• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEBIJAKAN NEGARA TENTANG ZAKAT

C. Konfigurasi Politik Legislasi Zakat

Seperti dikemukakan oleh Mahfud MD, konfigurasi politik dapat diartikan sebagai konstelasi kekuatan politik, yang bisa jadi bersifat demokratis atau otoriter.83 Disebut demokratis jika kekuatan atau sistem politik yang ada

memberikan kepada masyarakat peluang untuk turut serta dalam menentukan kebijakan umum atau undang-undang. Sebaliknya, jika kekuatan atau sistem politik yang ada tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan atau undang-undang, ia disebut otoriter. Dengan kata lain, konfigurasi politik adalah situasi politik yang ada dalam masyarakat yang memengaruhi produk hukum yang dihasilkannya.

Sementara itu, legislasi sering diartikan dengan “pembuatan undang-undang” (legislation, law-making atau statute-making). Rousseau, misalnya, mendefinisikan legislasi sebagai “an expression of the general will, such that a free people is only bound by the laws which they have made for themselves,”84

sementara dalam Black’s Law Dictionary, legislasi didefinisikan dengan “the process of making or enacting a positive law in written form, according to some type of formal procedure, by branch of government constituted fo perform this

process.”85 Pengertian yang lebih luas tentang legislasi diberikan dalam

Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan,

82 Cf. A.A. Miftah, Zakat Antara Tuntutan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), 115.

83 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2001), 24-25.

84 Dikutip dalam John Bell, Sophie Boyron dan Simon Whittaker, Principles of French Law (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14.

yaitu “proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.”86Melihat luasnya pengertian

legislasi, dalam konteks penelitian ini, legislasi undang-undang tentang pengelolaan zakat dibatasi pada proses perumusan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan serta pelaksanaannya oleh lembaga negara yang bertugas menjalankannya.

Seperti diketahui, pada masa Orde Baru sejumlah hukum Islam dilegislasi, yang pembahasannya kadang-kadang dilakukan bersama DPR, seperti Undang-undang Perkawinan 1974, peraturan wakaf, peradilan agama dan lain sebagainya. Sementara itu, sejumlah undang-undang lain ditetapkan tidak melalui pembahasan dengan DPR, tetapi melalui instruksi presiden, seperti penetapan Kompilasi Hukum Islam dan Pendirian Bank Muamalat.

Adapun kepentingan pemerintah terhadap legislasi hukum Islam sangat beragam. Pertama, penyatuan hukum yang didasarkan pada semangat nasionalisme dan wawasan nusantara. Kedua, rekayasa sosial, sebagaimana tercermin dalam undang-undang perkawinan 1974. Ketiga, untuk menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan Islam telah berubah, dari marginalisasi ke akomodasi. Keempat, untuk memeroleh legitimasi dari masyarakat atas pemerintah.87

Berbeda dengan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang lahir sebagai usul inisiatif DPR dan disahkan pada 15 April 1999, Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat ini merupakan inisiatif pemerintah yang diajukan kepada DPR pada 24 Juni 1999, melalui Surat Presiden Nomor R.31/PU/VI/1999. Terdiri dari 10 Bab dan 32 Pasal, konsideran yang dijadikan landasan pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Pengelolaan Zakat adalah Pasal 5 (ayat 1), Pasal 20 (ayat 1), Pasal 27 dan Pasal 29 serta Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.88

Seperti dikemukakan oleh Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Agama (A. Malik Fadjar saat itu) di hadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 26 Juli 1999, tujuan diusulkannya RUU ini untuk disahkan adalah agar pemerintah dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat dalam melaksanakan ibadah zakat sesuai dengan tuntunan agama. Lebih dari itu, melalui UU ini diharapkan fungsi dan peran zakat dapat ditingkatkan sehingga berguna bagi pengentasan kemiskinan di satu sisi, dan peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi di sisi lain.89

Akan tetapi, seperti diakui oleh Pemerintah, selama ini pengelolaan zakat tidak dikelola dengan baik, padahal pranata ini memiliki potensi yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat. Sejak diterbitkannya SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tentang Pembinaan BAZIS dan Instruksi Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1991 serta Instruksi bagi

86 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 (1).

