• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI

B. Aspek- aspek Filantropi Islam

Kata s}adaqah (Arab) merupakan bentuk masdar dari kata kerja s}adaqa, yang berarti apa saja yang diberikan dengan tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan demi kehormatan.25 Karena itu, suatu pemberian disebut shadaqah karena ia lahir dari ketulusan dan kejujuran hati sang pemberi. Kata ini memiliki kemiripan dengan kata Yahudi şěķâ, yang juga bermakna kejujuran (honesty). Atas dasar itu, orientalis semacam Arthur Jeffery menduga bahwa kata s}adaqah dalam Islam tidak lain hanyalah transliterasi dari kata Yahudi tersebut.26 Terlepas dari asumsi ini, tampaknya praktik shadaqah tidaklah monopoli milik Muslim, tetapi juga telah menjadi tradisi dalam agama-agama lain sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen.

Istilah s}adaqah (Arab; Indonesia: sedekah) banyak ditemukan dalam sumber-sumber Islam, terutama Al-Quran dan Hadis, dengan beragam makna. Ia bisa berarti zakat, yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, tetapi juga dapat

22Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv; lihat juga Imtiaz B. Ali, Waqf: A Sustainable Development Institution for Muslim Communities (Valsayn, Trinidad and Tobago: Takaful T&T Friendly Society, 2009), 12. Menurut Hennigan, filantropi Islam, khususnya wakaf, telah berperan sebagai dasar utama ‚peradaban Islam.‛ Lihat Peter C. Hennigan, The Birth of Legal Insitution: The Formation of the in Waqf in Third-Century AH H{anafi> Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiii.

23 Uraian terperinci tentang peran wakaf dalam pendirian berbagai perpustakaan dan universitas disejumlah wilayah wilayah Islam pada Abad Pertengahan, lihat Yah}ya> Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, al-Waqf wa-Binyat al-Maktabah al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz Malik Fays}al li Buh}u>th wa Dira>sa>t al-Isla>miyyah, 1996).

24 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 165.

25 Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 16: 323.

bermakna derma yang bersifat sukarela, yang kadang-kadang disejajarkan dengan infak.27 Dengan demikian, shadaqah dapat dipandang sebagai istilah umum yang menaungi sejumlah praktik filantropis dalam Islam.28 Dengan kata lain, pembedaan antara shadaqah dalam pengertian zakat dan shadaqah dalam arti sedekah tampaknya dilakukan secara tegas setelah wafatnya Nabi. Untuk memilah makna yang demikian luas itu, para ulama mengklasifikasi shadaqah secara garis besar ke dalam dua pengertian: shadaqah sebagai sinonim zakat yang bersifat wajib, dan shadaqah yang bersifat sukarela dengan istilah s}adaqat al-tat}awwu‘

atau s}adaqat al-nafl (sedekah sukarela atau sunnah).29 Pengertian yang terakhir inilah yang akan dibahas di sini, sementara yang pertama akan dibicarakan pada bagian berikutnya.

Ibn al-‘Arabi> mendefinisikan shadaqah sebagai ‚ibadah yang timbul dari

kehendak bebas berdasarkan kemampuan seseorang.‛30 Yang harus digarisbawahi

di sini adalah kehendak bebas dan kemampuan, yang tanpa keduanya berarti seseorang telah mewajibkan sesuatu pada dirinya. Dengan demikian, sedekah dilakukan tanpa paksaan dan bukan di luar batas kemampuan seseorang. Karena itu, sedekah pada dasarnya adalah mendermakan harta di luar kewajiban zakat.31

Shadaqah juga memiliki makna yang sangat dekat dengan infak, yang

memiliki arti yang sangat luas. Secara umum, infak berarti ‚mengeluarkan harta untuk kebutuhan‛ (s}arf al-ma>l ila> al-h}a>jah).32 Ia meliputi nafkah wajib kepada keluarga, kerabat dan sedekah yang bersifat sunnah (s}adaqat al-tat}awwu‘).33 Dengan demikian, seperti shadaqah, infak juga bisa kadang-kadang wajib, seperti memberi nafkah kepada keluarga, juga bisa sukarela seperti sedekah pada umumnya.34

Shadaqah menduduki posisi penting dalam ajaran Islam, setidak-tidaknya jika dilihat dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang memperbincangkannya, di samping dari praktik kaum Muslim awal. Dalam Al-Quran, misalnya, disebutkan bahwa shadaqah merupakan sebuah kebaikan yang pahalanya bernilai berlipat-lipat ganda, dari dua kali hingga 700 kali berlipat-lipat, dan kadang-kadang disebut sebagai pinjaman yang baik (qard} h}asan) yang pembayarannya akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Ayat-ayat berikut ini menunjukkan hal itu.

