• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEBIJAKAN NEGARA TENTANG WAKAF

A. Pengaturan Wakaf di Indonesia

Sebagaimana disinggung dalam Bab II, wakaf bukanlah bentuk filantropi yang hanya ditemukan dalam Islam, tetapi juga ditemukan dalam tradisi keagamaan lainnya. Di Indonesia sendiri, praktik sejenis ini juga ditemukan dengan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan tradisi kedaerahan yang ada. Di Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, ditemukan tradisi suma pada zaman Empu Sendok. Suma adalah tanah atau hutan pemberian raja kepada rakyatnya untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan mereka. Tempat ini juga disebut

huma atau huma serang, yakni sebuah ladang yang setiap tahun digarap bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan berbersama-sama. Berbeda dengan dua istilah itu, di Lombok dikenal istilah “tanah parenan,” yaitu sebuah tanah yang semula milik negara kemudian diserahkan kepada desa, subak dan candi untuk kepentingan bersama dan dibebaskan dari pungutan pajak.1

Dengan demikian, ketika Islam datang ke Indonesia, sebenarnya tradisi filantropi yang menyerupai wakaf sudah ada. Dalam konteks seperti itu, praktik wakaf Islam tidak menghadapi kesulitan untuk diadopsi oleh masyarakat. Sebagai sebuah bentuk filantropi Islam, wakaf benar-benar memiliki dimensi ketulusan, mengingat status hukumnya tidak sekuat bentuk filantropi lain, seperti zakat, yang telah dibicarakan sebelumnya. Meskipun demikian, peran wakaf dalam sejarah Islam tak kalah pentingnya dengan peran yang dimainkan oleh zakat, bahkan hingga batas tertentu lebih monumental jika dilihat dari jejak rekamnya. Seperti dikemukakan Gregory C. Kozlowski, wakaf merupakan lembaga filantropi yang paling popular di dunia Islam pada abad ke-14 atau ke-15.2 Pernyataan

Kozlowski ini tentu berlaku juga bagi Indonesia, karena sebagian besar lembaga keagamaan di Indonesia berbasis wakaf. Mengingat mayoritas penduduk Muslim nusantara menganut faham Sha>ulama Sufi. Mereka inilah yang menyebarkan

1 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IALM Suryalaya, 1992), 46.

2 Gregory C. Kozlowski, “Otoritas Agama, Reformasi dan Filantropi di Dunia Islam Kontemporer,” dalam Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia , ed. Warrant F. Ilchman, Stanley N. Katz dan Edward L Queen II, terj. Tim CSRC (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 317.

Islam dan hingga batas tertentu membentuk karakter keislaman di Nusantara. Karena itu, patut diduga bahwa praktik wakaf pada masa awal Islam tidak terlalu rumit seperti yang terjadi pada tradisi fikih.3 Akan tetapi, ini tidak harus dipahami

bahwa fikih tidak dipraktikkan di Nusantara, sebagaimana telah disinggung di muka.

Menurut Ahmad Sutarmadi, praktik wakaf di Indonesia sesungguhnya beriringan dengan proses Islamisasi itu sendiri. Misalnya, Walisongo, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam dakwah Islam di Jawa, khususnya, dalam praktiknya menerima kepercayaan masyarakat yang baru masuk Islam untuk mendirikan masjid atau pesantren di lahan mereka. Ini menunjukkan bahwa praktik wakaf yang mereka ajarkan dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat. Lebih jauh dikemukakan bahwa ketika Raden Fatah menjabat sebagai sultan pertama Demak, ia mendirikan masjid Demak di atas tanah wakaf dan untuk membiayai pemeliharaan serta gaji para pengelolanya juga diperoleh dari wakaf.4

Di Jawa Timur, istilah yang sangat populer adalah tanah “perdikan,” yaitu sebidang tanah yang diberikan oleh raja kepada seseorang atau sefi‘i>yyah, praktik wakaf di sini diduga kuat dilakukan berdasarkan mazhab ini.5