87Arskal Salim dan Azyumardi Azra, “Introduction: The State and Sharia in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” 7-8.

88Lihat “RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 6, bagian konsideran “mengingat”.

89 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,” 26 Juli 1999, 31; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 411.

pelaksanaannya, pengelolaan zakat memang mengalami peningkatan. Pada 1992, misalnya, dana ZIS yang terkumpul secara nasional sebesar Rp. 10.896.196.000,- dan meningkat menjadi Rp. 216.858.893.000,- pada 1997. Sungguhpun begitu, jumlah ini, menurut pemerintah, masih sangat mungkin ditingkatkan lebih jauh bila diukur dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, yang mencapai lebih dari seratus juta.90

Hal ini bisa dibandingkan dengan pengelolaan zakat di Singapura dan Malaysia. Ditegaskan oleh Menteri Agama bahwa jumlah penduduk Muslim di Singapura hanya sekitar 450.000 jiwa (sekitar 15% dari seluruh jumlah penduduk), tetapi ZIS yang mereka keluarkan mencapai Rp. 71.500.000.000,- pada 1997. Jumlah sebesar itu bisa dicapai, di antaranya, karena adanya undang-undang yang mengatur zakat dan wakaf, sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 27 Tahun 1966 tentang Administrasi Orang-orang Islam, Bagian IV, Pasal 57-73.91

Sementara itu di Malaysia, kata Menteri Agama, jumlah dana yang terkumpul dari ZIS mencapai angka yang cukup signifikan karena pengelolaan zakat di sana dilakukan secara profesional dan sistematis. Di Wilayah Persekutuan (Negara Bagian Kuala Lumpur) saja, dana ZIS yang terkumpul dalam setahun (1997) sebesar Rp. 105.600.000.000,; (RM. 52.800.000,-) dengan jumlah penduduk Muslim hanya sekitar 650.000 jiwa. Yang lebih mengejutkan 97% dari jumlah itu diperoleh dari zakat mal, sementara 3% lainnya berasal dari zakat fitrah.92 Lebih

jauh dikatakan bahwa setelah negara bagian ini membentuk Pusat Pungutan Zakat (PPZ), yang dikelola secara profesional, dana yang terkumpul semakin meningkat. Jika sebelum dibentuk, rata-rata perolehan dana zakat, infak dan shadaqah hanya sebesar RM 5.000.000,-, melalui lembaga ini dana itu meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada 1991, misalnya, PPZ berhasil mengumpulkan dana sebesar RM 13.500.000,- dan meningkat menjadi RM 21.200.000,- setahun kemudian. Enam tahun berikutnya, dana yang terkumpul menjadi RM. 52.800.000,-.93 Dengan demikian, pemerintah berasumsi bahwa jika zakat dikelola dengan baik maka jumlah nilai zakat diduga akan meningkat lebih besar dan karenanya diperlukan undang-undang.

Pemerintah mengakui bahwa selama ini upaya untuk mengatur zakat melalui undang-undang telah lama diupayakan. Menteri Agama, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal. Akan tetapi, karena ada pihak-pihak tertentu “yang kurang berkenan, kedua peraturan itu akhirnya pelaksanaannya ditangguhkan melalui Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969. Upaya lain juga dilakukan, di antaranya, dengan mempersiapkan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Zakat. Akan tetapi, usaha ini juga mengalami nasib serupa, karena tidak sampai

90 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,” 26 Juli 1999, 27.

91 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,” 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12.

92 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,” 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12.