ث

ي

ي

ء غ

ه

ي ث

ث ك

ج

ص

ف

ك

ي ع

ف

ي

، طف

ه

ع

ي

(

:

.)

27 Sebagaimana akan terlihat nanti, perbedaan antara shadakah dan infak ini sangat tipis. Meskipun demikian, infak lebih cenderung diartikan nafkah, di mana diri dan keluarga merupakan sasaran utamanya, baru ke golongan lainnya. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min-Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat juga A. Shaukat J. Gilani, ‚The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,‛ Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.

28 Cf. Barbara Ibrahim, Trends in Arab Philanthropy, 12.

29 Lihat, misalnya, Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah, 1: 356. Untuk selanjutnya, s}adaqat

al-tat}awwu‘ dalam bab ini digunakan istilah shadaqah saja.

30Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1972), 1: 20-21.

31Rachmat Djatnika, ‚Filantropi Islam menurut Yurisprudensi Islam,‛ dalam Berderma untuk Semua, 31.

32 Lihat al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta‘ri>fa>t (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1985), 40.

33 M. Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947), 1: 130.

ث

ي

ي

ف

ي

ه

ث ك

ع

ف

ك

ه

فع ي

ء شي

ه

ع

ي ع

(

:

.)

ي

ه

ع يف

ف ع

يثك

ه

ي

ط ي

ي إ

عج

(

:

.)

Sementara itu, sejumlah hadis menekankan pentingnya shadaqah secara lebih terperinci, baik dari segi situasi pemberi dan penerima, tempat dan waktu pemberian dan lain sebagainya.35 Misalnya, ketika ditanya kapan sebaiknya

bersedekah, Nabi menjawab: ‚Shadaqah yang kamu berikan di saat kamu sehat, di

saat kamu enggan melakukannya dan di saat kamu takut akan miskin dan

mengharapkan kekayaan.‛ Juga ditegaskan bahwa nilai sedekah orang yang

memiliki kekayaan sedikit (juhd al-muqill) jauh lebih mulia ketimbang orang yang kaya, meskipun yang diberikan oleh yang kedua lebih besar ketimbang yang pertama. Dari segi waktu, shadaqah yang paling baik dilakukan adalah pada Bulan Ramadhan.36 Di atas segalanya, Nabi mengemukakan bahwa setiap kebaikan adalah shadaqah, yang meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti memberi nafkah kepada keluarga, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, dan bahkan senyum kepada sesama.

Dalam hal ini, Nabi sendiri menjadi model dalam memberikan shadaqah. Ia dikenal sangat dermawan dalam memberikan sedekah, tetapi tidak mau menerimanya kecuali dalam bentuk hadiah. Diriwayatkan oleh Anas ibn Ma>lik bahwa Abu> T{alh}ah, salah seorang Ans}ar terkaya di Madinah, hendak menyedekahkan sumur, yang darinya Nabi biasa mengambil air untuk minum. Namun, Nabi menyarankan T{alh}ah agar mempertahankan sumur tersebut sebagai milik keluarganya.37 Sikap dermawan ini diikuti oleh para isterinya, seperti Zaynab bint Jah}s}, yang dikenal sebagai orang yang suka memberi sedekah. Sementara itu, Zaynab bint Khuzaymat al-Hila>liyyah disebut sebagai umm al-masa>ki>n, yakni ibu bagi orang-orang miskin. ‘A<isyah sendiri diriwayatkan selalu

mengembalikan hadiah yang diberikan oleh mereka yang pernah dibantunya, yang mengisyaratkan keikhlasannya dalam bersedekah.38 Di antara para sahabat awal, ‘Umar dikenal sangat dermawan karena telah mendermakan setengah dari seluruh

kekayaannya setelah Nabi menganjurkan bersedekah. Sikap ‘Umar ini hanya

terlampaui oleh Abu> Bakr, yang menyedekahkan seluruh kekayaannya. Semua itu menunjukkan bahwa shadaqah bukanlah semata-mata sebuah konsep, tetapi memiliki preseden praktisnya, baik dalam pribadi Nabi, keluarga, maupun para sahabatnya.39