Disebut-sebut bahwa masuknya Islam ke Indonesia merupakan andil besar para

kelompok orang atas jasa-jasa mereka bagi kerajaan dan tanah tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Wakaf semacam ini menyerupai wakaf keluarga (al-waqf al-ahli>) jika dilihat dari fungsi dan pemanfaatannya.6Tanah “perdikan” ini, misalnya, dapat ditemukan di Tegalsari, Ponorogo. Suatu ketika, Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura, meninggalkan istana bersama para pengikutnya. Ini dilakukan karena ada pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhunan Kuning, yang meletus pada 30 Juni 1742. Pemberontakan ini berlangsung begitu cepat, yang membuat Kerajaan Kartasura tidak siap menghadapinya. Saat melarikan diri, Sunan Kumbul mengarah ke timur Gunung Lawu, hingga pada suatu saat tiba di Desa Tegalsari, di mana terdapat sebuah pesantren besar yang diasuh oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Sunan kemudian berserah diri ke pesantren dan menjadi santri, yang menerima tempaan dan bimbingan dari kyai untuk bertafakur dan bermunajat kepada Allah. Tak lama setelah itu, pemberontakan di Kartasura mereda, dan Sunan menduduki kembali tahta yang sempat ditinggalkannya. Atas jasa sang kyai, Desa Tegalsari dijadikan sebagai desa “perdikan,” sebuah desa istimewa yang bebas dari segala pungutan pajak.7

3 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim, eds., Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi tentang Potensi, Tradisi dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006), 96.

4Ahmad Sutarmadi, “Sekilas tentang Filantropi Islam di Indonesia,” dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 193-94.

5 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43.

6 Maksudnya, peruntukan wakaf tersebut ditentukan secara jelas bagi keluarga, keturunan dan

seterusnya. Lihat Tim Penulis, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005), 17. Tentang keuntungan dan kelemahan wakaf keluarga ini, lihat Peter C. Hennigan, The Birth of a Legal Institution: The Formation of the Waqf in Third-Century AH H{anafi Legal Discourse (Leiden: Brill, 2004), xiv-xv.

7 Lihat Nur Hadi Ihsan dkk., Profil Pondok Modern Darussalam Gontor (Gontor: Pondok Modern Darussalam, 2006), 1-2.

Sementara itu, di Aceh dikenal istilah weukeuh, yang praktiknya telah berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah. Pada masa kesultanan, misalnya, seorang sultan biasanya memberikan sebidang tanah bagi kepentingan umum, apakah untuk perkebunan, pertanian atau sarana umum tertentu. Umumnya, tanah seperti itu berstatus khusus, yang langsung dikontrol oleh sultan dan bukan oleh pejabat bawahannya. Ia bebas dari beban pajak atau pungutan, tetapi tetap berada dalam kendali sultan. Lembaga ini tetap bertahan pada masa kolonial, yang manfaatnya difungsikan untuk membiaya acara-acara keagamaan dan ibadah, di samping untuk pembangunan masjid atau madrasah dan pesantren.8

Yang demikian itu mengingat wakaf umumnya terjadi pada benda-benda yang sifatnya permanen atau tidak bergerak, seperti masjid, pesantren, mushalla, langgar, tempat pemakaman dan lain sebagainya, yang tentu tidak hilang begitu saja seperti zakat, yang dampaknya seakan-akan lenyap bersamaan dengan selesainya pembagian. Ini tampaknya sejalan dengan makna wakaf itu sendiri, yang menganjurkan keabadiaan benda yang diwakafkan. Yang menarik bahwa di daerah tertentu, seperti Banten, pengelolaan wakaf sudah berlangsung cukup baik, sehingga yang diwakafkan bukan semata-mata benda yang telah disebutkan di atas, tetapi juga buku. Konon, Sultan Maulana Muhammad, putra Sultan Maulana Yusuf, saat berkuasa sangat peduli dengan masalah-masalah keagamaan, tak terkecuali dalam bidang hukum agama. Karena itu, ia senang mewakafkan banyak buku, di samping benda-benda tak bergerak lainnya. Ini menunjukkan bahwa bentuk wakaf sudah mengalami perkembangan yang berarti jika kita mengacu pada buku-buku fikih yang lebih banyak menekankan pada benda-benda tak bergerak.9 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan menduga bahwa tradisi wakaf kitab

