• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat

Sebenarnya lahirnya Undang-undang Zakat ini tidak semata-mata didorong oleh faktor-faktor internal yang akan diuraikan dalam sub-bahasan berikutnya, tetapi juga karena faktor-faktor eksternal yang sesungguhnya telah lebih dahulu ada. Kenyataan ini ditunjukkan oleh pernyataan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama saat itu, A. Malik Fadjar, ketika menyampaikan penjelasan di depan DPR sebelum dimulainya tanggapan-tanggapan dari fraksi-fraksi. Dalam penjelasan tersebut dikemukakan bahwa zakat di Malaysia dan Singapura setelah dikelola secara baik ternyata mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Lebih jauh, faktor eksternal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kunjungan sejumlah anggota tim yang sengaja dibentuk untuk melakukan perbandingan tentang pengelolaan zakat di negara-negara lain sebelum Rancangan Undang-undang itu sendiri dibuat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk melihat peran faktor-faktor eksternal itu dalam penetapan Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat.

1. Eksternal

Sebagaimana telah disinggung dalam Bab 2, upaya penafsiran ulang terhadap konsep zakat telah dilakukan oleh sejumlah pemikir Muslim. Akan tetapi, kesadaran untuk menghidupkan kembali institusi zakat secara lebih signifikan terjadi sejak Perang Dunia II. Kesadaran ini dapat dilihat baik dari keterlibatan negara melalui undang-undang yang ditetapkan untuk mengaturnya maupun dari berdirinya sejumlah organisasi yang memeroleh kepercayaan untuk mengumpulkannya.

Berbeda dengan sebelumnya, di mana zakat hanya sering dibicarakan oleh fuqaha, pada zaman modern zakat telah menarik perhatian banyak ahli ekonomi, sehingga zakat menjadi wacana yang didiskusikan secara lebih luas oleh berbagai pihak. Jika fuqaha cenderung bergulat dengan hukum zakat itu sendiri, para ahli di bidang lain berusaha merumuskan zakat dalam peraturan-peraturan yang sesuai dengan situasi modern, di antaranya melalui undang-undang yang ditetapkan oleh negara. Pada 1952, misalnya, sejumlah ulama seperti ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, Muh}ammad Abu> Zahrah dan ‘Abd al-Rah}ma>n H{asan terlibat dalam diskusi seputar kemungkinan zakat dikelola oleh negara. Ini dibarengi dengan penyelenggaraan sejumlah konferensi, publikasi berbagai manual dan pamflet yang mengajarkan kaum Muslim bagaimana mereka sebaiknya membayar zakat, baik oleh lembaga-lembaga swasta maupun lembaga-lembaga yang disponsori pemerintah.54

Berdasarkan kenyataan ini, Monzer Kahf mengklasifikasi pengelolaan zakat di dunia Muslim saat ini ke dalam dua model utama: pertama, pengelolaan zakat yang didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh negara. Ini bisa berbentuk pengelolaan yang seluruhnya ditangani oleh pemerintah, atau pengelolaan oleh lembaga-lembaga lain yang memeroleh legitimasi dari

53 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 126.

54

pemerintah. Kedua, pengelolaan zakat yang berjalan secara alami tanpa keterlibatan negara dan tanpa undang-undang. Dalam hal ini, lembaga-lembaga sosial keagamaan atau organisasi-organisasi massa Islam memainkan peran yang sangat penting.55 Menurut Zysow, dewasa ini ada enam negara Muslim, di mana

zakat digalakkan melalui undang-undang, yaitu Saudi Arabia, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan.56 Akan tetapi, penilaian ini tampaknya

mengabaikan sejumlah negara yang jelas-jelas melibatkan negara dalam pengelolaan zakat, bahkan dibarengi dengan pengesahan undang-undang yang memayunginya, seperti akan ditunjukkan dalam kasus Kuwait dan Yordania.