93 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 26 Juli 1999, 28; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 411-12.

dibicarakan bersama DPR. Yang muncul kemudian adalah SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang telah disebutkan.94

Sebulan setelah keterangan pemerintah, fraksi-fraksi di DPR, yang meliputi Fraksi ABRI (F-ABRI), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat dalam Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada 26 Agustus 1999. Dalam pemandangan umumnya, Fraksi ABRI menilai bahwa RUU ini sangat relevan dengan situasi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, di mana jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Dengan mendasarkan pada Pasal 34 UUD 1945, yang

menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara,”

F-ABRI menilai pengelolaan zakat yang baik dapat menjadi salah satu alternatif bagi krisis ekonomi dan kemiskinan. Fraksi ini juga memperkuat argumennya dengan sejumlah ayat Al-Quran yang menegaskan tujuan zakat untuk mengurangi kesenjangan sekaligus sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Karena itu, F-ABRI menilai keselarasan tujuan antara yang dicita-citakan oleh negara dan yang dianjurkan oleh kitab suci umat Islam ini, sehingga fraksi ini menyambut baik RUU tersebut dan bersedia untuk membahasnya.95 Optimism fraksi-fraksi ini

memang sejalan dengan fungsi zakat, yang antara lain, untuk kesejahteraan sosial.96

Meskipun demikian, F-ABRI juga memberikan catatan bahwa jika kemudian RUU ini disahkan menjadi undang-undang, ia tidak boleh memiliki unsur paksaan, tetapi sekadar sebagai dorongan terhadap umat agar melaksanakan kewajiban zakat. F-ABRI menyarankan lebih jauh agar judul RUU diubah menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, mengingat dalam sebagian pasalnya dikemukakan bahwa lembaga yang akan dibentuk oleh undang-undang ini juga menerima infak dan shadaqah.97 Tampaknya, fraksi ini sejak awal sudah

mewanti-wanti agar undang-undang zakat tidak melibatkan negara dalam pengumpulannya melalui kekuatan. Seperti diisyaratkan oleh Sutarmadi, memang sejak awal sudah ada kompromi pada saat penyusunan RUU agar negara tidak memaksa warganya untuk membayar zakat.98 Ini sangat berbeda dengan beberapa

negara yang memang menerapkan hukum Islam, seperti Libya dan Saudi Arabia, serta Mesir.99

Sementara itu, dalam pemandangannya, F-Karya Pembangunan (F-KP) memandang signifikansi ekonomis dan sosial zakat bagi pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas umat Islam. Oleh karena itu, setelah RUU ini disahkan menjadi undang-undang, pengelolaan zakat harus dilaksanakan secara terencana,

94 “Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna DPR-RI mengenai RUU tentang

Pengelolaan Zakat,” 26 Juli 1999, 29-30.

95“Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 26 Agustus 1999,

38-39.

96

Bandingkan, misalnya, dengan Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IDB-Institute of Research and Training, 2004), 63.

97 “Pemandangan Umum Fraksi ABRI atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 41-42;

bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415-16.

98

Ahmad Sutarmadi, “Jangan Tutup Gerak LAZ, Tapi Atur dan Awasi Mereka,” Wawancara

dalam Infoz, 4: 6 (2010), 25-27

99

Lihat, misalnya, ‘Uthma>n H{usayn ‘Abd Alla>h, al-Zaka>h: al-D{ama>n al-Ijtima>‘i al-Isla>mi (Kairo: Da>r al-Wafa>’, 1989), 203, 206 dan 207.

komunikatif dan terkoordinasi dengan baik. Seperti F-ABRI, F-KP mengusulkan agar judul RUU ini diubah menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah, kata pengelola diganti dengan kata amil. F-KP juga mengusulkan agar yang mengangkat Badan Amil Zakat di tingkat nasional bukan sekadar Menteri Agama, tetapi Presiden dan memberikan sanksi yang lebih berat bagi pengelola yang menyimpang dari Rp. 30.000.000,- seperti yang diusulkan pmerintah menjadi Rp. 300.000.000,-.100

Seperti F-ABRI, F-PP melihat krisis ekonomi membuat RUU tentang Pengelolaan Zakat ini menjadi signifikan, mengingat jika dikelola dengan baik institusi keagamaan ini tidak saja dapat mengurangi kemiskinan, tetapi juga dapat menjadi solusi alternatif sebagai sumber dana/kas negara.101 Pandangan seperti ini

memang sejalan dengan tradisi fikih, yang menyebut zakat sebagai sumber sekunder negara.102 Akan tetapi, zakatdalam pandangan F-PPjuga dapat

menjadi beban tambahan di saat krisis sebab Muslim harus membayar dua kewajiban sekaligus, yakni pajak dan zakat itu sendiri. Oleh sebab itu, RUU ini harus memberikan jaminan bahwa pembayar zakat memeroleh keringanan dalam pembayaran pajak.103 Partai, yang setelah turunnya Soeharto kembali berasas

