelaksanaan ibadah haj i t ersebut bisa berj alan dengan aman, t ert ib dan lancar sert a sesuai dengan t unt ut an agama, t ent unya yang dimaksud di sini adalah agama Islam.

Hal ini lebih diperj elas dan dipert egas oleh pasal 5 Undang-undang ini, yang menyebut kan:

Penyel enggaraan ibadah haj i bert uj uan unt uk memberikan pembinaan, pel ayanan dan perl indungan yang sebaik-baiknya mel al ui sist em dan manaj emen penyel enggaraan yang baik agar pel aksanaan ibadah haj i dapat berj al an dengan aman, t ert ib, l ancar, dan nyaman sesuai dengan t unt unan agama sert a j emaah haj i dapat mel aksanakan ibadah haj i secara mandiri sehingga diperol eh haj i mabrur.48

Ada beberapa asas yang menj adi pat okan dan dasar bagi penyelenggaraan ibadah haj i yait u: (a). Keadilan, (b) persamaan kesempat an, (c) perlindungan, dan (d) kepast ian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

49

Asas kepast ian hukum, dalam perspekt if Hukum Administ rasi Negara, memiliki dua aspek, yait u aspek mat erial dan aspek formal. Asas mat erial menghendaki dihormat inya hak yang t elah diperoleh seseorang berdasarkan sut u keput usan pemerint ah, meskipun keput usan it u salah. Adapun yang bersifat formal dari asas kepast ian hukum biasanya dikait kan dengan j elas dan t egasnya ket ent uan yang t erdapat dalam suat u ket et apan pemerint ah.50

Selanj ut nya yang dimaksud dengan ’ penyel enggaraan ibadah haj i’ dalam perat uran perundang-undangan yang berlaku di negeri ini mencakup seluruh rangkaian kegiat an yang meliput i pembinaan, pelayanan, dan perlindungan pelaksanaan ibadah haj i. Pembinaan ibadah haj i adalah

48

Pasal 5 Undang-Undang nomor 17 tahun 1999.

49

Pasal 4 Undang-Undang nomor 17 tahun 1999.

50

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal. 258.

rangkaian kegiat an yang mencakup penerangan, penyuluhan, dan pembimbingan t ent ang ibadah haj i.

Sedangkan dari sisi pelayanan t ermasuk pel ayanan kesehat an yang mencakup pemeriksaan, perawat an dan pemeliharaan kesehat an calon j emaah haj i dan j emaah haj i. Pat ut dij elaskan bahwa yang dimaksud dengan calon j emaah haj i adalah warga negara yang beragama Islam, memenuhi syarat dan t elah mendaft arkan diri unt uk menunaikan ibadah haj i sesuai dengan ket ent uan undang-undang yang berlaku. Sedangkan j emaah haj i adalah mereka yang sedang at au yang t elah selesai menunaikan ibadah haj i pada musim haj i t ahun yang bersangkut an.51

Selanj ut nya pada ayat berikut nya dinyat akan bahwa persyarat an penyelenggara dan j enis kegiat an penyelenggaraan ibadah haj i yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diat ur dengan Keput usan Ment eri, dalam hal ini Ment eri Agama.

Hal lain yang pat ut dikemukakan adalah bahwa kebij akan dalam bidang ibadah haj i, pemerint ah bukan saj a sekedar ’ regulat or’ , pembuat perat uran, dan ’ supervisor’ , pengawas, t et api j uga ’ operat or’ at au penyelenggara. Hal ini dit egaskan pada ayat (3) pasal 6 Undang-Undang No. 17/ 1999 yang berbunyi: ’ Penyel enggar a ibadah haj i adal ah Pemerint ah dan/ at au masyarakat ’ .

51

Semua penjelasan tentang berbagai istilah ini tercantum pada Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang nomor 17 tahun 1999.