Di Arab Saudi, pengumpulan zakat diatur oleh Keputusan Raja Nomor 17/2/28/8634 yang ditetapkan pada 29 Jumada al-Tsani 1370/17 April 1951. Berdasarkan keputusan ini, invidu dan perusahaan yang berkebangsaan Saudi dikenakan zakat. Dengan demikian, zakat tidak dikenakan kepada orang atau perusahaan non-Saudi dan mereka ini hanya dibebani dengan pajak. Sementara itu, penduduk Saudi tidak dikenakan pajak, tetapi hanya zakat saja, sehingga bagi mereka zakat dan pajak tampak sama saja. Secara umum, pengumpulan dan pengelolaan zakat di Saudi berada di bawah Kementerian Keuangan. Sementara zakat peternakan dan pertanian berada dalam yurisdiksi Biro Umum Pemasukan Umum departemen, zakat atas barang-barang lain berada di bawah yurisdiksi Departemen Zakat dan Pajak dari kementerian yang sama. Di samping itu, berdasarkan peraturan ini dibentuk pula Panitia Khusus yang terdiri dari pejabat pemerintah dan warganegara tertentu untuk menentukan kewajiban zakat yang harus dibayar seseorang atas hasil pertanian dan peternakannya, yang kemudian dibayarkan ke lembaga lokal yang telah ditetapkan berhak mengumpulkannya. Lebih jauh, keputusan ini juga mengenakan zakat pada barang dagangan, uang cash dan asset bisnis lainnya, di samping atas penghasilan profesi (zakat profesi) sebesar 1,25%. Meskipun demikian, keputusan ini tidak memberikan hukuman kepada mereka yang tidak membayar zakat, tetapi sanksi administratif dapat dikenakan kepada perusahaan yang tidak membayar, bahkan mungkin dikenakan penahanan oleh polisi. Walaupun dipungut oleh negara, pembayar zakat berhak memberikan secara langsung kepada muzakki selama jumlahnya tidak lebih dari separuh. 57 Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi zakat perusahaan yang harus diserahkan seluruhnya ke Departemen Keuangan. Selanjutnya, dana zakat yang terkumpul digunakan sebagai jaminan sosial bagi warganya, di mana kriteria mustahik ditetapkan oleh departemen. Tentang zakat perusahaan, ini hanya berlaku bagi perusahaan non-pemerintah, sebab seluruh keuntungan perusahaan pemerintah ditujukan bagi kesejahteraan umum. Di sini kemudian muncul pertanyaan tentang bagaimana dengan perusahaan gabungan Saudi dan asing. Terhadap masalah ini, Pemerintah Saudi menetapkan bahwa perusahaan semacam itu wajib dikenai zakat.58

55Monzer Kahf, “Applied Institutional Models for Zakah Collection and Distribution in Islamic

Countries and Communities,” dalam Institutional Framework of Zakah: Dimensions and Implications, ed. Ahmed Abdel-Fattah el-Ashker dan Muhammad Sirajul Haq (Jeddah: IRTI-IDB, 1995), 198-199; lihat juga M. Taufik Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 33.

56A. Zysow, “Zakat,” The Encyclopedia of Islam (Leiden: Brill, 2001), 11: 418.

57A. Zysow, “Zakat,” 419; M. Taufiq Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 34 -36.

Undang-undang Zakat di Libya Nomor 89 Tahun 1971, di pihak lain, menerapkan pemungutan zakat atas seluruh kekayaan, termasuk uang tunai dan saham perusahaan. Akan tetapi, itu hanya berlaku pada kekayaan zahiriah sesuai dengan ketentuan fikih Maliki. Berbeda dengan peraturan di Saudi Arabia yang tidak memberikan sanksi terhadap mereka yang gagal membayarnya, undang-undang di Libya menegaskan bahwa orang yang mampu tetapi tidak membayar zakat akan dikenakan denda berupa penambahan jumlah yang harus dibayar. Namun, tambahan itu tidak boleh melebihi dua kali lipat. Ditegaskan pula bahwa dana yang terkumpul dari zakat sedikitnya 50% harus didistribusikan kepada fakir miskin.59