35 Untuk hadis-hadis tentang keutamaan shadaqah, lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa-Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1992), 2: 915-17; T.H. Weir, ‚S}adaka,‛ The Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1997), 8: 710; lihat juga Wuza>rat al-Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342-34.

36 Hadis berikut ini diriwayatkan oleh Turmudhi> dikutip dalam Wuza>rat Awqa>f wa al-Shu’u>n al-Isla>miyyah, al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah (Kuwait: Da>r al-S{afwah, 1992), 26: 342:

ه ص ه ي ع ؟ ف : ص ف .

37T.H. Weir, ‚S}adaka,‛ First Encyclopaedia ofIslam (Leiden: E.J. Brill, 1987), 7: 710. 38T.H. Weir, ‚S{adaka,‛ 711.

39 Tentang s}adaqah para sahabat Nabi, lihat Muh}ammad H{a>mid Muh}ammad, Qis}as} al-Mutas}addiqi>n: Fad}l al-S{adaqah, A<<da>buha> wa-Ah}ka>muha> (Iskandariyyah: Da>r al-I<ma>n, 2000).

Yang demikian itu karena shadaqah memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemberi dan penerima. Di antara fungsi tersebut adalah untuk menangkal dosa di dunia ini dan hukuman di akhirat. Di sinilah letak arti penting Hadis Nabi yang menganjurkan agar setiap Muslim memberikan shadaqah setiap hari sejak matahari terbit.40 Dengan memberikan shadaqah setiap hari, Muslim berharap dapat terhindar dari dosa sepanjang hidupnya.

Pada saat yang sama, shadaqah juga dapat menghapus dosa, sehingga setiap Muslim dianjurkan segera bersedekah setelah ia melakukan dosa untuk menyertai taubatnya. Bahkan shadaqah diyakini dapat menjadi sarana untuk menyembuhkan

penyakit, mengingat Nabi menegaskan, ‚Obatilah penyakitmu dengan shadaqah.‛

Di samping itu, shadaqah diyakini dapat berfungsi untuk mendatangkan rizki. Hal ini dapat dimengerti mengingat banyak ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Tuhan akan melipatgandakan harta yang telah disedekahkan dan pahala yang diperoleh darinya. Fungsi shadaqah yang tidak kalah penting adalah untuk memperbaiki penyakit moral, seperti bakhil dan kikir, sombong dan lain sebagainya.

Agar fungsi-fungsi tersebut dapat diraih, shadaqah dianjurkan untuk dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Al-Ghaza>li>, misalnya, mengemukakan bahwa shadaqah tidak boleh dibarengi dengan menyakiti penerima, sebab hal itu akan menghilangkan pahala perbuatan tersebut. Lebih jauh ia menegaskan bahwa orang yang bersedekah, betapa pun besarnya, hendaknya selalu merasa baru sedikit bersedekah. Ini untuk menghindari rasa sombong dan keangkuhan diri, yang juga dapat menghapus pahalanya. Dalam memberikan shadaqah, pemberi hendaknya memilih yang terbaik di antara yang dimiliki dan dicintainya.41

Berbeda dengan zakat, yang penerimanya telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadis, sasaran pemberian shadaqah sangat luas, termasuk di dalamnya keluarga dan tetangga yang memerlukan. Selain itu, masjid atau lembaga lain, seperti lembaga pendidikan,42 juga boleh diberi shadaqah, yang dapat diwakili oleh pengurus atau bahkan pemberi sedekah itu sendiri. Ternyata, shadaqah tidak terbatas bagi Muslim, ia dapat diberikan kepada non-Muslim, seperti orang Yahudi dan Nasrani (ahl al-kita>b), dan bahkan kepada mereka yang dikategorisasikan sebagai musuh Islam (h}arbi>).43

Uraian di atas menunjukkan bahwa shadaqah merupakan bentuk kedermawanan Islam yang sangat luas. Ia memiliki dimensi sosial dan keagamaan, yang tidak hanya terbatas bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia secara umum. Karena itu, ia menjadi salah satu aspek filantropi Islam yang potensial bagi kesejahteraan secara umum.

