• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filantropi Islam dan kebijakan negara pasca-orde baru: studi tentang undang-undang zakat dan undang-undang wakaf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Filantropi Islam dan kebijakan negara pasca-orde baru: studi tentang undang-undang zakat dan undang-undang wakaf"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

WIDYAWATI

FILANTROPI ISLAM DAN KEBIJAKAN NEGARA

PASCA-ORDE BARU:

Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

Filantropi Islam dan Kebijakan Negara pasca-Orde Baru: Studi tentang Undang-undang Zakat dan Undang-undang Wakaf

Oleh: Widyawati

Cetakan I, Maret 2011

Diterbitkan oleh: Penerbit Arsad Press

Jl. Permai V No. 134 Komp. Cipadung Permai Cibiru Bandung

Hak cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved

(3)

سب

ه

نمحرلا

يحرلا

هب

ني تسن

ع

ر مأ

ايندلا

نيدلا

ةاصلا

اسلا

ع

هيبن

دمحم

ع

هلآ

هباحصأ

ني مجأ

نم

بت

ناسحإب

لإ

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang atas rahmatnya dan karunia-Nya penerbitan buku ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muh}ammad Saw., keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman, Amin.

Buku yang ada di tangan pembaca ini semula adalah disertasi yang saya ajukan ke Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah diujikan pada 10 Januari 2011. Karena itu, dengan terbitnya buku ini, saya ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dengan cara mereka masing-masing. Tanpa bantuan mereka, saya merasa sulit—kalau bukan mustahil—dapat merampungkan penerbitan buku ini.

Pertama dan utama, terimakasih dan penghargaan saya tertuju kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Di tengah-tengah kesibukan masing-masing—secara berturut-turut sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana dan Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—mereka masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan. Keduanya telah berperan penting dalam penulisan buku ini. Terimakasih dan perhagaan sebanding juga disampaikan kepada Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA dan Prof. Dr. Uswatun Hasanah, MA atas masukan dan saran-saran yang sangat berharga bagi perbaikan buku ini.

Terimakasih dan penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada para dosen di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah memperkaya dan memperluas wawasan saya selama studi di lembaga ini. Juga kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berharga atas draft awal buku ini hingga penerbitannya.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang dalam juga saya sampaikan kepada Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Hendi Suhendi, M.Si. Keduanya telah memberikan izin kepada saya untuk studi dan terus mendorong agar saya segera menyelesaikannya. Dorongan serupa juga saya peroleh dari Prof. Dr. A. Djazuli dan Prof. Dr. Juhaya S. Praja, yang dengan tulus merekomendasikan saya untuk melanjutkan studi S-3 di SPs UIN Jakarta.

(6)

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Selanjutnya, hutang budi dan terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada keluarga besar saya, kedua orang tua saya, Alm. Basuni (w. 2010) dan Kulsum, dan mertua saya, Alm. H. Abdul Muin (w. 2007) dan Alm. Panitri (w. 1994). Merekalah yang telah mendorong saya terus belajar dan berkorban untuk itu, namun hanya satu di antara mereka yang saat ini dapat menyaksikan saya telah menyelesaikan studi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik saya, yang telah banyak membantu selama studi saya, baik sebelum maupun saat di PPs UIN Jakarta.

(7)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Latin Arab Latin

ا a ط t}

b ظ z}

t ع ‘

ث th gh

ج j ف f

ح h} q

خ kh ك k

د d ل l

ذ dh m

ر r ن n

ز z w

س s ه h

ش sh ء ’

ص s} y

ض d}

Vokal Pendek

--- (fath}ah) a --- (kasrah) i

--- (d}ammah) u

Vokal Panjang

ا/

ى a> seperti ةياده hida>yah

i> seperti فيرش shari>f

u> seperti ن م سم muslimu>n

Diftong

أ aw seperti فاق أ awqa>f

ىأ ay seperti نيب bayna

ة (ta>’ marbu>t}ah) dibaca ‚ah,‛ jika tidak diidafatkan, seperti ةاكز (zaka>h), dan

dibaca ‚at,‛ jika diidafatkan, seperti رط لاةاكز (zaka>t al-fit}r).

(8)
(9)

KATA PENGANTAR ……….. i

PEDOMAN TRANSLITERASI ……… iii

DAFTAR ISI ………. v

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah………... 7

C. Tujuan Penelitian……….... 7

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian……….. 8

E. Tinjauan Pustaka………... 8

F. Metodologi……….. 14

G. Sistematika Penulisan………... 16

BAB II ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI………... 18

A. Filantropi dalam Tradisi Islam………... 18

B. Aspek-aspek Filantropi Islam………... 22

C. Filantropi dan Keadilan Sosial………... 55

D. Negara dan Filantropi Islam……….. 38

BAB III KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT………. 49

A. Pengaturan Zakat di Indonesia………... 49

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Zakat pasca-Orde Baru……….. 63

C. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat……… 72

D. Implikasi terhadap Zakat setelah Pengesahan Undang-udang……….. 92

BAB IV KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF………….... 103

A. Pengaturan Wakaf di Indonesia……….. 103

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-undang Wakaf pasca-Orde Baru……….. 115

C. Konfigurasi Politik Legislasi Wakaf……….. 132

D. Implikasi terhadap Wakaf setelah Pengesahan Undang-undang……... 150

BAB V PERKEMBANGAN FILANTROPI ISLAM………. 155

A. Pertumbuhan Lembaga-lembaga Zakat, Wakaf dan Filantropi………... 155

B. Pertumbuhan Kuantitatif Lembaga-lembaga Filantropi…… 168

C. Respons Civil Society Islam terhadap Rencana Revisi UU Zakat dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam…………. 174

BAB VI PENUTUP……….. 186

A. Kesimpulan………. 186

(10)

DAFTAR PUSTAKA ………. 192

LAMPIRAN ……… 208

INDEKS ……….. 211

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filantropi, sebagai sebuah kedermawanan, merupakan ajaran etika yang sangat fundamental dalam agama-agama.1 Kenyataan ini dapat dilihat baik dalam

doktrin maupun praktik keagamaan dalam berbagai tradisi di berbagai wilayah dunia,2 yang tentu saja dengan nama yang berbeda-beda, namun mengandung

makna sama, yaitu kesetiakawanan terhadap sesama manusia. Karena itulah, berbagai bentuk kedermawanan ini kadang-kadang disebut karitas (charity), yang berarti kecintaan terhadap sesama manusia,3 dan adakalanya disebut filantropi yang, menurut makna populernya, berarti “tindakan sukarela untuk kebaikan umum” (voluntary action for the public good).4

Menurut Thomas H. Jeavons, setidak-tidaknya ada empat unsur penting agama, yang mendorong penganutnya senang menjalankan filantropi.5 Pertama,

agama memiliki doktrin yang mendorong umatnya untuk memberi kepada mereka yang kurang mampu. Kedua, lembaga keagamaan berperan sebagai penerima sekaligus sumber pemberian. Ketiga, agama memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan lembaga-lembaga filantropi. Keempat, agama dapat berperan sebagai kekuatan dalam menciptakan ruang sosial bagi kegiatan dan lembaga filantropi.

1 Meskipun demikian, ada juga filantropi yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi

semata-mata karena rasa kemanusiaan. Filantropi jenis ini dapat ditemukan, misalnya, pada masa Yunani dan Romawi pra-Kristen. Memang banyak praktik filantropi pada masa ini yang diwujudkan dalam berbagai proyek, seperti bantuan kepada orang-orang miskin, pembangunan gedung, pembangunan tempat perlindungan tentara dan lain sebagainya. Semua itu dibiayai oleh filantropi orang-orang kaya, yang didorong bukan karena ajaran agama. Sebaliknya, tujuan utama filantropi tersebut adalah semata-mata demi prestise orang yang menyumbangnya. Lihat Mark C. Cohen, Poverty and Charity in the Jewish Community of Medieval Egypt (Princeton: Princeton University Press, 2005), 4.

2 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the

Non-Profit Sector (London-New York: Routledge, 2005), 196; Warren E. Ilchman, Stanley N. Katz,

dan Edward L. Queen II, “Pendahuluan,” dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren E. Ilchman, et.al., terj. Tim CSRC (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006), ix.

