• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI

C. Filantropi dan Keadilan Sosial

C. Filantropi dan Keadilan Sosial

Dari uraian yang dikemukakan dalam sub-sub bab sebelumnya terlihat bahwa tujuan utama filantropi Islam, baik dalam bentuk s}adaqah, zakat maupun wakaf, adalah keadilan dan kesejahteraan sosial kaum Muslim. Lebih jauh, bentuk-bentuk filantropi tersebut telah berlangsung lama, namun hingga kini kaum Muslim sepertinya belum menikmati dan memeroleh kesejahteraan dan keadilan itu. Pertanyaannya kemudian adalah bentuk keadilan sosial seperti apa yang hendak dicapai dengan filantropi tersebut? Mengapa bentuk-bentuk filantropi tersebut hingga saat ini belum mewujudkan tujuan utamanya?

Keadilan sebagai sebuah konsep dapat dipahami dalam dua pengertian: (1) sebagai keseimbangan antara penghargaan dan pekerjaan yang telah dilakukan seseorang, yang biasanya disebut dengan ‚commutative justice,‛ dan (2) sebagai

penghargaan yang sama bagi setiap orang untuk suatu pekerjaan yang sama.111 Ini

105 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 159. 106

Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 162; Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12.

107Jennifer Bremmer, “Islamic Philanthropy,” 12-13.

108 Sait dan Lim, Land, Law and Islam, 160. 109Dallal, “The Islamic Institution of Waqf,” 37.

110 Di antara beberapa negara Arab yang telah mengesahkan undang-undang wakaf adalah

sebagai berikut. Aljazair, Mesir, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Turki, Syria dan Yaman. Secara lebih detil tentang undang-undang di negara-negara ini, lihat A. Layish, “Wakf in Modern Middle East and Africa,” dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 78-81. Adapun negara-negara non-Arab yang telah mengundangkan wakaf secara khusus meliputi India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan lain sebagainya. Lihat G.C. Kozlowski, “Wakf in India to 1900,” dalam The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2000), 11: 95-97 dan M.B. Hooker, “Wakf in Southeast Asia,” 11: 97-98.

111 Lihat, misalnya, Bryan A. Garner (ed. in-chief), Black’s Law Dictionary (St. Paul: Thomson, 2004), 881.

tercermin, misalnya, dalam ungkapan wad}‘u al-shay’ fi> mah}allih(‚menempatkan

sesuatu pada tempatnya‛) yang sering ditemukan dalam buku-buku fiqh.112

Sebenarnya, dalam Islam, persoalan keadilan ini dapat dianalisis melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan politis, teologis, filosofis, etis, hukum dan lain sebagainya.113 Terlepas dari berbagai pendekatan ini, Fazlur Rahman114 menegaskan bahwa keadilan sosial merupakan tujuan utama diturunkannya Al-Quran, mengingat keadilan merupakan pilar bagi tegaknya masyarakat yang etis dan egaliter di muka bumi. Hal itu ditunjukkan dengan celaan Al-Quran terhadap masyarakat Mekah, yang menjunjung ketidakadilan ekonomi dan sosial di dalamnya. Lebih jauh, celaan tersebut juga sebagai respon terhadap ekploitasi kaum lemah demi keuntungan ekonomi orang kaya, di samping praktik kecurangan dalam perdagangan. Jadi, di balik celaan tersebut keadilan sosial merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam masyarakat sesuai dengan seruan Al-Quran.

Akan tetapi, pembahasan mengenai keadilan sosial ini tidak memeroleh perhatian yang sepatutnya dari para sarjana teologi Muslim. Hal ini terlihat dari banyaknya pembahasan tentang keadilan yang berpusat pada Tuhan atau individu. Pembahasan tentang keadilan Tuhan, misalnya, telah menguras perhatian para teolog, tetapi perhatian serupa tidak diberikan pada keadilan sosial.115 Akibatnya, institusi-institusi yang menjadi prasyarat bagi keadilan sosial agak terabaikan.

