• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP

B. Saran- saran

Dari hasil penelitian ini ada beberapa catatan yang patut dikemukakan sebagai rekomendasi. Pertama, dalam negara yang demokratis saat ini, umat Islam mempunyai peluang sangat besar untuk menyampaikan aspirasinya. Akan tetapi, aspirasi itu harus didasarkan pada “public reason” yang dapat diterima oleh semua pihak, sehingga tidak terkesan diskriminatif. Maksudnya, alasan-alasan aspirasi itu tidak semata-mata untuk kepentingan umat, tetapi juga bagi bangsa secara keseluruhan. Kedua, perjuangan politik mempunyai signifikansi yang sangat

tinggi bagi penyampaian aspirasi umat. Karena itu, keterlibatan Muslim dalam politik sudah seharusnya menjadi perhatian mereka. Dengan begitu, aspirasi umat akan lebih mudah tersalurkan.

Rencana Revisi UU No. 38 Tahun 1999 dan Dampaknya terhadap Filantropi Islam Setelah satu dasawarsa disahkan, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Dari pihak pemerintah (Direktorat Pengembangan Zakat), potensi zakat yang diprediksi mencapai puluhan trilyun, terbukti hanya berhasil dikumpulkan sebesar sekitar 1,2 trilyun, padahal undang-undang telah disahkan dan peraturan yang terkait telah

dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Diduga penyebab tidak

teraktualisasikannya potensi itu adalah lemahnya undang-undang itu sendiri dan desentralisasi pengumpulan zakat.

Kelemahan utama undang-undang tersebut, dalam pandangan pihak ini, adalah bahwa meskipun zakat telah ditegaskan sebagai kewajiban, hal itu tidak dibarengi dengan sanksi apa yang mesti diterima jika seseorang yang telah mampu membayar zakat, tetapi ia melalaikannya. Sementara itu, kelemahan fundamental dalam pengelolaan, menurut pihak ini, adalah banyaknya lembaga pengumpul zakat yang tidak tersentralisasi. Ini ditunjukkan dengan adanya BAZ yang dibentuk oleh pemerintah, yang merentang dari pusat hingga tingkat kecamatan, di samping adanya LAZ yang dibentuk oleh masyarakat, dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Padahal, LAZ yang diamanatkan oleh undang-undang adalah organisasi massa (ormas) keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Akan tetapi, banyak lembaga pengelola zakat yang tidak memenuhi kriteria itu. Akibatnya, dana ZIS yang terkumpul menjadi tercecer di berbagai lembaga, dan penyalurannya pun tidak satu arah.

Kritik terhadap UU No. 38 Tahun 1999 juga dikemukakan oleh para aktivis pengelola zakat, terutama yang tergabung dalam Forum Zakat (FOZ). Dalam pandangan pihak ini, kelemahan mendasar undang-undang ini adalah tidak adanya sanksi yang mesti diberikan kepada muzakki yang enggan membayarkan zakatnya. Lebih jauh, pihak ini juga menyadari kurangnya koordinasi di antara sesama lembaga pengelola zakat.

Kondisi di atas mendorong pemerintah untuk mengajukan revisi terhadap undang-undang zakat yang ada. Di antara poin penting yang hendak dimasukkan dalam revisi tersebut adalah penerapan sanksi bagi muzakki yang lalai membayar zakat. Selain itu, masalah zakat sebagai pengurang wajib pajak juga menjadi usulan penting dalam revisi ini, mengingat dalam pelaksanaannya hal itu tidak berjalan dengan baik. Yang penting lagi, LAZ yang selama ini telah aktif terlibat dalam pengelolaan zakat akan dialihkan fungsinya sekadar sebagai pengumpul zakat, tanpa diberi kewenangan untuk menyalurkannya.