Islam dan berlambang Ka‘bah, ini menilai bahwa ada kesan di kalangan sebagian masyarakat bahwa negara terlalu mencampuri urusan ibadah warga, sehingga diperlukan sosialisasi yang luas untuk menyanggah dugaan itu.104

Adapun pemandangan umum F-PDI didasarkan pada fungsi dan daya guna zakat yang prioritasnya adalah untuk kesejahteraan sosial. Satu-satunya catatan yang diberikan oleh fraksi ini adalah persoalan sanksi yang akan diterapkan pada pengelola yang menyalahgunakan dana zakat yang, menurut F-PDI, harus didasarkan pada tingkat kesalahan pengelola.105

Merespons pemandangan yang disampaikan oleh fraksi-fraksi, pemerintah justru menilai bahwa para anggota DPR begitu antusias terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat. Bahkan hingga batas tertentu usulan-usulan fraksi-fraksi justru mempertajam usulan pemerintah. Sebagai misal, pemerintah menyetujui perubahan judul RUU ini menjadi RUU tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah. Akan tetapi, hal itu bergantung pada persetujuan seluruh fraksi di DPR. Berkaitan dengan usulan agar BAZ dibentuk dan diangkat oleh pemerinah, dalam hal ini Presiden dan bukan Menteri Agama, pemerintah menyetujui usulan tersebut. Lebih jauh, pemerintah juga menyetujui usulan agar sanksi pelanggar

100“Pemandangan Umum Fraksi Karya Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,”

48-50.

101 “Pemandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 55-56.

102

Lihat, misalnya, Sabahuddin Ahmad,Menimbang Ekonomi Islam, terj. Widyawati (Bandung: Nuansa, 2007).

103

Pengurangan pembayaran wajib pajak setelah pembayaran wajib zakat seperti ini memang lazim diperlakukan di beberapa negara, seperti di Malaysia. Pengurangan ini hanya berlaku bagi individu dan tidak bagi perusahaan. Lihat Habib Ahmed, Role of Zakat and Awqaf in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 77.

104“Pandangan Umum Fraksi Persatuan Pembangunan atas RUU tentang Pengelolaan Zakat,”

61.

105“Pemandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia atas RUU tentang Pengelolaan

atau yang menyalahgunakan pengelolaan zakat ditingkatkan, dari denda sebesar Rp. 30.000.000,; menjadi Rp. 300.000.000.106

Pembahasan tentang RUU ini kemudian secara lebih terperinci dilakukan dalam Pembicaraan tingkat III yang berlangsung dalam Rapat Kerja sebanyak 10 kali. Dalam rapat-rapat itu, 119 buah persoalan yang disebut Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diangkat dan diperdebatkan, 91 di antaranya berkaitan dengan batang tubuh RUU, sementara 2 lainnya berhubungan dengan penjelasan. Di antara masalah pokok yang penting diangkat di sini adalah sebagai berikut. 1. Judul RUU

Persoalan judul sebenarnya telah muncul di saat F-KP dan F-ABRI menyampaikan pemandangan umum atas RUU ini dan kembali mengemuka dalam Rapat Kerja.107 Argumentasi yang dikemukakan oleh F-KP adalah bahwasesuai

dengan Pasal 12 ayat (3) RUU—BAZ juga menerima infak dan shadaqah. Dengan kata lain, bagi fraksi ini, ternyata undang-undang ini tidak hanya berkaitan dengan zakat, tetapi juga menyangkut bentuk kedermawanan lain, sehingga lebih tepat kalau judul RUU disesuaikan dengan cakupannya, dan karenanya menjadi Rencana Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, Infak, Shadaqah. F-ABRI menambahkan, mengingat baik zakat, infak maupun shadaqah ditangani oleh satu lembaga atau amil, maka ketiganya tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, ketiganya harus disebutkan dalam judul RUU ini.108 Seperti disebutkan

sebelumnya, meskipun ketiganya masuk dalam kategori shadaqah, namun pembahasan fikih umumnya membedakan satu sama lain. Akan tetapi, dalam pengelolaannya bisa masuk ke dalam satu lembaga seperti Baitul Mal.109