3Thomas D. Watts, “Charity,” dalam Encyclopedia of World Poverty, ed. M. Odekon (London:

Sage Publication, 2006), 1: 143.

4 Lihat Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and

Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; juga Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam http://www.paytonpapers.org (diakses 20 September 2009).

5Thomas H. Jeavons, “Religion and Philanthropy,”

http://learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/ religion_ philanthropy.asp (diakses 5 Agustus 2010); bandingkan Andrew Ting-Yuan Ho, “Charitable Giving: What Makes A Person Generous?”

(12)

Seperti agama-agama lain, Islam juga memberikan perhatian yang sangat besar pada masalah kedermawanan, dari tingkat yang sekadar sukarela hingga ke tingkat yang bersifat wajib, dengan shadaqah sebagai konsep utamanya. Makna utama di balik konsep ini adalah segala kebaikan yang diberikan seseorang kepada yang lain secara sukarela adalah shadaqah. Berbeda dengan shadaqah, zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan khusus. Sementara itu, wakaf tidak memiliki tingkat kewajiban, tetapi sangat dianjurkan bagi setiap Muslim. Tidak heran, jika bentuk kedermawanan yang terakhir ini dianggap sebagai sebuah filantropi yang terlembaga dengan baik.6

Dalam sejarah, ketiga bentuk filantropi dalam Islam itu telah memainkan peran yang sangat penting, seperti dalam penyebaran agama dan ilmu, pendirian lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dalam bidang kesejahteraan. Misalnya, salah satu sarana penting bagi penyebaran Islam adalah masjid, yang didirikan dan dibangun atas dasar filantropi. Bahkan, konon, Nabi sendiri adalah orang pertama yang mencontohkan melaksanakan filantropi dengan mendirikan masjid. Selain masjid, banyak lembaga pendidikan penting, yang menjadi tempat para siswa menimba ilmu didirikan atas dasar filantropi. Tidak hanya itu, bahkan penyelenggaraannya pun dijalankan dengan dana filantropi, terutama yang didukung oleh penguasa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan inilah penyebaran ilmu terjadi dan mengalami perkembangan, seperti di Bagdad, Kairo, Makkah dan lain sebagainya.7 Bahkan, tidak sedikit perpustakaan yang ada di wilayah ini didirikan dan dibiayai oleh dana filantropi, terutama wakaf.8

Demikian pentingnya filantropi Islam ini sehingga ia tidak pernah bisa dilepaskan dari urusan negara atau kekuasaan. Menurut Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, setidak-tidaknya ada empat sikap pemerintah di negara-negara Muslim terhadap filantropi. Pertama, nasionalisasi lembaga filantropi sehingga ia berada di bawah kontrol negara. Dengan demikian, manajemen filantropi harus tunduk pada kepentingan negara. Kedua, negara menyesuaikan diri dengan otoritas keagamaan. Dengan cara begitu, lembaga filantropi pada dasarnya ditarik ke dalam lembaga negara, dan pada saat yang sama memeroleh justifikasi dari agama. Ketiga, negara menentukan kekuatan yang dapat mengatur lembaga filantropi, termasuk tujuan dan jumlah pengurusnya, sehingga negara memberikan kebebasan aktivitas filantropi, sepanjang aktivitas tersebut tidak berkaitan dengan politik. Keempat, negara membentuk lembaga filantropi yang non-pemerintah. Lembaga semacam ini akan menjadi agen perubahan bagi masyarakat, seperti

6 Jennifer Bremer, “Islamic Philanthropy: Reviving Traditional Forms for Building Social Justice,” paper disampaikan pada CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) 5th Annual Conference “Defining and Establishing Justice in Muslim Societies,” Washington DC, 28-29 Mei

2004), 5; Robert D. McChesney, “Charity and Philanthropy in Islam,”

http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam.asp (diakses 20-6-2009).

7 Siraj Sait dan Hilary Lim, Land, Law and Islam: Property and Human Rights in the Muslim

World (London-New York: Zed Books, 2006), 149; Azyumardi Azra, “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,” dalam Zakat dan Peran Negara, ed. Kuntarno Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tajang

(Jakarta: Forum Zakat, 2006), 17; Azyumardi Azra, “Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society,”

dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2003), xxiv.

8

(13)

penghapusan kemiskinan, pendidikan, kepedulian terhadap anak-anak dan lain sebagainya.9

Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan agama dan negara, yang terjadi di beberapa negara Muslim. Secara garis besar, hubungan antara keduanya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama. Kategori pertama berpandangan bahwa Islam dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan, sehingga urusan agama identik dengan urusan negara itu sendiri. Kedua, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, dan karenanya persoalan agama harus dikeluarkan dari tanggung jawab negara. Ketiga, meskipun Islam dan negara berbeda, namun keduanya memiliki kaitan yang substansial.10

Dalam konteks seperti itu, Yu>suf al-Qarad}a>wi> (ى اضر لافس ي (menilai bahwa filantropi Islam, khususnya zakat, harus dikelola oleh negara. Institusi ini berkewajiban untuk memungut dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Selain didasarkan pada QS al-Tawbah (9): 103,11 al-Qarad}a>wi> juga berargumen bahwa fakir miskin dapat memeroleh jaminan yang lebih kokoh dari negara ketimbang dari perorangan. Di samping itu, pendistribusian oleh negara menghilangkan konsentrasi pada kelompok mustahik di wilayah tertentu. Yang lebih penting lagi, Islam pada dasarnya adalah agama dan negara (di>n wa-dawlah).12 Sejauh ini, terdapat enam negara yang mengelola

zakat melalui undang-undang, seperti Arab Saudi, Libya, Yaman, Malaysia, Pakistan dan Sudan.13

Berbeda dengan al-Qarad}a>wi>, Robert D. McChesney berpendapat bahwa Islam tidak memiliki pola pengelolaan filantropi—khususnya zakat—secara tegas, tetapi bersifat ambigu.14 Karena itu, dalam pengelolaannya bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi masyarakat. Artinya, ia kadang-kadang dikelola oleh negara, namun adakalanya negara melepaskan diri dari persoalan ini.

Seperti di wilayah lain, filantropi Islam juga berkembang di Indonesia bersamaan dengan kedatangan agama ini. Praktik ini mudah diterima oleh masyarakat Nusantara, mengingat bentuk-bentuk filantropi telah menjadi tradisi kehidupan mereka, terutama filantropi yang berakar pada agama-agama. Meskipun demikian, penghimpunan dan pendistribusian zakat tidak pernah dikelola oleh penguasa pada masa kesultanan Islam.15 Sebaliknya, masyarakat

bebas membayarkannya, baik secara langsung kepada mustahik, maupun kepada lembaga-lembaga, seperti masjid, pesantren ataupun organisasi-organisasi keagamaan.

Memasuki masa penjajahan, filantropi Islam juga tidak memeroleh perhatian dari pemerintah kolonial, mengingat kebijakan mereka dalam bidang agama

9 Jon B. Alterman dan Shireen Hunter, The Idea of Philanthropy in Muslim Contexts (Washington, DC:

Center for Strategic and International Studies, 2004), 11-12. 10

Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam (Jakarta: Ushul Press, 2005), 7-8. 11

Ayat ini berbunyi sebagai berikut:

ذخ نم لا مأ ةقدص هر طت يكزت ا ب لص ي ع نإ كتاص نكس ل ه عيمس ي ع . 12

Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Zaka>h (Beiru>t: Muassasat Risa>lah, 1994), 1: 746-754; lihat juga Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Min Qad}a>ya> al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m(Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 91-92.

13A. Zysow, “Zakat,” dalam The Encyclopedia of Islam, ed. P.J. Bearman et.al. (Leiden: Brill, 2002), 11:

419.

14

Robert D. McChesney, Charity and Philanthropy in Islam: Institutionalizing the Call to Do Good

(Indianapolis: Indiana University Center on Philanthropy, 1993); lihat juga idem, “Charity and Philanthropy in Islam,”dalam http://www.learningtogive.org/faithgroups/phil_in_america/philanthropy_islam .asp (diakses 20-06-2009).