2. Zakat

Berbeda dengan shadaqah yang bersifat sukarela, zakat dikenal sebagai rukun ketiga dari lima rukun Islam (arka>n al-Isla>m), setelah syahadat dan shalat. Bahkan perintah zakat sendiri sering dikaitkan dengan perintah shalat dalam satu

40 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: 358. 41 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 131-6.

42 Al-Ghaza>li> menilai bahwa lembaga pendidikan berhak menerima s}adaqah karena ia dapat memelihara ilmu, termasuk di dalamnya mereka yang bergelut dengan ilmu. Sebab, tidak ada derajat yang lebih mulia ketimbang derajat ulama. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 1: 139.

nafas. Akan tetapi, seperti shadaqah, zakat dipandang oleh sebagian sarjana sebagai transliterasi dari istilah asing yang berasal dari agama-agama sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Joseph Schacht, misalnya, berpendapat bahwa kata zakat dipinjam dari kata Ibrani zaku>t,44 sementara Richard Bell menduga bahwa zakat berasal dari bahasa Suryani yang digunakan oleh orang-orang Kristen, dan karenanya bersumber dari agama ini.45

Pandangan berbeda dikemukakan sarjana Muslim, yang melihat zakat sebagai istilah asli Islam dan tidak terkait dengan sumber-sumber Yahudi dan Nasrani. Yu>suf al-Qarad}a>wi>, misalnya, membantah klaim Schacht di atas dengan mengatakan bahwa Nabi baru berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani di Madinah, dan karenanya tidak mengenal bahasa Yahudi atau Suryani sebelumnya. Padahal ayat-ayat Makkiyyah telah berkali-kali menyinggung persoalan zakat. Lebih jauh, tegasnya, adanya persamaan istilah dan makna dalam dua bahasa tidak harus berarti bahwa yang satu diambil dari yang lain, kecuali memang ada bukti historis dan ilmiah yang mendukungnya. Karena itu, pandangan Schacht mengenai asal muasal istilah zakat di atas tidak berdasar dan tidak memenuhi kriteria ilmiah.46

Terlepas dari masalah peminjaman kata tersebut, zakat tampaknya telah menjadi tradisi keagamaan Yahudi dan Nasrani sebelum Islam, setidak-tidaknya jika konteks beberapa ayat Al-Quran yang memerintahkan zakat diperhatikan. QS al-Baqarah (2): 43, 83 dan 110 berikut ini menunjukkan hal itu.

( يعك ع عك ك ء ا ي

.)

( ع اي اإ ي ث ك ء ا ي ...

3

.)

ا ي

( ي ع ه إ ه ع أ ك ء

.)

Akan tetapi, konteks ketiga ayat tentang perintah pembayaran zakat ini ditujukan kepada Bani Israil atau ahl al-kita>b. Dengan demikian, Al-Quran sendiri mengakui adanya praktik zakat yang dilakukan oleh para pengikut Yahudi dan Nasrani, seolah-olah praktik tersebut bersifat universal bagi ketiga agama Ibrahimi ini.47

Zakat sendiri memiliki makna yang dinamis, dari sekadar ‚pertumbuhan dan

peningkatan‛ hingga ‚penyucian.‛48 Menurut Bashear, ada dua kata yang

digunakan untuk menunjuk zakat: zaka>’ dan zaka>h. Jika yang pertama digunakan, ia menunjuk pada pertumbuhan dan peningkatan, namun jika yang kedua yang digunakan, ia berarti penyucian. Dari kedua pengertian inilah kemudian makna zakat dikembangkan menjadi pertumbuhan dan penyucian.49 Ini terlihat, antara lain, dalam definisi al-Sarakhsi>, yang menggabungkan kedua makna itu, seraya merujuk pada QS al-Tawbah (9): 103. Menurutnya, disebut zakat karena ia

‚menyucikan pembayarnya dari dosa-dosa‛ (

ثآ ع ص ط أ

).50

44Joseph Schacht, ‚Zakat,‛ First Encyclopedia of Islam, 4: 1202.