Menanggapi usulan itu, F-PDI menilai bahwa usulan itu sesungguhnya kurang signifikan karena dua hal. Pertama, dari sisi waktu, jika judul yang diusulkan pemerintah itu diubah, maka banyak pasal yang harus mengikuti penyesuaian. Ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan bisa jadi mengakibatkan mundurnya pengesahan undang-undang ini. Kedua, ada perbedaan antara zakat, infak dan shadaqah. Jika yang pertama wajib, dua lainnya hanya sunnah. Lebih jauh, dua jenis kedermawanan terakhir ini tidak dapat dipastikan waktu maupun jumlahnya. Kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak ada.110 Sementara itu, F-PP mengemukakan argumen yang agak berbeda dengan menganalogikan RUU ini dengan Undang-undang Pengelolaan Haji. Meskipun judul undang-undang tentang haji, tetapi di dalamnya juga menyangkut umrah. Namun, yang terakhir disebutkan ini tidak dimasukkan ke dalam judul undang-undang tersebut. Lebih jauh, masalah sedikitnya waktu juga menjadi pertimbangan fraksi ini. Baginya, yang penting undang-undang ini—dengan keterbasan waktu itu—dapat disahkan dahulu, persoalan diperlukan perbaikan, hal

106 “Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 31 Agustus 1999, 75-79.

107

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Disertasi Doktor (SPs UIN Jakarta: 2008), 387.

108“Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 1 September 1999,

176-179; bandingkan Jazuni, Legislasi Hukum Islam, 415.

109

Lihat N.J. Coulson, “Bayt al-Ma>l,” dalam The Encyclopedia of Islam, New Edition (Leiden: Brill, 1986), 1: 1142.

110“Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 1 September 1999,

itu dapat dilakukan pada masa mendatang. Lebih-lebih, aspirasi terhadap adanya undang-undang zakat ini sudah dirasakan sejak 50 tahun lalu.111 Dalam

undang-undang tentang zakat di negara-negara Muslim, memang tidak lazim disebutkan undang-undang tentang pengelolaan zakat, infak dan shadaqah sekaligus, meskipun undang-undang itu meliputi dua yang terakhir ini. Di Pakistan, misalnya, undang-undang tentang zakat hanya diberi judul “Zakat and ‘Ushr

Ordinance of 1981.”112

Akhirnya, rapat tidak dapat mengambil keputusan tentang perubahan judul ini, tetapi diserahkan kepada Panja atas usulan pemerintah. Dalam Rapat Panja yang diadakan pada 3 September 1999, persoalan ini kembali menghangat.

F-ABRI bersikukuh agar judul ini diubah menjadi “RUU tentang Pengelolaan Zakat,

Infak dan Shadaqah,” dengan alasan karena terbukti undang-undang ini juga

membicarakan infak dan shadaqah dan pengelolaannya juga satu. Usulan serupa dikemukakan F-KP dengan argumen yang lebih panjang. Fraksi ini mendasarkan perubahan ini pertama-tama atas hadis yang menegaskan bahwa “memberi itu lebih mulia dari yang diberi” (al-yadd al-‘ulya> khayr min al-yadd al-sufla>). Hadis ini mengisyaratkan bahwa pemberian itu bisa meliputi ketiga jenis filantropi tersebut. Lebih jauh, baik sasaran zakat maupun infak dan shadaqah adalah delapan golongan penerima (al-as}na>f al-thama>niyah), sehingga judul RUU ini harus meliputi ketiganya. Alasan lainnya adalah bahwa zakat, infak dan shadaqah itu sendiri memiliki pengertian yang saling dapat dipertukarkan, dan ini sudah disepakati oleh para ulama. Kemudian, dalam masyarakat, sudah umum dikenal istilah BAZIS, yang juga menyertakan infak dan shadaqah. Kalau judul yang diangkat hanya tentang zakat, hal ini akan menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat. Sebaliknya, kalau judul undang-undang ini berjudul UU tentang Pengelolaan ZIS, hal itu sudah tidak asing lagi bagi mereka. Lebih dari itu, inti dari undang-undang ini adalah menyejahterakan masyarakat, sebagaimana tujuan zakat itu sendiri. Mengingat zakat saja tidak mungkin mampu mencapai tujuan itu, infak dan shadaqah harus menyertainya, dan karenanya dua yang terakhir ini harus dimasukkan dalam judul undang-undang ini.113