Sementara itu, di Republik Arab Yaman, pengumpulan zakat dilakukan negara berdasarkan undang-undang tahun 1971, di mana pembayarannya dilakukan dengan cara memotong gaji para pegawai pada Bulan Ramadhan. Pelaksanaannya berada di bawah sebuah departemen di Kementerian Keuangan, yang secara khusus menangani pembayaran-pembayaran umum (mas}lah}at al-wa>jiba>t). Akan tetapi, terhadap benda-benda lain yang dizakati, seperti hasil pertanian dan sebagainya, pemerintah lokal berperan besar dalam menentukan besaran zakat yang harus dibayar pemiliknya. Selanjutnya, dana yang terkumpul akan dimasukkan ke dalam Bank Sentral. Dari sini, Menteri Keuangan yang akan mencairkan penggunaannya sebagai bagian dari budget negara. Meskipun demikian, individu tetap berhak menyalurkan zakatnya secara individual kepada mustahik sebesar 25%, dan sisanya harus diserahkan kepada lembaga.60

Di Malaysia, pengumpulan zakat diatur oleh masing-masing negeri secara terpisah di bawah kewenangan Majelis Urusan Agama. Kewenangan ini berakibat pada perbedaan ketentuan tentang harta yang harus dizakati dari satu negeri ke negeri lainnya. Misalnya, suatu harta tertentu bisa jadi dikenakan zakat atasnya di satu negeri, tetapi tidak dikenakan di negeri lain. Meskipun demikian, sumber utama zakat di negeri-negeri ini adalah pertanian, terutama padi, dan zakat fitrah. Ketaatan terhadap zakat fitrah umumnya jauh lebih besar ketimbang zakat mal atau lainnya. Undang-undang zakat di Malaysia menetapkan denda dan penjara bagi yang tidak membayar zakat, meskipun dalam pelaksanaannya konon sangat longgar.61 Di Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya), pengelolaan zakat dilakukan oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ), yang sejak 1991 manajemennya diserahkan kepada perusahaan swasta bernama Hartasuci Sdn. Bhd., sehingga pengelolaan zakat berjalan secara profesional. Setelah terkumpul, PPZ menyalurkan melalui berbagai program, seperti bantuan langsung kepada fakir miskin dalam bentuk makanan, uang, atau melalui pendidikan, bantuan medis, bencana alam, pernikahan hingga modal usaha. Adapun bantuan tidak langsung bisa berupa pembinaan dan pelatihan ketrampilan, seperti dilakukan melalui Institut Kemahiran Baitul Mal (IKB), atau dengan memberikan sarana perlindungan bagi muallaf, fakir miskin dan sebagainya. Bahkan hingga batas tertentu, pendidikan profesional dapat diberikan kepada para anak-anak fakir miskin untuk kuliah, atau belajar di akademi-akademi.62

59A. Zysow, “Zakat,” 419. 60A. Zysow, “Zakat,” 419. 61A. Zysow, “Zakat,” 419.

Di Pakistan dan Sudan, perhatian terhadap zakat memeroleh perhatian sangat besar mengingat ia merupakan bagian dari program Islamisasi hukum. Di Pakistan, misalnya, undang-undang zakat yang bernama Zakat and Ushr Ordinance ditetapkan pada 1980 selama kekuasaan Jenderal Zia ul-Haq sebagai pemenuhan aspirasi Muslim. Sebagian besar dari undang-undang ini berkaitan dengan pengumpulan dan pengelolaan zakat oleh lembaga yang disebut Zakat Fund, yang terdiri dari tiga tingkatan: Central Zakat Fund, Lokcl Zakat Fund dan Local Zakat Committee.63 Yang pertama merupakan lembaga ditingkat nasional,

yang kedua berada di tingkat negara bagian, dan yang terakhir berperan sebagai unit pengumpulan di daerah-daerah tingkat kabupaten.

Berdasarkan undang-undang ini, setiap warganegara Muslim Pakistan wajib membayar zakat atas hartanya yang telah mencapai nis}a>b, yaitu jumlah minimal harta yang harus dizakati. Harta yang wajib dizakati ini tidak hanya item-item yang ditetapkan secara tradisional dalam fikih, tetapi juga kekayaan yang berbentuk tabungan dan deposito, saham perusahaan, sertifikat investasi, saham perusahaan dan lain sebagainya. Pembayaran zakat atas semua kekayaan itu dilakukan dengan cara memotong langsung melalui bank atau institusi keuangan lainnya. Adapun zakat kekayaan seperti emas, perak, perdagangan dan sebagainya diserahkan langsung oleh pemiliknya kepada lembaga yang telah ditetapkan. Umumnya, pemotongan dan penyerahan zakat itu dilakukan pada bulan Ramadhan.64