45 Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment (London: 1973), 79. 46 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1994), 1: 39-40. 47Cf. Abu> Bakr ibn ‘Arabi>, Ah}ka>m al-Qura>n, 1: 20-21.

48Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam,‛ Arabica, 40 (1993): 84-113.

49Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 86-87; cf. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, ed. J. Milton Cowan (Beirut: Maktabat Lubna>n, 1974), 379.

Dengan demikian, zakat memiliki dimensi ganda: sebagai tindakan ibadah yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan sebagai tindakan sosial untuk meningkatkan penghasilan penerimanya. Dalam ungkapan A. Zysow, hukum zakat dapat disebut sebagai hibrida antara unsur ibadah dan peningkatan penghasilan.51 Tidak heran jika kemudian pembahasan tentang zakat sering ditemukan dalam fikih ibadah, tetapi tidak jarang pula menjadi perhatian fikih politik ekonomi (fiqh al-siya>sah al-ma>liyyah), bersandingan dengan keuangan publik atau sumber-sumber pemasukan negara lainnya.52

Zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi hanya harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, harta tersebut dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut bersifat mutlak, dalam arti benar-benar dalam kewenangannya. Ketiga, harta tersebut harus mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari kebutuhan dasar seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun (h}awl) di tangan pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan (rika>z), yang waktu pembayarannya harus dilakukan saat panen atau ditemukan. Keenam, harta tersebut telah mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati (nis}a>b), di samping besaran zakat yang harus dikeluarkannya (miqda>r) darinya.53 Lebih jauh, cara memperoleh harta pun dipertimbangkan bagi penentuan besaran zakat. Misalnya, zakat tanaman yang difasilitasi oleh irigasi akan lebih rendah dibandingkan dengan zakat tanaman yang hanya mengandalkan air hujan.

Tentang kapan zakat mulai diwajibkan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian beranggapan bahwa zakat fitrah mulai diwajibkan pada tahun ke-2 Hijrah di Madinah, sementara zakat ma>l (harta) diwajibkan pada tahun ke-9 Hijrah,54 bersamaan dengan turunnya QS al-Tawbah (9): 103 dan sebagainya, sedangkan lainnya berpandangan bahwa zakat diwajibkan sejak sebelum hijrah, mengingat ayat-ayat Makkiyyah, seperti QS al-Ru>m: 38-39 dan 1-3, Luqma>n: 4 dan sebagainya, telah memerintahkannya. Terhadap perbedaan ini, al-Qarad}a>wi> menilai bahwa zakat yang diwajibkan di Mekah bersifat mutlak (zaka>h mut}laqah), dalam arti belum ditentukan jumlah harta yang harus dizakati (nis}a>b) dan takaran zakatnya (miqda>r), serta mereka yang berhak menerimanya. Dengan kata lain, zakat di sini banyak bersandar pada keimanan seseorang dan, karenanya, lebih bersifat moral ketimbang hukum. Ini berbeda dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, yang ketentuannya telah ditetapkan secara terperinci dan berbentuk hukum. Dengan demikian, zakat yang diwajibkan di Madinah pada dasarnya memperkuat kewajiban zakat di Mekkah dan memperjelas hukumnya.55 Kenyataan ini didukung oleh sejumlah hadis yang memberikan rincian aturan tentang zakat.56

51A. Zysow, ‚Zakat,‛ The Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 2001), 11: 407.

52 Lihat, misalnya, al-Ma>wardi>, Kita>b al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), 113-125. Sesuai dengan judulnya, buku ini lebih dikenal sebagai buku tentang pemerintahan, tetapi dibahas juga di dalamnya masalah zakat. Cf. S.A. Siddiqi, Public Finance in Islam (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1992), bab 2.

53 Al-Mawsu>‘ah al-Fiqhiyyah, 33: 236.

54 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 39.

55 Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h, 1: 58-62.