ini tidak bisa dipisahkan dari kaitan erat Kesultanan Banten dengan Kerajaan

Saudi Arabia atau Turki ‘Uthmani, yang tentunya sudah terbiasa dengan

mewakafkan benda yang bergerak seperti kitab.10

Sebenarnya, tradisi wakaf buku dan pendirian perpustakaan jauh sebelum

Turki ‘Uthmani, mengingat sejumlah perpustakaan yang berdiri di sejumlah

negara—yang kini dikenal—Arab itu dari awal banyak diisi oleh buku-buku wakaf. Ini ditemukan di perpustakaan Mosul, Bagdad, Kairo dan lain sebagainya,

jauh sebelum Turki ‘Uthmani atau Saudi Arabia.11

Lebih jauh ditegaskan bahwa di samping benda-benda tak bergerak, wakaf juga diduga bisa berbentuk barang atau uang tunai sebab, menurut Aqib Suminto, wakaf juga menjadi sumber penting keuangan masjid, di samping sumber-sumber lain seperti biaya nikah, zakat dan shadaqah.12 Wakaf sebagai sumber keuangan

ini mengisyaratkan bahwa dana bisa diperoleh dari pemanfaatan harta wakaf, yang hasilnya kemudian dijadikan sebagai dana masjid. Juga mungkin bahwa

8 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif

Filantropi Islam dalam Sejarah Islam Indonesia,” dalam Berderma untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, ed. Idris Thaha (Jakarta: Teraju dan CLC UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 165.

9 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta: Penerbit Djambatan

dan KITLV, 1983), 39.

10 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam,” 162.

11

Lihat secara lebih terperinci Yah}ya Mah}mu>d Sa>‘a>ti>, Waqf wa-Binyat Maktabah

al-‘Arabiyyah (Riya>d}: Markaz al-Malik Fays}al li al-Buh}u>th wa al-Dira>sa>t, 1996), 31-44.

12 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 162, catatan nomor 190.

masyarakat memang mewakafkan dalam bentuk uang yang dibelikan barang-barang kebutuhan masjid.

Ini bisa dilihat pada saat renovasi masjid di kota Pekalongan pada 1926. Pada tahun itu, masyarakat ingin merenovasi masjid yang ada, karena alasan-alasan tertentu. Di samping itu, kas yang dimiliki oleh masjid itu sendiri dianggap dapat memenuhi kebutuhan renovasi tersebut, yakni sebesar f.26.000,00 lebih, sementara seluruh biaya yang dianggarkan mencapai f.20.000,00 sampai f.22.000,00. Dengan demikian, saldo yang ada masih tersisa sekitar f.4.000,00 atau f.6.000,00 yang dianggap cukup untuk kebutuhan kegiatan masjid. Akan tetapi, pemerintah Belanda mengizinkan penggunaan dana kas masjid itu f.6.000,00 saja. Untuk sisanya, pemerintah menganjurkan agar bisa diperoleh melalui wakaf. Meskipun penggalangan dana melalui wakaf mudah dilakukan, masyarakat menolak kebijakan ini, dan mempertanyakan untuk apa dan akan dibawa ke mana kas masjid tersebut. Sebab, kebijakan ini janggal mengingat kas masjid untuk renovasi masjid tidak dibolehkan, sedangkan dana tersebut dibolehkan untuk membangun gedung pertemuan umum. Karena itu, mereka berharap kas masjid dapat digunakan sebagai dana pembangunannya dan tidak lagi bergantung pada wakaf.13