Ada beberapa sasaran yang menjadi target pendistribusian zakat di negara ini. Seperti disebutkan dalam Al-Quran, kelompok penerima zakat adalah delapan

as}na>f, meskipun dalam praktik dan teknisnya dilakukan berdasarkan skala prioritas. Prioritas utama diberikan kepada fakir miskin, terutama para janda dan orang-orang cacat. Namun, pemberiannya bisa dilakukan secara langsung dalam bentuk barang atau melalui sarana lainnya seperti pendidikan di sekolah-sekolah, pendidikan ketrampilan, pembangunan rumah sakit, klinik dan lain sebagainya.65

Di Sudan undang-undang zakat disatukan dengan undang-undang pajak yang dikenal dengan Qa>nu>n al-Zaka>h wa al-D{ara>’ib, yang ditetapkan pada 1984. Ini merupakan bagian dari proses Islamisasi Sudan yang diperkenalkan semasa pemerintahan Numayri. Dengan undang-undang ini, rezim Numayri mengganti sistem pemasukan negara dengan zakat, yang akhirnya justru melahirkan defisit anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Melihat kenyataan ini, undang-undang zakat pun diubah pada 1986 dan 1990 dengan memindahkan pengelolaan zakat dari Kementerian Keuangan sebelumnya ke Kementerian Kesejahteraan Sosial. Jangkauan undang-undang zakat di Sudan sangat luas, tidak hanya terhadap benda-benda yang secara tradisional harus dizakati, tetapi juga meliputi gaji para pegawai dan kaum profesional, jasa dan lain sebagainya, yang dikenal dengan mustaghilla>t. Berbeda dengan di Saudi yang menetapkan zakat hanya 1,25% atas penghasilan profesi, di Sudan zakat profesi ditetapkan sebesar 2,5% dari penghasilan bersih. Juga berbeda dengan Saudi yang hanya mewajibkan zakat atas warganya, di Sudan seluruh Muslim dikenakan wajib zakat, bahkan orang-orang Sudan sendiri yang tinggal di luar negeri. Namun demikian, individu pembayar zakat diberi hak untuk menyalurkan sendiri kepada mustahik sebesar

63A. Zysow, “Zakat,” 420.

64M. Taufiq Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 42. 65M. Taufiq Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 43.

20% dari jumlah seluruh yang harus dibayar. Seperti di Libya, denda akan diterapkan bagi orang yang tidak membayar zakat, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi dua kali lipat.66 Karena bersatu dengan pajak, penyaluran dana zakat di

sini menjadi bagian integral dari tugas Departemen Keuangan dan Perencanaan Ekonomi Nasional. Meskipun demikian, prioritas tetap diberikan kepada lima ashnaf, yaitu fakir, miskin, amil, ibn sabil dan gharimin, tanpa memasukkan tiga ashnaf lainnya.67

Di Yordania, yang tidak dimasukkan oleh Zysow dalam negara yang mengelola zakat melalui undang-undang, sesungguhnya undang-undang yang secara khusus mengelola zakat telah ditetapkan pada 1944, sehingga dapat dipandang sebagai negara pertama yang melahirkan undang-undang zakat. Bahkan pada 1988, Undang-undang tentang S{undu>q al-Zaka>h ditetapkan untuk memperkuat pengelolaan zakat di negara itu. Lembaga ini dipimpin langsung oleh Menteri Wakaf dan Urusan Haji dibantu oleh Mufti Besar Kerajaan, wakil dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertumbuhan dan Sosial. Operasionalisasi S{undu>q al-Zaka>h ini dilakukan oleh Lajnat al-Zaka>h (Komisi Zakat), yang bertugas antara lain: menginventarisasi kemiskinan dalam masyarakat di negeri itu, mendirikan klinik-klinik kesehatan, pusat pendidikan pengangguran, proyek-proyek investasi dan lain sebagainya.68