(14)

adalah netral.16 Bahkan, para pejabat pribumi dilarang untuk terlibat dalam pengelolaan zakat, karena zakat semata-mata ditujukan untuk kepentingan agama. Lebih buruk lagi, tidak sedikit dana zakat terbukti disalahgunakan untuk kepentingan pribadi mereka.17 Akibatnya, dana zakat yang terkumpul sangat

rendah dan biasanya dibayarkan langsung kepada para guru ngaji setempat. Dengan kata lain, pemerintah kolonial sengaja membiarkan persoalan zakat menjadi persoalan orang Islam dan berupaya menjadikan zakat sekadar sebagai tindakan sukarela. Bahkan Hurgronje juga keberatan jika zakat dimasukkan ke dalam kas kabupaten, apalagi negara.18

Berbeda dengan zakat, sikap pemerintah kolonial terhadap wakaf tidaklah netral, karena wakaf Muslim berupa tanah, sehingga harus diatur oleh pemerintah melalui peraturan tentang agraria. Lebih jauh, kebijakan yang netral dalam masalah agama ini juga dapat berubah menjadi represif, ketika dana filantropi ini digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik, seperti pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah kolonial.19 Bahkan, pada akhirnya, untuk

kepentingan murni agama pun dibatasi, karena dianggap dapat memperkuat basis sosial masyarakat. Di beberapa daerah, misalnya, pemerintah kolonial melarang renovasi masjid dengan dana zakat dan wakaf, dengan alasan hal itu akan memperkuat soliditas umat Islam.20

Memasuki Indonesia merdeka, persoalan filantropi tidak memeroleh perhatian dari negara yang masih lemah. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk melakukan pengelolaan zakat dan wakaf oleh masyarakat sipil menguat. Ini ditunjukkan dengan sejumlah seminar yang menghendaki agar zakat dikelola oleh negara. Akan tetapi, berbagai upaya ini mengalami kegagalan karena kekhawatiran pemerintah terlibat dalam urusan agama, atau dituduh menjalankan Piagam Jakarta, yang saat itu telah berhasil dijinakkan.21 Di samping itu,

dikotomi ideologis antara Islamis dan sekular masih sangat kuat, sehingga setiap upaya untuk melibatkan negara dalam masalah agama dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengancam kesatuan. Sikap pemerintahan Soekarno—yang kemudian disebut Orde Lama—terhadap persoalan filantropi ini tidak mengalami perubahan, hingga ia diturunkan dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto.

Di awal pemerintahannya, kaum Muslim banyak berharap agar Soeharto mau melibatkan negara dalam persoalan filantropi, terutama zakat. Hal ini dibuktikan dengan seruan sejumlah ulama agar pemerintah ambil bagian dalam pengelolaan zakat. Akan tetapi, Soeharto merespons hal itu dengan kesediaan dirinya sebagai amil zakat nasional, tanpa harus melibatkan negara. Meskipun bersifat personal,

16 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 2 dan 9-10.

17

Arskal Salim, “The Influential Legacy of Dutch Islamic Policy on the Formation of Zakat

(Alms) Law in Modern Indonesia,” Pacific Rim Law and Policy Journal Association, 15:3 (2006), 690.

18

Tentang alasan-alasan penolakan Hurgronje mengenai hal ini, lihat Nasihat-nasihat C. Snouc Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1880-1936, terj. Sukarsi (Jakarta: INIS, 1992), 1352-1375.

19 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press,

1998).

20 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 162-164.

21Arskal Salim, “Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order,” dalamShari‘a and

(15)

keterlibatan Soeharto ini sedikit banyak terkait dengan negara, mengingat tidak sedikit instruksi yang ia keluarkan diarahkan kepada sejumlah kepala daerah. Akan tetapi, sentralisasi pengelolaan zakat di bawah koordinasi Soeharto tidak memeroleh kepercayaan masyarakat, yang dibuktikan dengan sedikitnya dana yang terkumpul selama tiga tahun keterlibatannya.22

Lebih jauh, kegagalan ini tidaklah semata-mata ketidakpercayaan masyarakat, tetapi juga sikap setengah hati yang ditunjukkan Soeharto. Hal ini terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, di mana ia menginstruksikan pemotongan langsung gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sedekah yang harus dibayarkan kepada yayasan ini. Akibatnya, pengelolaan zakat menjadi murni persoalan umat Islam, sehingga masyarakat menyalurkan zakat mereka ke lembaga-lembaga yang biasa menghimpun dan menyalurkan zakat, seperti masjid, pesantren, madrasah, dan organisasi-organisasi keagamaan. Pemerintah sendiri, melalui Departemen Agama, hanya memberikan instruksi agar zakat dihimpun dan disalurkan sesuai dengan ketentuan ajaran Islam.23

Menjelang akhir pemerintahannya, Soeharto memang menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap Islam, dengan disahkannya sejumlah undang-undang yang memenuhi kepentingan umat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,24 Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sejumlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam25 dan Bank Muamalat.26 Akan tetapi, persoalan filantropi Islam tetap belum memeroleh perhatian yang semestinya hingga berakhirnya Orde Baru yang dipimpinnya pada 1998.

Berbeda dengan zaman Orde Baru yang sentralistik, pada masa reformasi di bawah kepresidenan Habibie, kebebasan politik memeroleh momentum. Ini ditandai tidak hanya dengan menjamurnya partai politik baru, dengan ideologi dan corak yang beragam. Namun, hal itu juga ditunjukkan dengan berdirinya sejumlah organisasi keagamaan dari yang bersifat liberal hingga radikal. Di tengah-tengah situasi kebebasan dan “relaksasi politik”27 inilah sejumlah lembaga filantropi

Islam banyak tampil ke muka. Tidak hanya sebatas itu, lembaga-lembaga filantropi ini juga menjadi kekuatan civil society, yang dapat menekan pemerintah

22 Asep Saepudin Jahar, “The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post

-Independence Indonesia,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 365.

23 Arskal Salim, Challenging the Secular State: Islamization of Law in Modern Indonesia

(Honolulu: University of Hawaii Press, 2008), 124-125.

24 Untuk pembahasan mengenai hal ini, lihat Mark Cammack, “Indonesia’s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonenization of Islam?” dalam Shari‘a and Politics in

Modern Indonesia, 96-124; Nur Ahmad Fadhil Lubis, “Institutionalization and Unification of Islamic

Courts under the New Order,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 2: 1 (1995).

25 Diskusi lebih panjang tentang hal ini, lihat Imam Mawardi, Socio-Political Background of the

Enactment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tesis M.A. (Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University, 1997); juga Joko Mirwan Muslimin, Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995), Disertasi PhD (Hamburg: Universitat Hamburg, 2005).

26 Untuk pembahasan secara rinci tentang hal ini, lihat Zainulbahar Noor, Bank Muamalat:

Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan (Jakarta: Bening, 2006); juga Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics (Jakarta: Ushul Press, 2006), 114-124.

27

(16)

untuk memenuhi aspirasi tertentu mereka. Dengan kata lain, perubahan politik ternyata berdampak besar bagi pertumbuhan lembaga-lembaga filantropi di Indonesia.28

Menurut Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, filantropi di Indonesia dari pra-kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru berkembang melalui tiga arus utama. Pertama, filantropi tradisional, yang bersumber pada agama dengan semangat dakwah. Praktik filantropi tradisional ini tercermin dalam berbagai layanan sosial, terutama pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Muhammadiyah, dalam hal ini, merupakan contoh yang sangat baik, karena telah berhasil mendirikan ribuan sekolah, rumah sakit dan ratusan rumah yatim.29

Kedua, organisasi masyarakat sipil yang mulai bermunculan pada 1970-an. Organisasi-organisasi ini muncul bersamaan dengan proyek modernisasi, yang menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat Indonesia, seperti kemiskinan, peminggiran rakyat, lingkungan, polusi, pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak secara langsung bergerak dalam bidang filantropi dalam pengertian tradisionalnya, juga tidak banyak mendapat dukungan dari masyarakat akar rumput. Akan tetapi, mereka telah banyak menggagas perubahan penting dalam konteks modernisasi ini, seperti advokasi, pemberdayaan rakyat, yang terjadi pada masa itu. Ketiga, organisasi filantropi perusahaan dan organisasi sumber daya masyarakat sipil. Arus ketiga ini muncul bersamaan dengan krisis ekonomi pada 1997 dan runtuhnya rezim otoriter. Keduanya telah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai persoalan. Karena itu, masa ini dapat dipandang sebagai masa subur berdirinya organisasi-organisasi filantropi, sehingga pada 2003 sudah berdiri setidaknya 27 organisasi.30