Sebenarnya, keadilan sosial juga menjadi perhatian serius dari para sarjana sosial Muslim. Menurut Majid Khadduri, berbeda dengan para teolog dan filosof yang cenderung menekankan pendekatan deduktif, beberapa sarjana Islam lain justru lebih menekankan induktif, sehingga kelompok yang terakhir ini memiliki konsepsi tentang keadilan sosial yang lebih nyata, seperti tercermin dalam pemikiran Ibn Taymiyah. Seperti ditegaskan Khadduri, Ibn Taymiyah menekankan hal-hal universal—yang tidak ditemukan dalam kitab suci—harus didasarkan pada praktik dan kebiasaan yang ada, dan ini berarti sebanding dengan metode induksi yang digagas Aristoteles.116

Lebih jauh, Ibn Taymiyah, seperti beberapa pemikir pendahulunya, percaya bahwa tujuan syariah adalah kemaslahatan bersama (mashlah}ah), yang tidak lain adalah keadilan sosial itu sendiri. Karena itu, ia berasumsi bahwa kemaslahatan bersama atau keadilan sosial adalah pilar negara, yang jika tidak ditegakkan akan meruntuhkan negara itu sendiri.117 Tidak heran kalau ia berasumsi bahwa keadilan sosial merupakan tiang bagi tegak dan kukuhnya negara meskipun dipimpin oleh orang kafir, dan tanpanya negara akan runtuh meskipun dipimpin orang Muslim.

Kemaslahatan bersama sebagai tujuan syariah itu ditekankan lebih jauh oleh al-Thufi, yang menegaskan bahwa semua keputusan hukum harus didasarkan pada

112 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, 2006), 11.

113 Untuk pembahasan tentang berbagai pendekatan terhadap keadilan tersebut, lihat Majid Khadduri, Islamic Conception of Justice (Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1984).

114 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, 54-56.

115Sukron Kamil, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial dalam Kalam dan Fiqh: Problem dan

Solusi,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju, 2003), 46-47.

116 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 179. 117 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181.

tujuan tersebut. Bahkan, seandainya kemaslahatan publik itu berlawanan dengan sumber kitab suci, yang pertama harus didahulukan. Dengan penekanan semacam itu, konsep keadilan sosial menurut al-Thufi berkarakter positif, karena dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan membendung kejahatan sosial (mafsadah).118

Konsep keadilan sosial juga dikemukakan oleh Ibn Khaldun. Seperti dikemukakan Khadduri, Ibn Khaldun berpandangan bahwa keadilan sosial harus berbasis norma dan praktik yang telah berkembang dalam masyarakat Islam. Namun, apa yang dilihatnya adalah terbengkalainya hukum yang sudah semestinya dapat menopang keadilan sosial itu. Atas dasar itu, ketika menjabat sebagai hakim di Mesir, yang menjadi perhatian utamanya adalah mereformasi prosedur pengadilan dan menerapkannya dengan tegas. Karena itu, Khadduri menyebut keadilan sosial, bagi Ibn Khaldun, adalah tegaknya keadilan hukum

dalam masyarakat. Kata Khadduri, ‚his earnest effort [is] to pursue procedural justice almot to perfection.‛119

Belakangan ini, pembahasan tentang keadilan sosial dibahas secara sistematis oleh John Rawls melalui karyanya A Theory of Justice. Rawls mengawali pembahasannya tentang hakikat masyarakat yang didefinisikan sebagai ‚an organic whole with a life of its own distinct from and superior to that of all its members in their relations with one another.‛120 Di sini Rawls tampaknya menempatkan masyarakat melampaui individu-individu, sehingga yang kedua harus tunduk pada yang pertama. Meskipun demikian, individu-individu terlebih dahulu memeroleh kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa saja yang akan menjadi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Karena itu, keadilan

pada dasarnya adalah ‚pendistribusian seluruh nilai sosial—kebebasan dan

peluang, pendapatan dan kekayaan, di samping dasar-dasar sosial harga diri—

secara sama; kalaupun pendistribusian itu tidak sama, hal itu harus tetap menjadi keuntungan (advantage) bagi setiap orang.‛121

Dari sini kemudian Rawls mendefinisikan keadilan sosial sebagai ‚the virtue

of practices where there are competing interests and where persons feel entitled to

press their rights on each other.‛122 Di sini terlihat bahwa keadilan sosial bukanlah praktik yang menghapuskan perbedaan kepentingan, tetapi bagaimana perbedaan kepentingan itu, baik secara politis, ekonomis maupun sosial, dalam sebuah masyarakat dikelola dengan bijaksana. Dengan kata lain, persaingan kepentingan individu merupakan fakta yang tak terhindarkan, namun pada saat yang sama setiap individu memeroleh kesempatan untuk mengekspresikan dan mewujudkan hak-haknya.