Sementara itu, di Kuwait, lembaga pemerintah yang mengurusi zakat didirikan dengan nama Bayt al-Zaka>h melalui Undang-undang Nomor 5/82 yang ditetapkan pada 21 R. Awwal 1403/16 Januri 1982. Lembaga ini dipimpin langsung oleh Menteri Wakaf dan Urusan Islam, dibantu wakil menteri Wakaf dan wakil Menteri Sosial dan Tenaga Kerja. Di antara tugas-tugas utama Bayt al-Zaka>h adalah mengembangkan sumber-sumber zakat dan dana-dana amal lainnya dan mendistribusikan dana-dana sesuai dengan golongan yang ditetapkan oleh Al-Quran. Meskipun demikian, prioritas tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan ashnaf ini.69

Praktik-praktik pengelolaan zakat di negara-negara tersebut sedikit banyak telah memengaruhi lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia. Sebab, sebelum dibentuknya sebuah RUU, ada tim yang diutus untuk mengkaji undang-undang serupa di negara lain. Ini seperti terlihat dalam pembentukan KHI, di mana sejumlah tim dibentuk untuk melakukan perbandingan dengan negara lain seperti Turki, Maroko dan lain sebagainya. Akan tetapi, dalam pembentukan UU tentang Pengelolaan Zakat ini, negara yang dituju sebagai perbandingan adalah Malaysia dan Singapura, seperti dinyatakan secara tegas dalam keterangan pemerintah di hadapan Sidang Paripurna DPR.

2. Internal

Betapapun besarnya pengaruh eksternal di atas, faktor-faktor internal dalam negeri tentu yang paling menentukan. Yang demikian itu karena situasi yang dihadapi oleh negara dan bangsa justru yang menjadi triggering factors bagi lahirnya sebuah undang-undang. Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat tak

66A. Zysow, “Zakat,” 420; M. Taufiq Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 36 -40.

67M. Taufiq Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 41. 68M. Taufiq Ridlo, “Pengelolaan Zakat di Negara-negara Islam,” 44-46.

syak lagi memiliki sejumlah faktor yang melicinkan jalan bagi kelahirannya. Di antara faktor-faktor ini adalah sebagai berikut:

a. Historis

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, persoalan zakat bukanlah masalah baru, tetapi sebuah recurrent issue yang akan segera mengemuka manakala kondisi yang diperlukannya tersedia. Sebenarnya, upaya untuk membuat sebuah undang-undang zakat telah dilakukan segera setelah Orde Baru terbentuk. Pada 1968, misalnya, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Nomor 4 dan 5, yang masing-masing berisi pembentukan Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Akan tetapi, bukannya diimplementasikan, kedua peraturan itu malah berhenti di tengah jalan. Ada perbedaan pendapat mengenai sebab musabab kedua peraturan itu menjadi dorman. Menurut sebagian sarana, hal itu disebabkan oleh ketidaksetujuan Menteri Keuangan terhadap kedua peraturan itu. Sebagian yang lain menilai bahwa tidak berjalannya peraturan itu karena ketidaksetujuan Soeharto yang khawatir hal itu dapat mengarah pada pelaksanaan Piagam Jakarta.

Sebaliknya, Soeharto—sebagai pribadi Muslim—malah bersedia menjadi amil zakat secara nasional. Akan tetapi, keterlibatannya mengelola zakat ini hanya berjalan selama beberapa tahun saja, sebab sejak 1972 ia mengundurkan diri. Selama periode keterlibatannya itu jumlah yang berhasil dikumpulkan hanya sebesar Rp. 39.500.000,- dan USD 2.473. Setelah mundur, ia justru mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang menarik dana secara langsung dari gaji para pegawai negeri. Padahal, di saat menjadi amil zakat, ia semestinya dapat melakukan hal serupa. Apalagi zakat merupakan kewajiban Muslim, yang tentu saja lebih mudah diterima oleh masyarakat, ketimbang sekadar sumbangan kepada Yayasan tersebut.70