Salah satu bentuk gerakan sosial yang memiliki pengaruh penting terhadap bidang filantropi adalah Forum Zakat (FOZ), yang didirikan oleh sejumlah organisasi pada 1997. Asosiasi ini berhasil menggalang jaringan organisasi filantropi, mendiskusikan persoalan-persoalan zakat dengan pemerintah, menyebarkan informasi, mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menjadi konsultan dalam berbagai persoalan zakat. Hanya dalam waktu dua tahun, asosiasi ini sudah beranggotakan 150 buah lembaga.31 Di antara kontribusi penting forum ini adalah penyiapan draft undang-undang zakat, yang kemudian disahkan sebagai UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.32

Suasana kebebasan ini terus berlangsung pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati. Pada masa dua presiden ini, lembaga-lembaga civil society, termasuk lembaga filantropi, terus menguat dan mampu memberikan tekanan terhadap pemerintah. Salah satunya adalah aspirasi umat Islam agar wakaf yang telah lama menjadi

28Andi Agung Prihatna, “Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia,” dalam Revitalisasi

Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 14.

29

Tentang data lengkap mengenai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, panti asuhan dan lain-lain hingga 2010, lihat http://www.muhammadiyah.or.id/jaringan-muhammadiyah.html (diakses 12 Januri 2011).

30 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial

(Jakarta: Piramedia, 2006), 1-3.

(17)

praktik masyarakat Muslim diatur dalam sebuah undang-undang, sebab sejauh ini wakaf hanya di atur dalam berbagai peraturan yang terpisah-pisah, seperti dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Instruksi Presiden Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Aspirasi ini akhirnya dipenuhi dengan diajukannya RUU tentang Wakaf yang kemudian disahkan menjadi UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Sebenarnya, aspirasi semacam itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab, seperti dikemukakan William R. Liddle, dalam suasana kebebasan seperti itu, ekspresi Islam yang lebih formalistik akan mengemuka, mengingat kaum Muslim memiliki sumber daya politik yang lebih besar, baik dalam bentuk organisasi, media maupun akses terhadap politisi.33 Dengan kata lain, semakin demokratis negara, ia

diduga semakin akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, seperti ditunjukkan dengan dikeluarkannya dua undang-undang yang berkaitan dengan filantropi Islam pada pasca-Orde Baru.

Meskipun demikian, akomodasi aspirasi umat Islam oleh negara dalam bentuk undang-undang ini sama sekali tidak bebas dari kepentingan politis. Sebab, seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, sebuah undang-undang adalah produk politik negara.34 Dengan kata lain, undang-undang tentang zakat dan wakaf yang

lahir pasca-Orde Baru ini memiliki faktor-faktor politis yang mendorong kelahirannya. Di samping itu, kehadiran undang-udang ini juga menunjukkan hubungan antara negara dan umat Islam pasca-Orde Baru, yang diduga sangat berbeda dengan masa sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas terlihat bahwa masalah utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah filantropi Islam dan kaitannya dengan negara, dengan perhatian khusus pada undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang wakaf. Masalah tersebut kemudian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Seberapa jauh negara pasca-Orde Baru terlibat dalam bidang zakat dan wakaf?

2. Bagaimana dampak undang-undang tentang pengelolaan zakat dan undang-undang tentang wakaf terhadap perkembangan filantropi Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan negara dengan agama, khususnya dalam bidang filantropi Islam, sebagaimana diwujudkan dalam undang-undang tentang zakat dan undang-undang tentang wakaf. Analisis ini meliputi faktor-faktor politis dan sosial yang mendorong kelahiran kedua undang-undang ini. Lebih jauh, penelitian ini juga menganalisis dan mengidentifikasi perkembangan lembaga filantropi Islam sebagai dampak dari kehadiran kedua undang-undang ini.

33William R. Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia,” dalam Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Thought, ed. Mark R. Woodward (Arizona: Arizona State University Press, 1996), 323.

(18)

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Signifikansi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, filantropi Islam di Indonesia, terutama zakat dan wakaf, telah menjadi tarik menarik kepentingan antara negara dan masyarakat atau civil society. Dalam sejarahnya, negara kadang-kadang melepaskan diri dari penghimpunan dan pengelolaan filantropi Islam, tetapi adakalanya ingin melibatkan diri ke dalamnya. Ini sekaligus mencerminkan hubungan antara negara dan masalah keislaman atau agama. Dengan kata lain, hubungan filantropi Islam dengan negara terbukti hingga kini belum teratasi secara tuntas dan karenanya penelitian tentangnya sangat signifikan dilakukan. Kedua, secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan fiqh al-siya>sah al-dustu>riyyah

dan fiqh al-siya>sah al-ma>liyah (politik ekonomi) yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi Islam, namun hanya melalui pendekatan fikih. Dengan penelitian ini diharapkan pengajaran disiplin tersebut dapat diperluas melalui pendekatan filantropis. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai studi awal bagi peneliti sendiri, khususnya, dan para peneliti lain, umumnya, untuk studi lebih lanjut. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memperjelas hubungan Islam dan negara di Indonesia.

E. Tinjauan Pustaka

Filantropi sebenarnya merupakan sebuah istilah yang relatif baru di Indonesia jika dibandingkan dengan istilah-istilah zakat, wakaf atau shadaqah dan infak, yang sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Karena itu, kajian filantropi Islam belum banyak mendapat perhatian dari para sarjana. Baru pada 1990-an kajian filantropi Islam mulai bermunculan bersamaan dengan datangnya era reformasi di Indonesia.

Beberapa kajian yang telah dilakukan mengenai filantropi Islam adalah

Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam,35 yang merupakan sebuah kumpulan tulisan. Tulisan-tulisan di dalamnya membicarakan secara umum filantropi Islam dari berbagai sisi, dari sisi tradisi agama-agama, dimensi keadilan sosial, civil society dan profil serta manajemen lembaga-lembaga filantropi Islam di Indonesia. Sebagian tulisan lain memfokuskan pada dimensi historis filantropi Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Azyumardi Azra

dalam “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia”36 dan Amelia Fauzia dalam

“Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.”37

Penelitian lain yang memfokuskan perhatian pada filantropi Islam adalah

Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia.38 Seperti ditunjukkan dalam judulnya, penelitian ini berusaha

memotret lembaga-lembaga filantropi Islam, terutama zakat dan wakaf, berikut cara-cara pengelolaan, peran dan perkembangannya. Lembaga-lembaga pengelola

35 Idris Thaha (ed.), Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta:

Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2003).

36Azyumardi Azra, “Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia,” dalam Zakat dan Peran

Negara, ed. Kuntoro Noor Aflah dan Mohd. Nasir Tanjung (Jakarta: Forum Zakat, 2006), 15-30.

37 Amelia Fauzia, “Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya,”

decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-peran-html (diakses 19 Juni 2009).

38 Chaider S. Bamualim dan Irfan Abu Bakar (eds.), Revitalisasi Filantropi Islam di Indonesia:

(19)

zakat yang dikaji dalam penelitian ini meliputi BAZIS DKI dan Jawa Barat, LAZIS Dompet Dhuafa Republika, BMT Ben Taqwa Grobogan, Gerakan Zakat Muhammadiyah di Kendal, Pos Keadilan Peduli Ummat dan LAZIS Markaz Islami Makassar. Adapun lembaga-lembaga wakaf yang diteliti meliputi Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, Badan Wakaf UII Yogyakarta dan Lembaga Wakaf Pesantren Tebuireng.