Agar keadilan sosial tersebut dapat berjalan kokoh, maka harus ada prinsip-prinsip yang mendasarinya, yaitu kebebasan (liberty), kesamaan (equality) dan solidaritas (solidarity). Rawls menegaskan bahwa kebebasan bagi semua merupakan prasyarat bagi keadilan, di mana setiap orang berhak mengekspresikannya sejalan dengan sistem kebebasan bagi semua. Pembatasan terhadap kebebasan hanya boleh dilakukan demi kebebasan itu sendiri. Karena itu,

118 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 181-182. 119 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 188-189.

120 John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge-Harvard: Harvard University Press, 1999), 233-34. 121 John Rawls, A Theory of Justice, 54.

kebebasan yang kurang luas (less extensive liberty) harus mendukung seluruh sistem kebebasan yang dimiliki oleh semua individu, dan pada saat bersamaan, kebebasan yang kurang setara (less than equal liberty) dapat diterima oleh mereka yang kurang memiliki kebebasan.123 Kebebasan ini meliputi kebebasan berpolitik, berbicara, berpendapat, di samping kebebasan dari tekanan psikologis dan serangan fisik, serta kebebasan untuk memiliki kekayaan pribadi dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang.124

Adapun yang dimaksud dengan kesamaan (equality) di sini adalah ‚equal consideration of humanity‛ (perlakuan yang sama terhadap manusia).125 Di sini, setiap individu harus diperlakukan sama baik dalam masalah prosedur (procedural presumption) maupun kesempatan (opportunity). Seperti ditegaskan oleh Rawls,

‚[S]ocial and economic inequalities are to be arranged so that they are both …

attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of

opportunity.‛126

Meskipun demikian, Rawls mengakui bahwa kedua prinsip di atas tetap tidak dapat menghilangkan ketidakadilan. Dia menegaskan, ‚[T]he equal moral worth of persons does not entail that distributive shares are equal. Each is to receive what the principles of justice say he is entitled to, and these do not require

equality.‛127 Untuk itu, diperlukan prinsip ketiga, yaitu solidaritas. Rawls melihat bahwa solidaritas merupakan konvensi politik dari masyarakat demokratis yang mengedepankan kepentingan bersama. Karena itu wajar jika masyarakat yang demikian itu ingin memberikan perhatian terhadap kelompok yang kurang beruntung dan meningkatkan kesejahteraan jangka panjang mereka sebaik mungkin, namun tetap sejalan dengan prinsip kebebasan yang setara dan kesempatan yang terbuka. Pendeknya, solidaritas adalah kepanjangan dari sistem demokrasi yang berkeinginan untuk mencapai konsepsi keadilan yang seutuhnya.128

Rawls menegaskan bahwa semua prinsip keadilan sosial di atas baru bisa diwujudkan jika didukung oleh institusi sosial (social institution) dan lembaga inilah yang sesungguhnya menjadi subjek keadilan sosial. Baginya, menegakkan keadilan berarti membentuk lembaga yang adil, yang menjunjung tinggi kesamaan. Di sini diperlukan institusi di mana ‚no arbitrary distinctions are made between persons in the assigning of basic rights and duties and when the rules determine a proper balance between competing claims to the advantages of social

life.‛129

Mengingat institusi tertinggi `adalah negara, maka struktur politik menjadi sine qua non bagi keadilan sosial. Rawls melihat bahwa ada empat tahap bagi negara untuk mewujudkan keadilan sosial: filosofis, konstitusional, legislatif dan administratif. Pertama-tama, negara harus didasarkan pada keadilan yang menjadi cita-cita individu anggotanya berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya, negara harus menjamin prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah disebutkan di

123 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 124 John Rawls, A Theory of Justice, 53. 125 John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 462. 126 John Rawls, A Theory of Justice, 266. 127 John Rawls, A Theory of Justice, 275. 128 John Rawls, A Theory of Justice, 280-81. 129 John Rawls, A Theory of Justice, 5-6.