Dengan kata lain, pengelolaan zakat selama ini belum memeroleh perhatian yang semestinya, di antaranya belum adanya undang-undang yang memayunginya. Karena itu, adanya undang-undang zakat sebenarnya sudah menjadi aspirasi Muslim sejak lama, tetapi selalu mendapat hadangan dari pihak pemerintah. Bahkan, seolah-olah pemerintah malah mempermainkannya demi kepentingan politik. Karena itu, tatkala kondisi berubah dan situasi politik mendukungnya, keinginan itu muncul kembali. Yaitu, aspirasi agar undang-undang tentang zakat, yang telah dipersiapkan oleh FOZ diajukan oleh pemerintah ke DPR untuk dibahas. Sesungguhnya, hal seperti itu tidak hanya terjadi dalam kasus zakat. Seperti dimaklumi, upaya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 juga terjadi beberapa kali. Setelah gagal dalam PPKI, usaha tersebut berulang dalam Konstituante 1959 meskipun harus mengalami nasib serupa, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 1 Mei 1959. Setelah tumbangnya Orde Baru, sejumlah partai juga mengusung kembali aspirasi itu dalam Sidang MPR 2002, namun ditarik kembali sebelum dilakukan voting. Singaktnya, kelahiran undang-undang zakat pada dasarnya tinggal menunggu waktu, sebab ia sudah menjadi aspirasi kuat Muslim yang sudah lama.

b. Ekonomi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, faktor penting yang mula-mula mendorong lengsernya Soeharto dari kekuasaan adalah krisis ekonomi. Ini bermula dari beberapa krisis yang menimpa sejumlah negara Asia yang akhirnya berdampak sangat besar di Indonesia. Krisis ini tidak hanya menghancurkan ekonomi negara, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat, yang ditandai dengan naiknya harga kebutuhan mereka. Akibatnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan rakyat Indonesia meningkat sangat tajam.

Dalam situasi seperti itu, adanya pranata zakat menjadi sangat signifikan, jika dikelola dengan baik. Seperti dikemukakan Menteri Agama saat itu, A. Malik Fadjar, di hadapan anggota DPR, zakat merupakan sebuah potensi dan sumber dana yang sangat besar bila dikelola secara terencana dan maksimal, yang hasilnya dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial.71

Banyak orang yang yakin bahwa zakat jika dikelola dengan baik dapat membantu negara dalam menghadapi krisis keuangan dan menyejahterakan rakyatnya. Hal itu tidak berarti zakat yang dikumpulkan oleh negara digunakan untuk membiyai negara, tetapi sebaliknya negara hanya berperan sebagai fasilitator dalam mengumpulkan zakat, yang dalam hal ini bertindak sebagai amil zakat. Dengan demikian, negara dapat mengumpulkan zakat, lalu mendistribusikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Jika pengelolaan ini terpusat, maka zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika didasarkan pada masing-masing daerah, hal itu akan menimbulkan ketimpangan, di mana daerah yang dapat mengumpulkan zakat sedikit, hanya dapat mengentaskan kemiskinan yang juga sedikit. Padahal, tidak menutup kemungkinan kalau di daerah itu terdapat banyak orang miskin, sementara zakat yang terkumpul hanya sedikit.72

Lebih jauh, diasumsikan bahwa zakat jika dikelola oleh negara dapat mengumpulkan dana yang mencapai puluhan triliun. Dengan dana sebesar ini, pemerintah dapat memprioritaskan pada aspek lain yang justru sangat membutuhkan banyak dana. Seperti dikemukakan M. Djamal Doa, jika dikelola oleh negara dengan sistem modern dan transparan, dana zakat dapat terkumpul hingga mencapai kurang lebih 80 trilyun rupiah, sebuah jumlah yang tentu saja melebihi anggaran sebuah departemen, seperti UKM yang pada 2000 hanya berkisar 20-25 trilyun rupiah.73

Asumsi tentang potensi yang demikian besar dari zakat ini mendorong masyarakat yang tercermin dalam DPR dan negara untuk mencoba menggali dan mendayagunakannya. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa negara sedang berada dalam krisis multidimensi, sehingga potensi zakat yang besar itu dipandang relevan dan signifikan.

71 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 26 Juli 1999, 26.

72 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Mufti, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004), 42-43.

c. Yuridis

Seperti telah disebutkan sebelumnya, berbagai ketentuan tentang zakat telah dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi tumpang tindih antara satu dan lainnya tidak