Kajian lain tentang filantropi Islam ditemukan dalam Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia.39 Buku ini mengulas beberapa aspek filantropi Islam di Indonesia,

yang meliputi peluang dana filantropi untuk mewujudkan keadilan sosial, tradisi filantropi menurut dua sumber utama Islam, potret lembaga filantropi serta tata kelola filantropi pada masa modern. Adapun kesimpulan yang dicapai adalah bahwa meskipun dana filantropi di Indonesia sangat besar, tetapi yang dapat dihimpun masih sangat kecil. Ini disebabkan, antara lain, oleh tradisi masyarakat yang lebih setia memberikan derma secara langsung kepada mustahik daripada kepada lembaga-lembaga filantropi. Situasi ini diperburuk oleh kelemahan lembaga-lembaga filantropi itu sendiri, seperti dalam masalah mobilisasi, pengelolaan, dan penyaluran dana filantropi.

Dalam Filantropi dalam Masyarakat Islam,40 Ahmad Gaus juga mengkaji

filantropi Islam dengan perhatian khusus pada definisi konseptual filantropi, hubungannya dengan agama-agama dan praktiknya dalam Islam. Buku ini secara umum berisi dasar-dasar penting filantropi Islam secara umum dan praktiknya di Indonesia, dengan tujuan dapat menggugah masyarakat peduli terhadap filantropi Islam. Berbeda dengan Gaus, Amelia Fauzia melakukan kajian terhadap sejarah filantropi Islam di Indonesia dan hubungannya dengan negara, dalam disertasinya yang berjudul Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.41 Dalam disertasi ini, Amelia Fauzia mengkaji perkembangan filantropi

Islam di Indonesia dari masa Islamisasi, penjajahan, pasca-kemerdekaan hingga masa reformasi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa filantropi Islam telah menjadi wilayah perebutan dominasi antara negara dan civil society, meskipun dengan tingkatan yang fluktuatif.

Kajian tentang filantropi juga dilakukan oleh Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin dalam Kedermawanan untuk Keadilan Sosial,42 dengan

perhatian khusus pada potensi filantropi di Indonesia dan pola pemberiannya. Kesimpulan yang dicapai oleh penelitian ini adalah bahwa semangat orang Indonesia, terutama Muslim, untuk berderma sangat besar karena didorong oleh faktor agama. Akan tetapi, mereka lebih cenderung menyalurkannya secara langsung kepada yang berhak menerimanya daripada kepada lembaga filantropi.

39 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim (eds.), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi

tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006).

40 Ahmad Gaus, Filantropi dalam Masyarakat Islam (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,

2008).

41 Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia, Disertasi

PhD (Melbourne: The Asia Institute, The University of Melbourne, 2008).

42 Zaim Saidi, Muhammad Fuad dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial

(20)

Bahwa zakat merupakan bentuk filantropi yang potensial di Indonesia, hal itu ditunjukkan oleh survei yang dilakukan oleh PIRAC tentang zakat.43 Menurut

survei ini, 94% masyarakat yang disurvei merasa sebagai muzakki dengan besaran Rp. 124.000,- per tahun. Akan tetapi, potensi yang demikian besar itu belum terkelola dengan baik, yang bisa dilihat dari tingginya keengganan masyarakat untuk menyalurkan zakat mereka kepada lembaga-lembaga resmi, seperti BAZ atau LAZ. Kebanyakan mereka menyerahkan kepada amil tidak resmi yang ada di sekeliling mereka atau langsung kepada yang berhak menerimanya. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat berlangsung tanpa suatu tata kelola yang memungkinkan zakat dapat menjadi potensi yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan.

Potensi yang demikian besar itu mendorong sebagian orang menilai bahwa zakat dapat menjadi solusi alternatif bagi penyelesaian kemiskinan, sebagaimana tercermin dalam buku Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi Alternatif,44

yang ditulis oleh AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie. Para penulis optimistis bahwa zakat jika dikelola oleh negara dengan baik dapat memberikan kontribusi bagi APBN. Untuk itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang memadai dan political will pemerintah. Pandangan serupa juga dikemukakan M. Djamal Doa dalam Manfaat Zakat Dikelola Negara.45 Ia mengemukakan sejumlah

argumen yang mendukung usulannya agar zakat dikelola oleh negara. Argumen-argumen itu meliputi: distribusi yang lebih teratur, pemerintah lebih mengetahui sasaran dan pemanfaatan zakat, zakat dapat membantu keuangan negara, menghilangkan rasa inferioritas mustahik terhadap muzakki, dan dapat membangun perekonomian rakyat.

Filantropi Islam dan kesejahteraan sosial juga menjadi perhatian buku yang berjudul Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial.46 Buku

ini merupakan kumpulan tulisan dalam bentuk ringkasan dari tesis para penulisnya, dan tidak seluruhnya membicarakan tentang filantropi Islam. Di

antara beberapa tulisan yang terkait dengan filantropi adalah “Pemberdayaan

Kaum Miskin melalui Investasi Sosial: Eksperimentasi Lembaga Pengelola Zakat” oleh Sirajuddin Abbas, “Strategi Fundraising: Kasus Baznas” oleh Ismet Firdaus dan “Manajemen Keluarga Miskin: Kasus Masyarakat Mandiri, Dompet Dhuafa

Republika” oleh Lisma Dyawati Fuaida.

Adapun kajian tentang aspek-aspek filantropi Islam, khususnya zakat dan wakaf, telah dilakukan oleh sejumlah sarjana. Dalam bidang zakat, misalnya, Sarjono meneliti peran negara dalam pengurusan zakat, yang berlangsung selama Orde Baru. Ia berkesimpulan bahwa negara sudah semestinya terlibat dalam pengelolaan zakat, tidak saja karena menjadi amanat UUD 1945, tetapi juga karena zakat bisa memberikan kontribusi penting terhadap kemiskinan dalam masyarakat.47 Berbeda dengan itu, Rofiqurrahman, dalam Filantropi Islam dan

43 Kurniawati (ed.), Kedermawanan Kaum Muslim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat

Indonesia, Hasil Survei di 10 Kota (Jakarta: Pustaka Adina, 2004).

44 AM. Fatwa, M. Jamal Doa dan Aries Muftie, Problem Kemiskinan: Zakat sebagai Solusi

Alternatif (Jakarta: Belantika, 2004).

45 M. Djamal Doa, Manfaat Zakat Dikelola Negara (Jakarta: Nuansa Madani, 2002).

46 Arief Subhan dan Yusro Kilun (eds.), Islam Yang Berpihak: Filantropi Islam dan

Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Dakwah Press, 2007).

47

(21)

Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep Zakat,48 menganalisis fikih zakat modern dan kemungkinan praktiknya di zaman modern. Menurutnya, pengembangan zakat tidak dapat di lakukan semata-mata dari aspek manajemennya, tetapi juga harus dibarengi dengan pengembangan pemikiran fikih yang dinamis sejalan dengan tuntutan perkembangan zakat itu sendiri.

Penelitian tentang zakat secara spesifik dilakukan oleh A.A. Miftah dalam

Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum.49 Masalah utama yang

dikaji dalam buku ini adalah bagaimana zakat dilihat dari perspektif hukum qad}a>’i>

dan diya>ni>, dan apakah UU No. 38 Tahun 1999 dapat dipandang sebagai kategori hukum qad}a>’i> dan diya>ni tersebut. Menurut Miftah, zakat merupakan pranata keagamaan yang berdimensi ibadah, dan karenanya bercorak diya>ni>. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya diperlukan hukum negara, qad}a>’i>. Karena itu, UU tentang Pengelolaan Zakat dapat dipandang sebagai hukum qad}a>’i>, tetapi belum sempurna. Maksudnya, dibandingkan dengan UU tentang Peradilan Agama, misalnya, UU tentang Zakat ini dapat dipandang masih jauh dari rinci dan dapat diterapkan sekaligus. Karena itu, menurutnya, masih diperlukan fikih baru dalam bentuk undang-undang yang lebih terperinci.

Berbeda dengan studi Miftah, Muhammad Fakhri meneliti secara khusus dampak lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 terhadap pengelolaan zakat di BAZ Riau, dalam disertasinya yang berjudul Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau.50

Adapun aspek-aspek yang dianalisis oleh Fakhri meliputi sumber-sumber, cara-cara pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusiannya, di samping kelembagaan zakat di provinsi ini. Semua aspek-aspek itu dianalisis berdasarkan ketentuan yang terkandung dalam undang-undang tentang pengeloaan zakat, termasuk Keputusan Menteri dan Dirjen Bimas Islam.