atas melalui konstitusi, yang menjadi dasar negara. Sebab, sebuah sistem politik, tegas Rawls, tidak dapat disebut adil tanpa memasukkan prinsip-prinsip kebebasan, kesamaan dan solidaritas.130 Pada tahap legislasi akan terlihat bagaimana kebijakan negara dalam mewujudkan keadilan sosial, apakah memenuhi harapan kaum yang kurang beruntung atau tidak. Terakhir, pada tahap administratif, negara harus menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah diundangkan baik dalam ranah politik maupun ekonomi.131

Konsepsi keadilan sosial yang dipaparkan oleh Rawls di atas tampaknya dapat memberikan jawaban atas pertanyaan kedua yang diajukan di awal sub-bab ini. Keadilan sosial ternyata memiliki dimensi yang sangat luas, yang tidak hanya menyangkut kemiskinan ekonomi, tetapi juga melibatkan struktur politik. Karena itu, keadilan sosial sulit diwujudkan oleh filantropi Islam, apalagi jika dananya hanya diberikan dalam bentuk karitas kepada masyarakat yang kurang beruntung. Lebih jauh, kontribusi yang diberikan juga digunakan untuk kepentingan sesaat, tanpa ada tujuan jangka panjang bagaimana menghapus kemiskinan sosial itu sendiri.132

Meskipun demikian, filantropi Islam tetap berperan penting bagi penguatan sejumlah pranata keadilan sosial, di antaranya melalui civil society. Yang demikian itu pernah ditunjukkan dalam sejarah Islam, seperti di Persia. Menurut Arjomand, banyak sekali program pendidikan, kesehatan, dan pemondokan yang dibiayai oleh dana filantropi. Dengan majunya lembaga-lembaga itu, civil society menjadi kuat dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga yang didanai oleh penguasa. Tidak hanya itu, kuatnya lembaga filantropi terbukti dapat memengaruhi kebijakan negara.133

Sebagai sebuah lembaga yang berada di luar struktur negara, civil society dapat memainkan peran bagi keamanan sosial (social security),134 yang meliputi kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan umat, di samping bagi penguatan hak asasi manusia, pendidikan, demokrasi, multikulturalisme dan lain sebagainya.135 Di Mindanao, misalnya, wakaf dimanfaatkan tidak semata-mata dalam bentuk karitas, tetapi juga untuk mendukung civil society yang mendorong penguatan kewarganegaraan dan demokrasi.136 Sementara itu, di Pakistan, filantropi Islam digunakan oleh civil society untuk perbaikan legislasi yang ditetapkan negara tentang filantropi itu sendiri, di samping kepentingan umum lainnya, seperti pendidikan, layanan kepada umat dan lain sebagainya.137 Fungsi filantropi Islam tampaknya dapat diperlebar ke masalah-masalah lain, mengingat persoalan yang mengitari keadilan sosial juga tidak sedikit, seperti pemberdayaan

130 John Rawls, A Theory of Justice, 173. 131 John Rawls, A Theory of Justice, 175.

132 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial, 98. 133Said Amir Arjomand, ‚Filantropi, Hukum dan Kebijakan Publik di Dunia Islam pra-Modern,‛ dalam Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, eds., Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, 129-132.

134 Samiul Hasan, ‚Muslim Philanthropy and Social Security: Prospects, Practices and Pitfalls,‛ paper disampaikan pada 6th ISTR Biennial Conference, Bangkok, 9-12 July 2009, 4-5.

135Azyumardi Azra, ‚Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,‛ xxix.

136 Lihat Michael O. Mastura, ‚The Making of a Civil Society through Waqf Institution in

Mindanao,‛ dalam Islam and Civil Society in Southeast Asia, ed. Nakamura Mitsuo et.al. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001), 17-34.

137Andrew White, ‚The Role of Islamic Waqf in Strengthening South Asian Civil Society:

perempuan dan kesetaraan gender, serta bentuk-bentuk kesetaraan lainnya, seperti pembelaan terhadap kaum minoritas dan sebagainya.138

Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa filantropi Islam dengan berbagai aspeknya bertujuan pada keadilan sosial. Akan tetapi, mengingat keadilan sosial itu sendiri memiliki berbagai dimensi, tidak mungkin seluruhnya saat ini dapat ditanggulangi oleh filantropi Islam. Karena itu, filantropi Islam memiliki peran strategis dalam melapangkan jalan bagi perwujudan keadilan sosial melalui civil society, di antaranya dengan tujuan penegakan hukum dan kebijakan yang mendorong keadilan sosial.