Terhadap gagasan ini, banyak pihak yang mengajukan keberatan, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, jika hanya BAZ yang diberikan kewenangan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat, sementara LAZ hanya berwenang mengumpulkan tanpa mendistribusikan, ini berarti ada upaya sentralisasi atau nasionalisasi pengelolaan zakat. Kedua, melalui upaya sentralisasi ini, negara berarti telah melibatkan secara total terhadap pengelolaan zakat, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga sebagai operator sekaligus. Ketiga, lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat secara otomatis akan dilemahkan, karena posisinya hanya sebagai pengumpul zakat minus

pendistribusiannya. Padahal, selama ini dengan dana zakat yang berhasil dikumpulkan, lembaga-lembaga ini telah berhasil memainkan perannya dalam penguatan masyarakat sipil (civil society) dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Bahkan, dalam penyusunan awal RUU tentang zakat pasca-Orde Baru, peran lembaga-lembaga tersebut tidak dapat diabaikan.

Dalam pandangan saya, beberapa persoalan di atas sebenarnya bisa diselesaikan. Terhadap masalah nasionalisasi zakat, misalnya, hal itu pernah dilakukan di beberapa negara Muslim, tetapi tidak seluruhnya berhasil dengan mulus. Arab Saudi dan Pakistan barangkali dapat disebut sebagai contoh yang berhasil dengan mulus. Hal itu karena sikap total yang ditunjukkan oleh negara, sehingga terkait dengan kementerian yang ada. Ini tentu sulit dilakukan di Indonesia, karena belum ada sinkronisasi antarkementerian. Sebagai contoh, dalam undang-undang ditegaskan bahwa pembayaran zakat dapat mengurangi wajib pajak. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal itu belum terlaksana hingga hari ini. Jika hal itu dilaksanakan, secara otomatis dana zakat yang bisa terkumpul saat ini sudah mencapai trilyunan rupiah, karena secara otomatis orang yang membayar pajak berarti akan terkurangi 2,5% sebagai pembayaran zakat. Ini tidak terjadi, di antaranya, karena keterkaitan antarkementerian belum terjalin dengan baik.

Lebih jauh, jika hanya pemerintah yang berhak mendistribusikan zakat, maka pengeluarannya harus melalui birokrasi negara. Karena itu bisa dibayangkan, betapa lamanya pendistribusian ini akan sampai kepada mustahik, apalagi untuk kepentingan-kepentingan mendesak lainnya, seperti bencana alam dan sebagainya. Sebaliknya, efektivitas pendistribusian ini justru ditunjukkan oleh LAZ karena tidak harus melalui birokrasi yang panjang dan lebih bisa dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Lembaga-lembaga swasta itu terbukti selalu berada di garda depan dalam penanggulangan bencana alam dan sebagainya.

Lebih penting lagi, jika hanya pemerintah yang berhak menyalurkan dana zakat, ini akan memunculkan masalah kepercayaan (trust) masyarakat. Sejauh ini, LAZ dengan berbagai upayanya telah berhasil meraih kepercayaan itu, yang dibuktikan dengan keberhasilan mereka dalam menghimpun dana zakat dalam jumlah yang sangat besar. Pertanyaannya, ketika pendistribusiannya hanya berada di tangan pemerintah, apakah kepercayaan itu akan tetap bertahan, jika lembaga yang selama ini mereka percaya hanya berperan sebagai pengumpul? Preseden ini telah terjadi pada masa Orde Baru, di mana ketika Soeharto menjadi amil nasional, justru dana yang berhasil dihimpun hanya sedikit.

Sementara itu, dengan dihapusnya peran pendistribusian zakat dari LAZ, ini berarti gerak lembaga yang terakhir akan terpasung. Semua yang membutuhkan dana zakat, secara otomatis harus meminta kepada pemerintah dan konsekuensinya semua akan bergantung kepada pemerintah. Padahal, semangat reformasi, tak terkecuali semangat penyusunan awal RUU tentang zakat, adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan kata lain, semangat partisipatoris ini dapat diwujudkan melalui civil society. Akan tetapi, jika dana filantropi itu sendiri hanya berada di tangan pemerintah, peran civil society, tanpa dana filantropi, dipastikan akan kembang kempis (la>-yah}ya> wala>-yamu>t) dan bisa jadi mati. Karena itu, kedua-duanya, BAZ dan LAZ, harus dipertahankan dan diupayakan berjalan secara sinergis. Memang, dana yang terkumpul tersebar