Sementara itu, Uswatun Hasanah51 meneliti pengelolaan zakat di Jakarta dan

potensinya bagi peningkatan kesejahteraan sosial. Menurut Uswatun, zakat yang dikelola dengan baik, seperti dilakukan BAZIS DKI, menunjukkan dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang, seperti bahan makanan bagi fakir miskin, pemberian beasiswa dan peningkatan infrastruktur keagamaan.

Studi kasus terhadap penggalangan dana filantropi Islam juga dilakukan oleh Ismet Firdaus. Dalam kajiannya yang berjudul Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam,52 Firdaus menganalisis langkah-langkah yang dilakukan

oleh BAZNAS sepanjang 2002-2003 untuk menggalang dana zakat, infak dan shadakah. Ia berkesimpulan bahwa penggalangan dana di BAZNAS tidak bisa

48 Rofiqurrahman, Filantropi Islam dan Transformasi Sosial: Studi tentang Revitalisasi Konsep

Zakat, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008).

49 A.A. Miftah, Zakat: Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sulthan Thaha

Press, 2007). Buku ini semula adalah disertasi yang diajukan ke Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah 2005.

50 Muhammad Fakhri, Pengelolaan Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat: Studi

Kasus Badan Amil Zakat Provinsi Riau, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta, 2008).

51 Uswatun Hasanah, Zakat dan Keadilan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Zakat di BAZ DKI

Jakarta, Tesis Magister (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989).

52

(22)

dilepaskan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, seperti sumber daya manusia, dukungan pemerintah dan media.

Kasuz BAZNAS juga menjadi fokus penelitian Deny Wahyu Tasniawan.53

Menurutnya, zakat yang dikelola secara profesional, akuntabel dan transpran, seperti yang dilakukan lembaga ini, memiliki pengaruh positif terhadap tingkat ketertiban wajib zakat dalam membayar zakatnya. Dengan kata lain, profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor berpengaruh terhadap ketertiban wajib zakat di BAZNAS.

Berbeda dengan itu, Maulana Yusuf menganalisis BAZNAS dari aspek dimensi kebijakan yang dilakukan lembaga ini. Menurut Yusuf, sepanjang 2001-2003, BAZNAS belum dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara optimal, terutama fungsi koordinatif, konsultatif dan informatifnya. Ini disebabkan, antara lain, karena kurang maksimalnya peran para pengurus, di samping karena sumber daya manusia yang masih jauh dari memadai.54

Kajian tentang wakaf juga sudah dilakukan oleh beberapa orang, di antaranya, Deby Nuri Herasanti. Dalam studinya yang berjudul Eksistensi Wakaf menuru Kompilasi Hukum Islam, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004, ia berkesimpulan bahwa suatu peraturan pemerintah menjadi faktor penting bagi pelaksanaan sebuah undang-undang. Ini dibuktikan dengan pelaksanaan wakaf yang masih didasarkan pada PP No. 28 Tahun dan KHI, mengingat PP tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 belum ditetapkan.55 Sementara itu,

penelitian wakaf dalam kaitannya dengan UU No. 41 Tahun 2004 juga dilakukan oleh Farid Hasan Sazali, dengan perhatian khusus pada wakaf temporal (waqf mu’aqqat). Menurutnya, berdasarkan konsep ini, wakaf tidak berarti terputusnya hubungan kemilikan wakif terhadap benda yang diwakafkan, dan pandangan ini banyak dipengaruhi pendapat fuqaha (Syiah) Imamiyyah.56 Penelitian tentang

wakaf juga dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture UIN Jakarta. Penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia.57 Penelitian ini memfokuskan diri pada sejarah perkembangan wakaf di

Indonesia, yang meliputi peraturan-peraturan tentang wakaf yang berlaku, pengelolaan wakaf dan peluangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat. Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Uswatun Hasanah dalam disertasinya yang berjudul Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan.58 Yang

53

Deny Wahyu Tasniawan, Studi Administrasi Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 terhadap Tingkat Ketertiban Wajib Zakat: Studi Kasus Baznas, tesis Magister (Kajian Timur Tengah dan Islam, UI: 2008).

54

Maulana Yusuf, Implementasi Kebijakan Pengelolaan Zakat pada Baznas, Tesis Magister (FISIP, UI: 2005).

55

Deby Nuri Herasanti, Eksistensi Wakaf menurut KHI, PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 41 Tahun 2004, Tesis Magister (FH, UI: 2004).

56

Farid Hasan Sazali, Temporalitas Wakaf dalam Hukum Nasional beserta Syariah Islam Yang Mendasarinya, Tesis Magister (FH, UI: 2006).

57 Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makasary (eds.), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi

tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006).

58 Uswatun Hasanah, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus

(23)

menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah tata kelola wakaf dan kemungkinannya dapat berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat.

Dalam bidang peraturan tentang zakat dan wakaf, hal itu menjadi perhatian

Asep Saepudin Jahar dalam “The Clash of Muslims and the State: Waqf and

Zakat in post-Independence Indonesia.”59 Tulisan ini membahas berbagai

peraturan tentang dua aspek filantropi Islam ini, yang telah diberlakukan sejak masa Orde Baru hingga reformasi. Kedua bidang ini tetap menjadi tarik ulur antara kepentingan pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola zakat dan wakaf, sehingga peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pun masih belum mampu meningkatkan tujuan zakat dan wakaf itu sendiri. Kajian serupa juga dilakukan

oleh Alfitri dalam “The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat

Collectors in Indonesia.”60 Menurut Alfitri, undang-undang ini tidak menjadi

instrumen yang efektif dalam pengelolaan zakat disebabkan tidak adanya kekuatan memaksa dalam undang-undang ini. Hal itu disebabkan oleh (1) sikap sekular pemerintah, yang hendak menjaga jarak dari urusan agama, (2) negara hanya ingin masalah zakat diselesaikan pada tingkat kementerian dan, (3) negara memang tidak siap dengan pengelolaan zakat secara total.

Kajian tentang legislasi undang-undang zakat dan wakaf dilakukan oleh Jazuni dalam Legislasi Hukum Islam di Indonesia61 dan Abdul Halim dalam

disertasinya yang berjudul Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi.62

Kedua studi ini sama-sama mengangkat hampir seluruh peraturan perundang-perundangan yang terkait dengan Islam sejak zaman Orde Baru hingga Era Reformasi, termasuk undang-undang tentang zakat dan wakaf, namun dengan pendekatan yang berbeda. Jika Jazuni menggunakan pendekatan hukum, Abdul Halim menggunakan pendekatan politik hukum. Kesimpulan yang ditarik oleh Jazuni adalah bahwa sebagai agama yang dipeluk dan dianut oleh mayoritas penduduk, hukum Islam berpeluang besar untuk mengisi pembangunan hukum nasional, sedangkan Abdul Halim berkesimpulan bahwa legislasi hukum hanyalah untuk memperkuat komitmen Muslim terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah bahwa penelitian ini memfokuskan diri pada proses legislasi undang-undang tentang pengelolaan zakat dan wakaf saja dan dampaknya bagi perkembangan filantropi Islam. Masalah ini disinggung secara sepintas dalam penelitian Jazuni dan Abdul Halim. Jazuni menyinggung sekilas legislasi undang-undang tentang zakat, sementara Abul Halim menyinggung keduanya secara sepintas di antara seluruh undang-undang yang terkait dengan Islam secara umum.

59 Asep Saepudin Jahar, “The Clash of Muslims and the State: Waqf and Zakat in post -Independence Indonesia,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 13: 3 (2006): 353-95.

60 Alfitri, ““The Law of Zakat Management and Non-Governmental Zakat Collectors in Indonesia,” International Journal of Not-for-Profit Law 8, 2 (January 2006): 55-64.

61 Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Buku ini

semula adalah disertasi yang diajukan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan dipertahankan dalam promosi pada 17 Juli 2004.