Meskipun praktik wakaf telah berlangsung lama, tidak banyak informasi yang menjelaskan bagaimana tata cara wakaf itu dilaksanakan. Snouck Hurgronje menuturkan bahwa peran wakif, orang yang mewakafkan, sangat besar dalam menentukan tujuan dan menunjuk seorang nazir, pengelola wakaf. Ditegaskan lebih jauh bahwa wakaf di Indonesia berbeda dengan di tempat lain, terutama di negara Islam. Di negara yang terakhir ini, qa>d}i> berperan besar dalam mengangkat pengelola (na>z}ir), tetapi karena di negara yang pertama tidak ada qa>d}i>, peran itu dimainkan oleh penghulu atau kyai. Snouck sendiri menganjurkan agar wakaf berada di bawah kendali pejabat penjajah, bukan pada penghulu atau kyai.14 Saran

ini tampaknya didasarkan pada kekhawatiran Snouck Hurgronje yang menduga bahwa dana wakaf jika berada di tangan kyai atau penghulu dapat dijadikan sebagai sumber bekal pemberontakan, seperti disinggung di muka.

Tampaknya, wakaf telah menjadi praktik yang begitu meluas dalam masyarakat Indonesia, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa sengketa dalam masalah ini telah terjadi.15 Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya

Staatsblad No. 152 Tahun 1882 tentang Priesterraad (Pengadilan Agama), yang memberikan wewenang kepada lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa wakaf.16 Perhatian pemerintah kolonial terhadap masalah ini bisa dimaklumi

mengingat wakaf terkait erat dengan persoalan hukum tanah atau agraria. Di satu sisi, tanah dikenakan biaya pajak, sementara wakaf tanah dibebaskan dari beban tersebut. Di samping itu, wakaf terkait erat dengan masjid yang dipandang sebagai kegiatan keagamaan yang kadang-kadang bisa berujung sebagai pusat

13 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 168, catatan nomor 214.

14 Lihat E. Gobee dan C. Andriaase, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (Jakarta: INI, 1992), 5: 905.

15Bandingkan Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam,” 174.

16Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, 1:1 (Desember 208), 9.

pemberontakan.17 Karena itu, perhatian kolonial terhadap wakaf semakin

meningkat dengan diterbitkannya sejumlah peraturan, baik yang secara sepintas menyinggung maupun secara eksklusif memang membicarakan tentang wakaf. Di antara peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 1 Januari 1905, Nomor 435. Surat edaran ini termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Mohammedaansche bedehuizen. Sebenarnya, surat edaran ini tidak berbicara secara khusus tentang wakaf, tetapi berperan sebagai penegasan bahwa pemerintah sebenarnya mengakui dan mengizinkan orang-orang Islam memenuhi kebutuhan keagamaan mereka.18 Di sini terlihat bahwa

surat ini tidak membicarakan secara khusus tentang wakaf. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa kebutuhan keagamaan yang paling fundamental umumnya adalah rumah-rumah ibadah dan masjid, yang sebagian besarnya merupakan tanah wakaf.19 Lebih jauh dikemukakan bahwa pendirian rumah ibadah hanya

dibolehkan jika ia memenuhi kriteria kebutuhan publik. Hal itu dipertegas dengan perintah, dalam surat itu, kepada para bupati di wilayah Jawa dan Madura, yang harus menginventarisir rumah-rumah ibadah Islam di masing-masing daerah kekuasaannya. Di samping itu, mereka juga harus mengidentifikasi asal muasal rumah ibadah itu, berikut kegunaannya. Bahkan orang yang hendak melaksanakan wakaf pun harus meminta izin terlebih dahulu kepada bupati setempat.

Meskipun demikian, surat edaran ini tidak banyak diindahkan baik oleh masyarakat Muslim maupun bupati. Bagi masyarakat Muslim, surat ini tidak saja mempersulit mereka dalam melaksanakan wakaf, tetapi juga dapat dipandang sebagai upaya pemerintah kolonial untuk menghalangi dan membatasi ibadah mereka20 dan pendirian masjid. Ini bisa dilihat pada kasus pendirian masjid baru

selain Masjid Agung yang sudah ada. Meskipun Pengadilan Agama mengizinkan adanya masjid baru ini, namun Snouck Hurgronje tidak menyetujui dan membatalkan niat tersebut. Dengan dalih pandangan fikih Sha>fi‘iyyah, ia melarang pendirian masjid baru itu, di samping alasan bahwa Masjid Agung yang ada masih mampu menampung jamaah Jumat.21 Di sisi lain, surat ini tampaknya agak diabaikan oleh para bupati mengingat tidak dicapainya data yang memadai tentang wakaf dan masjid di wilayah tugas mereka masing-masing.22