56 Tentang hadis-hadis yang membicarakan ketentuan-ketentuan ini, lihat, misalnya, Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 1: bab zakat.

Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Richard Bell melihat bahwa perintah zakat dalam ayat-ayat Makkiyah sama sekali tidak dalam pengertian wajib, tetapi bersifat sukarela. Ia menegaskan bahwa zakat dalam ayat-ayat ini ‚only in the

sense of alms and voluntary giving to the poor, as much for purification of the

giver’s soul as for relief of the needy.‛57 Ini berarti kata zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah tampaknya hanyalah sedekah yang dilakukan secara sukarela. Konsekuensinya, zakat dapat dipastikan diwajibkan setelah Nabi hijrah ke Madinah. Meskipun demikian, sebenarnya pandangan Bell ini tidak berlawanan dengan pendapat al-Qarad}a>wi>, mengingat yang terakhir ini juga menganggap zakat dalam ayat-ayat Makkiyyah masih bersifat moral. Sebab, pada tatanan moral, seseorang yang tidak melaksanakannya tidak memiliki akibat hukum yang menimpanya.

Agar ketentuan-ketentuan zakat dapat terlaksana dengan baik di Madinah, Nabi dikatakan telah menunjuk sejumlah orang dari kalangan sahabat yang bertindak sebagai pengumpul zakat, yang terkemuka di antaranya adalah ‘Umar

ibn al-Khat}t}a>b dan ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib.58 Nabi juga mengirim sejumlah utusan, seperti Mu‘a>dh, yang di samping bertugas mengajarkan Islam, juga

mengumpulkan zakat dari kalangan orang-orang kaya dalam masyarakat. Ini menunjukkan bahwa zakat menduduki posisi yang penting dan memeroleh perhatian yang serius dari negara. Dalam ungkapan lain, zakat sebagai suatu bentuk ibadah tidak dapat dipisahkan dari tugas negara.

Kenyataan ini terlihat jelas pada pemerintahan Abu> Bakr, yang menggantikan kepemimpinan Nabi setelah wafat. Sebagian suku Arab menolak membayar zakat dengan alasan bahwa zakat merupakan penebusan dosa melalui doa Nabi, sebagaimana diisyaratkan oleh QS al-Tawbah (9): 103. Karena itu, dengan wafatnya Nabi, tak seorang pun dapat menggantikan posisi Nabi yang mampu mendoakan mereka agar terampuni dari dosa-dosa mereka. Akibatnya, kewajiban membayar zakat kepada pengganti Nabi menjadi tidak berlaku lagi.59 Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan golongan orang-orang yang murtad (murtaddi>n), yang kemudian diperangi oleh Abu> Bakr dan tentaranya.

Di kalangan sahabat sendiri terdapat perbedaan pendapat seputar apakah mereka yang menolak membayar zakat itu dapat disebut murtaddi>n atau tidak.

‘Umar sendiri menolak menyebut mereka sebagai murtaddi>n dengan argumen bahwa mereka telah mengakui syahadat dan melaksanakan shalat. Sementara itu, Abu> Bakr menilai bahwa kedua kewajiban itu tidak dapat dipisahkan satu dari

lainnya. Dalam hal ini, ‘Abdullah-i Ahmed An-Na‘im menilai bahwa ‘Umar

akhirnya menerima pandangan Abu> Bakr karena ketaatan terhadapnya sebagai pemimpin yang kebijakannya harus ia hormati, bukan karena alasan keagamaan.60 Peperangan terhadap kaum murtad (h}uru>b al-riddah) ini mendorong sebagian sarjana berspekulasi bahwa motif peperangan itu lebih cenderung bersifat sosio-ekonomis ketimbang keagamaan.61

57 Richard Bell, Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1953), 166. 58A. Zysow, ‚Zakat,‛ 408.

59Suliman Bashear, ‚On the Origin and Development,‛ 101.

60 ‘Abdullah-i Ahmad An-Na‘im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), 95-97.

61 Lihat, misalnya, C. Brockelmann, History of Islamic Peoples (Albany, NY: SUNY Press, 1947), 45-46.

Tanpa harus mendiskusikan lebih detil tentang alasan peperangan tersebut,