62 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik

(24)

F. Metodologi

1. Metode dan Pendekatan

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis),63 yaitu menarik kesimpulan dengan

mengidentifikasi karakteristik pesan atau konsep yang terdapat dalam data. Seperti dikemukakan Earl Babbie,64 analisis isi dapat diterapkan pada berita surat

kabar, majalah, pidato, surat-surat, hukum dan konstitusi, bahkan platform partai politik. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menginventarisasi tema-tema kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang berkaitan dengan zakat dan wakaf.

b. Mengklasifikasi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan latar belakang munculnya kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru yang berkaitan dengan zakat dan wakaf.

c. Menganalisis tulisan-tulisan tersebut agar membentuk suatu pandangan yang utuh.

Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan politik, yuridis, teologis dan historis. Pendekatan politik digunakan untuk menganalisis undang-undang zakat dan wakaf, mengingat undang-undang-undang-undang ini merupakan bagian dari praktik negara dalam menetapkan kebijakan. Lebih jauh, mengingat masalah undang-undang terkait erat dengan hukum, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis. Sementara itu, pendekatan teologis diperlukan karena zakat dan wakaf merupakan wilayah agama, yang tidak dapat dipisahkan dari hukum Islam. Ketentuan-ketentuan tentang zakat dan wakaf umumnya dibicarakan dalam buku-buku fikih, sehingga peraturan-peraturan dasar terkait dengan keduanya yang dikeluarkan oleh negara tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan fikih. Adapun pendekatan historis digunakan, karena penelitian ini juga membicarakan peraturan-peraturan tentang zakat dan wakaf yang berlaku di Indonesia dari sebelum lahirnya kedua undang-undang ini dan dampaknya.

2. Definisi Operasional

Ada beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan dalam penelitian, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Filantropi Islam. Yang dimaksud dengan filantropi di sini adalah seluruh aktivitas derma yang dilakukan orang untuk kebaikan publik atau masyarakat.65 Aktivitas tersebut dilakukan bukan karena loyalitas kepada

negara, seperti pajak, tetapi karena didorong oleh semangat kebaikan bersama, yang tidak dibiayai pemerintah. Misalnya, mendirikan sekolah atau rumah sakit memang menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat dapat mendirikannya tanpa dana dari pemerintah melalui dana yang mereka

63 Alan D. Monroe, Essentials of Political Research (Oxford: Westview Press, 2000), 58; Bruce

L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences (Boston-London: Allyn and Bacon, 1995), 175; Earl Babbie, The Practice of Social Research (Westford: Wadsworth Publishing Company, 1998), 309; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C. Straits, Approaches to Social Research (New York-Oxford: Oxford University Press, 1999), 384.

64 Earl Babbie, The Practice of Social Research, 308; Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C.

Straits, Approaches to Social Research, 384.

65 Robert L. Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good, dalam

(25)

himpun secara sukarela. Dalam konteks Islam, filantropi ini diwujudkan dalam bentuk zakat, infak/shadaqah dan wakaf. Zakat merupakan kewajiban bagi Muslim, namun tidak dibayarkan kepada negara. Kewajiban itu dilakukan karena ketaatan kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu. Adapun infak/shadaqah dan wakaf bukanlah kewajiban, sehingga keduanya dapat digolongkan ke dalam filantropi. Jadi yang dimaksud dengan filantropi Islam dalam penelitian ini adalah zakat, infak/shadaqah dan wakaf, yang pembayarannya dilakukan bukan kepada negara, tetapi kepada Allah yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu.

Lebih jauh, ketiga bidang ini disebut filantropi karena tujuan akhirnya pada dasarnya adalah penghapusan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian, ketiga bidang tersebut bukan sekadar karitas, pemberian sesaat dan konsumtif, tetapi memiliki tujuan jangka panjang.

b. Kebijakan. Yaitu, alokasi nilai-nilai bagi masyarakat berdasarkan kekuasaan. Ia meliputi hukum yang disahkan oleh badan legislatif, pola implementasinya oleh badan eksekutif, dan penafsiran serta pengundangannya oleh badan kehakiman.66 Singkatnya, kebijakan adalah interaksi antara kekuasaan dan

kepentingan, yang diwujudkan antara lain dalam bentuk undang-undang.67 Yang dimaksud kebijakan dalam penelitian ini secara khusus adalah Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang tentang Wakaf, karena keduanya ditetapkan oleh badan legislatif, diimpelementasikan oleh pemerintah dan diundangkan oleh badan kehakiman. Lebih dari itu, kedua undang-undang ini adalah interaksi antara kekuasaan dan kepentingan bagi pemerintah maupun masyarakat.

c. Pasca-Orde Baru. Maksudnya, pemerintahan yang berkuasa setelah kepemimpinan Soeharto. Ini meliputi kepresidenan Habibie, yang dilanjutkan oleh kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati serta Susilo Bambang Yudhoyono. Pembahasan dan pengesahan undang-undang tentang zakat berlangsung pada masa Habibie, sedangkan undang-undang tentang wakaf dibahas pada masa Megawati, yang pengesahannya dilakukan pada masa SBY.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Data primer terdiri dari:

a. RUU tentang Pengelolaan Zakat;

b. Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat;68

c. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;69

66 Abdul Rashid Moten and El-Fatih A. Abdel Salam, Glossary of Political Science Terms

(Singapore: Thompson, 2005), 126.

67 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), cet.

ke-14, 49.

68 Sekretariat Jenderal DPR-RI, Proses Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta:

Setjen DPR-RI, 1999). Buku ini berisi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Pandangan Fraksi-fraksi di DPR, Risalah-risalah Rapat Panja DPR, dan rekaman tentang pembahasan selama sidang-sidang.

69 Direktorat Pemberdayaan Zakat, Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

(26)

d. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003;70 e. Keputusan Dirjen No. D/291 Tahun 2000;71

f. RUU tentang Wakaf;

g. Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf;72

h. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;73

i. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;74

j. Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang;75

k. Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf Uang.76

l. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BWI.77

Adapun data sekunder meliputi tulisan-tulisan dan pandangan para tokoh yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Ini meliputi buku, artikel dalam jurnal, bab-bab dalam buku, laporan surat kabar, majalah, laporan-laporan dari lembaga-lembaga terkait dan wawancara dengan sejumlah tokoh.

4. Analisis Data

Setelah terkumpul, data akan diseleksi dan direduksi untuk selanjutnya diklasifikasi dalam beberapa kategori, seperti data tentang kebijakan negara dalam masalah zakat dan wakaf dan dampaknya terhadap perkembangan filantropi Islam. Kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut melalui metode analisis isi dan pendekatan politis, teologis, historis dan yuridis. Terakhir, penarikan kesimpulan dari yang khusus kepada yang umum.

G. Sistematika Penulisan

Disertasi ini disusun menjadi enam bab, dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab kedua, Islam, Negara dan Filantropi, yang meliputi pembahasan tentang aspek-aspek filantropi Islam berikut perkembangan historisnya. Di samping itu, pembahasan akan dilanjutkan dengan filantropi dan hubungannya dengan konsep keadilan sosial. Akhirnya, bab ini ditutup dengan pembahasan tentang hubungan negara dan filantropi Islam dengan melihat model-model hubungan tersebut di negara-negara Muslim.

70 Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003. 71 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. D/291 Tahun 2000.

72 Sekretariat Jenderal RI, Proses Pembahasan RUU tentang Wakaf (Jakarta: Setjen

DPR-RI, 2004). Buku ini berisi RUU tentang Wakaf, Pandangan Fraksi-fraksi di DPR, Risalah-risalah Rapat Panja DPR, dan rekaman pembahasan selama sidang-sidang.

73 Dirjen Bimas Islam, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen

Bimas Islam, 2004).

74 Dirjen Bimas Islam, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.

41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004).

75 Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang. 76 Keputusan Dirjen Bimas Islam No. Dj.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan

Spesifikasi Formulir Wakaf Uang.

77

(27)

Bab ketiga, Kebijakan Negara tentang Zakat, yang akan menganalisis Undang-undang Zakat yang lahir pada masa pasca-Orde Baru. Pembahasan dimulai dengan pelaksanaan pengaturan zakat dalam sejarah Indonesia, sebagai latar belakang lahirnya undang-undang tersebut. Selanjutnya, pembahasan akan diarahkan pada proses politik undang-undang ini, sebagaimana tercermin dalam pembahasannya di DPR. Pembahasan ini diakhiri dengan dampak politis undang-undang ini bagi pelaksanaan zakat.