Berbeda dengan dua fraksi ini, F-PDI tidak memandang signifikan penambahan judul RUU ini. Dalam pandangan fraksi banteng ini, jika judulnya diubah, perubahan juga mesti dilakukan tidak hanya dalam masalah konsideran, tetapi juga dalam pasal-pasal dan lain sebagainya. Ini dikhawatirkan akan memperlambat penyelesaian undang-undang ini, sementara masa jabatan para wakil rakyat sebentar lagi segera berakhir. Lebih jauh, menjadi persoalan tersendiri, bagaimana menggabungkan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang hanya sunnah. Karena itu, F-PDI menghendaki agar judul undang-undang ini tetap

111“Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 1 September 1999,

180-181.

112

Habib Ahmed, Role of Zaka>h and Awqa>f in Poverty Alleviation (Jeddah: IRTI-IDB, 2004), 92.

113 “Risalah Rapat Panitia Kerja ke-1 Pembicaraan Tingkat III Pembahasan RUU tentang Pengelolaan Zakat,” 3 September 1999, 456-457. Seperti disinggung sebelumnya, perbedaan antara infak dan sadaqah sangat tipis. Beberapa ulama menilai bahwa yang pertama lebih terkait dengan keluarga, sementara yang kedua lebih bersifat umum. Lihat, misalnya, Abu> al-Wafa>’ Mus}t}afa> al -Mara>ghi>, Min Qad}a>ya al-‘Amal wa al-Ma>l fi> al-Isla>m (Kairo: Majma‘ al-Buh}u>th, 1970), 71-73; lihat

juga A. Shaukat J. Gilani, “The Quran on Charitable Giving and Contemporary Social Values,” Journal of Islamic Economics, 3: 1(1985), 64.

sesuai dengan usulan pemerintah. Senada dengan pandangan ini, F-PP juga menilai bahwa memasukkan infak dan shadaqah dalam judul undang-undang ini sebenarnya tidak begitu signifikan. Menurut fraksi ini, zakat sebagai kewajiban memang sudah semestinya menjadi judul, tetapi memasukkan infak dan shadaqah yang sunnah ke dalam judul seolah-olah menyamakan kedudukan keduanya. Bagi F-PP, dengan penekanan pada zakat saja, jika dilaksanakan dengan baik, hal itu sudah menjadi prestasi yang luar biasa, mengingat bidang ini belum tergarap dengan baik. Meskipun demikian, infak dan shadaqah tetap diakomodasi dan telah disebutkan dalam pasal-pasal. Karena itu, perubahan judul RUU ini dipandang tidak diperlukan.114

Menanggapi dua arus pemikiran di atas, pemerintah menegaskan bahwa judul “Pengelolaan tentang Zakat” ini telah dipilih searif mungkin. Ini bisa dilihat secara kronologis dan historis pengajuan RUU ini sebelumnya. Suatu ketika, RUU yang pernah diajukan berjudul RUU tentang Zakat dan beberapa kali pula mengalami penolakan, sehingga kali ini diberi judul RUU tentang Pengelolaan Zakat. Di samping itu, judul ini juga mengikuti RUU Haji yang diajukan oleh DPR dengan judul RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang dalam pasal-pasalnya juga membicarakan umrah.115 Ini menunjukkan bahwa bukan persoalan