Dengan demikian, surat edaran ini terbukti tidak berjalan mulus, tetapi mendapatkan reaksi dari masyarakat Muslim, yang memandang ketentuan tersebut sebagai bentuk intervensi pemerintah kolonial dalam masalah agama penduduk. Di samping bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri dalam

17 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi Islam,” 174.

18Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” Al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, volume 1, nomor 01 (Desember 208), 10.

19 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 3.

20 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 43.

21 Konon, seorang penghulu di Palembang berusaha membuktikan bahwa masjid yang ada itu

tidak lagi dapat menampung jamaah dengan menggerakkan massa agar memenuhi masjid itu. Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan, sehingga masjid baru urung didirikan. Kasus-kasus serupa juga terjadi di wilayah lain di nusantara. Lebih jauh, lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 172-173.

masalah agama, ketentuan itu terbukti mempersulit orang yang hendak melakukan wakaf untuk kepentingan orang Islam.23

2. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A. Surat ini dimuat dalam Bijblad Tahun 191 No. 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Berbeda dengan surat edaran sebelumnya, kali ini masalah wakaf disebut secara eksplisit. Akan tetapi, dari segi isinya, surat kedua ini merupakan penegasan terhadap yang pertama, mengingat masih ada keharusan bagi para bupati untuk mencatat rumah-rumah ibadah, penggunaan dan asal usulnya.24

Di samping itu, izin dari bupati juga tetap diharuskan bagi orang yang ingin berwakaf maupun bagi pendirian masjid di atas tanah wakaf. Tujuan perizinan itu sendiri adalah agar tanah yang dibangun masjid di atasnya tidak terganggu atau tergusur oleh pembangunan tata kota. Atau sebaliknya, jika ketertiban umum masyarakat terganggu oleh pembangunan masjid di tanah wakaf, bupati dapat mengalihkan usaha itu di tempat lain.25

Respons masyarakat Muslim terhadap surat ini pun nyaris setali tiga uang. Mereka memandang peraturan ini sebagai bentuk campur tangan pemerintah kolonial dalam urusan agama mereka. Padahal, perwakafan adalah masalah privat, yang tetap dipandang sah kalaupun dilaksanakan tanpa izin pemerintah atau bupati. Sebab, wakaf merupakan pemisahan harta dari pemilikan seseorang dan berada di luar peredaran kepemilikannya.26 Di samping itu, masyarakat Muslim

tetap menilai bahwa ketentuan ini tidak lain hanyalah upaya pembatasan ibadah mereka oleh Belanda.27

3. Surat Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A. Surat ini termaktub dalam Bijblad Tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Selain untuk mempertegas surat-surat sebelumnya, surat ketiga ini juga mengatur soal tanah wakaf dan pembangunan masjid, di samping masalah perizinan shalat Jumat. Yang dimaksud dengan izin shalat Jumat di sini adalah bahwa jika terjadi persengketaan di kalangan masyarakat, bupati dibolehkan memberikan izin kepada pihak yang memintanya. Masalah ini tampaknya tidak dapat dipisahkan dari sengketa tanah wakaf, di mana masjid yang dibangun di atasnya dipersengketakan oleh pihak-pihak tertentu. Lebih jauh, dalam masalah wakaf, surat ini memberi sedikit keringanan, di mana orang yang hendak mewakafkan hartanya tidak harus meminta izin kepada pemerintah atau bupati. Mereka cukup melaporkan wakafnya kepada notaris untuk memeroleh akta dari petugas.28

Ternyata, surat ketiga ini juga tidak mendapat respons positif dari masyarakat Muslim. Memang ada peningkatan dari segi pendataan harta wakaf, tetapi masih jauh dari memadai. Dengan kata lain, harta wakaf yang tidak terdaftar jauh lebih banyak ketimbang yang sudah didaftar. Di sini terlihat bahwa penolakan kaum Muslim terhadap kebijakan pemerintah kolonial tetap tidak

23Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” 10. 24Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” 10-11.

25 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44.

26Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,” 11. 27 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44.

berjalan sesuai dengan tujuan surat tersebut.29 Inilah yang kemudian mendorong

pemerintahan kolonial untuk menerbitkan kembali surat edaran tentang wakaf. 4. Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A. Surat

ini dimuat dalam Bijbald Tahun 1935 No. 13480 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat terakhir ini, beberapa ketentuan sebelumnya dipertahankan, tetapi juga memberikan tata cara atau prosedur bagaimana wakaf harus dilaksanakan. Misalnya, orang yang ingin berwakaf tidak harus meminta izin kepada bupati, namun cukup melapor melalui kepala desa dan camat kepadanya. Ini diperlukan agar bupati dapat mempertimbangkan atau menilai kalau-kalau ada pelanggaran terhadap ketentuan umum, terutama berkaitan dengan ketertiban dan kepentingan umum. Selanjutnya, bupati mendaftarkannya kepada petugas keagamaan, yang harus melaporkan kemudian kepada kepala agraria. Ini dilakukan agar harta wakaf memeroleh pembebasan dari beban pajak, yang dikenakan pada benda-benda lain selain pajak.30

Sambutan masyarakat Muslim terhadap peraturan ini ternyata tidak menggembirakan, apalagi ketentuan sanksi tidak ditetapkan di dalamnya. Padahal, konon, ketentuan dibuat untuk mengakomodasi kayakinan masyarakat Muslim saat itu, yakni bahwa harta wakaf itu harus langgeng (mu’abbad). Karena itu, pemerintah mempertimbangkan keyakinan tersebut sehingga melalui surat ini diharapkan dapat menjamin pelaksanaan keyakinan masyarakat Muslim. Dengan begitu, benda-benda wakaf tidak terganggu oleh pembangunan lain yang bertujuan pada pemenuhan kepentingan umum, seperti pelebaran jalan, pengembangan kota dan lain sebagainya.31

Berbeda dengan itu, pemerintah kolonial Inggris di Malaysia justru menunjukkan intervensinya yang sangat kuat terhadap wakaf di sana, khususnya di Penang. Di sini, pemerintah mengambil alih pengelolaan wakaf, dengan tujuan pembangunan dan kemajuan kota tersebut. Namun, dengan manajemen yang baik, wakaf juga mengalami perkembangan pesat.32

Penolakan terhadap undang-undang kolonial terhadap wakaf seperti itu terbukti juga terjadi di tempat lain. Di Aljazair, misalnya, pemerintah kolonial Prancis mencoba memasukkan wakaf ke dalam hukum publik, namun masyarakat Muslim menolaknya dengan keyakinan bahwa wakaf merupakan bagian dari lembaga yang masuk ke dalam jurisdiksi Islam.33 Kejadian serupa berlangsung di

India, ketika Inggris berkuasa. Namun, Inggris lebih melunak dan menerima wakaf masuk ke dalam Anglo-Muhammadan Law.34

Terlepas dari penolakan yang ditunjukkan oleh kaum Muslim saat itu, semangat di balik surat edaran yang terakhir ini diduga banyak diadopsi oleh peraturan wakaf yang ditetapkan pemerintah pasca-kemerdekaan. Jika dugaan ini

29 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44.

30 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 44-45.

31 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, 45.

32

Khoo Salma Nasution, “Kolonial Intervention and Transformation of Muslim Waqf Settlement in Urban Penang: The Role of Endowment Board,” Journal of Muslim Minority, 22:2 (2002), 299-315.

33

Ahmad Dallal, “The Islamic Institution of Waqf: A Historical Overview,” dalam Islam and Public Policy, ed. Stephen P. Heyneman (Nashville: Vanderbilt University Press, 2004), 36.

34

benar, dapat dikatakan bahwa penolakan tersebut lebih banyak didasari oleh