Bab keempat, Kebijakan Negara tentang Wakaf, yang berisi pembahasan tentang Undang-undang tentang Wakaf pada masa pasca-Orde Baru. Pertama-tama analisis akan difokuskan pada pengaturan pelaksanaan wakaf dalam sejarah Indonesia, yang dilanjutkan dengan analisis atas latar belakang politis munculnya undang-undang ini, di samping konfigurasi politik mengenai undang-undang tersebut. Terakhir, analisis akan diarahkan pada dampak politis setelah disahkannya undang-undang ini.

Bab kelima, Perkembangan Filantropi Islam, yang membahas pertumbuhan lembaga-lembaga zakat, wakaf dan filantropi, pertumbuhan kuantitatif perkembangan lembaga-lembaga filantropi, dan respons civil society Islam terhadap rencana revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan dampaknya terhadap filantropi Islam.

(28)

BAB II

ISLAM, NEGARA DAN FILANTROPI

Seperti disinggung sebelumnya, Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap filantropi. Untuk mempertegas hal itu, bab ini akan menguraikan lebih lanjut makna filantropi dan aspek-aspek Islam yang dapat digolongkan ke dalam filantropi dan kaitannya dengan negara. Mengingat banyaknya aspek-aspek filantropi dalam Islam, yang akan diuraikan dalam bab ini hanyalah shadaqah, zakat dan wakaf. Selanjutnya, pembahasan akan dilakukan dengan mengaitkan filantropi Islam dan keadilan social. Bab ini akan diakhiri dengan uraian tentang hubungan filantropi Islam dan negara, dengan perhatian khusus pada model hubungan di empat negara Muslim. Dapat ditegaskan di sini bahwa keadilan sosial memiliki dimensi yang sangat luas, dan karenanya sulit bagi filantropi Islam untuk mewujudkannya, kecuali melapangkan jalan bagi realisasi tujuan tersebut. Lebih jauh, keterlibatan negara terhadap filantropi Islam di negara-negara Muslim tidaklah seragam, tetapi memiliki pola hubungan yang berbeda-beda.

A. Filantropi dalam Tradisi Islam

Kata ‚filantropi‛ (Inggris: philanthropy) merupakan istilah yang tidak dikenal pada masa awal Islam, meskipun belakangan ini sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disebut al-‘at}a>’ al

-ijtima>‘i> (pemberian sosial), dan adakalanya dinamakan al-taka>ful al-insa>ni> (solidaritas kemanusiaan) atau ‘at}a>’ khayri> (pemberian untuk kebaikan). Namun, istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau s}adaqah (sedekah) juga digunakan.1 Dua yang terakhir ini tentu sudah dikenal dalam Islam awal, tetapi istilah filantropi Islam tampaknya merupakan pengadopsian pada zaman modern.

Berasal dari kata Yunani philanthrōpia (‚philo‛ [cinta] dan ‚anthrophos‛

[manusia]), filantropi secara umum berarti cinta terhadap, atau sesama, manusia.2 Mengingat luasnya makna cinta yang terkandung dalam istilah tersebut, filantropi

sangat dekat maknanya dengan ‚charity‛ (Latin: caritas) yang juga berarti ‚cinta tak bersyarat‛ (unconditioned love). Meskipun demikian, antara keduanya dapat dibedakan, di mana yang kedua cenderung mengacu pada pemberian jangka pendek, sementara yang pertama biasanya diterapkan pada upaya untuk menyelidiki sebab utama suatu persoalan.3

1 Barbara Ibrahim, From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy (Kairo: American University in Cairo Press, 2008), 11.

2 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:3 (2010), 386. Lihat juga Dictionary dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009).

(29)

Konsekuensi dari makna di atas, definisi yang diberikan tentang filantropi sangat beragam dari satu penulis ke penulis lainnya. Satu definisi menyebutkan

bahwa filantropi berarti ‚tindakan sukarela personal yang didorong kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan umum‛ (a voluntary enterprise of private persons, moved by an inclination to promote public good)4 atau

‚perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum.‛5 Definisi lain menyatakan

bahwa filantropi adalah sumbangan dalam bentuk uang, barang, jasa, waktu atau tenaga untuk mendukung tujuan yang bermanfaat secara sosial, memiliki sasaran jelas dan tanpa balasan material atau imaterial bagi pemberinya.6 Terlepas dari perbedaan tersebut, ada tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi, yakni cinta, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia, di mana orang yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung.7

Menurut Dawam Rahardjo, praktik filantropi sesungguhnya telah ada sebelum Islam mengingat wacana keadilan sosial juga telah berkembang.8 Sementara itu, Warren Weaver, direktur Rockefeller Foundation (Amerika Serikat), menegaskan bahwa filantropi sebenarnya bukanlah tradisi yang baru dikenal pada masa modern, sebab kepedulian seseorang terhadap sesama manusia juga ditemukan pada masa kuno.9 Plato, misalnya, konon telah memberikan tanah produktif miliknya sebagai wakaf bagi akademi yang didirikannya. Dalam Kristen, tradisi filantropi juga sangat ditekankan kepada para pengikut awal agama ini. Di kalangan penganut Zoroastrianisme, filantropi pun menjadi salah satu komitmen penting mereka dalam kehidupan. Praktik ini juga terbukti tidak hanya ditemukan dalam tradisi-tradisi keagamaan di Timur Tengah (Semitic), tetapi juga di wilayah lain, seperti Hindu dan Budha di India, agama asli Amerika dan Afrika, agama-agama di Cina dan Jepang, dan lain sebagainya.10

Adapun tujuan filantropi pada masa sebelum Islam tidaklah tunggal. Pada masa Romawi pra-Kristen, filantropi bertujuan untuk mempertegas status sosial sang penderma, di samping sebagai bentuk komitmennya terhadap tugas kemanusiaan. Sementara itu, dalam Kristen, tujuan filantropi memiliki dimensi

yang sangat religius, yaitu agar sang penderma ‚mendapatkan keselamatan di

4Lawrence J. Friedman dan Mark D. McGarvie, Charity, Philanthropy, and Civility in

American History (New York, NY: Cambridge University Press, 2003), 37; lihat juga, US History Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009).

5 Robert L. Payton and Michael P. Moody, Understanding Philanthropy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 2008), 6; lihat juga Warren F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L. Queen II, ‚Pendahuluan,‛ dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, ed. Warren F. Ilchman et.al., terj. CSRC UIN Jakarta (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), x.

6 Helmut K. Anheier dan Regina A. List, A Dictionary of Civil Society, Philanthropy and the Non-Profit Sector, 196; lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy (diakses 20/06/2009).

7 Marty Sulek, ‚On the Classical Meaning of Philanthro>pia,‛ 395; lihat juga US History Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009); juga US Foreign Policy Encyclopedia dalam http://www.answers.com/topic/philanthropy (diakses 20/06/2009).

8 M. Dawam Rahardjo, ‚Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Mengurai Kebingungan

Epistemologis,‛ dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju, 2003), xxxiv.

(30)

masa datang, ampunan dari dosa-dosa dan kehidupan kekal di akhirat.‛11 Semangat serupa di balik filantropi juga ditemukan di kalangan para penganut Zoroastrianisme yang meyakini bahwa jiwa sang penderma akan selamat di akhirat kelak.

Referensi

Dokumen terkait

Zakat Center Cirebon merupakan lembaga pengelola wakaf tunai yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan wakaf tunai mengenai pengumpulan dan pendayagunaan wakaf

Dalam pembentukan Organisasi Pengelolaan Zakat Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pembentukan BAZNAS di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota

Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah institusi pengelolaan zakat yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan

Kedudukan zakat profesi dalam perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah wajib ain berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur’an

Badan Amil Zakat yang selanjutnya disebut BAZ adalah organisasi pengelola zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten

Sebagai lembaga pengelola yang berkecimpung di sektor ekoomi yang dapat dipercaya oleh pemerintah dalam mengelola dana zakat yang dititipkan masyarakat, manajemen BAZ atau LAZ

Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen

23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pada Pasal 8 “Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan,